Siapa yang meragukan kemampuan Kurniawan Dwi Yulianto di lapangan hijau sekarang ini? Nyaris tidak ada. Publik sepak bola Indonesia tentu akan menempatkan salah satu namanya jika ditanyakan siapa pesepak bola terbaik negeri ini. Mengenai kemampuannya itu sudah termasuk pujian dari kalangan FC Luzern sendiri, baik para pengurus, pelatih, atau juga para pemain.
Bahkan Sven-Goran Eriksson, pelatih Sampdoria pernah pula memujinya. Harian olah raga terkemuka Italia, La Gazzetta dello Sport, pun pernah memberitakan perihal Kurniawan. “Anak itu memang mempunyai bakat dan pada dirinya sudah ada touch Eropa. Tinggal diasah sedikit dan dimatangkan dengan kompetisi di Eropa secara rutin. Tunggulah tiga atau empat tahun lagi, saya yakin Kurniawan akan sukses,” puji pelatih top di Serie A asal Swedia tersebut saat membawa Sampdoria berpetualang di Indonesia, Mei 1994.
Itu berbagai kelebihannya, nah sekarang apa ‘kelemahan’ Kurniawan? Rasanya cuma satu yang paling signifikan, itu pun faktor non-teknis, yakni pemalu. Ya, meski sudah terkenal, tampaknya Kurniawan belum bisa membuka diri, menghilangkan sifat introvert, menutup dirinya.
Entah mengapa ia sangat sulit beradaptasi, masuk ke lingkungan baru beraroma internasional dengan cepat, yang sangat jarang dan sangat sulit didapatkan pesepak bola Indonesia. Hal ini sulit dibantah, bahkan ketika berbaur dengan para mahasiswa perhotelan International Management Institute (IMI) di Weggis, yang tinggal satu gedung bersamanya di Hotel Waldstaetten.
Kangen Jakarta
“Wah, dia kalau tidak ditegur duluan nggak bakalan bicara. Orangnya pendiam, perlu waktu lama untuk akrab dengannya,” ujar Wendy, mahasiswa IMI penghuni kamar 120 yang mengaku sudah mendengar nama Kurniawan sejak lama. “Ah, nggak juga,” kilah Kurniawan, “buktinya saya punya banyak teman akrab.” Ia benar juga. Yang pasti remaja berbintang Cancer ini amat hati-hati dalam memliih kawan.
Maka pada kunjungannya ke Tavarone baru-baru ini, ia mengakui bahwa selain dipanggil pelatih Tord Grip untuk ujicoba, juga untuk melepas kerinduan pada rekan-rekan sebangsa se-Tanah Air yang berada di Tavarone, Italia, terutama dengan ketiga sahabat kentalnya: Indriyanto Nugroho, Yeyen Tumena, dan Kurnia Sandy.
Niat dan hutangnya terhadap teman-temannya kini sudah dilunasi. Kurniawan kembali lagi ke Swiss, dan berkutat lagi dengan latihan dan pertandingan. Apalagi dalam waktu empat hari mendatang, ia akan membela FC Luzern lagi menghadapi Lausanne (29/4) di Liga Swiss, dan Young Boys (2/5) pada perempatfinal Piala Swiss.
Menurutnya, jika menang di Piala Swiss, yang berarti melaju ke semifinal, ia harus cepat kembali dari Jakarta, selepas membela tim nasional junior. Ada sedikit rasa kangen rupanya. “Tapi kalau kalah kemungkinan waktunya boleh lebih lama,” tuturnya saat dihubungi Rabu (26/4). Sedangkan rekan-rekannya pada Kamis ini akan bertolak langsung ke Singapura untuk uji coba selama dua minggu.
“Tunggu dan dukung kami di Jakarta. Semua teman-teman mau bayar utang di sana. Tapi tolong sampaikan Mas, jangan mencerca kami seperti dulu,” katanya lagi. Maksudnya bayar hutang tentu membalas kegagalan mereka pada penyisihan Piala Dunia U-20 tahun lalu. Jangan salah sangka.
(foto: stefan sihombing)
Bahkan Sven-Goran Eriksson, pelatih Sampdoria pernah pula memujinya. Harian olah raga terkemuka Italia, La Gazzetta dello Sport, pun pernah memberitakan perihal Kurniawan. “Anak itu memang mempunyai bakat dan pada dirinya sudah ada touch Eropa. Tinggal diasah sedikit dan dimatangkan dengan kompetisi di Eropa secara rutin. Tunggulah tiga atau empat tahun lagi, saya yakin Kurniawan akan sukses,” puji pelatih top di Serie A asal Swedia tersebut saat membawa Sampdoria berpetualang di Indonesia, Mei 1994.
Itu berbagai kelebihannya, nah sekarang apa ‘kelemahan’ Kurniawan? Rasanya cuma satu yang paling signifikan, itu pun faktor non-teknis, yakni pemalu. Ya, meski sudah terkenal, tampaknya Kurniawan belum bisa membuka diri, menghilangkan sifat introvert, menutup dirinya.
Entah mengapa ia sangat sulit beradaptasi, masuk ke lingkungan baru beraroma internasional dengan cepat, yang sangat jarang dan sangat sulit didapatkan pesepak bola Indonesia. Hal ini sulit dibantah, bahkan ketika berbaur dengan para mahasiswa perhotelan International Management Institute (IMI) di Weggis, yang tinggal satu gedung bersamanya di Hotel Waldstaetten.
Kangen Jakarta
“Wah, dia kalau tidak ditegur duluan nggak bakalan bicara. Orangnya pendiam, perlu waktu lama untuk akrab dengannya,” ujar Wendy, mahasiswa IMI penghuni kamar 120 yang mengaku sudah mendengar nama Kurniawan sejak lama. “Ah, nggak juga,” kilah Kurniawan, “buktinya saya punya banyak teman akrab.” Ia benar juga. Yang pasti remaja berbintang Cancer ini amat hati-hati dalam memliih kawan.
Maka pada kunjungannya ke Tavarone baru-baru ini, ia mengakui bahwa selain dipanggil pelatih Tord Grip untuk ujicoba, juga untuk melepas kerinduan pada rekan-rekan sebangsa se-Tanah Air yang berada di Tavarone, Italia, terutama dengan ketiga sahabat kentalnya: Indriyanto Nugroho, Yeyen Tumena, dan Kurnia Sandy.
Niat dan hutangnya terhadap teman-temannya kini sudah dilunasi. Kurniawan kembali lagi ke Swiss, dan berkutat lagi dengan latihan dan pertandingan. Apalagi dalam waktu empat hari mendatang, ia akan membela FC Luzern lagi menghadapi Lausanne (29/4) di Liga Swiss, dan Young Boys (2/5) pada perempatfinal Piala Swiss.
Menurutnya, jika menang di Piala Swiss, yang berarti melaju ke semifinal, ia harus cepat kembali dari Jakarta, selepas membela tim nasional junior. Ada sedikit rasa kangen rupanya. “Tapi kalau kalah kemungkinan waktunya boleh lebih lama,” tuturnya saat dihubungi Rabu (26/4). Sedangkan rekan-rekannya pada Kamis ini akan bertolak langsung ke Singapura untuk uji coba selama dua minggu.
“Tunggu dan dukung kami di Jakarta. Semua teman-teman mau bayar utang di sana. Tapi tolong sampaikan Mas, jangan mencerca kami seperti dulu,” katanya lagi. Maksudnya bayar hutang tentu membalas kegagalan mereka pada penyisihan Piala Dunia U-20 tahun lalu. Jangan salah sangka.
(foto: stefan sihombing)