Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Kabar Kurniawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kabar Kurniawan. Tampilkan semua postingan

Kontraknya Diperpanjang FC Luzern

Bagi Kurniawan waktu-waktu ke depan tampaknya bakal sibuk, boleh jadi tidak bertemu dengan keluarga atau sekedar untuk beristirahat. Di saat pemain-pemain lain pulang mudik, setelah mengalahkan Hong Kong, dia malah harus pergi lagi ke Swiss, Rabu siang kemarin.

Kontraknya Diperpanjang FC LuzernKurniawan balik lagi ke Swiss untuk bergabung dengan FC Luzern yang sedang mempersiapkan diri untuk musim kompetisi Liga Swiss 1995/96. Tapi kenapa buru-buru, Kur? Rupanya ada kabar mendesak tapi cukup menggembirakan. Dia harus segera meneken kontrak baru di FCL. Kontrak akan diperpanjang? 

“Ya ceritanya memang begitu. Kontrak saya di Luzern diperpanjang setahun. Tapi saya belum bertemu dengan presiden FC Luzern,” kata Kurniawan singkat ketika ditemui di kamar 824 Hotel Kartika Chandra, Jakarta.

Khusus bicara soal kontrak, ayah Kurniawan malah lebih lincah. Bahkan beliau sudah menerima telpon dari Swiss. Sebagaimana standar kompetisi di Eropa yang sudah profesional, maka jika ada pemain yang masih berstatus amatir atau di bawah umur 18 tahun, maka yang menjadi agennya adalah dari pihak keluarga. Biasanya ayah.

“Mereka sudah mengirim faks di hotel ini untuk segera disampaikan ke Kurniawan. Setahu saya dia akan dibayar kira-kira Rp 10 juta sebulan. Kontraknya akan segera ditandatangani begitu dia tiba di Swiss,” jelas Budi Riyanto ketika ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu siang. Bagaimana perasaan Kurniawan?

“Jelas gembira, tapi saya sebenarnya kangen ingin pulang dulu ke Magelang. Kumpul dengan keluarga barang sebentar. Tapi susah ya. Mau bagaimana lagi?” jawab sendiri si anak muda kelahiran Magelang 13 Juli 1976 itu.

Anang dan Aples

Cerita Anang lain lagi. Pemuda kelahiran Surabaya 18 Mei 1976 itu akan menjadi pemain ‘cabutan’ alias pemain sewaan klub top Serie A, Sampdoria, untuk agenda tur-nya ke Hong Kong, Cina, dan Korea Selatan. Jika sikap Kurniawan sudah seperti pemain Eropa sebab sudah berpengalaman lebih dulu, tidak demikian halnya dengan Anang.

“Senang Mas, dapat kesempatan berlatih dan bermain dengan bintang tenar macam Ruud Gullit dan David Platt. Mudah-mudahan saya bisa dimainkan dalam tur Sampdoria nanti oleh pelatih Sven-Goran Eriksson,” kata anak muda yang pemalu ini.

Putra sulung pasangan Miskan dan Murti itu berharap kesempatan ini akan membuka peluang dia meraih impiannya, bermain di liga Eropa seperti Kurniawan. Anang mengaku lebih memilih bermain di Eropa ketimbang di Liga Indonesia. “Kalau ada kesempatan sekalian saja main di Eropa, tidak usah dulu bermain di Indonesia,” kata mantan kapten Persebaya junior tersebut.

Sementara itu kabar sedikit menggembirakan juga diraih oleh Aples Tecuari. Menurut pelatih nasional Romano Matte, bek Pelita Jaya itu akan dipanggil untuk mengikuti pemusatan latihan PSSI untuk menghadapi SEA Games, Desember mendatang. “Sebenarnya ada dua atau tiga pemain lagi. Tapi nantilah lihat perkembangan,” tutur Romano singkat ketika ditanya.

(foto: tjandra)

Share:

Kerinduan Yang Terganjal

Dalam kehidupan memang hanya ada satu obat kerinduan, yakni bertemu langsung yang dikangeni. Setelah berpisah delapan bulan lebih dengan orang-tuanya, pesepak bola muda berbakat Indonesia, Kurniawan Dwi Yulianto, akhirnya kembali di Tanah Air, Rabu siang.

Kerinduan Yang Terganjal
Kurniawan dijemput kedua orang tuanya.
Rasa rindu yang memuncak itu bukan saja dialami Kurniawan, tetapi juga oleh ayah dan ibunya, Budi Riyanto SH dan Nuraini. Hal itu dibuktikan ketika kedua orang tua Kurniawan terlihat sangat antusias menunggu putra tercintanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, walau sampai menghabiskan waktu hampir lima jam.

“Ia memang meminta saya untuk menjemputnya bersama kakaknya yang khusus datang dari Semarang. Ia ingin sekali bertemu kakaknya,” tutur Budi sambil menggamit tangan Dian Ekariani, sang kakak yang berusia 20 tahun.

Walau sudah tahu bahwa sang anak bungsunya tidak bisa leluasa ditemuinya, namun sang kakak tetap berusaha agar dapat bertemu sepuas mungkin. “Saya khawatir kalau keinginan Adek (panggilan Kurniawan) tidak dipenuhi, apalagi saya sekeluarga juga sangat rindu..,” ungkap Budi tanpa memerinci lebih jauh maksud tidak dipenuhi itu saking masih dibalut rasa haru.

Lebih lanjut Pak Budi mengatakan bahwa aturan ini tidak seperti biasanya. Apalagi sesuai tradisi orang timur, hubungan serta keberkahan antara orangtua dan anaknya amat diutamakan. “Saya sempat berkonsultasi dengan seorang pemuka agama berkenaan dengan hal ini,” lanjut Budi, yang baru tiba dari Magelang pagi harinya.

Pengorbanan memang seringkali identik dengan perjuangan. Tidak hanya Pak Budi dan istrinya yang harus rela berkorban melepas putra satu-satunya sendirian ke Eropa, tapi juga Kurniawan sendiri. Cukup berat dibayangkan, mengingat walau bagaimanapun juga Kurniawan masih seorang remaja 19 tahun.

Tapi tak lama kemudian, Kurniawan harus berpisah lagi dengan orangtuanya. Ia beserta para pemain PSSI Pra-Olimpiade lainnya segera menuju kantor PSSI di Senayan untuk mendapat briefing sebelum masuk penginapan dan mengikuti pemusatan latihan PSSI Pra Olimpiade. Pak Budi dan Bu Nuraini hanya pasrah melihat perjuangan anaknya untuk negara dan demi mengharumkan nama bangsa.

Ganjalan kerinduan yang dialami oleh Kurniawan bisa dirasakan. Adakah PSSI mengerti soal kerinduan keluarga? Tentunya menjadi sesuatu yang penting bagi ketenangan batin si pemain sebelum berjuang di lapangan hijau nanti.


(foto: stefan sihombing)

Share:

Hatinya Sedang Gundah

Adakah yang berubah pada Kurniawan setelah empat bulan bermukim di Swiss? Pasti ada. Yang jelas, tingkat permainannya kian matang teruji oleh kompetisi Liga Swiss yang cukup ketat. Adakah perubahan lainnya?

Hatinya Sedang GundahKedewasaan? Barangkali. Sudah lama ia berjuang menghilangkan sifat pemalunya. Buktinya jika sedang jalan-jalan di kota Luzern. Kurni selalu membalas orang yang menyapanya. Ia pun berani bertanya dan sekadar memberi salam dengan bahasa Jerman kepada rekan-rekannya di Hotel Waldstaetten. “Ya, saya harus memberanikan diri. Kalau tidak, malah sulit menikmati hidup di sini,” ucapnya memberi alasan.

Nama dan wajahnya juga sudah cukup dikenal di kota itu. Pernah sekali waktu, harian terbesar di kota itu, LNN Zeitung, mengulas daerah asalnya, Magelang, habis-habisan. “Borobudur itu di Magelang!” Demikian judul tulisan di harian terbesar di kota Luzern itu. Selama ini, oleh orang Swiss, Bali dan Borobudur lebih dikenal daripada nama Indonesia.

“Sering dia ke sini, kebetulan rumah saya kan dekat dengan stadion. Biasanya kalau dia sedang malas pulang atau lagi istirahat latihan,” kata Ny. Yayah Burki – yang dianggap ibu angkat oleh Kurniawan selama di Swiss. Di matanya, Kurniawan sangat penurut dan tidak rewel. “Ia sangat betah tinggal di sini. Katanya, udaranya segar dan bersih serta tempatnya tenang,” lanjut wanita Bandung yang telah 18 tahun menetap di Swiss ini.

Waktu Sedikit

Nun jauh sebelum itu, saat masih bocah, anak Magelang ini memang pernah bercita-cita menjadi pesepak bola agar bisa mengunjungi Eropa. Tanpa terasa, kini semuanya menjadi kenyataan. “Kalau ingat itu semua saya jadi terharu dan mau menangis. Ini merupakan kerja keras papa, dialah yang membuat saya seperti ini,” ungkap Kurniawan yang merindukan ciuman di keningnya seperti yang sering dilakukan sang ayah di Tanah Air jika ia ingin bertanding.

Tapi untuk melepas rindu pada kedua orangtua dan kampung halaman ternyata belum bisa terpenuhi, setidaknya untuk waktu lebih lama. Meskipun PSSI Pra-Olimpiade tengah bertanding di Jakarta, 25 Mei dan 30 Mei mendatang. “Setelah pertandingan kedua, besoknya saya harus balik lagi ke Swiss,” tuturnya. “Inilah yang membuat saya tidak bisa lama-lama dengan orangtua dan keluarga di Magelang.”

Maka bisa dipastikan, minggu-minggu ini hatinya sedang galau. “Sehari setelah melawan Hong Kong, saya diharuskan balik ke Swiss oleh pihak Luzern. Jadi saya tidak punya waktu banyak di Indonesia,” jelas ujung tombak PSSI Pra-Olimpiade.

Menurut rencana, tim PSSI Pra-Olimpiade baru menuju Tanah Air pada 17 Mei mendatang. Dua hari kemudian beruji coba di Jakarta. Lawan pertama yang dihadapi adalah Korea Selatan, kemudian baru Hong Kong. Away baru dimulai 22 Agustus di Seoul dan empat hari kemudian di Hong Kong.

Hasil seri yang dicapai Luzern 0-0 lawan Lausanne, Sabtu (6/5), tak banyak memberi kesan. Padahal beberapa peluang masih muncul untuknya. Pada pertandingan itu, Kurniawan bermain hingga menit ke-72 sebelum diganti oleh Patrick Koh.

“Tapi di satu momen, kalau saja Agent Sawu memberikan umpan pada Kurniawan, saya yakin bakal gol. Para penonton juga jadi kecewa melihat itu,” jelas Yayah, yang menonton langsung di stadion Allmend. Dengan hasil itu, Luzern kini menduduki urutan ketiga klasemen sementara babak play-off Liga Swiss.

(foto: stefan sihombing)

Share:

Kekalahan Membawa Hikmah

Sirna sudah peluang FC Luzern (FCL) di Piala Swiss. Dengan tak diduga mereka dijegal oleh klub yang gagal tampil di babak play-off Liga Swiss, BSC Young Boys 0-1 di laga perempatfinal di kandang sendiri, Stadion Allmend, Selasa (2/5) lalu. Namun secara implisit ternyata hal itu malah menguntungkan Kurniawan Dwi Yulianto. Lho, mengapa?

Kekalahan Membawa Hikmah“Sudahlah, malah ada baiknya. Saya kemungkinan jadi cepat bergabung dengan teman-teman. Rasanya sudah tidak sabarlagi tampil di Senayan,” ucapnya. Ia juga mengakui bahwa dengan kekalahan ini konsentrasi pada Pra-Olimpiade di Jakarta kian terfokus. “Terus terang, saya siap. Dukunglah kami sepenuhnya,” lanjutnya dengan nada serius.

Tapi ia juga tak bisa menutupi kekecewaannya, mengingat pada perempatfinal itu, sebenarnya FCL amat mendominasi pertandingan hampir 90 menit. Praktis Young Boys – klub asal ibukota Bern – hanya mengandalkan pertahanan yang rapat.

Saat asyik menyerang, mereka malah kecolongan. Gaetano Giallanza, striker BSC bernomor 13, melesat sendirian dan berhadapan dengan kiper FCL, Beat Mutter. Dengan sekali sentuh, tercipta gol emas yang membungkam seisi stadion di menit 88! “Amat sakit rasanya, karena kita nyerang terus dan yakin menang. Tapi pertahanan mereka luar biasa,” tandas Kurniawan yang setelah laga itu langsung pulang ke apartemennya.

Bermain 90 Menit

Begitu pertandingan usai, suasana kamar ganti menjadi mencekam. Mereka terhenyak, menyesal, dan amat terpukul. “Semua terdiam dan tak saling bicara. Saya jadi teringat saat Primavera gagal di Piala Asia,” ungkap Kurni – sapaan akrab publik FCL buat Kurniawan – dengan suara perlahan.

“Begitulah Piala Swiss, lengah sedikit saja di sini, yang didapat adalah kehancuran. Sudahlah kita segera pulang untuk beristirahat,” kata pelatih FCL, Jean-Paul Brigger. Sementara ketua klub, Romano Simioni hanya tertunduk diam. Atas kegagalan ini, FCL gagal mengulangi sukses juara pada 1992.

Penyesalan tersendiri juga dirasakan Kurniawan. Bayangkan pada babak pertama saja, ia mendapat dua peluang emas namun dapat digagalkan kiper Young Boys, Peter Kobel, yang bermain luar biasa. Peluang pertama Kurni adalah ketika bola lambungnya mengenai mistar atas, padahal gawang sudah kosong melompong! Yang kedua, sundulannya ditepis Kobel.

Yang mengagumkan lagi, Kurni bermain total 90 menit. Ia pun dinilai bermain lebih baik lagi dari biasanya. Malah striker Urs Guentensperger yang diganti oleh Agent Sawu. Boleh dibilang meski kalah, tapi permainan Kurni semakin menunjukkan grafik ke atas. Menjelang tengah malam, berbagai TV di Swiss lewat siaran olah raganya menayangkan cuplikan pertandingan itu. Yang paling sering di-shoot adalah dua peluang emas Kurniawan tersebut. Besoknya, harian LNN Zeitung mengulas kekalahan FCL yang diperkirakan akibat faktor kelelahan. Maklum, tiga hari sebelumnya mereka juga bertanding di kompetisi liga.

Sementara itu dengan keberhasilan ini, Young Boys yang diperkuat oleh Rene Sutter – kakak dari pemain nasional asal Bayern Muenchen Alain Sutter – dan beberapa pemain nasional Swiss, akan berhadapan dengan Grasshopper. Klub asal Zuerich ini menggulung FC Wil 2-0 pada partai lain. Semifinal lain mempertemukan FC Sion dan FC Delemont. Sion sukses mengalahkan AC Bellinzona 1-0, dan Delemont menundukkan FC Schaffhausen 2-1.

Dengan tersisihnya FCL, waktu bergabung Kurniawan dengan PSI Pra-Olimpiade yang akan berujicoba di Singapura mulai 15 Mei menjadi terbuka. “Saya tinggal menunggu instruksi dari Jakarta saja,” cetusnya singkat.

(foto: stefan sihombing)

Share:

Saya Mau Bayar Hutang

Siapa yang meragukan kemampuan Kurniawan Dwi Yulianto di lapangan hijau sekarang ini? Nyaris tidak ada. Publik sepak bola Indonesia tentu akan menempatkan salah satu namanya jika ditanyakan siapa pesepak bola terbaik negeri ini. Mengenai kemampuannya itu sudah termasuk pujian dari kalangan FC Luzern sendiri, baik para pengurus, pelatih, atau juga para pemain.

Saya Mau Bayar HutangBahkan Sven-Goran Eriksson, pelatih Sampdoria pernah pula memujinya. Harian olah raga terkemuka Italia, La Gazzetta dello Sport, pun pernah memberitakan perihal Kurniawan. “Anak itu memang mempunyai bakat dan pada dirinya sudah ada touch Eropa. Tinggal diasah sedikit dan dimatangkan dengan kompetisi di Eropa secara rutin. Tunggulah tiga atau empat tahun lagi, saya yakin Kurniawan akan sukses,” puji pelatih top di Serie A asal Swedia tersebut saat membawa Sampdoria berpetualang di Indonesia, Mei 1994.

Itu berbagai kelebihannya, nah sekarang apa ‘kelemahan’ Kurniawan? Rasanya cuma satu yang paling signifikan, itu pun faktor non-teknis, yakni pemalu. Ya, meski sudah terkenal, tampaknya Kurniawan belum bisa membuka diri, menghilangkan sifat introvert, menutup dirinya.

Entah mengapa ia sangat sulit beradaptasi, masuk ke lingkungan baru beraroma internasional dengan cepat, yang sangat jarang dan sangat sulit didapatkan pesepak bola Indonesia. Hal ini sulit dibantah, bahkan ketika berbaur dengan para mahasiswa perhotelan International Management Institute (IMI) di Weggis, yang tinggal satu gedung bersamanya di Hotel Waldstaetten.

Kangen Jakarta

“Wah, dia kalau tidak ditegur duluan nggak bakalan bicara. Orangnya pendiam, perlu waktu lama untuk akrab dengannya,” ujar Wendy, mahasiswa IMI penghuni kamar 120 yang mengaku sudah mendengar nama Kurniawan sejak lama. “Ah, nggak juga,” kilah Kurniawan, “buktinya saya punya banyak teman akrab.” Ia benar juga. Yang pasti remaja berbintang Cancer ini amat hati-hati dalam memliih kawan.

Maka pada kunjungannya ke Tavarone baru-baru ini, ia mengakui bahwa selain dipanggil pelatih Tord Grip untuk ujicoba, juga untuk melepas kerinduan pada rekan-rekan sebangsa se-Tanah Air yang berada di Tavarone, Italia, terutama dengan ketiga sahabat kentalnya: Indriyanto Nugroho, Yeyen Tumena, dan Kurnia Sandy.

Niat dan hutangnya terhadap teman-temannya kini sudah dilunasi. Kurniawan kembali lagi ke Swiss, dan berkutat lagi dengan latihan dan pertandingan. Apalagi dalam waktu empat hari mendatang, ia akan membela FC Luzern lagi menghadapi Lausanne (29/4) di Liga Swiss, dan Young Boys (2/5) pada perempatfinal Piala Swiss.

Menurutnya, jika menang di Piala Swiss, yang berarti melaju ke semifinal, ia harus cepat kembali dari Jakarta, selepas membela tim nasional junior. Ada sedikit rasa kangen rupanya. “Tapi kalau kalah kemungkinan waktunya boleh lebih lama,” tuturnya saat dihubungi Rabu (26/4). Sedangkan rekan-rekannya pada Kamis ini akan bertolak langsung ke Singapura untuk uji coba selama dua minggu.

“Tunggu dan dukung kami di Jakarta. Semua teman-teman mau bayar utang di sana. Tapi tolong sampaikan Mas, jangan mencerca kami seperti dulu,” katanya lagi. Maksudnya bayar hutang tentu membalas kegagalan mereka pada penyisihan Piala Dunia U-20 tahun lalu. Jangan salah sangka.

(foto: stefan sihombing)

Share:

Brilian, Gol Pertama Kurniawan!

Kecap dan sambal botol yang dibawa fotografer Stefan Sihombing dari Jakarta, atas permintaan Kurniawan Dwi Julianto pada saya sebelumnya, tampaknya membawa berkah. Percaya atau tidak, setelah kerinduan pada makanan itu terpenuhi, bintang muda Indonesia yang dimainkan sejak menit awal, sukses mencetak gol pertama bagi FC Luzern ketika mengalahkan FC Basel 2-1 pada lanjutan divisi utama Liga Swiss, Sabtu (8/4) lalu.

Brilian, Gol Pertama Kurniawan!
“Mungkin karena makan kecap, Mas,” guraunya kepada Stefan yang meliput langsung di Stadion Allmend, Luzern. Oleh-oleh yang dibawa dari Indonesia itu bukan hanya kecap. Salah satunya bahkan lebih spesial, yakni tiga helai surat titipan dari sang kekasih, yang diantarnya sendiri, tiga hari sebelumnya.

Selain itu, penyisihan Piala Afrika menjadi berkah keduanya. Sebab absennya Agent Sawu, striker utama Luzern, yang harus membela Zimbabwe melawan Lesotho, membuka jalan bagi Ade untuk tampil sebagai starter untuk pertama kalinya. Penampilan perdana Kurniawan itu malah membawa berkah sebab dia sukses mengisi posisi Sawu dengan gol perdananya bagi Luzern.

Gol itu lahir berkat instingnya sebagai penyerang, posisi yang diidamkannya. Permainan Kurniawan pun jadi memukau, bahkan ia bisa dianggap sebagai bintang Luzern dalam laga berstatus big-match bagi tuan rumah itu. Bermula dari tendangan Urs Gustenberger ke gawang Basel di menit 20, bola yang diblok kerumunan pemain belakang lawan mental ke arah Kurniawan. Walau ditempel ketat bek Basel, namun secara refleks anak Magelang ini masih bisa menyundul bola liar tersebut. Cara menyundulnya pun, oleh beberapa pengamat di sana, dianggap brilian. Kurniawan menyundul bola sambil membelakangi gawang.

Hujan Pelukan

Stefan yang menyaksikan langsung momen bersejarah bagi seorang anak Indonesia dari pinggir lapangan pun setengah tak percaya. Lebih-lebih Kurniawan sendiri. Sedetik kemudian baru dia percaya bola sundulannya itu bersarang di gawang Basel. Tak ayal lagi luapan kegembiraan pun dilakukan Kurniawan. Ia meluncur ke tepi lapangan dengan kedua tangan di depan, seperti orang berenang. Beberapa rekannya juga ikut meluncur mendampinginya.

Setelah gol itu, pecah keriuhan luar biasa di Allmend. Gemuruh penonton berbaur dengan tabuhan genderang dan lambaian spanduk suporter tuan rumah. Luar biasa suasananya. Sebagian dari mereka ada yang berteriak, “Kurni! Kurni!”. Itu pasti penonton asal Indonesia. Dan sebagian lagi yang orang Swiss pendukung FC Luzern berteriak,”Yulianto!”. Bahkan ada yang menyebut, ”Indonesia! Indonesia!”

Walau beberapa menit menjelang usai ditarik keluar oleh pelatih Jean-Paul Brigger, namun hampir dipastikan malam itu menjadi malam kenangan yang tak terlupakan bagi Kurniawan. Raut mukanya terlihat kepuasan. Kebahagiaan para pemain Luzern dan juga Kurniawan kian lengkap sebab setiap pemain mendapat bonus 1.000 Franc Swiss atau sekitar Rp 1,9 juta.

Ade sangat bersyukur bisa tampil di laga melawan Basel, klub top Swiss yang mengilhami berdirinya FC Barcelona di Spanyol tersebut. Laga full house sebab disesaki 26.100 penonton sesuai kapasitas Stadion Allmend.

“Basel itu musuh bebuyutan Luzern. Makanya saat itu ada juga keributan antar suporter,” jelas Kurniawan yang bakal populer di kota itu. Ade benar, karena menurut laporan Stefan, memang banyak petasan yang sengaja dilemparkan suporter Basel ke kubu lawannya. Untungnya keributan tak melebar ke luar stadion. Tanpa diladeni, suporter Basel pun akhirnya punya musuh mendadak: polisi dan petugas keamanan.

Diwawancarai TV

Setelah pertandingan malam itu, Brigger dan presiden klub Romano Simioni menyalami dan memeluknya erat. “Bagus, bagus! Kamu main sangat bagus! Begitu seharusnya kamu bermain,” puji Brigger.

Pertandingan itu juga ternyata disiarkan langsung oleh sebuah stasiun televisi di Swiss. Oleh stasiun TV ini, Kurniawan sempat diwawancarai. Pulang pertandingan ia masih mendapat ucapan selamat dari teman-temannya. Malamnya sebelum tidur, pikiran Kurniawan menerawang jauh mengenang saat-saat indah itu.

Ia juga mengaku belum yakin apakah dirinya bakal menjadi penyerang utama Luzern. Yang pasti, rencana terdekatnya adalah mengunjungi Tavarone, Italia, untuk bergabung dengan rekan-rekannya yang sedang digodok di markas PSSI Primavera itu.

Selama di Luzern, Stefan sempat diajak jalan-jalan oleh Kurniawan menikmati kota Luzern. Makan bersama di restoran Italia, bahkan baik boat mengelilingi Danau Luzern. Dalam satu obrolan, Kurniawan sering menanyakan perkembangan Liga Indonesia. Bagaimana kecap dan sambal itu, Kur? Apakah gara-gara itu jadi bermain bagus dan mencetak gol?

Ndak tahulah, Mas. Yang pasti sudah lama saya ingin sekali kecap manis, karena kebanyakan kecap di sini kecap manis. Karena kebiasaan masak mie instan buatan Muangthai kalau malam, eh jadi ingat kecap lalu kepengen. Terima kasih ya tas oleh-olehnya,” tutur Kurniawan sambil bergurau.


(foto: Stefan Sihombing, dari Swiss)











Share:

Suksesnya Masih Berlanjut

Kisah sukses sebagai pemain inti ternyata diulangi lagi oleh Kurniawan, empat hari kemudian (12/4). Bertandang ke Lugano menghadapi tuan rumah, Luzern bermain 0-0. Walau imbang, tapi penampilan remaja berbintang Cancer ini kembali memukau, bahkan nyaris bikin gol lagi. Sayang, tendangannya masih diblok kiper Lugano dengan susah payah.

Suksesnya Masih BerlanjutBermain di kandang Lugano – Stadion Comunale di Cornaredo – dan disiarkan oleh TV DRS (Swiss-Jerman), TSI (Swiss-Italia), dan TSR (Swiss-Prancis) itu, penampilan Kurniawan di depan terlihat cukup dominan bersama Urs Guentensperger. Kiprahnya berlanjut pada Piala Swiss, Sabtu lalu. Lagi-lagi bertemu musuh bebuyutan Luzern, yakni FC Basel. Main dari permulaan, Kurni memang tidak mencetak gol, tapi gol kedua yang dicetak Guenstensperger di menit 60 adalah hasil assist Kurniawan.

Lewat duet Guentensperger dan Kurniawan, Basel yang diperkuat oleh striker nasional Swiss, Dario Zuffi, kembali kembali digedor pertahanannya. Mereka juga masih down oleh kekalahan sebelumnya dari Luzern di liga. Sebaliknya Kurniawan dkk. tampil ngotot dan ingin membuktikan bahwa mereka lebih unggul dari musuh bebuyutannya itu.

Luzern akhirnya menang 2-0. Satu gol sebelumnya dibuat oleh Stefan Wols di menit 60. Delapan menit menjelang usai, Kurniawan diganti oleh rekannya yang sering menjemput kala latihan, Oliver Camenzind. Sedang Guentensperger sudah diganti Agent Sawu sebelumnya di menit 74. Atas hasil ini, Luzern melaju ke babak semifinal dan akan bertemu Young Boys pada 2 Mei mendatang.

Klub yang bermarkas di Stadion Allmend ini memang spesialis Piala Swiss. Mereka sering berprestasi di sini ketimbang di liga. Puncaknya yaitu ketika merenggut Piala Swiss 1991/92, yang mengantarkan mereka tampil di ajang Eropa, Piala Winner 1992/93. Sayang sekali Luzern dikandaskan Feyenoord (1-0 dan 1-4) di babak kedua. “Makanya FCL (sebutan umum FC Luzern) amat menganak-emaskan Piala Swiss,” tambah Kurniawan yang baru mengunjungi rekan-rekannya (timnas U19 PSSI Olimpiade) di Primavera itu.

Melepas Rindu

Ke mana Kurniawan setelah bertanding di Lugano, Rabu pekan lalu, akhirnya terjawab. “Saya dipanggil Mister Danur (Danurwindo) ke Tavarone, Italia. Karena ada libur Paskah dua hari, saya bersedia saja. Hitung-hitung melepas rindu dengan teman-teman (PSSI Primavera),” ungkapnya.

Ternyata sesampainya di sana, pelatih Primavera, Tord Grip dan asistennya, Danurwindo, punya rencana lain. Ia meminta Kurniawan berlatih bersama. Tak lain sebagai persiapan ujicoba menghadapi Pra Olimpiade, akhir Mei mendatang.

“Saya menyukai pola 3-5-2 yang diterapkan Grip sekarang ini, Sehingga lima gelandang bisa lebih bervariasi lagi melakukan serangan,” ujar Kurniawan, yang sudah melepas rindu dengan Indriyanto Nugroho, Yeyen Yumena, dan Kurnia Sandy – tiga rekan yang paling sering diteleponnya saat ia berada di Swiss.

“Makanya saya tambah yakin akan membuat gol sebanyak-banyaknya di Jakarta nanti. Bener lho, saya sudah rindu Tanah Air dan Magelang tentunya,” tambahnya polos. Namun secara tersirat ia mengatakan bahwa keberhasilan Luzern masuk semifinal Piala Swiss justru membuat pikirannya mendua. Meski kepergiannya ke Jakarta, menurut rencana 17 Mei nanti, sudah diizinkan klubnya.

“Kalau menang lawan Young Boys, tentunya ada latihan khusus lagi. Tak tahulah bagaimana nanti, lihat perkembangan,” tambah remaja kelahiran 17 Juli 1976 ini tanpa melanjutkan apa yang dimaksud. Saat latihan singkat di Tavarone, Kurniawan dipasangkan dengan Asep Dayat, sebagai tombak kembar. “Saya tidak menyangka, ternyata dia bagus juga,” kesan Kurniawan pada striker asal Persib Bandung itu.

(foto: stefan sihombing)

Share:

Masih Tetap Merasa Kurang

Kalau tak pandai-pandai mencari kesibukan, mengarungi sendiri kehidupan di negeri orang, memang, kadang menjenuhkan. Hal itulah yang juga dialami oleh Kurniawan selama tiga bulan bermukim di Weggis, Swiss. Dari hari ke hari, waktunya sebagian besar dihabiskan untuk berlatih dan berlatih selain bertanding, seminggu sekali, tentunya. Jenuh Kur?
Kurniawan Dwi Julianto. Masih Tetap Merasa Kurang
“Kadang iya, tapi sekarang mendingan karena saya sudah banyak kenal dengan teman-teman di hotel. Dengan merekalah saya sering mengisi hari-hari di kala tak ada latihan,” ungkap Ade, panggilan akrab Kurniawan. Selanjutnya ia bercerita bahwa pada lanjutan Liga Swiss, Minggu lalu, ia sempat diturunkan di menit 10 menit akhir oleh pelatih Jean-Paul Brigger. Saat itu klubnya, FC Luzern, menang 1-0 atas tamunya Aarau di Stadion Allmend.

“Tapi saya ditaruh di posisi sayap kiri dan oleh Brigger dipesan supaya membantu pertahanan karena kami sudah unggul,” kata Kurniawan, yang selama ini sudah bermain di empat posisi. Tak lama kemudian Kurniawan menanyakan acara HUT Mingguan BOLA yang berlangsung akhir Maret lalu. “Bagaimana ramai ya?” tanyanya cepat. 

Kurniawan terpilih sebagai Atlet Harapan Terbaik 1994. Ia diundang tetapi karena padatnya jadwal kompetisi, ia tak bisa datang meski semula ia amat berminat untuk menghadirinya. Sebagai gantinya, beberapa hari lalu ia mengirimkan tulisannya ke BOLA yang dibacakan oleh ayahnya, yang datang mewakilinya, saat acara malam penganugerahan atlet terbaik versi pembaca BOLA.

“Tulisan itu saya buat di lab komputer milik kampus, dan kalau Pak Hayono Isman sampai ikut mendengarkan surat saya yang dibacakan ayah, wah saya bangga sekali,” ujar Kurniawan yang menitipkan salam bagi karyawan dan pembaca BOLA di Tanah Air.

Di dalam tulisannya yang dikirim lewat faks itu, Kurniawan antara lain mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada mereka yang telah membantunya, baik dalam berlatih maupun kehidupan sehari-hari untuk mencapai keadaan seperti sekarang ini.

“Saya sadari bahwa sampai sekarang pun saya masih merasa harus banyak belajar seperti yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Dan pada kesempatan itu pula, saya ingin mohon doa restu agar PSSI Primavera yang akan terjun dalam kejuaraan Pra-Olimpiade nanti dapat mencapai sukses sesuai target yang diharapkan,” begitu bunyi akhir tulisannya. Kami doakan, Kur!

(foto: Stefan Sihombing)

Share:

Salam Rindu Buat Ayah dan Ibu

Akhirnya kesampaian juga keinginan Kurniawan Dwi Yulianto untuk bermain penuh 90 menit di FC Luzern. Meski hanya diturunkan pada ujicoba melawan tim divisi satu FC Solothurn, Sabtu (25/3) lalu, namun hikmah penting dari situ ia peroleh. Ia kini mempunyai rasa percaya diri yang semakin tinggi.

Salam Rindu Buat Ayah dan Ibu“Ya, benar saya diturunkan 90 menit untuk pertama kali dan ditaruh pada posisi kesukaan saya, striker, berpasangan dengan Agent Sawu. Meski kalah 1-2, tapi saya merasa telah diberi kesempatan oleh pelatih meski tampaknya pertandingan itu dijadikan tempat penilaian kemampuan saya,” katanya. Menurut Kurniawan, pelatihnya puas. Hasil ujicoba itu belum jadi patokan bahwa dirinya akan menjadi penyerang utama di FC Luzern. “Yang penting permainan saya makin menyatu dengan rekan lain,” tambahnya.

Ketika ditanyakan tentang peluang Indonesia pada penyisihan Pra-Olimpiade yang akan berlangsung Mei mendatang, Kurniawan merasa masih yakin bersama rekan-rekannya nanti akan mampu mengatasi Korea Selatan dan Hong Kong, yang satu grup dengan Indonesia. Yang penting, katanya, lolos dulu dari hadangan mereka.

“Saya yakin, bersama dengan teman-teman akan mampu membalas kekecewaan masyarakat waktu di Piala Asia lalu. Hal itu banyak memberikan pelajaran bagi kami,” tandasnya. Tambahan, kekompakan yang terbina selama dua tahun dapat dijadikan dasar. Keinginan mereka, kata Kurniawan, amat menggebu-gebu untuk membalas kegagalan di Piala Asia tahun lalu.

“Apalagi jika mengingat dukungan penonton Senayan waktu itu, rasanya menyesal membuat mereka kecewa, sungguh,” tambah Kurniawan, yang ketika ditelepon sedang mempersiapkan perlengkapan latihannya.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, Kurniawan menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menghadiri “Malam Syukuran 11 Tahun Mingguan Olah Raga BOLA” akhir bulan. Ya penyebabnya jadwal yang padat di Liga Swiss. Sebenarnya dalam acara yang dilanjutkan dengan penganugerahan Penghargaan BOLA 1994 kepada pelatih dan atlet terbaik, Kurniawan terpilih sebagai Atlet Harapan Putra terbaik.

“Saya nitip salam saja Mas, untuk ayah dan ibu jika mereka datang menghadiri acara itu. Tolong bilangin dong Mas, agar sering-sering menelepon gitu,” ujar Kurniawan sambil berpamitan mau pergi berlatih. Insya Allah, Kur.

(foto: Tjandra)

Share:

Selamat Datang Hidup Baru!

Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 GMT (12.30 WIB) ketika saya menghubunginya lewat telepon internasional. Namun secara tak sengaja, Kurniawan telah terganggu tidurnya oleh deringan telepon di kamar 109 Hotel Waldstaetten, Weggis, di pinggiran kota Luzern, Swiss.

Selamat Datang Hidup Baru!“Oh, nggak apa-apa kok. Kalau nggak ada bunyi telepon, saya malah masih tidur. Soalnya saya punya rencana jalan-jalan nanti siang,” kata remaja yang mengaku hobi tidur itu. Ada yang lain dari gaya bicaranya selama ini, yakni agak ceplas-ceplos. Mengapa begitu? “Ndak tahulah, kayaknya lagi happy aja,” sambung Kurni. Akhirnya diakui bahwa dia kini mulai kerasan hidup di negeri perbankan itu.

Salah satu kendala terbesarnya tampak mulai dapat diatasinya. Apalagi kalau bukan sudah dipercaya pelatih Jean Paul Brigger sebagai pemain utama di FC Luzern. Dari masa 26 menit, ketika dia pertama kali dipercaya bermain bagi klubnya melawan Grasshopper, 26 Februari, lalu 30 menit tatkala tampil di Piala Swiss menghadapi klub divisi dua Red Star Zurich.

“Harus kuat mental, Mas. Soalnya Mr. Brigger itu orangnya panasan. Pokoknya sifatnya keras gitu,” tutur Kurniawan lebih lanjut. Sambil menjelaskan perbedaan karakter dengan pelatihhnya di Italia dulu, Romano Matte. “Kalau Romano marahnya nggak panjang, hanya saat latihan saja. Tapi Brigger dibahas terus hingga usai latihan dan saat lain acara,” jelas si penyerang bernomor 7 di FC Luzern.

Setelah berhasil mengasah kemampuannya dengan maksimal, lalu suasana yang terasa nikmat hidup di Weggis, maka faktor materi tampaknya menjadi alasan mengapa sekarang dia begitu betah di sana. “Gaji atau bonus yang saya miliki, semuanya saya transfer ke rekening saya di Volksbank Luzern. Kalau ada perlu baru saya ambil sendiri,” ucapnya.

Selain itu perhatian dari berbagai pihak turut membantunya selama di Swiss. Entah itu dari pihak hotel yang kebetulan dikelola oleh orang Indonesia, Ny. Yayah Burki, atau yang lain, seperti rekan-rekannya di Tavarone, Italia. “Maka saya merasa gembira sekali saat Pak Azwar Anas (Ketua Umum PSSI-red) mengunjungi saya selama empat jam,” katanya dengan jujur. Okelah kalau begitu. Semoga tambah sukses, Kur!

(foto: Tjandra)

Share:

Menerima Bonus Pertama

Akhirnya cita-cita Kurniawan dan pecinta sepak bola di Tanah Air kesampaian. Untuk pertama kalinya anak Indonesia tampil di kompetisi resmi sebuah liga di Eropa. Dan sejarah itu tercatat tanggal 26 Februari. Memasuki minggu kedua babak playoff kompetisi Divisi Utama Liga Swiss, atau lebih dikenal sebagai kejuaraan liga, masih memunculkan kekuatan tim-tim unggulan.

Juara liga tahun lalu, Grasshopper Zurich mencatat kemenangan kedua 2-0 atas tuan rumah FC Lugano di Stadion Comunale di Cornaredo, Ahad lalu. Hasil ini makin memantapkan diri di puncak klasemen. Sebelumnya pada pertandingan pertama Grasshopper melibas FC Luzern 4-1, yang diperkuat Kurniawan Dwi Yulianto, di kandang sendiri.

Menerima Bonus PertamaDi laga ini, Kurniawan hanya bermain pada 26 menit terakhir menggantikan Urs Guntensperger, dan menjadi pasangan Agent Sawu di depan. Sayangnya pada Minggu lalu (5/3) di kandang sendiri, ketika Luzern menghadapi Neuchatel Xamax dan menang 1-0, Kurniawan sama sekali tidak diturunkan. Dengan hasil itu pun, Luzern masih tetap menduduki urutan terbawah klasemen sementara.

“Mungkin pelatih Brigger tak mau ambil risiko, soalnya kemarin kita kalah. Cedera saya kayaknya jadi hambatan. Karena kemenangan harus diperoleh, saya yang dinilai kurang fit, tidak dimainkan meski nama saya masuk sebagai cadangan,” jelas Kurniawan yang sudah mendapat bonus pertama karena timnya menang.

Ketika ia dihubungi Selasa lalu, jadwal latihan sedang tidak ada. “Saya mau santai dan istirahat seharian. Kali ini saya merasa capek sekali. Biasanya kalau ada liburan, suka pergi dengan teman-teman,” lanjut Kurniawan yang selalu senang bercerita. Kalau begitu apa saja yang ia kerjakan? “Selain tidur, saya membaca surat-surat dari Tanah Air yang jumlahnya sudah satu kardus,” jelasnya. Kurni mengaku setiap harinya selalu mendapat setumpuk surat yang kebanyakan dari remaja penggila bola maupun para cewek.

Ketika ditanya tentang Lebaran, dia langsung menjawab dengan bergairah.  Ayahanda dan pacarnya adalah orang yang pertama-tama mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. “Saya nggak sempat ikut sholat Ied, soalnya ada latihan,” katanya yang tidak merasakan suasana Lebaran sama sekali di negeri orang.

“Oh ya Mas, sebelum lupa, saya ingin ngucapin Selamat Idul Fitri. Wah Lebaran di sini nggak ada rasanya. Masih mending di Italia deh, bisa berkumpul dengan teman-teman dan sholat Ied di Genova,” tuturnya mengakhiri pembicaraan. Sama-sama Kur, mohon maaf lahir dan batin!

(foto: tjandra)

Share:

Jari Patah dan Kompetisi Aneh

Sudah lama saya tidak berbincang-bincang langsung dengan Kurniawan Dwi Yulianto. Namun mulai minggu lalu hubungan akrab bagai sahabat dengannya, dan juga beberapa rekan mahasiswa perhotelan di sana terjalin kembali.

Jari Patah dan Kompetisi Aneh
“Baru saja, ada telepon dari beberapa media di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Juga telepon dari Magelang yang ternyata ortu-nya Kurniawan. Tapi karena Kurniawan pulang jam 12 malam terus, maka tidak pernah bisa ketemu. PSSI juga pernah telpon ke sini,” sebut Aryadi Chandara (19), anak Jakarta yang tinggal di Hotel Waldstaetten.

Tentu sulit bicara dengan Kurniawan bila melupakan perbedaan waktu WIB dengan Swiss, yang sekitar 6 jam lebih cepat. Kalau jam 12 malam di Swiss, berarti sekitar jam 06.00 pagi WIB keesokan harinya. “Saya paling sering diajak ngobrol di kamarnya. Yang diungkapkan macam-macam misalnya demi mengharumkan nama negara ia akan membetahkan diri di Luzern,” tambah Wendy Harto Kusumaatmadja (24) pada saya.

Dari Wendy pula, pada Selasa (21/2) malam, tersiar kabar mengejutkan soal Kurniawan. “Wah, mas. Kurniawan lagi ke rumah sakit. Katanya sih ada yang patah, saya sendiri cuma lihat dia diantar orang bule,” ujar Wendy. Rabu (22/2) dinihari WIB, untungnya Kurniawan dapat dihubungi. Kenapa, Kur? “Iya mas. Jari manis kanan saya patah. Gara-gara salah tumpuan waktu jatuh ketika berlatih tadi,” aku remaja kelahiran 13 Juli 1976 itu.

“Waktu di lapangan sih tidak begitu sakit. Baru setelah latihan terasa sakitnya. Untung Alessandro Minelli (bek Luzern) mengantar saya ke Rumah Sakit Kantonspital,” tambahnya. Yakin masih bisa main, Kur? “Ndak tahulah, saya tetap mau main, karena jika berlatih oleh dokter akan diberi alat pengaman. Kata dokter kalau dalam jangka waktu seminggu belum sembuh, saya terpaksa harus beristirahat. Namun saya tidak tahu apa keputusan klub selanjutnya,” ucap Kurniawan.

Agar tidak panik, Kurniawan sengaja tidak menelepon orang tuanya. “Biarlah nanti juga tahu sendiri,” tukasnya lagu sambil meminta pada saya untuk mengirimkan kaset lagu-lagu Indonesia. Yang mengusik jiwanya kini tentu seandainya ia tidak bisa tampil membela Luzern karena cederanya itu. “Berarti saya mengecewakan masyarakat Indonesia, saya berdosa banget rasanya,” kata Kurniawan lirih. Dasar orang Indonesia, apapun bisa disyukuri.

Mengaku Rumit

Cedera Kurniawan hampir pasti akan membuatnya absen di Liga Swiss yang sudah memasuki babak playoff. Apa dan bagaimana babak playoff, lewa pembicaraan lewat telpon internasional, Kurni sempat mengungkapkan sedikit kebingungannya dengan sistem kompetisi yang terbilang tidak lazim di Eropa tersebut.

Buat penggemar sepak bola, kompetisi divisi satu Liga Swiss boleh jadi disebut aneh mengingat perbedaan sistem yang kita ketahui dengan mayoritas kompetisi reguler Eropa. Mulai Minggu 26 Februari 1995, playoff musim 1994/95 digelar secara serentak. FC Luzern, klub di mana Kurniawan Dwi Yulianto bergabung, siap mengawali kiprahnya melawan tim kuat yang telah 22 kali jadi juara liga, Grasshopper Zurich.

Putaran akhir, lebih dikenal dengan spring phase, diikuti delapan klub yang lolos kualifikasi dari 12 klub sebelumnya di putaran pertama (autumn phase). Kompetisi Liga Super Swiss baru berakhir pada bulan September, sedang babak penentuannya akan dimulai Februari sampai Juni mendatang,

Empat tim terbawah akan diadu oleh empat tim teratas dari divisi dua. Sedang empat tim lainnya akan menentukan calon juara. “Rumit sekali, saya sendiri bingung kalau membandingkan dengan Italia misalnya. Tapi yang penting tugas saya kan main dan mencetak gol,” ucap Kurniawan Dwi Yulianto, pesepak bola Indonesia pertama yang bermain di kompetisi profesional Liga Eropa.

Kurniawan beruntung. FC Luzern adalah klub yang promosi pada smusim 1993/94 lalu. Dalam sejarah mereka yang berdiri sejak 12 Agustus 1901, prestasi terbaik klub berjuluk Die Leuchten (sinar terang) ini tiada lain ketika menjuarai musim kompetisi 1988/89, yang hingga kini cuma sesekalinya, serta sebagai kampiun Piala Swiss pada 1960 dan 1992.

Bermarkas di Stadion Allmend yang berkapasitas 26.100 orang, Luzern mencatat sejarah baru karena untuk pertama kalinya sepanjang sejarah mereka dan juga kompetisi Liga Super Swiss sebagai klub pertama yang memakai pemain dari Asia. Yang bikin bangga tentunya karena orang itu adalah Kurniawan! Persaingan dalam Liga Super cukup keras dan ketat karena di sana bercokol nama-nama lumayan tenar di blantika sepak bola Eropa seperti Grasshopper Zurich, Basel, Neuchatel Xamax, atau Young Boys.

Saking ketatnya terkadang hasil akhirnya begitu liar. Sang juara liga tiba-tiba saja bisa terlempar ke divisi dua pada musim berikutnya. Kondisi ini seharusnya akan membantu Kurniawan dalam mengencangkan motivasi dan tantangannya untuk memberikan penampilan terbaiknya. Mudah-mudahan.

(foto: istimewa)

Share:

Doa Ayah Yang Terkabul

Sejak saya pertama kali mengabarkan keadaan Kurniawan Dwi Yulianto – dengan menghubunginya langsung ke Swiss – beberapa kali kantor saya menerima telpon dari pembaca yang minta alamat pesepak bola nomor satu Indonesia paling populer itu di negeri ‘jantung’ Eropa tersebut. Kebanyakan remaja putri.

Doa Ayah Yang TerkabulTetapi, belakangan ada seorang lelaki yang menelpon. Sama maksudnya minta alamat sang bintang muda. Tadinya disangka penggemar biasa. Tak dinyana, orang tersebut adalah ayah kandung Kurniawan, Budi Riyanto, yang di awal kedatangannya malah menyempatkan diri menelpon saya terlebih dulu, sebelum ke familinya yang lain di Jakarta. “Sekarang saya lagi berada di terminal Pulo Gadung, baru datang dari Magelang, Mas,” ujar Budi yang mengaku kepergiannya ke Jakarta karena merasakan kerinduan putranya itu pada keluarganya.

Pak Budi juga rela mondar-mandir antara rumah familinya dengan wartel, sekedar ingin menghibur Ade – sapaan Kurniawan di rumah – atau mendukungnya dari jauh. Sekarang ini sang anak sedang berada di Mauritius bersama FC Luzern untuk mengikuti tur dan latihan sekaligus liburan untuk persiapan lanjutan kompetisi Liga Swiss.

Sayangnya hal itu tak pernah kesampaian. Soalnya hubungan komunikasi ke Mauritius amatlah sulit dan sibuk. “Kalau begitu, tolong sampaikan salam dan pesan saya padanya, Mas. Dia harus mencetak gol. Doa saya selalu menyertainya siang malam,” lanjut Budi berapi-api. Setelah saya menyampaikan pesan tersebut ke Kurniawan, yang menginap di kamar 119 Hotel Le Victoria, Port Louis, Mauritius, dia sempat kaget namun senang karena sudah lama ia tak berkomunikasi dengan ayahnya itu.

“Terakhir waktu tiba, 4 Januari lalu. Pasalnya selama di Swiss saya sulit mencari waktu untuk menelpon dengan keluarga karena waktu habis untuk latihan dan latihan,” jelas Kurniawan dari balik gagang telepon internasional. Dan rupanya kesibukannya makin bertambah. “Saya juga mulai kewalahan dan bertambah sibuk karena beberapa media lain dari Indonesia terus menghubungi saya,” tambahnya berterus terang.

Namun ada kabar gembira, yang pastinya membahagiakan sang ayah. Akhirnya keinginan Budi tercapai juga. Untuk pertama kalinya seorang putra Indonesia mencetak gol di kepulauan yang terletak di pantai timur Afrika tersebut. Kurniawan mencetak gol! Ini terjadi tatkala Luzern menang 5-1 atas klub setempat Fire Brigade.

“Terima kasih, Mas. Pesan saya sudah disampaikan. Betul ‘kan, dia mencetak gol,” tutur Budi, yang kembali menelepon dari Terminal Bus Pulo Gadung sebelum pulang kembali ke Magelang, Senin lalu. Iya, betul Pak. Ini yang disebut doa Ayah yang terkabul.

(foto: tjandra)

Share:

Butuh Teman Ngobrol

“Mas, ke sini dong, di sini saya tidak punya teman ngobrol soal sepak bola nih.” Itulah ucapan terakhirnya ketika penulis menghubunginya via telepon internasional ke kamar 118 Hotel Waldstaetten, Luzern, Swiss, Rabu lalu. Ia senang sekali menerima kiriman artikel tentang dirinya yang dimuat minggu lalu.


Butuh Teman NgobrolTidak berapa lama, janjinya menulis surat untuk para pembacanya pun dipenuhi anak muda Magelang kelahiran Jakarta itu. Dengan faks, dikirimlah tulisannya dengan meminta tolong Bu Yayah, istri dari Heinz Buerki, pemilik hotel yang juga sekolah International Hotel Management Institute Switzerland itu. Sebelum mengirim, Bu Yayah menceritakan beberapa hal kepada penulis. Pendek kata, Kurniawan sudah dianggap seperti anaknya sendiri. “Orangnya tidak sombong. Kini dia dekat sekali dengan saya, saya dianggap sebagai pengganti ibunya ,” ujar Bu Yayah. 

Berikut petikan surat Kurniawan yang aslinya ditulis tangan.

“Halo Pembaca,

Tak terasa sudah tiga minggu lebih saya berada di Swiss (tiba 4 Januari 1995), sekaligus meninggalkan rekan-rekan di Campo Sportivo Tavarone untuk berjuang membawa nama bangsa di negeri orang. Selama ini saya merasakan perlakuan masyarakat di sini – baik rekan seklub maupun bukan – terhadap saya tidak berubah. Mereka tetap bersikap hangat.

Yang cukup menghibur, apalagi untuk menghilangkan rasa rindu atau sepi pada Tanah Air adalah teman-teman mahasiswa di sini. Setiap malam saya selalu berkumpul dengan mereka. Biasanya sampai jam 11 malam. Kadang saya terhibur, tapi sering pula saya kangen dengan yang lain. Kalau sudah begitu, jalan satu-satunya melalui telepon. Tapi seringnya sih langsung tidur saja biar tidak terlalu mengingat sama yang dikangeninya.

Ke Mauritius

Kumpul-kumpul begitu mengasyikkan, mengingat saya perlu teman mengobrol. Maklum saya belum dapat bicara bahasa Jerman – bahasa mayoritas yang dipakai di Swiss – meski usaha untuk bisa bicara amat besar (tiap habis makan malam besar saya berlatih sendiri atau dengan teman mahasiswa).

Namun dengan Oliver, salah seorang teman main saya, saya belajar banyak. Dialah sahabat pertama saya. Ia banyak menolong saya dalam segala hal termasuk di lapangan. Tapi yang lain juga amat membantu. Pokoknya saya cukup senang berada di FC Luzern. Mereka berusaha membantu saya. Juga Wyss dan Ruedal. Meski senior, mereka tidak pernah sombong.

Apa ini karena saya pemain paling muda di klub itu? Entahlah, yang pasti mereka semua bersikap begitu terhadap saya. Meski pelatihnya galak, semuanya saya anggap sebagai tantangan. Hambatan? Tentu ada. Hanya satu, yaitu suhu udara yang amat dingin. Soalnya di sini sedang musim salju. Bayangkan kalau berlatih pagi hari, suhunya minus tujuh derajat! Makanya saya sering mengalami kesulitan. Apalagi sekarang ini, latihan sedang keras-kerasnya, empat jam dalam dua kali latihan setiap hari. Bisa dimaklumi sih mengingat babak playoff liga kurang dari sebutan lagi.

Oh ya, kalau minggu lalu saya mendapat pengalaman pertama bermain indoor di Jerman, mulai 28 Januari besok saya akan berangkat ke Mauritius (negara di Samudera Hindia, sebelah timur Madagaskar dekat Afrika) untuk mendapatkan pengalaman laim. Saya baru pulang sekitar tanggal 11 Februari.

Sekian dulu surat saya ini. Saya ucapkan banyak terima kasih kepada masyarakat atas segala dukungan dan dorongan yang diberikan. Untuk itu mohon doa restu dari masyarakat khususnya pecinta sepak bola, agar saya bisa memenuhi harapan dari Anda semua. Saya pun akan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan kesempatan ini dan akan selalu mengangkat nama bangsa Indonesia, khususnya persepak bolaan kita.”

Butuh Teman Ngobrol

(foto: istimewa)

Share:

Indonesia Pertama Di Kompetisi Eropa

Bagaimana kabar Kurniawan Dwi Yulianto yang sekarang ini bermain di FC Luzern, salah satu klub anggota divisi satu Swiss? Sejak pindah dari markas PSSI Primavera di Tavarone, Italia, 4 Januari lalu, kini secara resmi Kurniawan menjadi satu-satunya pemain Indonesia yang merumput di Liga Eropa sekaligus pesepak bola pertama Indonesia yang dibayar secara profesional di benua biru.

Indonesia Pertama Di Kompetisi Eropa

Ketika dihubungi langsung via telpon di kamar 118 Hotel Waldstaetten, Weggis, Swiss, Kurni baru saja bangun dari tidurnya. "Habis di sini dingin sekali, Mas. Jadi kalau nggak ada yang dikerjakan maunya tidur terus," akunya dengan nada riang. Ia menambahkan bahkan suhu di luar yang rata-rata -5 derajat Celcius yang membuat enggan ke mana-mana sehabis latihan. 

Akibat udara dingin ia sempat terkena pilek saat pertama kali menjejakkan kaki di negeri arloji tersebut. "Waktu itu suhu lagi gila-gilaan sampai -13 derajat. Ini jauh sekali dengan Tavarone 6-7 derajat," tambahnya. "Saya amat bersyukur bisa diterima di sini, tidak ada masalah berarti kecuali Bahasa Jerman yang elek," gurau Kurni sambil mengatakan bahwa ia sedang memandang Danau Vierwald Stetter dari kamar hotelnya.

Kehadiran Kurniawan di negeri terindah di Eropa itu ternyata mendapat sambutan yang cukup hangat dari penggemar sepak bola di Swiss umumnya dan suporter fanatik Luzern khususnya. "Jika kamu dapat bermain baik di sini, mereka akan menganggap kamu seorang pujaan. Kamu akan dibela mati-matian oleh mereka," kata Kurni mengulangi ucapan Romano Simioni, ketua klub, kepadanya.

Ya, rasa penasaran mereka terhadap pemain Asia pertama yang bermain di klub itu langsung sirna begitu Kurniawan tiba. Beberapa suporter bahkan menyambut dan mengelu-elukannya. Begitu pula beberapa media yang mengekspos lumayan besar saat ia tiba.

Telpon Pacar

Salah satunya dari surat kabar utama di kota itu Luzern Neue Nachrichten yang memberi judul pada headline halaman olah raganya: Ein Aussert Frostig Empfang fur Yulianto Kurniawan. Artinya 'Sambutan yang luar biasa dan menyegarkan bagi Kurniawan.'

Menurut kontrak yang telah ditandatangani Oktober 1994, Kurni akan bermain hingga Juni 1995 dengan gaji 2.000 franc atau sekitar 3,4 juta rupiah per bulan, ditambah bonus 1.000 franc setiap Luzern menang. Kok sedikit ya? Betul, tapi semua bisa dipahami, termasuk oleh Kurni sendiri bahwa bukan soal uangnya kecuali pengalaman dan kesempatan.

"Saya hanya ingin mencetak gol minimal bermain baik selama babak playoff yang dimulai pertengahan Februari," ungkap remaja 18 tahun kelahiran 17 Juli 1976 itu. Untuk jangka panjang, Kurni menyimpan obsesi besar yaitu ingin bermain di Sampdoria yang merupakan klub idolanya. "Saya ingin sekali bermain di Samp. Doakan ya Mas," harapnya.

Di klub barunya sendiri ia diterima dengan baik-baik oleh seluruh rekannya. Masalah bahasa tak menjadi soal karena diantara mereka paham pula dengan bahasa Italia. Malahan gara-gara bisa bahasa Italia ia langsung akrab dengan Olivier Camendzind, 22 tahun, salah satu striker Luzern.

"Setiap mau latihan Olivier selalu menjemput saya dengan mobilnya," cerita Kurniawan yang di Swiss disapa Yulianto ini. Selain itu beberapa mahasiswa Sekolah Perhotelan International Hotel Management Institute yang berada di hotel dia tempati juga menjadi teman berarti baginya.

"Ayah selama ini baru sekali menelepon ke sini," katanya. Pacar? "Ya neleponnya gantian, dua minggu sekali," tambahnya. Kurniawan banyak bertanya tentang sepak bola nasional pada saya, antara lain kondisi Liga Indonesia. "Semarak ya Mas? Soalnya di sini sempat ditayangkan cuplikannya ketika Roger Milla mencetak dua gol," tanyanya ingin tahu.

Di Luzern Kurniawan bukan satu-satunya pemain asing. Sedikitnya di sini ada empat orang, Agent Sawu (Zimbabwe, 24 tahun), Semir Tuce (Yugoslavia, 30), Rene van Eck (Belanda, 28) dan Brian Bertelsen (Denmark, 31). "Mereka juga baik dan berusaha akrab dengan saya. Yang paling sering ditanyakan adalah hal-hal waktu saya di Italia dan sepak bola di Indonesia," paparnya.

Lawan Rudi Voeller

FC Luzern merupakan salah satu klub yang cukup punya nama di Liga Swiss. Mereka adalah juara liga pada 1989 dan Piala Swiss 1962 dan 1992. Sekarang ini di klub tersebut terdapat dua pemain nasional Swiss, Thomas Wyss dan Martin Ruedal. "Mereka tidak sombong dan selalu mendukung saya di dalam dan di luar lapangan. Misalnya Wyss yang menanyakan kenapa Indonesia tak bisa hadir di Piala Dunia. Kalah dari Arab atau Korea?" cerita Kurni.

Belum sebulan di Luzern ia sudah mendapat pengalaman yang berharga ketika klubnya itu diundang turnamen di stadion tertutup di Friedrich Schasen, Kaiserslautern, 15 Januari lalu. Turnamen yang dibagi dua grup itu diikuti delapan tim. Luzern berada di Grup A bersama tuan rumah Kaiserslautern, Karlsruhe dan TSV 1860 Muenchen. Di Grup B ditempati VfB Stuttgart, Neuchatel Xamax, Nuernberg, dan Freiburg.

"Meski mainnya lima lawan lima dan waktunya 2 x 10 menit tapi penontonnya banyak," seru Kurniawan. "Saya juga bertarung antara lain dengan Andreas Brehme, Stefan Kuntz, Thomas Haessler dan Rudi Voeller."

Namun hasil yang dicapai Luzern tidak memuaskan karena kalah 1-2 dari tuan rumah, 2-6 dari Karlsruhe dan menang sekali 3-2 atas TSV. "Sayang saya belum mencetak gol tapi berkat umpan-umpan saya, Camendzind bisa mencetak gol. Pertandingan itu disiarkan ke beberapa negara Eropa," ujar Kurni lagi bangga. Menurut rencana Kurniawan akan ikut dalam tur Luzern ke Afrika, tepatnya ke Kepulauan Mauritius mulai minggu depan. Semoga saja Kurniawan menjadi duta sepak bola Indonesia yang baik. Amin.

(foto: hardimen koto)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini