Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label RETRO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RETRO. Tampilkan semua postingan

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah. Ini jelas jauh panggang dari api, alias melenceng berat dari ekspektasi. Si biang kerok pun harus dicari. Benarkah ini gara-gara ketidak-becusan si pelatih baru yang ditugaskan meneruskan kiprah Rafael Benitez? Begitu menuai hasil buruk, orang ini seketika jadi antagonis.

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir
Memandang Teluk Napoli yang terkenal indah dengan latar belakang Gunung Vesuvius.
Untuk mengurai harapan baru berbekal start buruk Partenopei era Benitez, mau tak mau mesti membahas sosok mastermind-nya yang teranyar, karena perubahan terbesar Napoli ada di sektor pelatih. Maurizio Sarri namanya. Sebagai orang asli Napoli, keberadaan Sarri di klub yang berjuluk il Vesuvio ini mendapat dua keuntungan langsung. Pertama, sang pemilik, Aurelio De Laurentiis (ADL), tak perlu capek-capek memotivasi atau cerewet mewanti-wanti. Kedua, tifosi risih mengajari Sarri soal sikap karakter atau sikap mental khas Campania karena semua itu sudah ada dalam jiwa raganya.

Sarri, yang dilahirkan pada 10 Januari 1959, adalah anak seseorang yang sama sekali tidak punya DNA keturunan pemain bola. Ayahnya hanya buruh kasar di pabrik, miskin pula, sehingga suatu hari pada 1962 ia mesti membawa keluarganya ke Figline Valdarno, Italia tengah, demi kehidupan yang lebih baik. Meski tinggal jauh, keluarga ini merasa dekat dengan kampung halaman bila mengingat klub idola.

"Sejak lahir saya sudah Napoli, seperti halnya budaya Italia di mana orang akan membela klub kota kelahirannya sampai mati," kata Sarri seolah-olah menegakkan loyalitasnya. Dia pun terobsesi seperti kebanyakan anak lelaki Neapolitan, sebagai Surdato 'nnammurato (serdadu cinta), yang salah satu jalan terbaiknya dengan jadi bagian dari Napoli, entah itu pemain, pelatih atau pengurus klub.

Sarri memang tidak dibesarkan di Napoli, tapi soal kesetiaan jangan diragukan. Apapun soal Napoli, dia masih ingat secara mendetil hingga 50 tahunan ke belakang. "Saya adalah satu-satunya bocah di kota Figline Valdarno yang menjadi tifosi Napoli. Anak-anak lain pasti pendukung Juve, Inter, atau Milan, atau setidaknya klub lokal di daerah itu, Fiorentina," kenangnya bangga.

Lantaran babe-nya bukan pemain bola, sejak bocah sampai remaja Sarri sempat tidak pede, apalagi dapat dukungan keluarga untuk jadi pemain bola. Ayahnya ingin dia jadi pebisnis. Akan tetapi hasratnya pada calcio tak pernah padam, seolah menghantuinya setiap detik. Apa mau dikata, karier Sarri sebagai pesepak bola pun hanya kelas tarkam, kampus, atau level kantoran.

Sejak kuliah di fakultas ekonomi hingga kelulusannya, dia selalu bergelut dengan sepak bola. Ya jadi pemain, ya jadi pelatih di kampusnya. Apapun. Begitu juga waktu kerja di bank. Ia jadi 'pemain nasional' di kantornya. Di luar itu, Sarri muda lihai memanfaatkan kesempatan termasuk menyambi, bekerja paruh waktu, untuk melatih tim anak-anak dan remaja di awal tahun 1990-an.

Kecintaannya pada sepak bola terus dibuktikannya. Selama 10 tahun dia tekun menyemai bibit-bibit unggul. Terlahir ke dunia tanpa titisan ayah pemain bola justru jadi pemicu dan pemacu Sarri untuk fokus memuaskan dirinya. Lagi pula Sarri tahu diri, ini mungkin jalan terbaik baginya mengingat di satu sisi dia menjadi tiang keluarga dan harapan ayahnya.

Sarri berpindah sesuka-sukanya melatih klub-klub remaja, pokoknya yang seiring sejalan dengan penempatan di kantor cabang mana dia bekerja. Setahun di Stia, dua tahun di Faellese, dan tiga tahun di Cavriglia (1993-96). Lantas di Antella (1996-98), Valdema (1998-99), dan Tegoleto (1999-2000), klub terakhir di mana pandangan hidup Sarri akan berubah selama-lamanya.

Di luar sepak bola, masuk di usia 30 tahun-an itu kehidupan keluarga Sarri sudah amat berkecukupan. Dia sukses mengubah kuadran garis ekonomi leluhurnya. Ayahnya amat bangga punya anak lelaki yang jadi sarjana ekonomi, bekerja di bank, sering keliling Eropa pula. Tapi ini tidak lama. Nah masuk di umur kepala empat, baru kegamangan melandanya tiap hari layaknya kaum pria di umur 40-an.
Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir
Karena bosan, banting stir tidak tanggung-tanggung.
Ada kebosanan kelamaan jadi bankir meski kariernya sukses. Ada tuntutan hidup, tapi di sisi lain ada pula hasrat terdalamnya. Suatu ketika dari relung hatinya keluar jawaban. Setelah berkonsultasi dengan anak-bininya, Sarri bertekad untuk resign. Rupanya ia melihat sedikit celah untuk menekuni calcio secara serius. Mulai di usia 41 tahun itu, Sarri ingin total di sepak bola.

Mister 33

Oleh sebab itu pada Juni 2000 dia mengajukan diri melatih Sansovino, satu klub di Serie Eccelenza, kasta keenam dalam hirarki sepak bola Italia. Ini cukup mengejutkan sebab Sarri tak punya CV blas sama sekali sebagai pelatih. Walaupun untuk divisi rendah, namun peraturan menjadi pelatih di Italia tetap terbilang ketat. "Jalan saya awalnya memang dibantu keberuntungan," akunya.

Namun tentu tiada hasil tanpa usaha. Rupanya ada sebuah kalimat sakti dari Sarri yang kelak akan mengubah skenario hidupnya, selain membuat klub itu penasaran atau merasa tertantang. Apa bunyi kalimat sakti itu? "Saya bilang pada mereka, saya akan langsung berhenti jadi pelatih jika tidak membawa klub itu menjadi juara Eccelenza," kata Sarri bangga mengenang aksi spekulasinya.

Sarri patut dipuji. Bukan soal Sansovino-nya, tetapi caranya agar berkecimpung resmi di blantika calcio atau namanya bisa teregistrasi di FIGC. "Akhirnya saya sadar untuk fokus dan meraih banyak akses juga agar jerih payah atau pencapaian kita bisa tercatat, maka secara ekslusif harus menjadi pelatih," ucap Sarri yang di rumah kerjaannya membaca berita bisnis dan mengutak-atik angka-angka.

Derit pintu itu kian melebarkan celah. Sansovino tak pernah memecatnya karena selama tiga musim menangani klub provinsi Arezzo itu, Sarri sanggup memanggulnya hingga naik dua kasta ke Serie C2. Pada 2003, sukses Sarri jadi buah bibir seantero Toscana. Jika Sansovino ke C2, Sarri malah ke Serie C1 setelah salah satu klubnya, Sangiovannese, mengaku kesengsem dengannya.

Karier Sarri terus menjulang. Setelah dua tahun di Serie C1, pria yang berpotongan lebih mirip pak guru ini naik pangkat lagi ke Serie B karena salah satu klub terkenal, Pescara, gantian meminangnya pada 2005. Curriculum Vitae Sarri pun terus bertambah secara signifikan. Reputasinya kian mengkilap. Mulai dari Pescara inilah Sarri tidak pernah lagi turun kasta dari Serie B.

Durasi lima tahun (2006-2011), pria paruh baya yang termasuk ahli hisap, alias perokok berat, seperti ketagihan ber-wara-wiri di kasta kedua calcio. Mulai Arezzo, Avellino, Verona, Perugia, Grosseto, Alessandria, Sorrento, sampai menclok di Empoli, Juni 2012. Kelak di klub yang cuma berjarak 26 km dengan Fiorentina ini, lamat-lamat semerbaknya nama Sarri mulai terendus.

Selama 25 tahun menjadi allenatore, atau 15 tahun terakhir secara profesional (mulai Serie C), ia dikenal orang sebagai workaholic, perfeksionis, dan preventif dalam rumusan kepelatihannya. Saat di Sansovino, demi impian masa depannya, Sarri sanggup bekerja 13 jam setiap hari. Di sini pula ia dijuluki Mister 33 sebab dia punya 33 konsep mengantisipasi situasi bola-bola mati.

"Tapi akhirnya cuma 4 atau 5 yang digunakan," jelas si pengganti Antonio Conte di Arezzo, karena dipecat, mulai 2006/07. Semusim di sini, Sarri bikin dua catatan hebat yaitu menahan Juventus - yang diperkuat Gianluigi Buffon, Alex Del Piero, dan David Trezeguet - dengan skor 2-2 di Delle Alpi sewaktu Bianconeri berkompetisi di Serie B buah hukuman atas kasus Calciopoli.

Satu lagi pencapaian terbaiknya di Arezzo tatkala mempermalukan Milan dengan kemenangan 1-0 dan 2-0 di perempatfinal Coppa Italia. Setelah hinggap ke sana ke mari selama empat tahun lebih di enam klub, pada Juni 2012 tanpa diduga Sarri menjadi manajer Empoli, klub Serie B yang lumayan punya nama. Pucuk dicinta ulam tiba. Di sinilah Sarri mendapatkan kegairahan baru.
Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir
Sesama putra asli Napoli. Aurelio De Laurentiis dan Maurizio Sarri.
Jika gairah bertemu tempat yang cocok, maka hasilnya bisa mengejutkan. Inilah yang dirasakan Sarri di Carlo Castellani, markas Empoli. Baru semusim, dia nyaris meloloskan Empoli ke Serie A, setelah menempati urutan empat di Serie B. Namun sayang Empoli dikalahkan Livorno dalam playoff. Pengalaman menyakitkan ini justru bermanfaat besar karena dia memperbaiki kekurangannya.

Di musim kedua, 2013/14, apa yang dicita-citakan Sarri selama puluhan tahun tercapai. Dia menjadi pelatih di Serie A! Empoli, yang menjadi runner-up Serie B, setelah enam tahun lolos lagi ke puncak piramida calcio. Ia menikmati pengalaman barunya di musim 2014/15. Tahun pertamanya di Serie A Sarri mendapat dua pelajaran mahal yang membuatnya kian yakin sepak bola itu seperti ilmu ekonomi.

Pertama, segala sesuatunya dimulai dengan kekuatan finansial, terutama untuk biaya mercato dan pengembangan infrastruktur lainnya. Kedua, tidak ada tempat untuk kesalahan yang paling kecil pun. Empoli kewalahan, kecuali potensi pemain mudanya. Sarri memandangnya sebagai investasi. Ia mengenang, "Saya selalu yakin, pemain muda bakal berkembang setelah banyak melakukan kesalahan."

Janji Napoli

Sarri memilah 38 laga menjadi beberapa bagian. Ada yang jadi prioritas, pengalaman, eksperimen atau tindakan spekulatif. Dari sini dia bisa mematok tujuan Empoli pada musim pertama di Serie A. Berapa batas poin yang aman untuk bertahan telah didapat. Tujuan itu tercapai, Empoli bertahan di Serie A meski harus diarungi dengan penuh duri dan onak untuk menempati posisi ke-15.

Namun dua kemenangan kandang, 2-1 atas Lazio, dan 4-2 atas Napoli, membuka mata banyak pengamat betapa potensialnya si pelatih Empoli. Sarri dinilai punya permainan dinamis, mengalir, dan efektif yang jadi dambaan klub-klub Serie A. Pernyataan itu dimaknai betul oleh Mister De Laurentiis, yang menonton langsung kekalahan klubnya di tangan Sarri.

Setelah tiga kemenangan beruntun demi target ke zona Liga Champion, skuad Rafa Benitez malah dibantai Empoli 2-4 di Carlo Castellani, akhir April. Bayangkan, impian Napoli ke Liga Champion justru dihambat oleh seorang putra Napoli sendiri. Bukannya sebal, entah kenapa seketika itu juga ADL malahan mencap jidat Sarri sebagai calon pelatih Napoli berikutnya!

ADL terkesima dengan cara Sarri mengatur Massimo Maccarone dan Manuel Pucciarelli mengobrak-abrik timnya yang jauh lebih berpengalaman. Bagaimana mungkin kuartet Marek Hamsik, Gokhan Inler, David Lopez, dan Walter Gargano bisa ditekuk oleh tiga gelandang Empoli sehingga di babak pertama Napoli tertinggal 0-3. Melihat timnya dipermalukan, ADL justru 'jatuh cinta' pada pelatih lawan.
Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir
Punya banyak konsep dan detil di sepak bola.
Don Aurelio percaya pada Sarri karena visinya. Untuk itu dia rela membayar Sarri 1,5 juta euro setahun demi menghapus obsesinya pada Unay Emery yang kini di Sevilla. Meski demikian ADL tetap pasang target kencang. "Kita bisa kalah 5 atau 6 laga, dan keputusan saya ini tidak akan berubah," kata ADL. Maksudnya? Artinya Sarri akan dipecat jika Napoli kalah di atas enam kali. Ini klausul terselubung.

Sarri tahu ekspektasi pemilik dan pemirsa di Napoli seribu persen di atas Empoli. Maka demi keamanan bersama, ADL dan Sarri sepakat bekerjasama semusim dulu dengan opsi perpanjangan jika Napoli lolos ke Liga Champion. Tapi posisi tawar Sarri pada ADL rada bagus sebab dia diizinkan menggamit Mirko Valdifiori dan Elseid Hysaj, dua pemain kesayangannya di Empoli.

Di Napoli Sarri langsung dapat pelajaran berharga dari aspek psikologis melihat kiprah Valdifiori dan Hysaj yang malah melempem. Sulit dipungkiri, Sarri telah mengatasnamakan perasaan mereka seperti dirinya. Tensi bermain di Napoli jauh berbeda. Apalagi Valdifiori merasa, kedatangannya memakan korban dengan dijualnya Inler, salah satu idola tifosi, ke Leicester City.

Valdifiori, dibeli 6,5 juta euro, sebenarnya pemain bagus yang bertugas sebagai jangkar atau kopling di lini tengah. Maret lalu dia bahkan memulai debut di tim nasional. Namun tubuhnya yang kecil (176 cm) serta usia yang mulai senja (29 tahun) sering jadi kendalanya dalam berkolaborasi dengan Lorenzo Insigne (Italia), Dries Mertens (Belgia) atau Jose Callejon (Spanyol) yang dikenal amat eksplosif.

Penekanan pada tempo tinggi, mengalir, dan bernaluri menyerang selalu jadi obsesi Sarri sejak di Empoli. Namun ironisnya di Napoli hal ini baru jalan begitu Marek Hamsik yang melakoni peran regista, sang konduktor. Kecepatan passing dan pergerakan jadi kelemahan Valdifiori. Jorginho atau David Lopez dan Allan Loureiro tampaknya lebih klop dan sepadan dengan Hamsik.

Perekrutan Valdifiori disesali. Yang digaet harusnya Riccardo Saponara, rekan dia di Empoli, atau Roberto Soriano (Sampdoria). Kesalahan awal Sarri berikutnya ada di pertahanan. Ia seperti bingung untuk menentukan siapa yang menjadi tandem Raul Albiol, Kalidou Koulibaly atau Vlad Chiriches. Juga soal mendahulukan Hysaj dibanding Faouzi Ghoulam sebagai bek kiri.

Kalau di Napoli ia suka bereksperimen, itu karena falsafah permainan yang cenderung ingin sempurna seperti sedang menganalisis harga saham. Prinsip calcio terkadang mirip dengan akuntansi di mana keseimbangan jadi prioritas utama. Sarri teliti bin detil soal mengantisipasi lawan demi lawan karena terbiasa jadi analis bank. Laptop-nya berisi statistik lengkap dan daftar SWOT seluruh pesaingnya.

Ditentang Maradona

Mengidentifikasi pola-pola kelemahan lawan menjadi obsesinya. Menurutnya itu adalah cara termudah untuk memenangi persaingan. Awalnya Sarri mengidolai skema populer 4-2-3-1, yang dipahami dengan baik oleh anak-anak Napoli dua tahun terakhir karena Rafael Benitez juga memakainya. Namun satu penemuan di Empoli mengubah segalanya. Kini dia fanatik dengan pola 4-3-1-2 atau 4-3-3.

Cetakan inilah yang sekarang digunakan Napoli. Artinya dalam 6 tahun terakhir saja para pemain Napoli telah tiga kali ganti pola. Formasi 3-5-2 (Walter Mazzarri), 4-2-3-1 (Benitez), dan 4-3-3 (Sarri). Alasan Sarri memakai 4-3-3 karena dia percaya inilah pola yang terbaik untuk mengontrol permainan serta mengorganisasi garis pertahanan yang selalu menjadi fokus perhatiannya.

"Gayanya berbeda dengan Benitez. Benitez memakai mentalitas Inggris dengan memakai ketenangan menghadapi berbagai situasi. Tapi Sarri selalu mengharapkan peran maksimal di setiap situasi dan memanfaatkan kesempatan sekecil apapun," kata bek kanan Christian Maggio (33), salah satu veteran yang bermain di tiga rezim selain Hamsik, Insigne dan Juan Zuniga.

Sarri sadar reputasinya bakal meroket begitu menangani Napoli. Oleh sebab itu dia punya cara untuk memanfaatkannya. Pers di Italia kembali menyorot kiprahnya seusai Napoli bikin 10 gol tanpa bobol hanya dalam waktu tiga hari. Melumat Brugge 5-0 di Liga Europa, lalu menelan Lazio 5-0 di pekan keempat Serie A, pertengahan September, yang membuat malu Diego Maradona.

"Sarri adalah Sacchi baru," begitu salah satunya, untuk menggambarkan metode permainannya enerjiknya yang menggairahkan, persis seperti debut Arrigo Sacchi di Milan akhir 1980-an. Sebelum dua kemenangan itu, Sarri  bagai 'babak belur' dihajar ucapan pedas. Salah satunya justru dari Maradona, sang mahadewa Napoli, yang sebelumnya murka melihat Napoli ditahan Empoli 2-2.

Sebelum mukanya merah Maradona berujar: "Kondisi Napoli mengingatkan musim pertama saya, berjuang untuk keluar dari degradasi. Sekarang terulang lagi. Saya tak melihat sedikitpun ada aura menang di wajah Sarri. Napoli bikin kesalahan fatal mengganti Benitez." Kritik ini sulit ditanggapi karena selain ada faktanya yang ngomong juga dewa. Tapi buat Sarri jauh lebih sulit lagi bila didiamkan.

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir
Pemandangan yang sulit diubah Maurzio Sarri sampaim kapanpun.
"El Diego adalah idola Napoli selamanya. Saya harap dia akan mengubah opininya di bulan-bulan ke depan. Buat saya, dia kenal nama saya saja saya merasa tersanjung," kata Sarri bernada agak polos kalau tidak disebut jujur dan rendah hati. "Empat bulan lalu Napoli kebobolan empat gol dan kalah, sekarang cuma dua gol dan seri. Buat saya, ini langkah maju," jawab Sarri yang tampak terbiasa menyeimbangkan situasi seperti seorang ekonom.

Opini Maradona beda 180 derajat dengan Giovanni Trapattoni. Manajer veteran ini mengaku mengikuti kiprah Sarri. "Benitez memang lebih populer, tapi Sarri paling cocok untuk Napoli. Kenapa? Karena dia bisa bekerja dengan situasi penuh konflik tanpa harus kehilangan kualitas permainan dan sanggup meraih hasil," kata Il Trap, si gaek yang telah berusia 74 tahun.

Dukungan lain juga datang dari Claudio Prandelli, yang selalu mengagumi Napoli. "Napoli harus paham bahwa perubahan tidak selamanya menyakitkan. Ada metode baru, sistem baru dan ide-ide baru. Sarri butuh waktu, sesederhana itu. Saat dipilih ia bilang jangan terburu-buru dengan saya. Sabarlah. Awas kritik negatif bisa menjadi bumerang," pesan mantan pelatih tim nasional.

Atas prahara bulan pertamanya di Napoli, Sarri tak pernah menanggapi serius saking fokusnya dengan besok dan besok. "Saya ini kan pelatih proyek. Pemain Napoli mudah panik, itu yang bikin jadi sulit fokus untuk mendominasi permainan. Mengubah sistem bisa cepat, tapi mengubah ide jauh lebih sulit," ucap Sarri yang di Empoli sukses mengkreasi 16 dari 56 total golnya dari bola-bola mati.

"Siapapun yang menyewa saya, beginilah karakteristik asli saya," lanjutnya lagi. Ditanya wartawan apakah ia tidak marah sewaktu melatih Empoli hanya dibayar 300 ribu euro setahun, gaji pelatih terkecil di Serie A, dia menjawab, "Kok marah? Anda ini bagaimana, saya itu beruntung sekali. Mereka membayar saya untuk sesuatu yang bebas saya lakukan setelah bekerja."

Hidup Tidak Bebas

Inilah drama pertama untuk Maurizio Sarri. Sesuai tradisi calcio: faksi-faksi tifosi pun secara bergiliran menyambangi markas latihan Castel Vortuno setiap pagi dalam beberapa hari untuk mengomel sepuasnya atas kekacauan start Napoli. Melihat rombongan itu para pemain cuek saja, paling cuma waswas. Perasaan mengatakan harusnya malah berterima kasih, sebab pertanda mereka masih dicintai, diawasi dan dipedulikan. "Suara mereka adalah bahan bakar permainan Napoli," kata kapten Marek Hamsik. "Kami mendengarnya tanpa syarat."

Aktivitas rutin: tiba di parkiran mobil, pemanasan, gelar strategi, berlatih, mandi lalu ke parkiran lagi untuk pulang ke rumah, terpaksa ditambah modulnya: bertatap muka dengan tifosi. Begitulah cara orang-orang Pompeii modern itu mengelola San Napoli dan San Paolo, yang disimbolkan oleh dua ikon: kapten dan pelatih.

Keduanya inilah yang biasanya dicecar tifosi dengan pertanyaan bernada vibrato dan legato, yang ditabukan para jurnalista. Walau bikin suasana jadi tegang, namun melihat kejujuran aspirasi mereka itu, haram hukumnya bagi klub di Italia termasuk Napoli untuk tidak menggubrisnya. Serie A adalah harga diri sekaligus identitas.
Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir
Punya strategi hebat dan corak keindahan dalam permainan.
Mereka pantas resah karena melihat dengan mata kepala sendiri proses hilangnya 7 poin di tiga giornata pertama yang terbilang tak wajar. Ini belum lawan tim kelas kakap. Sejak kalah 1-2 dari Sassuolo, lalu imbang 2-2 dengan Sampdoria dan Empoli, Napoli langsung didera krisis. Padahal belum.

Napoli baru krisis saat tifosi San Paolo apatis. Sarri mengaku pantas disalahkan soal hasil buruk Napoli. Namun dia merasa tidak pantas disalahkan soal mercato. Misalnya kegagalan transfer Roberto Soriano (Sampdoria) dan masuknya teenager berusia 20 tahun bernama Nathaniel Chalobah (Chelsea).

"Saya tidak mau menjawab pertanyaan kalian karena saya tidak tahu apa-apa soal (kedatangan) Chalobah. Tapi jika klub sudah memilihnya, maka seharusnya dia punya kualitas. Tugas saya cuma melatih siapa (pemain) pun yang dimasukan ke folder saya," begitu Sarri beralasan. Memang jangan salahkan dia.

Kembalikan sang waktu ke tanggal 11 Juni 2015 ketika nama Maurizio Sarri tiba-tiba muncul mengejutkan setelah ditahbiskan sebagai manajer baru. Tidak ada isu yang menggema, kasak-kusuk, atau spekulasi berlebihan sebelumnya; baik dari analisis pengamat, investigasi pers maupun dari bibir masyarakat Campania.

Jangan lagi dunia, warga Napoli yang setiap hari dapat mencium atau merasakan denyut nadi Azzurri Brigade saja merasa kecolongan dan terkejut. Dengan rekor tak mengesankan - 37% menang, 34% seri, 29% kalah untuk 25 tahun kariernya di 18 klub beraneka ragam - sosok Sarri pantas menjadi trending topic di seantero kota.

Hikmah terbaik untuk Sarri adalah ketika dia merasa lagi 'ditempa' sebagai calon panglima cinta di Napoli. Sebenarnya banyak pihak yang mengharapkan Sarri sukses melihat fakta primordial. Setelah Vincenzo Montefusco, 17 tahun silam, inilah pertama kali lagi Napoli punya pelatih yang asli putra daerah.

Target besar yang ditaruh di pundak Sarri adalah meloloskan Napoli ke Liga Champion 2016/17. Bagaimana dengan scudetto? Jika uang Anda cuma cukup untuk nonton tapi kemudian dapat kenalan cewek yang akhirnya menjadi pacar Anda, itu namanya karunia. Begitu kira-kira kans scudetto di mata Napoli.

Mengisi pos Benitez sontak mempercepat adrenalin pria 56 tahun itu. Ada rasa hormat dan bangga yang menumpuk di hatinya. Setelah melatih Napoli, hidup Sarri tidak bebas lagi. Setiap gerak-geriknya jadi atensi dan buah bibir warga di pasar, di warung kopi, di teras rumah, atau ruang rapat di kantor. Tidak bisa dihindari. 

(foto: sports.yahoo/api.nuzzel/vesuviolive/gazzettaworld/napolimagazine/newstalk)

Share:

Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu

Bicara perjalanan sejarah sepak bola global, memang Inggris dan Italia yang patut banyak dikenang. Keduanya adalah ikon penguasa masa silam permainan yang masih eksis hingga kini dalam mempertahankan reputasinya, sesuatu yang tak bisa dilakoni Cina, Yunani, Jepang, atau Mesir. Kisah peperangan selalu menginspirasi kemenangan, sekaligus bikin kekalahan menjadi pelajaran hidup.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Kapten nasional terbaik. Sir Bobby Moore dan Giacinto Facchetti.
Berdasarkan kata kerja, perang dan sepak bola jelas berbeda. Namun kata sifatnya tetap sama, ingin saling mengalahkan. Dan terlalu sulit dipungkiri, di dalam pola manajemen dasar pun keduanya punya corak yang sama. Setidaknya sama-sama untuk memenangi persaingan toh?

Sejarah klasik kerap bercerita, bahwa untuk memenangi perang sungguhan itu sangat dibutuhkan taktik, strategi, artileri, tentara, hingga pasukan khusus. Hmm, oke. Lantas, bukankah memenangi perang di sepak bola juga dibutuhkan skuad, pemain, kapten, taktik, strategi sampai pelatih atau manajer?

Dunia telah berubah. Sekarang tidak lagi harus seperti peperangan klasik ketika ingin menguasai suatu negara bahkan beberapa wilayah sekaligus. Kini yang diperlukan cuma nota kesepakatan, sekelompok pemain bola hebat, dan sekian brand kesebelasan yang sebisa mungkin ngetop pula. Jujur saja, ekspansi dalam perang kini telah berganti menjadi ekspansi dalam bisnis.

Bicara ekspansi sepak bola, Kerajaan Inggris tentu jagoannya. Bangsa ini dicatat abadi oleh sejarah dunia sebagai penemu sepak bola atau kreator permainan lantaran menjadi pihak yang pertama kali bikin tata cara atau aturan pertarungan biadab sehingga menjadi beradab. Maka wajarlah jika industri Premier League kini menghebat. Ada lintasan waktu yang tidak bisa diabaikan.

Jadi pertanyaan kenapa skala bisnis Premier League kini bisa jadi yang terbesar dan terkaya dibanding kompetisi lain sangat berbanding lurus dengan pertanyaan kenapa mereka bisa sukses melahirkan sepak bola. Sumber jawabannya adalah soal kompetensi, di dalamnya sudah termasuk pengalaman, kemampuan, dan reputasi serta historikal.

Apapun jadi menarik, diperhatikan, bahkan dipercaya orang saat sosok atau ada pihak dianggap sebagai ahlinya. Posisi tawar Premier League jadi tinggi sebab ini kompetisinya bangsa Inggris, si penemu sepak bola. Begitu kental kesan legacy-nya, sampai-sampai berlaku ungkapan di mana argumentasi kebenaran jadi tidak relevan lagi, bukan apa yang dikreasi, tetapi siapa yang mengkreasi.

Di eranya, label Kerajaan Inggris adalah The Great Empire. Faktor Revolusi Industri (James Watt hingga Richard Trevithick), Revolusi Sains (Sir Isaac Newton, Charles Darwin, Stephen Hawking) atau Revolusi Informasi dengan Alexander Graham Bell (telepon) hingga Sir Timothy John Berners-Lee (internet) sangat mempengaruhi keunggulan kompetensi Great Britain dalam permainan dan law of the game, bahkan sampai saat ini.

Sementara Italia tidak mau kalah. Sebut saja beberapa gelintir di antaranya. Di komunikasi ada Guglielmo Marconi dan Antonio Meucci, pembuat sinyal radio dan telepon. Lebih tua lagi ada Evangelista Torricelli dan Galileo Galilei, dua penemu barometer serta termometer.

Globalisasi bahasa Inggris dan pencitraan angkatan perangnya (darat, laut dan udara), kian memastikan adikarya Inggris di sepak bola sepertinya pasti wow dan patut diikuti, sebagaimana industri musik mereka. Apakah cuma Inggris saja yang berbuat banyak di sepak bola dengan mengandalkan latar belakang sejarahnya? Ternyata tidak.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Francesco Totti dan Wayne Bridge. Dua kebudayaan sepak bola terkuat.
Setelah mendengar rencana Serie A bikin terobosan baru dengan menggelar sebagian laganya di mancanegara mulai musim 2015/16, hal implisit pertama yang perlu dikaji apakah alasannya? Untuk menjawabnya, lagi-lagi kita butuh sejarah. Atau setidaknya memahami ungkapan klasik Tutte le strade portano a Roma (banyak jalan menuju Roma).

Bicara sepak bola, Italia punya aturan, bahkan kitab suci atau 'nabi' sendiri. Di satu sisi, tampaknya hanya negara ini yang tak mengakui Inggris sebagai penemu sepak bola, kecuali cuma membuat aturan permainannya, sebab ada klaim merekalah sesungguhnya yang pertama memainkannya. Dirunut dari horison waktu, sejak dulu kedua bangsa ini memang berseteru.

Peletupnya dimulai dari ekspansi tentara Kekaisaran Romawi di bawah rezim Gaius Julius Caesar (100 SM-44 SM) ke Pulau Britania pada tahun 55-54 SM. Peperangan besar melawan penguasa Inggris kuno pimpinan Cassivellaunus pun tak terelakkan. Konon, tentara Romawi sering memakai penggalan kepala hasil kekejaman perang sebagai 'bola' dalam permainan menendang.

Pemberontakan dan Tekanan

Mereka melakukan itu untuk mencari kesenangan atau mengisi waktu luang. Rakyat setempat membalasnya saat giliran mendapat kepala prajurit Romawi. Malah diceritakan kedua kubu pernah menggelar laga resmi dengan sepotong kepala musuhnya. Barangkali hal seperti inilah yang mengawali stigma bahwa sepak bola itu sejatinya adalah permainan biadab menjadi sulit dibantah.

Untungnya kisah kedua perseteruan Italia vs Inggris terkesan lebih edukatif. Terjadi tepat di era Renaissance, di abad pertengahan. Seorang pangeran nyentrik dan seniman serba bisa dari Firenze bernama Giovanni De Bardi menyusun cerita sebuah permainan campuran yang mirip rugbi dan sepak bola pada sebuah buku berjudul Discorso sopra il Giuoco del Calcio Fiorentino del Puro Accademico Alterato, atau disingkat Calcio Storico, pada 1580.

Di dalam Calcio Storico disebutkan aturan sepak bola dan bagaimana cara menjalankan olah raga menendang, il Giuoco. Bukan itu saja, bahkan tata kelola penonton, ukuran lapangan, komposisi dan tugas pemain, harga tiket sampai regulasi kompetisi atau kelas duduk penonton dipaparkan. Dari buku itu pula muncul istilah yang dipakai Italia hingga sekarang, yaitu Calcio, sepak bola.

Klaim Italia lebih duluan dari Inggris dalam menyusun kitab sepak bola memang terbukti karena bila Calcio Storico terbit pada 1580, buku karya Richard Mulcaster, Position Where in Those Primitive Circumstanes be Examined, baru lahir setahun kemudian. Dari buku Mulcaster inilah, hampir tiga abad kemudian, para mahasiswa Universitas Oxford mengubah kronologis panjang ribuan tahun ke titik signifikan dengan mempresentasikan aturan baru permainan sepak bola.

Mereka mengumpulkan para pemilik klub di Inggris sehingga amat berperan signifikan atas berdirinya FA, sekaligus kepastian lahirnya sepak bola modern, 26 Oktober 1863 di London. Hanya berselang minggu FA berdiri, mereka mencetak buku peraturan lalu mengirim ke negara tetangga dan jajahannya di seluruh dunia. Yang lucu, rupanya Italia juga mendapat kiriman paket tersebut.

Calcio Storico jadi tidak bermanfaat buat dunia karena saat itu Italia sudah tak punya angkatan laut tangguh dan jajahan luas seperti Kerajaan Inggris yang membuat pengaruh atau bahasa mereka tidak bisa populer sejagat. Padahal jika ditarik ke masa silam, jelas-jelas Romawi adalah imperium terbesar di dunia di luar Persia, justru waktu Britania masih hidup di zaman batu.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Gaya fenomenal Filippo Inzaghi di dpan Liverpool.
"Kamilah pemilik pagelaran sepak bola paling sukses di dunia," kata Richard Scudamore, CEO The Premier League. Arogan? Tergantung sikap Anda. Ungkapan Tobias Jones tentang Italia pada buku The Dark Heart of Italy rada sensasional. "Untuk memahami karakter bangsa ini, pahamilah karakter permainan mereka di sepak bola," tulisnya. Jose Mourinho ikutan menguak realita. "Bersaing? Italia main bola cuma 90 menit seminggu, sedangkan Inggris 12 jam seminggu!"

Sejak lama para analis dan ekonom bilang bahwa Premier League adalah inventaris bisnis terbaik sepak bola yang pernah ada. Padahal semua tahu, tidak satupun kompetisi yang sanggup membendung popularitas Serie A hingga awal milenium sebelum dihancurkan oleh bangsa Italia sendiri melalui Calciopoli.

Secara prestasi fakta juga impresif. Klub-klub Serie A lebih mendominasi titel ketimbang tim-tim Premier League. Belum lagi di pentas nasional. Italia lebih sering jadi juara dunia. Parahnya, buat Inggris titel juara Eropa saja statusnya tetap mustahil. Meski berseberangan, anehnya jiwa sepak bola Inggris dan Italia sebenarnya mirip. Inggris dilandasi oleh pemberontakan, Italia oleh tekanan.

"Di Inggris, secara seksual anak-anak sudah tertindas, terusir dari sekolah, atau dikirim ke asrama yang melahirkan pemberontakan diri. Inggris membenci (kehidupan) anak-anak. Di Italia kebalikannya, anak-anak tetap tinggal bersama orang tuanya, bahkan sampai usia mereka 30 atau 40 tahun," jelas Malcolm McLaren, kreator band Sex Pistols.

The Battle of Highbury
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Wasit Otto Olsson dan dua kapten, Attilio Ferraris dan Eddie Hapgood. Klasik dan legendaris.
Di pentas abad industri dan informasi, persaingan terselubung Inggris dan Italia selalu ada namun melulu berada di atas lapangan hijau, tidak terkecuali drama sebelum dan seusai laga. Hasilnya Inggris mendominasi diplomasi dan media global yang bikin Italia banyak tersudut kecuali hasrat mempertahankan dominasi di permainan. Di sinilah Italia biasanya merajutnya sangat serius.

Namun di sebuah laga persahabatan yang menjadi puncak permusuhan dua kultur terjadi pada 14 November 1934. Tempatnya di Highbury, stadion milik Arsenal. Oleh sebab itu pers lokal menyebut laga ini The Battle of Highbury. Buat masyarakat saat itu malah lebih bombastis: final Piala Dunia yang sesungguhnya. Meski Italia baru menjuarai Piala Dunia 1934 yang kontroversial itu, tapi dunia tahu waktu itu Inggris adalah kampiun Eropa tidak resmi.

Laga makin dramatis mengingat kala itu Italia sangat membenci Inggris gara-gara friksi politik. Inggris juga ikut membenci Italia setelah Benito Mussolini memegang tampuk kekuasaan dengan mazhab fasisme, yang salah satu visinya mengidamkan kebudayaan Romawi sebagai tujuan politiknya. Apalagi sejak 1928 FA, yang merasa pemilik sejati sepak bola, bercerai dengan FIFA yang ditunggangi barisan negara-negara penentang dominasi Inggris di sejarah masa lalu.

Il Duce amat fasih sejarah klasik masa silam sehingga amat berkepentingan pula dengan laga itu. Ia menjanjikan hadiah bagi setiap pemain berupa mobil Alfa Romeo ditambah uang bila Azzurri menang. Rombongan menuju London dengan hati berbunga-bunga, dipimpin Vittorio Pozzo, jenderal sepak bola legendaris. Momen ini sekilas mengingatkan orang saat Gaius Julius Caesar memerintahkan Gaius Volusenus sebagai pimpinan armada Romawi saat menginvasi Britania.

Pasukan Pozzo hanya diperkuat tiga pemain yang bukan dari Juventus dan Inter: Eraldo Monzeglio (Bologna), Enrique Guaita (Roma), dan kapten tim Attilio Ferraris (Lazio). Sisanya terjadi dominasi. Lima dari Juventus (Giovanni Ferrari, Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Pietro Serantoni, dan Luis Monti), dan tiga dari Inter (Carlo Ceresoli, Luigi Allemandi, dan Giuseppe Meazza).
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Duel sengit Inggris vs Italia di Highbury. Tujuh pemain Arsenal.
Uniknya dominasi juga terjadi di kubu tuan rumah. Starting XI Three Lions dijejali oleh 7 pemain Arsenal (Frank Moss, George Male, Eddie Hapgood, Wilf Copping, Ray Bowden, Ted Drake dan Cliff Bastin)! Hanya Stanley Matthews (Stoke City), Cliff Britton (Everton), Jack Barker (Derby County) dan Eric Brook (Manchester City) yang bukan. Berbeda dengan Italia dengan skuad yang berpengalaman, Inggris mengandalkan tim muda yang semuanya di bawah 10 kali membela tim nasional.

Akan tetapi hasilnya luar biasa. Wasit Otto Olsson (Swedia) dan 56.044 orang yang memadati Highbury jadi saksi hidup sejarah klasik Anglo-Italian. Baru dua menit Drake telah meretakkan tulang kering Monti, dalam tubrukan yang tidak terhindarkan. Gilanya lagi, Monti masih sanggup main hingga 15 menit, barangkali masih memimpikan Alfa Romeo. Akhirnya dia roboh dan Italia harus tampil dengan 10 orang sebab waktu itu sepak bola belum mengenal pergantian pemain.

Gara-gara itu pula Inggris langsung unggul tiga gol setelah Brook dan Drake melesakkan bola ke jala Beseroli hanya di 12 menit pertama. Bayangan wejangan Mussolini rupanya melecut Azzurri. Di babak kedua, Meazza memborong dua gol di menit 58 dan 62. Skor jadi 3-2, dan perjuangan hebat Azzurri harus berhenti, tidak berubah, hingga Olsen menyudahi laga. Kisah Battle of Gergovia, mana kala Vercingetorix mengakhiri kekuasaan Romawi di Britania pada 46 SM, seolah-olah terulang.

Penjelasan historis dan paparan pertarungan telah selesai. Cerita ini selalu dicerna, laten, dan berurat akar secara turun temurun hingga kini dan ke depan. Ada kemarahan, ada respek. Lintasan berikut telah menunggu, karena DNA para leluhur yang masih bersemayam kuat di tubuh generasi para pewaris, pasti bakal mendorong friksi Anglo-Italia di sepak bola di masa depan secara alamiah.

Tanda-tanda awalnya ada, setidaknya saat merenungi rencana Serie A siap mendobrak kekuasaan Premier League di pasar global tontonan bola mulai tahun depan. Serie A punya momentum untuk mengembalikan era kejayaannya setelah satu dekade terakhir ini, praktis dikuasai Premier League. Satu bab terakhir yang belum terungkap, The Battle of Alesia, tampaknya bakal menjadi reinkarnasi yang entah kapan terjadinya.

(foto: huffingtonpost/mirror/footyfair/PA)

Share:

Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger
Dua orang terpenting yang mengemudikan kapal Arsenal ke masa depan. 
Pria berkumis inilah yang membuat David Barry Dein, pujaan sejati kaum Gooner sejati, sampai terusir dari ruang komisaris Arsenal. Enos Stanley Kroenke, 67 tahun, beken disapa Stan Kroenke, adalah pebisnis Amerika Serikat yang kini menjadi pemegang saham terbesar Arsenal Football Club dengan kepemilikan 66,94% atau 41.652 lembar saham atau senilai lebih dari 1 milyar pound alias setara dengan Rp 20 trilyun. Bagaimana ia melakukan ini semua?

Tampaknya cuma pembicaraan bisnis bermutu saja yang bikin dia mau menggerakan bibirnya. Namun di balik berbagai ketidak-asyikan tersebut, sungguh beruntung, dia super kaya raya alias tajir banget. Sepintas tak ada tongkrongan mahluk ini menjadi Qarun zaman modern, salah satu warga bumi terkaya nomor 247 di dunia, 89 di AS. Menurut situs Forbes, Kroenke punya harta 5,8 milyar dollar AS atau setara dengan Rp 75 trilyun.

Sebagai komparasi, 'Paman Gober' nomor satu di dunia termasuk di AS adalah William Henry Gates III, 59 tahun. Gudang uang pendiri Microsoft ini ditimbuni harta 79,2 milyar dollar AS atau sekitar Rp 10,1 bilyun alias Rp 10 ribuan trilyun. Dengan kekayaan ini, jika mau, Bill Gates bisa membeli semua klub sepak bola yang ada di dunia. Soal harta, Kroenke boleh kalah sangat jauh darinya, namun soal minat dan kegairahan di olah raga ceritanya berbeda.

Di AS dia dikenal sebagai pemilik 5 klub top di NBA, MLS, NHL, NLL, dan NFL yang semuanya berada di bawah imperium bisnisnya, Kroenke Sports Entreprises (KSE). Portofolionya belum stop sampai di sini. Kroenke juga menjadi salah satu mogul real estate dan bankir ulung. Reputasinya kian paten karena dia suami dari Ann Walton, putri James Lawrence Walton, pendiri Wal-Mart, jaringan ritel terkuat di dunia.

Hikayat lulusan MBA dari Universitas Missouri ini bisa sampai terdampar di Arsenal, lantas menjadi orang nomor satu di klub paling tradisional se-London itu menjadi menarik atensi lantaran jalannya lumayan berliku-liku. Tanpa Arsenal, boleh jadi dia tidak dikenal dunia kecuali di negerinya sendiri. Serial hidup Kroenke di blantika Premier League adalah pengayaan kredibilitasnya sebagai pecinta olah raga.

Buat Gooner yang belum sampai lima tahun, Kroenke boleh saja disukai. Tapi bagi Gooner karatan dan konservatif, katakanlah seperti Piers Morgan atau Myles Palmer, sangatlah berbeda. Mereka tahu, Kroenke-lah yang dianggap menghentikan roda juara Arsenal di Premier League akibat kebijakan keuangan lantaran masih berkutat dengan peperangan perebutan saham serta dituding tidak tahu banyak soal Arsenal dan tradisi sepak bola Inggris.

Sumber malapetaka prestasi The Gunners di Liga Inggris terjadi pada 2006-2007, yang dimulai dari peperangan di ruangan komisaris alias para pemilik. Yang jadi ironi hal itu terjadi justru seusai Arsenal merenggut prestasi tiada tara yang sulit dijiplak di Inggris: menjuarai Premier League tanpa terkalahkan pada 2004. Kemudian disusul raihan Piala FA 2005, lalu ke final Liga Champion 2006 serta memiliki stadion baru nan megah bernama Emirates.

Bagaimana semuanya bisa terjadi? Keempat torehan indah itu bak menjadi karya terakhir duet Dein dan Arsene Wenger. Dein yang dikenal master di bursa transfer, ahli dalam melobi atau negosiator ulung mendedikasikan semuanya itu untuk melengkapi kehebatan Wenger. Keduanya sangat inovatif, ekspansif, punya imajinasi liar dan yang terpenting saling mengisi satu sama lain sehingga suka dianggap sebagai Yin dan Yang-nya sukses Arsenal.

Ancaman Usmanov

Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger
Barangkali Kroenke tersenyum melihat Wenger tidak menuntut saham Arsenal.
Saking liarnya duet ini suka berkreasi di luar otoritasnya, misalnya hasrat memiliki stadion yang besar dan megah. Stadion Highbury merupakan satu-satunya minus Arsenal di mata Wenger sejak ia tiba di London pada 1996. Dengan kapasitas hanya 37-an ribu penonton plus luas lapangan 100 x 67 meter, Wenger berani bilang ke dewan komisaris Highbury kurang layak menjadi stadion klub sekharismatik Arsenal.

Mereka harus punya stadion besar dengan tiga alasan: untuk menampung lebih banyak fan, menikmati permainan lebih sempurna secara langsung ataupun dari televisi, serta sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian historis Arsenal dan menyongsong masa depannya. Bahkan Wenger punya rancangan beberapa bagian stadion baru seperti atap, lantai, kamar ganti dan kamar mandi pemain, auditorium pers serta ruangan rehabilitasi cedera.

Di sisi lain Dein bicara potensi pendapatan tiket, iklan dan sponsor yang dijamin jauh lebih besar. Mereka telah menciptakan mesin uang untuk masa depan. Presentasi keduanya memuaskan dewan komisaris sehingga bersedia membebaskan satu lahan di pinggir jalan kereta di area Ashburton Grove. Namun seseorang mengawasi Dein dengan kewaspadaan: Peter Hill-Wood (PHW). Dia adalah anaknya Denis Hill-Wood, dan cucu dari Samuel Hill-Wood.

Samuel menguasai saham terbesar sejak 1929 serta mengkreasi Arsenal meraih era kejayaan pertama di 1930-an. Pada 1946 ia mengajak rekan Partai Konservatifnya, Sir Guy George Bracewell Smith, membangun ulang manajemen Arsenal yang berantakan usai Perang Dunia II. Karena itulah, demi menjaga tradisi dan menghormati keluarga Hill-Wood, kemudian Peter diaklamasikan menjadi presiden klub sejak 1983 setahun sesudah wafatnya sang ayah.

Rupanya kesuksesan Dein dengan mahakarya melahirkan Premier League di 1992 dan mendatangkan Arsene Wenger pada 1996 menciptakan saling silang di dewan komisaris. Ada yang pro, namun lebih banyak yang kontra. Meski jadi pendatang baru setelah membeli 16,6% saham Arsenal pada 1983, reputasi Dein langsung meroket dengan posisi wakil presiden klub sekaligus chief operating untuk semua aktivitas bisnis. Selain itu ia juga master transfer jempolan.

Lewat tangan dingin lelaki kelahiran 7 September 1943 itu datanglah Ian Wright pada 1991 dan Dennis Bergkamp pada 1995 di era George Graham. Ketika Wenger masuk, semua orderan sang profesor dipenuhinya. Patrick Vieira, Emmanuel Petit, Marc Overmars, Thierry Henry, Davos Suker, Robert Pires, Sol Campbell, Gilberto Silva, Gael Clichy, Kolo Toure, Cesc Fabregas dan Robin van Persie sampai nama yang terakhir...Theo Walcott.

Akibat kiprahnya yang kian dahsyat, saham Dein di Arsenal sempat melesat jadi 42% pada 1991. Lama kelamaan PHW, dan juga pemegang saham tradisionalis merasa Arsenal akan dijadikan ajang kepentingan bisnis pribadi Dein. Apalagi di Rusia, bisnis pribadi PHW ikut bersentuhan dengan relasi bisnis Dein. Salah satunya dengan Alisher Burkhanovic Usmanov.

Di kala PHW amat membenci pebisnis baja Rusia berdarah Uzbekistan itu, Dein justru menjadikan kolega terbaiknya. Api perseteruan di dewan komisaris pun kian membara. April 2007, dewan mencopot jabatan Dein dari semua aktivitas sebagai eksekutif alias dipaksa cuma disuruh duduk tenang menunggu deviden. Merasa telah berbuat banyak untuk mereka dan Arsenal, tentu saja Dein sangat sakit hati akibat pengkhianatan tersebut.

Bukan Dein namanya kalau tidak kontroversial. Pada Agustus 2007, tiba-tiba ia melepas seluruh 14,58% sisa sahamnya ke Usmanov yang kmeudian mengajak Farid Moshiri, pebisnis Iran, mendirikan konglomerasi khusus bernama Red & White Holdings. Mereka mengangkat Dein sebagai CEO-nya. Misi ketiganya adalah mengambil alih mayoritas saham Arsenal. Tapi PHW dan semua anggota dewan komisaris lain telah menebaknya Dein akan melakukan apa.

Kematian Fiszman

Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger
Tanpa Wenger, tidak mungkin Kroenke bisa percaya diri seperti ini.
Sebelum memecat Dein, PHW telah mengontak seorang investor Amerika tidak terkenal. Digembongi PHW, dewan komisaris mengundangnya untuk membeli saham ITV. TV kabel asal Irlandia itu melepas 9,9% andilnya di Arsenal karena butuh investasi di bidang lain. Harga saham per lembar masih dihargai 8.000 pound. Orang Amerika ini bernama Stan Kroenke. Dewan juga segera memasukkan Kroenke jadi direktur non-executive pada September 2008.

Kroenke segera tahu soal prahara kepemilikan yang sedang terjadi di Arsenal. Akal bulus bisnisnya langsung menerawang. Ia ingin lebih jauh terlibat. Sesuai hukum, untuk jadi eksekutif dan mengontrol semua bisnis Arsenal, minimal harus punya 30% saham. Selang tak lama Kroenke melakukan misinya. Pertama membeli saham Danny Fiszman sebanyak 10,6%, kedua memborong saham keluarga Richard Carr lebih dari 17,7%. Saham Kroenke menjadi 29,9%!

Namun mencari 0,1% saham setengah mati sulitnya karena semua pemilik saham tahu, Kroenke berambisi mengontrol Arsenal. Akibatnya saham Arsenal per lembarnya melonjak jadi 12.000-an pound per lembar. Kubu trio Dein-Usmanov-Moshiri juga melakukan ekspansif. Mereka bergerilya melakukan pembelian saham dengan cara retail, lembar per lembar, dari beberapa orang yang punya saham minoritas di Arsenal. Meski capek, hasilnya lumayan.

Hingga masuk ke 2011, Usmanov cs sukses mengumpulkan saham 29,25%! Final antara Amerika vs Rusia di bisnis Arsenal mencapai kulminasinya. Kroenke cuma butuh 0,1% sedang Usmanov 0,75%. Sementara itu harga saham AFC terus melonjak di London Stock Exchange (LSE) meroket 16.000-an pound (Rp 300-an juta) per lembar! Kedua kubu dengan progresif merayu pemegang saham minoritas. Namun mereka bersepakat untuk menunggu keadaan, termasuk perwakilan fans, Arsenal Supporters Trust (AST) yang hanya punya 3 lembar saham!

Prestasi The Gunners kala itu mencapai puncak kegelisahan. Satu-satunya kans juara, di Piala Liga 2011 pun gagal karena secara mengejutkan Arsenal ditaklukkan Birmingham 1-2 di Wembley pada bulan Februari. Di grup pemilik saham minoritas, muncul faksi pro dan anti baik Kroenke maupun Usmanov. Bukan itu saja, masa depan sang manajer juga tidak jelas. Kontrak Wenger habis di medio 2011. Praktis, ia sedang berdiri di persimpangan jalan.

Di luar pintu, Real Madrid, Bayern Muenchen, PSG bahkan Juventus sudah mengantri untuk meminangnya. Di saat menegangkan seperti itu, muncullah sesuatu yang tidak diduga, yang membelokkan nasib baik menjadi milik Kroenke dan Wenger: kematian Fiszman pada April 2011. Fiszman, pemilik saham terbesar sebelum dibeli Kroenke, merupakan satu-satunya sahabat Dein di dewan. Pedagang berlian itu meninggal dunia setelah lama sakit keras.

Entah mengapa sisa 16,11% saham almarhum bisa dibeli Kroenke, hanya beberapa hari kematiannya. Kroenke pun otomatis jadi preskom Arsenal dengan saham 45,36%. Tamatlah impian Usmanov dan Dein untuk mengusai Arsenal! Bola salju tidak stop sampai di situ. Wafatnya Fiszman, plus jenuh dengan prahara kepemilikan dan prestasi klub yang merosot; melahirkan sesuatu yang mengubah masa depan Kroenke menjadi jelas.

Lady Nina-Bracewell Smith, yaitu janda Sir Charles Bracewell-Smith, anak dari Sir Guy George Bracewell Smith ikut melepas seluruh sahamnya yang 15,9%. Langkah itu juga diikuti oleh cucu Sir Guy yaitu Clive dan Richard Carr untuk menjual sisa sahamnya pada Kroenke. Per 4 September 2011, Kroenke mutlak menguasai Arsenal dengan 66,76% saham atau 41,537 lembar. Dasar kapitalis, ia makin giat membeli saham lembar per lembar tiada henti hingga kini.

Menurut LSE, di 3 Oktober 2014 saham Kroenke berjumlah 41.639 helai usai membeli 36 lembar saham perorangan. Persentase naik jadi 66,92. Lalu 8 Desember 2014, tim sukses Kroenke menemukan 13 lembar lagi saham yang bersedia dilepas 15.500 pound per lembar. Andilnya pun naik lagi menjadi 66,94% dengan 41.652 lembar saham. Ia masih butuh 3,06% saham untuk menguasai mutlak Arsenal tanpa halangan dari siapapun yakni senilai 70%.

Terkesima Wenger

Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja WengerHal pertama yang dirasakan Stan Kroenke, Arsenal itu identik dengan Arsene Wenger. Di matanya cuma orang inilah sejagat yang paling pas jadi panglima The Gunners. Kontroversial atau normatif, benci atau cinta, dia berharap Wenger terus meneruskan darma baktinya di Emirates, kalau perlu sampai jompo sendiri. Ada alasan? "Arsene adalah orang paling mengesankan yang pernah saya temui 20 tahun terakhir ini. Dia orang besar dan saya sangat suka melihat caranya mengatasi dirinya sendiri. Orang ini sangat cerdas sebab ia bisa bicara hal apa pun dan amat mengesankan ketika berbicara. Saya terpukau mendengarkannya. Harusnya dia sering mengadakan seminar bisnis," kata Kroenke saat diwawancarai Jeremy Wilson (The Telegraph).

Faktor Wenger juga jadi motif terkuat Kroenke ketika membeli saham Arsenal. Keyakinannya pada manajer hebat, pelatih luar biasa, ekonom mumpuni, sosiolog, ahli gizi atau kuliner, pakar statistik, arsitek stadion, konsultan bisnis sampai motivator ini semakin menggiatkan dirinya untuk terus menambah sahamnya di salah satu klub paling tradisional di Inggris tersebut.

Mana kala kepeduliannya pada Arsenal makin besar, semakin terikat pula Kroenke pada sang manajer. Di mata pemilik klub NBA Denver Nuggets ini, enerji Wenger sangat membara. "Fisik dan staminanya luar biasa. Dia merancang, membina, melatih, bepergian, berbicara dan meladeni tekanan dengan luar biasa. Begitu seterusnya. Kadang kala dia seperti yang terlihat menjadi atlet. Arsene adalah Arsenal itu sendiri," papar orang kaya berpenampilan sederhana yang mengaku telah memantau Wenger dan Arsenal sejak 15 tahun lalu.

"Saat Arsene membawa Arsenal juara tidak terkalahkan di 2004 itu sesuatu luar biasa dan saya semakin yakin untuk terlibat ke dalamnya," lanjut pengusaha asal Missouri yang mulai masuk ke Arsenal setelah membeli 9,9% saham Arsenal Holdings plc melalui ITV pada 2007. Di luar respek yang mendalam pada Wenger, tentu Kroenke terkesima dengan karyanya. "Saya suka dengan cara main Arsenal, umpan-umpannya, pergerakan, indah untuk ditonton dan sangat menarik. Saya mengikutinya dari dekat ketika mereka menjadi juara tak terkalahkan pada 2004. Itu hal luar biasa. Saya sering menontonnya langsung saat Thierry Henry masih ada. Itulah awal mula saya suka Arsenal," timpalnya lagi.

Setiap tahunnya owner klub hoki NHL Colorado Avalanche ini menghabiskan 30-40 hari berada di London untuk aktivitas bisnis. Di saat-saat seperti itu, hampir saban hari dia pasti bertemu dan berbicara dengan Wenger. Ada banyak kepentingan. Selain salah satu ladang usahanya, kini Arsenal jadi passion barunya. Apalagi putra semata wayangnya, Josh, kebetulan seorang Gooner. Belakangan Josh telah diangkatnya menjadi salah satu direktur Arsenal.

Keterkaitan hubungan pemilik klub MLS Colorado Rapids dengan Wenger lebih dari sekedar profesional tingkat tinggi tapi juga keeratan personal. Mereka saling menghormati, memahami, membutuhkan dan tentu saling berkepentingan. Dua hal yang disukai Wenger padanya: dia fokus pada bisnis dan bukan jenis pemilik yang main atur atau intervensi konten sesukanya. Kroenke bukan bertipe Abramovich atau Berlusconi.

Sebaliknya Wenger dihargai Kroenke sebab tak cengeng, tukang todong minta ini-itu bahkan aktivitas terpenting di bisnis sepak bola: bursa transfer. Kroenke paham bursa transfer separonya sepak bola. Respek melahirkan kepercayaan. Saking percayanya, Kroenke memberi kekuasaan mutlak pada Wenger untuk mengambil semua keputusan go or no go soal produksi, soal teknis, soal pemain dan permainan. Faktor subyektif lainnya adalah, Kroenke dan Wenger nyaris seumuran. Artinya sejak kecil hidup di zaman yang sama.

Dia merasa hanya disuruh duduk manis oleh sang manajer asal Ivan Gazidis memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan Wenger. Jika Wenger tangan kirinya, maka Gazidis - CEO Arsenal - merupakan tangan kanan Kroenke.

"Saya sangat menikmatinya. Dia sangat cerdas, berintelejensia tinggi dan kita semua tahu Arsene berpendidikan ekonomi seperti halnya saya. Ide dia bagaimana menjalankan klub amat luar biasa. Arsene adalah pemikir, perencana, pekerja keras, manusia yang memiliki rekor serta sejarah indah," papar presiden komisaris korporasi KSE UK itu lagi, yang dua tahun lebih tua dari Wenger.

Khawatir Petir

Kisah penyanjungan penganut Partai Republik ini pada Wenger tak berhenti sampai di situ. Anda pernah membaca novel atau minimal menonton film Moneyball? Di situ diungkap sosok nyata Billy Beane, diperankan dengan apik oleh aktor Brad Pitt, yang sepintas mengesankan kiprah Wenger karena kemiripan pola pikir. Ternyata memang berkaitan. Keahlian Wenger: kehebatan membelanjakan uang dan menggali nilai secara efektif dan efisien menjadi inspirasi Michael Lewis menulis sosok Billy Beane dalam buku Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game.

"Billy Beane itu sosok olah raga populer di AS. Anda tahu siapa idola dia? Arsene Wenger! Ini bukan guyon. Anda tahu itu kenapa," ujar lelaki kalen itu penuh semangat. Alumnus master bisnis di Universitas Missouri begitu takjub sebab inspirator kunci sukses bisnis olah raga apa pun di dunia itu mengidolai juga Wenger. "Jika Anda melakukan lebih baik dari orang lain, maka Anda selalu jadi yang terbaik. Ini bukan ucapan saya tetapi ucapan Billy Beane, orang yang mengidolakan Arsene Wenger. Silakan Anda cek," sergah pria berkumis ala Adolf Hitler itu dengan serius. Luar biasa.
Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger
Dedikasi Arsene Wenger seperti ini yang dikagumi Stan Kroenke.
Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah delapan tahun Kroenke berkutat di Arsenal. Namun di balik kekagumannya ada kerisauan mendalam pada Wenger. Bukan perkara sudah 10 tahun Arsenal tanpa gelar liga, tapi soal kelayakan sang maestro meneruskan darma baktinya. Meski ia punya hak prerogatif mempertahankan pria Prancis itu, namun suara terkuat pantas tidaknya kelanjutan misi sang profesor ada pada suporter, 60-an ribu pelanggan tetap yang saban minggunya membanjiri Stadion Emirates.

Setelah Sir Alex Ferguson pensiun, Wenger kini menjadi manajer paling awet di Premier League dengan dua rekor terukir langgeng: manajer asing terbaik sepanjang masa di Arsenal dan di Inggris, serta satu pencapaian abadi: meraih juara tanpa terkalahkan di 2003/04, menjadi tiga rekor jika ia sukses mengantarkan Arsenal menjuarai Piala FA 2016. Tampaknya hanya Wenger sendiri yang bisa mengusir dirinya dari Emirates. Musim 2016/17 adalah era terakhir sang profesor di Arsenal sesuai kontrak pada Juni 2017.

"Ia memahami perasaan kita, apa filosofi klub, apa yang ingin kita lakukan dan ini membuat saya merasa bahwa kami total menyatu. Arsene Wenger selalu ingin melakukan cara yang sama dengan yang kita pikirkan. Saya tidak mau berbicara sesuatu yang bukan dia rasakan. Selama ini dia telah melakukan apa yang dia cintai. Pada akhirnya keputusan ada pada Arsene sendiri," jelas pria kelahiran 29 Juli 1947 itu dengan pasrah.

Tak satupun orang di Diklat Colney atau di kabinet Emirates ingin Wenger pergi, bahkan membayangkan kelanjutan Arsenal pun tidak. Semua bangga bekerja untuk dan dengan Wenger agar roda klub terus menggelinding ke seluruh dunia. Sebuah klub berusia 127 tahun. "Ia telah melakukan hal luar biasa untuk Arsenal. Namun Arsene pemilik dirinya sendiri, pikirannyalah yang kelak memutuskan itu," imbuh ayah dari Josh Kroenke dan Whitney-Ann Kroenke.

Kroenke menanggung beberapa perasaan sekaligus. Tatkala membahas Wenger, pria bermisai ini bersemangat namun juga berhati-hati. Ia harus mengakui dirinya telah terlibat dalam dengan Arsenal, baik sebagai penggemar maupun pemilik. Semua orang suka dengan kemenangan. Pemilik, pemain, pelatih, apalagi fans. Buat Arsenal dengan sejarah hebatnya, kepedulian mereka untuk menjadi yang terbaik menjadi gairah hidup sehari-hari yang bisa menembus imajinasi dan membuka motivasi. Ini pula yang dirasakan Stan Kroenke.

Satu kisah pada 2012 yang kelak tak pernah dilupakan Kroenke tentang Wenger. Saat itu dia mengajak Josh dan beberapa temannya, juga rombongan tim basket Denver Nuggets ke Colney untuk melihat latihan Arsenal. Tiba-tiba hujan turun dengan deras, ada gemuruh halilintar.

Mereka tak percaya pada pemandangan ajaib. Wenger masih di lapangan terbuka, basah kuyup, tetap melatih skuatnya sambil berteriak meski suaranya tak didengar pemain. "Oh, begitu rupanya keseharian Arsene. Oh Tuhanku, saya khawatir mereka disambar petir. Semuanya itu pasti karena cinta karena Anda tak akan melakukan tanpanya. Itulah sebuah passion," pungkas Kroenke sepenuh hati.

(foto: mirror.co.uk /greatgoals/thesun/arsenal.ir/sport&style/pinterest)

Share:

Football Centenary Trophy 1988: Obat Mujarab Duka Arsenal

Memasuki tahun ketiga 'puasa' tampil di ajang Eropa, dampak dari tragedi Heysel, agaknya klub-klub Inggris mulai kehausan kendati di sisi lain ada hikmahnya. Di tahun 1988 itu, bangsa Inggris kebetulan punya simpanan perayaan seabad kelahiran Football League, operator liga sepak bola pertama di dunia.

Football Centenary Trophy 1988: Obat Mujarab Duka ArsenalMercantile Credit Management (MCM), sebuah institusi Australia yang cara cari duitnya memberi kredit dengan imbalan bunga, bersedia mensponsori kegiatan bagi 'orang-orang kehausan' tersebut. Sepanjang 1988, MCM menjamin dana dua turnamen yang pada satu segi, bertujuan memberi sampingan untuk pemain. Sebagai rekanan FA, MCM leluasa berbisnis di Football League. Dihelatnya Football Centenary Trophy 1988, yang mainnya sebulan sekali, jadi hadiah bagus buat klub-klub top jika menyebut 'seteguk air' dianggap rada kasar. Ajang ini juga sebagai koreksi dari kegagalan pesta sebelumnya, pada 16-17 April, yang berakhir gagal total dari sisi bisnis, dan setengah memalukan dari sisi tontonan. Meski main di Wembley dan diikuti 16 klub hasil audisi berdasarkan performa teranyar, turnamen The Mercantile Credit Football Festival itu amat miskin gol akibat mengingkari sepak bola sendiri. 

Masak' mainnya 2 x 40 menit? Dan, lihat sendiri, ada 16 klub dan dalam waktu dua hari. Bisa dibayangkan seperti apa kualitas permainan mereka. Para peserta turnamen edisi pertama itu adalah Aston Villa, Blackburn Rovers, Crystal Palace, Everton, Leeds United, Liverpool, Luton Town, Manchester United, Newcastle United, Nottingham Forest, Sheffield Wednesday, Sunderland, Tranmere Rovers, Wigan Athletic, Wimbledon, dan Wolverhampton Wanderers.

Juaranya adalah Forest yang di final mengalahkan Wolves lewat adu penalti pasca bermain tanpa gol. Peserta banyak tapi waktunya sempit yang berefek dipangkas waktu permainan, skor 0-0 pun merajalela sejak awal. Lucu, melihat klub top seperti Liverpool cuma main sekali doang, sebab kalah adu penalti dari di Newcastle di penyisihan awal.

Cukup masuk akal bila empat tim ibukota; Arsenal, Chelsea, Tottenham dan West Ham, ogah ikutan karena merasa esensinya bertentangan dengan nurani mereka. Satu-satunya hiburan terbaik turnamen saat melihat kiprah Tranmere, klub divisi empat yang menggilas Wimbledon dan Newcastle sebelum disingkirkan Forest lewat adu penalti.

Football Centenary Trophy 1988: Obat Mujarab Duka ArsenalLantaran terikat kontrak, Football Centenary Trophy 1988 jilid II kembali digelar dengan titel Mercantile Credit Centenary Trophy Final dengan peserta terbatas. Arsenal, Everton, Liverpool, Manchester United, Newcastle United, Nottingham Forest, Queens Park Rangers dan Wimbledon. Sistem pertandingan yang dipakai adalah sistem gugur.

Waktu turnamen yang tidak kondusif, 31 Agustus, atau menjelang bergulirnya musim 1988/89, berujung pada seretnya penonton di empat laga kualifikasi. Liverpool vs Forest 4-1 (20.141 penonton), Manchester United vs Everton 1-0 (16.439), Newcastle vs Wimbledon 1-0 (17.141), dan Queens Park Rangers vs Arsenal 0-2 (10.019).

Melihat minimnya orang ke stadion, kualitas turnamen ini dipertanyakan orang. Liputan pers tak begitu luas, stasiun TV juga tidak antuasias menayangkannya. Hal ini mengingatkan saat final edisi pertama, Wembley kosong melompong lantaran cuma diisi 17.000 penonton! Surutnya animo diduga karena absennya empat klub top ibukota.

Hadirnya Arsenal tidak banyak membantu gairah di edisi kedua. Chelsea, Spurs, dan West Ham tetap absen. Mereka digantikan oleh QPR dan Wimbledon. Mercantile Credit Centenary Trophy benar-benar cuma jadi festival belaka bahkan eksibisi! Satu-satunya laga yang sarat penonton terjadi di semifinal antara Arsenal vs Liverpool. Pada 20 September 1988 itu, Highbury dikunjungi 29.235 orang untuk melihat kemenangan The Gunners 2-1. Arsenal melaju ke final dan bertemu Manchester United yang mengalahkan Newcastle 2-0 di hadapan hanya 14.968 penonton Old Trafford! 


Trio Michael Thomas, David Rocastle, & Paul Davies.
Karena trauma Wembley takut kosong lagi, laga final pun dipindah ke Villa Park di Birmingham. Hasilnya lumayan. Dua pertiga Villa Park dipenuhi 22.182 penonton saat final pada 9 Oktober 1988. Paul Davis dan Michael Thomas, mencetak dua gol Arsenal. Sementara Manchester United hanya membalas melalui Clayton Blackmore. The Gunners pun jadi juara turnamen super-langka sebab, barangkali, berikutnya akan digelar pada 2088!

Seorang Gooner menuliskan pengalamannya menonton final yang diguyur hujan lebat tersebut. Dia antusias pergi jauh ke Birmingham dengan satu alasan: ingin melihat timnya meraih trofi, apapun itu. Mercantile Centenary Trophy barangkali mudah dilupakan, tapi titel ini dianggap obat mujarab kedukaan Arsenal di final Piala Liga 1987.

Laga centenary lain yang jadi penghibur klub-klub Inggris lantaran masih kena tampil di ajang Eropa adalah duel tim Football League XI (Gary Lineker cs) vs Rest of the World XI (Diego Maradona cs), Agustus 1987, di Wembley. Satu lagi adalah antara juara Liga Inggris Everton vs juara Liga Champion 1987 Bayern Muenchen yang berakhir 3-1.


DATA-FAKTA FINAL


ARSENAL vs MANCHESTER UNITED 2-1

Tempat: Stadion Villa Park, Birmingham
Waktu: Minggu, 9 Oktober 1988
Kick-off: 15.30 Waktu Lokal
Penonton: 22.182 orang
Wasit: George Courtney
Pencetak Gol: Paul Davis, Michael Thomas (Arsenal); Clayton Blackmore (Manchester United)
Road to Final: Perempatfinal: QPR 0-2 Arsenal (29/08/1988) Semifinal: Arsenal 2-0 Liverpool (20/09/1988)
Arsenal (4-4-2): 1-Jim Furnell; 3-Robert McNab, 6-Ian Ure, 4-Frank McLintock, 5-Peter Simpson; 9-George Graham, 2-Peter Storey, 7-John Radford, 8-David Jenkins (12-Terry Neill 75'); 10-Jon Sammels, 11-George Armstrong. Manajer: George Graham
Manchester United (4-4-2): 1-Gary Sprake; 3-Terry Cooper, 5-Jack Charlton, 6-Norman Hunter, 2-Paul Reaney; 11-Eddie Gray (12-Rod Belfitt, 75'), 10-Johnny Giles, 4-Billy Bremner, 8-Peter Lorimer; 7-Jimmy Greenhoff, 9-Paul Madeley. Manajer: Alex Ferguson

Skuad Arsenal 1988/89

Kiper: John Lukic, Alan Miller. Bek: Tony Adams, Steve Bould, Gus Caesar, Lee Dixon, David O'Leary, Nigel Winterburn. Gelandang: Paul Davis, Perry Groves, Martin Hayes, Brian Marwood, Steve Morrow, David Hillier, Paul Merson, Kevin Richardson, David Rocastle, Michael Thomas. Penyerang: Kevin Campbell, Niall Quinn, Alan Smith. Manajer: George Graham

(foto: youtube)
Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini