“Mas, ke sini dong, di sini saya tidak punya teman ngobrol soal sepak bola nih.” Itulah ucapan terakhirnya ketika penulis menghubunginya via telepon internasional ke kamar 118 Hotel Waldstaetten, Luzern, Swiss, Rabu lalu. Ia senang sekali menerima kiriman artikel tentang dirinya yang dimuat minggu lalu.
Tidak berapa lama, janjinya menulis surat untuk para pembacanya pun dipenuhi anak muda Magelang kelahiran Jakarta itu. Dengan faks, dikirimlah tulisannya dengan meminta tolong Bu Yayah, istri dari Heinz Buerki, pemilik hotel yang juga sekolah International Hotel Management Institute Switzerland itu. Sebelum mengirim, Bu Yayah menceritakan beberapa hal kepada penulis. Pendek kata, Kurniawan sudah dianggap seperti anaknya sendiri. “Orangnya tidak sombong. Kini dia dekat sekali dengan saya, saya dianggap sebagai pengganti ibunya ,” ujar Bu Yayah.
Berikut petikan surat Kurniawan yang aslinya ditulis tangan.
“Halo Pembaca,
Tak terasa sudah tiga minggu lebih saya berada di Swiss (tiba 4 Januari 1995), sekaligus meninggalkan rekan-rekan di Campo Sportivo Tavarone untuk berjuang membawa nama bangsa di negeri orang. Selama ini saya merasakan perlakuan masyarakat di sini – baik rekan seklub maupun bukan – terhadap saya tidak berubah. Mereka tetap bersikap hangat.
Yang cukup menghibur, apalagi untuk menghilangkan rasa rindu atau sepi pada Tanah Air adalah teman-teman mahasiswa di sini. Setiap malam saya selalu berkumpul dengan mereka. Biasanya sampai jam 11 malam. Kadang saya terhibur, tapi sering pula saya kangen dengan yang lain. Kalau sudah begitu, jalan satu-satunya melalui telepon. Tapi seringnya sih langsung tidur saja biar tidak terlalu mengingat sama yang dikangeninya.
Ke Mauritius
Kumpul-kumpul begitu mengasyikkan, mengingat saya perlu teman mengobrol. Maklum saya belum dapat bicara bahasa Jerman – bahasa mayoritas yang dipakai di Swiss – meski usaha untuk bisa bicara amat besar (tiap habis makan malam besar saya berlatih sendiri atau dengan teman mahasiswa).
Namun dengan Oliver, salah seorang teman main saya, saya belajar banyak. Dialah sahabat pertama saya. Ia banyak menolong saya dalam segala hal termasuk di lapangan. Tapi yang lain juga amat membantu. Pokoknya saya cukup senang berada di FC Luzern. Mereka berusaha membantu saya. Juga Wyss dan Ruedal. Meski senior, mereka tidak pernah sombong.
Apa ini karena saya pemain paling muda di klub itu? Entahlah, yang pasti mereka semua bersikap begitu terhadap saya. Meski pelatihnya galak, semuanya saya anggap sebagai tantangan. Hambatan? Tentu ada. Hanya satu, yaitu suhu udara yang amat dingin. Soalnya di sini sedang musim salju. Bayangkan kalau berlatih pagi hari, suhunya minus tujuh derajat! Makanya saya sering mengalami kesulitan. Apalagi sekarang ini, latihan sedang keras-kerasnya, empat jam dalam dua kali latihan setiap hari. Bisa dimaklumi sih mengingat babak playoff liga kurang dari sebutan lagi.
Oh ya, kalau minggu lalu saya mendapat pengalaman pertama bermain indoor di Jerman, mulai 28 Januari besok saya akan berangkat ke Mauritius (negara di Samudera Hindia, sebelah timur Madagaskar dekat Afrika) untuk mendapatkan pengalaman laim. Saya baru pulang sekitar tanggal 11 Februari.
Sekian dulu surat saya ini. Saya ucapkan banyak terima kasih kepada masyarakat atas segala dukungan dan dorongan yang diberikan. Untuk itu mohon doa restu dari masyarakat khususnya pecinta sepak bola, agar saya bisa memenuhi harapan dari Anda semua. Saya pun akan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan kesempatan ini dan akan selalu mengangkat nama bangsa Indonesia, khususnya persepak bolaan kita.”
Tidak berapa lama, janjinya menulis surat untuk para pembacanya pun dipenuhi anak muda Magelang kelahiran Jakarta itu. Dengan faks, dikirimlah tulisannya dengan meminta tolong Bu Yayah, istri dari Heinz Buerki, pemilik hotel yang juga sekolah International Hotel Management Institute Switzerland itu. Sebelum mengirim, Bu Yayah menceritakan beberapa hal kepada penulis. Pendek kata, Kurniawan sudah dianggap seperti anaknya sendiri. “Orangnya tidak sombong. Kini dia dekat sekali dengan saya, saya dianggap sebagai pengganti ibunya ,” ujar Bu Yayah.
Berikut petikan surat Kurniawan yang aslinya ditulis tangan.
“Halo Pembaca,
Tak terasa sudah tiga minggu lebih saya berada di Swiss (tiba 4 Januari 1995), sekaligus meninggalkan rekan-rekan di Campo Sportivo Tavarone untuk berjuang membawa nama bangsa di negeri orang. Selama ini saya merasakan perlakuan masyarakat di sini – baik rekan seklub maupun bukan – terhadap saya tidak berubah. Mereka tetap bersikap hangat.
Yang cukup menghibur, apalagi untuk menghilangkan rasa rindu atau sepi pada Tanah Air adalah teman-teman mahasiswa di sini. Setiap malam saya selalu berkumpul dengan mereka. Biasanya sampai jam 11 malam. Kadang saya terhibur, tapi sering pula saya kangen dengan yang lain. Kalau sudah begitu, jalan satu-satunya melalui telepon. Tapi seringnya sih langsung tidur saja biar tidak terlalu mengingat sama yang dikangeninya.
Ke Mauritius
Kumpul-kumpul begitu mengasyikkan, mengingat saya perlu teman mengobrol. Maklum saya belum dapat bicara bahasa Jerman – bahasa mayoritas yang dipakai di Swiss – meski usaha untuk bisa bicara amat besar (tiap habis makan malam besar saya berlatih sendiri atau dengan teman mahasiswa).
Namun dengan Oliver, salah seorang teman main saya, saya belajar banyak. Dialah sahabat pertama saya. Ia banyak menolong saya dalam segala hal termasuk di lapangan. Tapi yang lain juga amat membantu. Pokoknya saya cukup senang berada di FC Luzern. Mereka berusaha membantu saya. Juga Wyss dan Ruedal. Meski senior, mereka tidak pernah sombong.
Apa ini karena saya pemain paling muda di klub itu? Entahlah, yang pasti mereka semua bersikap begitu terhadap saya. Meski pelatihnya galak, semuanya saya anggap sebagai tantangan. Hambatan? Tentu ada. Hanya satu, yaitu suhu udara yang amat dingin. Soalnya di sini sedang musim salju. Bayangkan kalau berlatih pagi hari, suhunya minus tujuh derajat! Makanya saya sering mengalami kesulitan. Apalagi sekarang ini, latihan sedang keras-kerasnya, empat jam dalam dua kali latihan setiap hari. Bisa dimaklumi sih mengingat babak playoff liga kurang dari sebutan lagi.
Oh ya, kalau minggu lalu saya mendapat pengalaman pertama bermain indoor di Jerman, mulai 28 Januari besok saya akan berangkat ke Mauritius (negara di Samudera Hindia, sebelah timur Madagaskar dekat Afrika) untuk mendapatkan pengalaman laim. Saya baru pulang sekitar tanggal 11 Februari.
Sekian dulu surat saya ini. Saya ucapkan banyak terima kasih kepada masyarakat atas segala dukungan dan dorongan yang diberikan. Untuk itu mohon doa restu dari masyarakat khususnya pecinta sepak bola, agar saya bisa memenuhi harapan dari Anda semua. Saya pun akan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan kesempatan ini dan akan selalu mengangkat nama bangsa Indonesia, khususnya persepak bolaan kita.”