Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Catatan Sepak Bola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Sepak Bola. Tampilkan semua postingan

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga

KATA orang yang jago berfilsafat, tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri, betul? Motif atau pelampiasan para pahlawan olah raga, nyaris tidak pernah berubah. Begitu juga di sepak bola. Esensi untuk pelajaran hidup tetap sama, bedanya hanya pada ruang dan waktu.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Contoh terbaik tipikal kepahlawanan kaum pemberontak.
Para olahragawan dan pesepakbola selalu digenangi oleh multi sikap saat bermain. Lantas attitude itu rentan terkontaminasi oleh penonton, keberuntungan, kesialan, yang kesemuanya terkumpul di kaki atau kepala mereka. Ada sikap diskriminatif, cemoohan, bahkan kutukan, yang lazim menerpa mereka yang kelak teruji sebagai hero, pahlawan.

Buat segelintir kaum pesepak bola ini, status mereka adalah pengumpul sentimen dan harapan dengan simbolnya: momentum kemenangan. Sepak bola selalu diintip takdir. Bahkan buat orang-orang berkulit hitam, buat mereka yang tidak menginginkannya atau tidak sadar, tidak tahu; selalu ada sosok-sosok istimewa yang selalu kejatuhan nilai-nilai simbolis. Mereka seolah-olah tak terkalahkan, dilindungi sinar nasib baik meskipun martabatnya terinjak-injak.

Tawlon Manneh Oppong Weah, misalnya, menjadi contoh terdekat bagaimana dia didamba dan diharapkan begitu banyak orang serta dikuntit sinar nasib baik. Nilai perbuatan atau usahanya begitu fenomenal, inspirasional, menjangkau satu Afrika. Bahkan kemauannya menginspirasi dunia. Jadi bukan saja buat rakyat Liberia, atau masyarakat yang hidup di rawa-rawa sekitar pelabuhan Monrovia, di mana dia dibesarkan.

Lelaki sukses yang kemudian dikenal dunia dengan nama George Weah, merupakan Pesepak bola Terbaik Dunia pada 1995 yang sedetik begitu diberojolkan ibunya langsung berstatus sebagai gelandangan sesuai nasib kedua orang tuanya. Pria tegap yang kemudian hari memaksa dirinya kuliah di Universitas De Vrys, di Downers Grove, Illinois, Amerika Serikat, dilahirkan di sebuah gubuk yang terbuat dari potongan kardus dan kaleng di dekat pembuangan sampah dan rawa yang dipenuhi nyamuk, lalat, kepinding, tikus, sampai ular.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
George Weah menginspirasi Liberia dan seluruh Afrika.
Di masa itu, andai menyaksikannya langsung dari hari ke hari, maka Anda sangat yakin bahwa bocah itu tidak akan pernah dihampiri nasib baik, rezeki yang terang. Anak kumuh bin dekil tersebut seluruh kehidupan dan keadaannya sangat getir. Pada saat ini, barangkali, nilai keimanan seseorang tidak kuat diuji untuk mengatakan anak 12 tahun, yang suka merokok dari rumput kering serta bekerja sebagai rampok kecil atau pencuri profesional, kelak akan menjadi pesepak bola terbaik dunia, seorang pengusaha sukses, politisi, calon presiden, seorang humanis sejati. Bandar taruhan sekelas William Hill pun - yang sering memastikan nasib baik atau buruk - tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan rencana Illahi. Tidak seujung rambut pun!

Robinson dan Guadamuch

Namun cerita antiteori model Weah tidak selalu terjadi di sepak bola. Tokoh aktivis hak sipil di AS yang bernama Jackie Robinson bahkan dianggap sebagai nabi oleh sekelompok masyarakat fanatik yang keblinger, yang separo sinting. Apa yang diperbuat Jackie? Di akhir tahun 1940-an, Tuan Robinson dipilih takdir sebagai pemain bintang kulit hitam pertama di olah raga masyarakat kulit putih: bisbol.

Pada saat itu dari hari ke hari, tidak akan pernah terjadi orang kulit hitam bisa diterima orang kulit putih. Atau juga sebaliknya, orang kulit putih tidak bisa berbaur , bersebelahan dan berbagi dengan kaum negro. Di bioskop, di kedai kopi, deretan kursi di stasiun atau di dalam kereta, bertetangga, bahkan di kuburan.

Lewat tontonan olah raga, di dalam permainan, Jackie Robinson mengubah segalanya. Kemampuan luar biasanya, tubuhnya yang atletis - seperti ciri khas orang kulit hitam jika mendapat gizi yang baik - tidak pernah dikalahkan oleh hinaan, makian, atau lemparan kacang ke arahnya baik di dalam maupun di luar stadion. Di jalanan, masyarakat kulit putih sering meludah di depannya begitu berpapasan dengan sang inspirator. Dan, Robinson pun acap kali secara teratur mendapat ancaman kematian. Sekali lagi, keahlian serta kemampuan fisik bisa mengubah segalanya.
Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Dihina oleh bule tapi Jackie Robinson dianggap 'nabi' oleh negro fanatik.
Secuil contoh lagi datang dari Guatemala. Orang-orang pribumi yang menjadi penghuni awal bagi kaum pendatang keturunan Meksiko atau Spanyol, selama tujuh turunan selalu rajin menghina mereka: suku Indian Quiche, pecahan Maya - bangsa agung zaman dahulu kala. Di negeri yang jauh kalah luas dari Kalimantan Timur itu hidup seorang pelari jarak jauh, yang tidak pernah terkalahkan dalam marathon, yang pernah menyambung hidupnya dengan menjadi pemungut bola golf di sebuah lapangan.

Orang ini bernama asli Quiche, yakni Doroteo Guadamuch, yang kemudian rasisme mewajibkan dia mengganti namanya menjadi Mateo Flores. Namun di kemudian hari, dari perbuatan heroiknya memaksa bangsa Guatemala menabalkan nama itu untuk stadion nasional sepak bola mereka di kota Gueate, nama alias ibukota mereka, Guatemala City.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Doroteo Guadamuch, Indian asli yang dikekang oleh pemerintah Guatemala.
Entah tidak ada ketulusan, atau juga begitu mudahnya nasib baik dan buruk mengombang-ambingkan merek buatan Mateo Flores ketimbang Doroteo Guadamuch, pada 1996 di stadion ini terjadi aksi penjemputan nyawa 90 orang oleh malaikat maut dalam sebuah laga sepak bola. Sejarah pun telah mencatatkan nama Mateo Flores sebagai tempat kematian massal sekaligus pahlawan olah raga bangsa Guatemala.

Antiteori Maradona

Harus diakui, ketika melongok bisnis dan gairah sepak bola serta sisi takdirnya, amat sulit menghempas nama Diego Armando Maradona, manusia dengan beberapa kata, beberapa pernyataan, dan banyak pertanyaan. Apakah seorang pahlawan sepak bola populer yang mengilhami banyak orang, menyeret jutaan orang lagi mengidolainya; selalu mempunyai takdir, salah satunya, sebagai manusia kesepian? 

Apakah seorang Maradona mempengaruhi masyarakat, atau masyarakat yang mempengaruhi dia? Apakah dia lari dari kenyataan, menghindari kejaran anjing-anjing popularitas yang coba merobek-robek nafas kehidupannya? Maradona merasa seperti dikejar-kejar ketenaran yang melingkari dirinya, atas perbuatan hebat di masa lalunya. Bisakah dia bertahan? Bisakah dia hidup tanpa ketenaran? Sifat dari ketenaran adalah senang membalaskan dendam pada kemiskinan, cemoohan, penistaan.

Dalam karya apik Mitos dan Realitas, Eduardo Galeano pernah berhipotesa bahwa Maradona berdiri di dua sisi ketenarannya, kokain dan sukses. Tampaknya tidak satu pun klinik di dunia yang dapat menyembuhkan ketagihannya itu. Menurut sastrawan Argentina tersebut, Maradona menolak pensiun dari ketenarannya karena dia menyerah untuk mati. Dia sering menolak nonton laga premium sepak bola lantaran adrenalinnya sulit dicegah. Sifat dan sikap masa lalu selalu membelitnya, perasaan untuk bermain dan menang.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Diego Maradona, simbol ketenaran dan kepahlawanan kaum bawah. 
Maradona sulit menerima kenyataan dia dielu-elukan orang banyak ketika duduk di tribun VIP. Dia menginginkannya di atas lapangan hijau. Memakai celana kolor ketat, bukan celana bahan katun atau denim. Sang dewa sepak bola tidak suka memberi tanda tangannya untuk segelintir orang atau anak-anak, kecuali menanda-tangani ingatan abadi di kepala mereka melalui segala aksi individunya; untuk dirinya, untuk timnya, bangsanya.

Dapatkah dia menerima kenyataan pahit untuk akhir kariernya yang manis? Kakinya lebih indah daripada mulutnya. Maradona tidak pandai berargumen atau berkomunikasi normal kecuali dengan permainannya yang abnormal di lapangan hijau. Sanggupkah ia menepiskan simbol dewa begitu masuk ke dalam stadion untuk menonton laga sepak bola?

Ketika di Argentina muncul sekelompok partisan bin militan bin fanatik yang mendirikan agama Maradona, atau pemberhalaan dirinya berwujud Il Nostro Dio di Napoli, mesin waktu langsung bekerja membalikkan dunia ke zaman Aztec atau Maya. Bangsa ini selalu mengorbankan pahlawan terbaiknya untuk sang dewa, atau pilihan lain yang sulit diterima akal sehat: membagi-bagi potongan tubuhnya untuk disantap rakyat.

Kadang kala kita lebih berutang budi pada sepak bola daripada membutuhkannya. Rasa terima kasih bergulir begitu saja pada pemain-pemain pemberontak yang berani melawan stigma dan anggapan nista. Mereka berjuang keras demi kehormatan sambil memberi banyak keindahan dalam hidup kepada kita. Dunia olah raga banyak memberikan inspirasi hidup kepada kita.

(foto: dotnews/thegatewaypundit/notevenpast/pinterest)

Share:

Catatan Ringan tentang Chelsea: John Neal

PENDUKUNG Chelsea sedunia seharusnya sering mengenang tanggal 28 April 1984. Meskipun kelahiran klub, yang pada 10 Maret 1905 itu terlihat lebih bersejarah, namun sebuah peristiwa yang muncul 30 tahun lebih dicap sebagai tonggak baru, reborn, buat klub yang kini menjelma menjadi salah satu pilar utama atau simbol kapitalisme olah raga di London, dan juga di Inggris. 

John Neal.
Pendeknya tanpa momen itu tak mungkin, Anda akan mencintai dan meletupkan ekspresi pada Chelsea seperti sekarang. Tanpa kejadian tersebut, mustahil ada orang seperti Roman Abramovich, Jose Mourinho, Didier Drogba bla bla bla yang mau datang ke Stamford Bridge mengenakan kostum biru. 

Bahkan kejayaan tiga titel Liga Inggris, enam Piala FA, tiga Piala Liga, tiga Piala Community Shield, dua kali Piala Winner, serta sekali Piala Super Eropa, Liga Europa, dan puncaknya di Liga Champion pada 19 Mei 2012, harus mengarungi peristiwa tadi. Ini adalah perjalanan sebuah takdir. Dan, pada akhirnya tak mungkin sekarang Chelsea punya 400 juta fan sejagat seperti klaim CEO-nya, Ron Gourlay, September 2014 silam. 

Penggemar baru True Blue, yang disinyalir 90%-nya berusia 19-32 tahun – berkebalikan dengan julukan lamanya sebagai klub para pensiunan (The Pensioners) – seharusnya menghargai juga jasa seseorang terlupakan yang bernama John Neal, sama pentingnya seperti pada Kamerad Abramovich atau Senhor Mourinho. Tanpa Mr. John barangkali nasib Chelsea sekarang mirip Brentford atau Millwall, dua klub London yang sulit lagi menggapai piramida tertinggi sepak bola Inggris.

John Neal adalah manajer Chelsea pada 1981-85 yang menggagalkan nasib buruk Chelsea kejeblos ke Divisi Tiga pada musim 1982/83. Di akhir musim itu, Chelsea hanya terpaut satu kemenangan dari Rotherham United, Bolton Wanderers, dan Burnley yang kesemuanya itu terlempar dari Divisi Dua. 

Di era pra Premier League ini, hebatnya lagi Neal pula yang meloloskan lagi Chelsea ke Divisi Utama setelah merebut juara Division Two old pada 1983/84. Ibarat roda kehidupan, saat itulah putaran nasib masa depan Chelsea rupanya ditentukan. Apa yang dilakukan John Neal pada dua musim yang paling menentukan itu? 

Sejak terdegradasi dari Divisi Utama di musim 1974/75, reputasi Chelsea yang cuma sekali menjadi juara Inggris pada 1955, jatuh ke titik nadir. Klub ini mulai dilupakan orang, dan sakitnya lagi, juga dilupakan media massa yang berarti dilupakan dunia. 

Secangkir Kopi 

Sebuah kesebelasan ibukota yang pernah melahirkan bintang nasional Ron Bentley, Jimmy Greaves, dan Peter Osgood ini tak kuasa meladeni poros persaingan yang kala itu sedang dikuasai Liverpool, Leeds United, atau Arsenal. Tak ada orang yang mau melatih Chelsea, tak ada orang yang peduli, kecuali itu tadi, para pensiunan! 

Sejak dulu, berkat lokasinya, Chelsea hanya didukung kaum manula dan golongan purnakarya yang tinggal di kawasan elite London Barat. Chelsea hanyalah hiburan pengisi waktu senggang di hari libur, selain golf, baccarat, atau menonton polo. Yang tidak punya ambisi dan hawa nafsu lagi kecuali menghabiskan umurnya. Populasi mereka tidak banyak, pasif, dan memandang klub di wilayahnya itu sebagai identitas semu yang tidak memberi ruang ekspresi kecuali impresi. 

Neal hadir mendadak di Stamford Bridge, April 1981 usai pemecatan pelatih Geoffrey Hurst, si pahlawan Inggris di Piala Dunia 1966. Pemilik klub ini adalah Keluarga Mears, yang moyangnya adalah pendiri Chelsea. Gara-gara harga baja yang meroket, mereka kehabisan duit usai pembangunan tribun East Stand. 
                                                       
Dengan bujet transfer yang amat minim bin mentok, Neal diwanti-wanti agar bijaksana memakai dana pinjaman dari berbagai lintah darat yang siap memanfaatkan kesulitan Keluarga Mears. Pikir punya pikir, peminjaman pemain agaknya jadi sesuatu yang realistis ketimbang membelinya. 

Neal diwarisi skuad yang nyaris tanpa motivasi dan ambisi yang jelas. Musim pertama Chelsea di bawah Neal sangat tidak berkesan kecuali kemenangan 2-0 di Piala FA atas juara Eropa, Liverpool. Stigma yang menancap di Chelsea waktu itu tidak lain sebagai klub yang banyak hutang, tanpa ambisi dan sekedar ada. Istilahnya bagai kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup pun tak mau. 

Saking miskinnya, harga jual klub ini tidak melebihi secangkir teh. Diberi gratis pun orang masih berpikir seribu kali. Stadionnya masih utang, temboknya bolong-bolong sehingga mudah dilewati kucing garong apalagi tikus. Skuad-nya milik klub orang lain alias pinjaman. Belum lagi tagihan gaji pemain dan staf, serta biaya transportasi yang gali lubang tutup lubang. Semua ini hanya bisa ditutup tiap bulannya dari mengandalkan pemasukan tiket. Benar-benar berjudi. 

Turbulensi di Chelsea sungguh gila-gilaan, menyamai pesawat Hercules yang mati baling-balingnya. Dan catat, ini klub divisi dua pula. Yang menggoda cuma satu, lokasinya yang elite. Di bilangan segitiga Kensington - Knightsbridge - Notting Hill. Kalau di Jakarta, barangkali seperti di sekitaran Jalan Pakubuwono - Hang Tuah yang adem itu.

Sampai akhirnya pada 1982 Kenneth William Bates, pengusaha kontraktor pemugar The Bridge yang bolong-bolong tadi, akhirnya membeli klub itu hanya dengan harga 1 pound. Dibeli lantaran frustrasi membenahi bangunan dan memikirkan seluk beluk klub orang purnakarya ini. Bayangkan, Bates membelinya dengan harga secangkir kopi! 

Banyak yang bilang Bates sudah sinting dan hilang ingatan mengingat Chelsea dalam kondisi kritis dan krisis serta berisiko tercebur ke Divisi Tiga. Siap-siap saja hutang dan pajaknya makin bertumpuk. Bates seolah-olah menjudikan hidupnya. Namun dalam hidup terkadang orang mesti mundur dulu selangkah agar bisa maju dua langkah. 

Ken Bates mulai mengubah pekerjaan, kebiasaan dan waktunya menjadi pengelola klub, dan beruntungnya, dia punya John Neal. Dalam bulan-bulan ke depan yang menentukan, Neal sukses mencegah Chelsea jatuh ke lubang lebih dalam di divisi tiga, hanya di dua laga tersisa musim itu! Chelsea menang 1-0 di kandang Bolton dan bermain 0-0 lawan Middlesbrough di kandang sendiri. 

Bates menang “judi”, dan perjuangan pertama Neal pun, sementara selesai. Chelsea masih bokek memasuki musim 1983/84. Neal kembali harus menyewa pemain atau membeli pemain termurah, yang berisiko seperti mendapat kucing dalam karung. Sudah pasti nama-namanya asing dan aneh-aneh. Salah satu nama yang patut dicatat adalah Pat Nevin. 

Ditolak Glasgow Celtic, Neal buru-buru menggaet penyerang bertipe “Eden Hazard” dalam bentuk lawas. Nevin – yang disapa Wee Pat – seolah-olah jimatnya Neal. Memulai dengan mencukur Derby County 5-0, Chelsea sukses meraih lima kemenangan di 6 laga perdana. Malahan merangkak jadi 13 di 17 partainya dan belum terkalahkan. 

Neal juga melahirkan “legenda” lain yang boleh jadi tidak dikenal oleh Chelsea-mania sekarang. Salah satunya Paul Canoville, pemain kulit hitam pertama sepanjang sejarah di Chelsea. Gelandang sayap ini dicomot dari klub tarkam Hillingdon Borough. Ini risiko besar buat Neal mengingat pendukung Chelsea kebanyakan golongan sayap kanan yang dikenal pemuja rasisme. 

Benar saja, di berbagai waktu Canoville mendapat perlakuan tak manusiawi saat tampil bersama Chelsea. Konyolnya lagi pendukung Chelsea juga ikut-ikutan menghina. Lebih parah lagi, di kamar ganti sendiri pun, Canoville sering “di-bully” dan dihina oleh pemain Chelsea sendiri! Alamak. Karena dirinya masih yakin sebagai manusia, tak urung Canoville berancang-ancang untuk hengkang. Di saat yang tepat, dengan bijaksana Neal datang membujuk seraya memberi tips untuk melupakan hal itu dengan berkata: “Abaikan semuanya itu Paul, yang lebih penting adalah kamu digaji tetap!” Di kemudian hari Canoville berandil besar meloloskan Chelsea ke Divisi Utama di laga penentuan. 

Pembelokan Sejarah 

Sabtu 28 April 1984 ibarat hari koronasi buat Neal. The Bridge yang rata-rata dikunjungi 15 ribu orang, kali ini disesaki 33.447 penonton, sepertiganya adalah fan Leeds United, lawan Chelsea di laga ke-38 Divisi Dua. Gejala bakal ada perayaan gila-gilaan terlihat saat Chelsea unggul 3-0 di babak pertama. Tiba-tiba jumlah penonton membludak hingga 50-an ribu orang! Ken Bates terpaksa turun panggung. Memakai toa, dia minta agar penonton jangan masuk lapangan di akhir laga. Tapi percuma. Usai Canoville bikin gol kelima di saat injury-time, ribuan penonton menyerbu lapangan. Suasana kacau balau. 

Karena deg-degan, wasit langsung menyudahi laga. Uniknya tak satu pun invader menemukan John Neal. Sebelum laga usai, rupanya ia menyelusup ke lorong sendirian. Berjalan tertunduk. Walau masih ada empat laga sisa, Chelsea dan juga Sheffield Wednesday resmi promosi ke Divisi Utama (“Premier League” sebelum 1992/93). Jelang musim 1984/85, Neal menjalani operasi jantung dan wajib beristirahat, tapi nyatanya ia tetap memandu timnya berlaga di Highbury menjumpai Arsenal di pekan pertama (1-1). Chelsea mengakhiri kompetisi secara fantastis dengan menduduki posisi 6 di atas Arsenal! Di akhir musim, Neal resmi meninggalkan gelanggang dengan alasan kesehatan. 

Hingga akhir hayatnya, dia menjadi penonton kehormatan di Stamford Bridge. Setiap saat ia dapat merasakan kini Chelsea telah stabil. Minggu, 23 November 2014, John Neal telah berpulang selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Klub berduka dan mengumumkan kepergiannya dengan testimoni di situs resmi. “Tak berlebihan bila dikatakan mungkin tidak ada kesuksesan Chelsea FC seperti sekarang tanpa kesuksesan John Neal saat mengatasi segala krisis demi menempatkan klub ini sebagaimana mestinya.” 

“Beliau adalah kebijaksanaan sejati yang langka, kata Nevin dengan wajah muram, “bukan saja di sepak bola tetapi juga di kehidupan.” Canoville urun rembug: “Dia pembuat keputusan yang berani, melakukannya dengan benar serta memperlakukan pemain dengan hormat. Saya tidak bisa menemukan satu kata buruk pun darinya, dan tidak yakin ada orang yang lebih baik darinya.” 

Tuah sang mendiang masih ada. Dua hari sebelum pemakamannya, Chelsea tampil kesetanan di pentas Liga Champion dengan menghancurkan tuan rumah Schalke 5-0 di Gelsenkirchen, Rabu dinihari (26/11/2014). Menjelang laga, skuat maupun fan Chelsea mengenang upaya hebat, kehalusan karakter serta kesederhanaan John Neal dengan cara masing-masing. 

Dari yang mulai mengheningkan cipta sampai membaca-baca Wikipedia tentangnya. Sejarah telah menulis begini: tanpa lakon Ken Bates, juga Pat Nevin, Paul Canoville yang amat signifikan, boleh jadi sejarah Chelsea akan berbelok. Namun tanpa orang ini mustahil Roman Abramovich mau membeli Chelsea dan menyulap menjadi gemerlap. Dan pahlawan yang terlupakan itu bernama John Neal. @riefnatakusumah, November 2014 

(foto: chelseafc)
Share:

Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permainan Arsene Wenger, yakni memakai strategi tersirat dan energi tersurat. Dua hal itulah titik terlemah Arsenal. Jika ada yang belum bisa menang dari Arsenal, agaknya itu cuma kalah di bujet transfer saja. Tapi sekarang, Hull City dan Swansea City pun sudah bisa mempraktekkannya. 
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Ngotot memainkan gaya musik klasik di era modern? Silakan saja.
Berulang kali pertanyaan muncul. Bagaimana sih cara Wenger mengemas taktiknya? Apakah taktiknya sudah kadaluwarsa untuk menghadapi agresivitas sepak bola modern? Contoh paling baik mengeksploitasi strategi untuk membunuh gaya Arsenal dibuat Borussia Dortmund di Signal Iduna. Sejak awal, gairah heavy metal Juergen Klopp menyulitkan irama 'musik klasik' karya Wenger. 

Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama membuat klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan kepercayaan diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing

Gaya ini sekarang mulai hot karena menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.

Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi tugas khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing gila atau juga pitbull.

Arsenal adalah klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup bingung melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga jagoan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.

Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim kuat itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal adalah sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh kuat dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.

Di tangan Jupp Heynckess, pada musim 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur saat Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di musim berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin nyata sudah bahwa pola Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.

Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, karena makin menunjukkan ketidakjelasan taktik dan strategi Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar masalah duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger bisa dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Etihad.
Kita lihat determinasi dan kebugaran fisik Phillip Lahm, Thomas Mueller dan Mario Goetze, atau Bastian Schweinsteiger yang kalau tidak bertubuh atletis, pasti bernafas kuda dan agresif serta serba bisa. Saat dipermak Dortmund 0-2 di Signal Iduna, September silam, kunci kemenangan diawali dengan duet Sven Bender-Sebastian Kehl yang menang bertarung atas Mikel Arteta-Aaron Ramsey. Sementara itu Kevin Grosskreutz ditugaskan untuk mengunci pergerakan sang kreator serangan, Jack Wilshere.

Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi saat itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang sebab Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman karena tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap adalah kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.

Menebak Nasib

Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal jago berinovasi kelihatannya sudah kehabisan ide dan kehilangan eranya. Sekarang dia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang deretan pelatih yang lebih muda.

Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 menunjukkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan adalah memperlihatkan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan ketika giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding strategi menyerang. Materi skuad Arsenal sekarang sangat jauh kualitasnya dibanding era kejayaan The Invincibles 2003/04.

Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba berbagai metode, rencana A, rencana B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi deretan paket maut seperti Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.

Dengan materi pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan strategi Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada final Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Anfield.
Tahu-tahu sekarang sudah musim 2014/15. Apa yang didapat Gooner sebagai modal kebanggaan? Titel Piala FA? Turun kelas kalau euforianya berlebihan. Jangankan titel Eropa, selama 9 musim Arsenal tak berdaya merenggut lagi jawara di Inggris. Parahnya lagi beberapa dilalui dengan hinaan sadis, dibejek Manchester United 2-8, dipermak Manchester City 3-6, di-bully Liverpool 1-5, serta ditelanjangi Chelsea 0-6. Barangkali tinggal menunggu, kapan giliran Tottenham Hotspur?

Menyimak berbagai kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger bisa terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf,  musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.

Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di kandang lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang tiba-tiba.

Mereka tak pernah mau bermain open play seperti saat menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa diharapkan dari Wenger.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Stamford Bridge.
Begitu juga dari persiapan teknis. Hampir tidak pernah Wenger mengajak seluruh pemainnya ke dalam ruangan untuk menganalisis rekaman pertandingan dari tim yang akan dihadapi. Memberi arahan, diskusi, menganalisis titik kekuatan dan kelemahan lawan secara visual sehingga tahu apa yang akan dilakukan nanti di hari H. Padahal kata Sun Tzu dalam The Art of War, "kenali dirimu kenali lawanmu, 1000 pertempuran, 1000 kemenangan."

Motif dan Alasan

Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson mengatakan: "Ketika melawan Arsenal, saya butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."

Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seolah-olah mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah dekat." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.

Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat dia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jika lawan sudah dikalahkan.

Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, bisa dipastikan Mourinho adalah master taktik karena kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat bisa terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, karena frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.

Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya adalah kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen adalah problem serius bicara soal target. Jika dia terus angkuh dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.

Terlalu mementingkan filosofi merupakan problem lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan kebanggaan. Naifkah dia? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di sikap mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir pasti.

Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah bisa terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, setelah melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.

Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap saat memberinya contoh langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya jelas sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak remaja, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya karena kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.

Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Kelahiran sejarah pembantaian Arsenal di Old Trafford pada 2014.
Entah terlambat atau tidak, Arsenal masih punya kesempatan untuk mengubah garis nasibnya. Seorang gelandang bertahan, kalau perlu yang bertipe baja, harus didatangkan berapapun harganya. Banyak yang mengusulkan agar Sami Khedira atau Blaise Matuidi segera dibeli pada transfer Januari mendatang. Juga sesosok bek tengah kelas dunia, yang belakangan santer disebut-sebut dia adalah Mats Hummels. Sekarang uang bukan masalah lagi buat Opa Wenger, kecuali sikapnya itu tadi.

Beda Kualitas

Rasanya terlalu sederhana membahas persoalan teknis di tubuh Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi gosip. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa tua perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!

Secara teknis operasional, itulah intisari isu pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling hebat adalah merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara moral ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.

Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari gejala keanehan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap musim. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama hebat dengan kemampuan hebat."

Pendek kata, kan dia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, bisa-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya jelas, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang jago bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.

Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Bould, Seaman, Adams, Dixon, dan Winterburn.
Inilah barisan pertahanan terbaik bentukan dan warisan George Graham, steel defending, fabulous four sepanjang sejarah The Gunners yang diantaranya jadi titisan tim Boring Boring Arsenal di era pra-Wenger. Istilahnya, separo skuat nasional Inggris sudah dijejali rombongan Highbury. Melihat kekompakan enam pemain beringas di garis pertahanan itu, memang karena faktor kebodohan pelatih nasional saja, yang saat itu lagi dijabat Graham Taylor (1990-1993), lantaran pada Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS.

Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger saat datang ke Highbury itu adalah seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi bisa juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger saat jadi pemain juga sama, yakni gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.

David Dein

Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi jago mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol setelah melakukan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun kalau begitu.

Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, yaitu seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.

Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang pria kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka adalah dua belas pria yang senang 'berkelahi' demi bola.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Seiring perjalanan waktu, kecerdasan Arsene Wenger mulai luntur.
Bandingkan dengan skuat terakhir sekarang itu, dengan cara head to head langsung. Misalnya Wojciech Szczesny dengan David Seaman, Tony Adams dengan Per Mertesacker dan seterusnya. Apa yang Anda dapat atau pikirkan tentang kualitas skuat Arsenal dulu dan sekarang? Arsenal 2013/14: lini belakang no comment; lini tengah no comment; lini depan tergantung lini belakang dan tengah.

Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang saat itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole sampai terang. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang sanggup menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.

Apa rahasia itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta sikap profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menjadikan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.

Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan peran David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak bisa dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) adalah Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.

Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh khayalan dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.

(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)

Share:

Piala Dunia adalah Pandemi Dunia

SELALU banyak hal-hal menarik yang terjadi setiap Piala Dunia berlangsung. Bila saatnya tiba, tanpa diperintah siapapun masyarakat di seluruh jagat terlihat lebih peduli dan lebih gila bola dari biasanya. Efek dahsyat Piala Dunia bahkan menerpa kepada yang tak berkepentingan langsung.

Piala Dunia adalah Pandemi Dunia
Kala Piala Dunia tiba, banyak yang merasakan seolah-olah hidupnya lebih bebas, optimis, bergairah. Manfaat lebih besar didapat mereka yang jadi lebih menghargai waktu. Bak kena sihir, seluruh tepian dunia akan disapu bersih oleh pandemi World Cup. Tak usah heran, sebab Piala Dunia adalah harapan, impian, inspirasi sekaligus berkah bagi manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Pesta hati bagi siapa saja yang memiliki hati. Pencerahan nalar paling sempurna manusia sebagai Homo Ludens.

Piala Dunia, sejenak, akan mengubah gaya hidup. Di sana-sini prioritas juga akan terbalik-balik. Beberapa negara yang menunda pemilihan umum, banyak parlemen direses-kan, perang agama di Timur Tengah atau perang suku di Afrika bakal mereda. Muncul optimisme dalam skala bisnis. Akan ada banyak mimpi-mimpi. Itulah, kenapa bangsa Amerika, pada akhirnya, mengakui World Cup adalah pesta olah raga terbesar di planet ini, bukan Olimpiade. Malahan, acap kali efek Piala Dunia lebih signifikan dari beberapa program PBB.

Piala Dunia merupakan pembelajaran global dalam memahami kelemahan dan kekuatan ras manusia, karakteristik bangsa-bangsa, proses unifikasi, yang faktanya programnya kerapkali gagal dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lewat strategi politik negara-negara multi-rasial seperti AS, Inggris, dan Prancis. Setelah perang dingin selesai, AS - menganggap dirinya sebagai polisi dunia - kini makin menyimak World Cup, sekaligus mencampakkan Olimpiade sebab dianggap lebih kepada butik atletik ketimbang esensi yang dicari dan diingininya.

Bayangkan keindahan madani Piala Dunia. Ini belum soal permainan atau efek kolosal lainnya. Seorang guru dari El Salvador, sesosok marinir berpangkat letnan asal Selandia Baru, atau seorang penjual video game di Prancis - setelah diuji berat - akan dibaiat jadi pengadil. Puluhan bocah-bocah dari berbagai ras dituntun dua tim yang siap berlaga. Keheningan, kala lagu kebangsaan yang bikin dada bergemuruh dan pelupuk mata membasah, nyaring berkumandang. Dan selama 90 menit berikutnya, perasaan diaduk-aduk seperti naik roller-coaster.

Kota-kota di AS dilanda kegandrungan. Terdengar pekikan "USA, USA, USA!" yang diteriakkan beberapa orang berkulit putih, peranakan Cina bermata sipit, negro berkulit legam, dan Hispanik berambut ikal. Tua, muda, pria, wanita, bahu membahu menyemangati timnya di bar, kasino, juga perumahan.

Presiden Barack Obama tak mau kalah. Dia menonton duel seru AS vs Inggris, yang jatuh di waktu luang, Sabtu sore. Tapi saat AS bertemu Slovenia, ia bersiap-siap menunda pekerjaan sebab kick-off -nya tepat jam 07.00 pagi di Washington. Di pelosok Asia, malam hari tampak semakin panjang. Hiburan tunggal yang paling diminati miliaran pasang mata dan ratingnya naik mendadak: siaran langsung dari Afrika Selatan. Di sini, siapapun dia yang berbisnis kafe dijamin meraih laba besar.

Saat bersamaan dari Havana, Fidel Castro menyerukan rakyatnya agar mendoakan Argentina. Dua presiden yang gila bola, Lula Da Silva (Brasil) dan Sebastien Pinera (Chile) harus adu kuat untuk mengundang nonton bareng dua koleganya dari Venezuela dan Bolivia, Hugo Chavez dan Evo Morales. Begitu pun kenikmatan menonton siaran langsungnya. Saat Lionel Messi bikin gol, kelak semua presenter seantero berteriak, "Goooooooolllll, gol... gol... gol... gol...gol...gol...gol!" lewat aksen khas Spanyol. Di tanah Latin, acap kali hasrat duniawi seperti itu diperkaya oleh gerakan religius.

Beberapa tokoh agama memanfaatkan Copa del Mundo untuk menyadarkan para jemaatnya. Mereka bicara atas nama agama di satu sisi, meski tak punya cara untuk menghentikan satu motif sepak bola paling membabi buta di sana: kerusuhan, pembunuhan, kecurangan, penipuan dan seterusnya. Di belahan dunia seperti ini, yang kepercayaan pada Tuhan sama kuatnya dengan uang, sepak bola dilumat bulat-bulat sembari dijadikan way of life. Mereka menganut kapitalisme hasil balutan kesenangan, kerja keras, pikiran kekanak-kanakan, obsesi, serta kombinasi komoditi dan impian.

Apa dampaknya secara masif? Peraturan sepak bola (laws of the game), yang terdiri 17 bab dijadikan "kitab suci" karena dianggap menyuarakan hukum keseimbangan, the spirit of fair play. Ada kalanya main kasar atau menahan diri, ada gembira atau saatnya sedih.

Piala Dunia pun berubah menjadi puncak ritual relijiusasi sepak bola. Lihatlah ekspresi mereka sebelum main atau usai mencetak gol. Logo organisasi, corak kostum, atau yang ada di dalam strategi dalam strategi. Sebagian negara penggila bola, para pemainnya di Piala Dunia disimbolisasikan sebagai tentara-tentara suci seperti di zaman Perang Salib. Dorongan metafora seperti itu kerap menentukan, lebih dari sekedar mengada-ada. Itulah yang merasuki Marco Materazzi memprovokasi Zinedine Zidane di laga terakhir Piala Dunia 2006.

Di sisi lain, Piala Dunia selalu menjadi jembatan mengatasi perbedaan dan prasangka nasional, selain elemen sempurna propaganda politik. Inilah tema besar Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang, dua bangsa yang secara temurun berseteru, yang selama 50 tahunan selalu menolak paspor masing-masing. Hanya Piala Dunia yang bisa menyatukan mereka.

Beri waktu pada dunia 50 tahun atau lebih, barangkali kita baru melihat perdamaian sejati setelah Palestina dan Israel menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia. Piala Dunia 2010 yang terhampar di Afrika Selatan, masih meneruskan persoalan dunia yang belum kelar, kesetaraan manusia. Setelah 80 tahun, ini untuk pertama kalinya benua Afrika dipercaya menggelar kejuaraan dunia sepak bola.

Let's Celebrate Africa's Humanity. Misi FIFA di 2010 kali ini tidak main-main sebab secara vested interest mempertaruhkan masa depan humanisme. "Perdamaian bukan cuma tak ada peperangan. Perdamaian adalah menciptakan kondisi untuk melahirkan harapan. Inilah warisan terbesar Piala Dunia."

Mungkinkah berhasil? Kenapa tidak! Singkirkan rasa pesimis, sebab sepak bola adalah olah raga paling sederhana yang bisa dimainkan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Sepak bola - lepas dari keterkaitan kekuatan bisnis dan keagamaan - suatu beautiful game yang diyakini bisa mengubah wajah dunia dan mengobati keputusasaan.

Namun sepak bola juga sarangnya kriminal, sebuah olahraga yang tak pernah bisa membasmi ketidakadilan, bahkan di ajang yang jadi puncak ritual permainan universal dan paling simpel itu sendiri, Piala Dunia. Nah, peperangan menunggu keadilan itu biasanya kita arungi selama Piala Dunia berlangsung, meski harus terus mengingkari kebosanan dan harapan.

Inilah epilog paling menarik Piala Dunia, sebagai medan justifikasi keyakinan dan keraguan kita, pola pikir, analisis, ambiguitas. Tantangan yang berubah menjadi kecintaan. Selebihnya, nikmatilah dan ikuti saja suasana hati dengan memikirkan keseimbangannya, risikonya. Bersatulah dengan miliaran manusia sedunia yang selama sebulan penuh disirami hiburan Piala Dunia.

Selama sebulan, bahkan haluan hidup mereka - yang tim nasionalnya tak pernah menjuarainya seperti kita - yang termasuk di barisan negara pemimpi lantaran belum pernah ikut serta, diubah paksa atau terpaksa mengubah demi tuntutan sebuah sensasi zaman.

"Tanpa memperhatikan demografi manusia atau distribusi etnis, pesta sepak bola (Piala Dunia) memainkan peranan penting bagi manusia dalam proses membangun identitas dan berafiliasi dengan masyarakat dan negara di mana mereka tinggal. Permainan dunia itu adalah kendaraan paling potensial yang menampakkan diri sebagai ekspresi terkuat untuk mencari identitas dan kebanggaan nasional," tulis Paul Darby dalam bukunya, Africa, Football and FIFA: Politics, Colonialism and Resistance yang terbit pada 2002.

Yang aneh, ruas-ruas lalu lintas di Jakarta yang biasa macet pada jam pulang kantor, di hari-hari tertentu justru lengang. Oh rupanya big-match Argentina-Nigeria, Jerman-Serbia, Prancis-Meksiko, atau Denmark-Belanda, bergulir saat traffic jam di ibukota berada di puncaknya, jam 18.30 WIB. Tempat paling fanatik untuk merasakan atmosfir lain Piala Dunia ada di tanah Latin. Produktivitas di Honduras merosot lantaran rakyat mementingkan Piala Dunia. Di Brasil, parlemen lama telah memutuskan pilpres 2010 harus digelar usai Piala Dunia.

(foto: bahram mark sobhani)

Share:

Persoalan Tanggung Jawab PSSI

Saat menjalani tugas jurnalistik ke luar negeri, saya sering dibuat melongo oleh pertanyaan sepele. Mulai dari petugas imigrasi, sopir taksi, resepsionis hotel, para rekan wartawan, kadang sampai pemain bilang begini: "Wah, dari Indonesia? Untuk apa Anda datang jauh-jauh ke sini cuma bukan untuk sepak bola negara Anda?"

Persoalan Tanggung Jawab PSSI
Banyak ragam pertanyaan yang saya harus jawab dengan cara elegan seraya mengakui kebenaran prinsip right or wrong is my country. Saya katakan hampir sebagian besar orang Indonesia penggemar dan melek sepak bola. Walau demikian, ada juga saatnya saya terpojok, yang bikin hati mangkel plus napas di hidung jadi panas. "Apa Indonesia punya kompetisi liga?" kata seorang petugas imigrasi di Polandia pada 1997, entah karena iseng atau lugu.

Ketika saya ceritakan bahwa di Indonesia malah ada liga "sepak bola api", yang sering dipertandingkan santri-santri di pesantren itu, giliran dia yang melotot. Sepak bola Indonesia memang gampang dilecehkan sehingga dijamin tak akan pernah bisa sombong se-ASEAN saja.

Jangankan dunia, kita saja kadang sebal dengan apa yang terjadi di kompetisi liga dan tim nasional misalnya. Dalam perjalanan, seorang wanita Italia bertanya pada saya, "Apakah di negara anda mencetak gol ke gawang sendiri merupakan strategi yang lazim?" Nah!

Saya tergagap sambil cepat-cepat mengingat apa yang telah terjadi. Tapi, saya benar-benar terpojok. Rupanya dia masih tak habis pikir dengan gol bunuh diri ala PSSI saat melawan Thailand di Piala Tiger 1998. Untuk menghindari Vietnam di semifinal, saat itu mereka bikin strategi memalukan sejagat sepanjang masa: memasukkan bola ke gawang sendiri, lalu merayakannya! Tidak hanya pemain Thailand, para penonton di stadion, apalagi dunia, kita saja yang menonton langsung dari TV dalam sekejap juga tercengang.

Mungkin ini pelajaran mahal buat PSSI. Apa pun yang terjadi, yang telah dilakukan cepat atau lambat akan diketahui dunia. Yang pasti, orang-orang seperti saya bisa menanggung getahnya. Apakah pejabat PSSI pernah punya pengalaman serupa? Bicara soal sepak bola Indonesia memang tiada habisnya. Episode per episode berisi keributan, kekacauan, kecurangan, dan kesemrawutan. Kita terus dikungkung paradoks seumur hidup, mungkin dari anak-anak sampai jadi kakek-kakek nanti. Antara yang dilihat dan dirasakan benar-benar tidak nyambung!

Ketika menyaksikan Euro 2004, Liga Inggris, atau kini Liga Champion, otak, hati, dan mata kita seolah-olah bekerja sempurna. Memang demikianlah sepak bola, bung! Lantas setelah ganti saluran TV, dan kebetulan ada anak bangsa tengah main, entah itu dengan sesama atau negara lain, jujur saja, pertama kita berharap penuh, lalu harapan tinggal separuh, tapi selanjutnya dan selebihnya adalah umpatan.

Masalah tim nasional bukan lagi teknis, melainkan juga psikis. Itu mudah terlihat di kancah Piala Asia 2004 dan Pra-Piala Dunia 2006. Kita ternyata sekelas dengan Sri Lanka. Saya bergumam dalam hati, "Sebentar lagi bisa jadi kita dikejar Filipina atau Timor Leste." Alamak! Enam tahun setelah kejadian yang memojokkan saya itu, ternyata PSSI dan sepak bola Indonesia telah "berubah". Sayangnya berubah makin semrawut. Enam tahun lalu itu, Turki, Yunani, dan Latvia masih bau kencur di pelataran Eropa. Kini, lihatlah prestasi mereka.

AFC Khawatir

Di Asia, kinerja VFF ("PSSI" Vietnam) sukses mengangkat harkat bangsa itu. Korea Selatan kini amat respek setelah pernah dikalahkan di Pra-Olimpiade 2004 dan terlihat setara saat tanding di Pra-Piala Dunia 2006. Belum lagi Irak, yang frekuensi bom bunuh dirinya jauh lebih sering, kini telah berstatus semifinalis Olimpiade 2004.

Hiruk-pikuk menonton sepak bola Indonesia bisa mirip dagelan di panggung Srimulat atau tayangan krmininal. Ada banyolan, ledekan, tertawaan, juga ketakutan bahkan bagi yang tidak tahu-menahu soal bola. Suasana positif yang bisa ditangkap paling cuma fanatisme.

Jika di Eropa misalnya main bola adalah sebuah peluang besar, di Indonesia justru sebuah perjuangan besar. Jangan lagi mengincar prestasi atau karier, bermain aman dan nyaman saja susah. Pasalnya si pemain dengan mudah bocor kepalanya disambit batu bata. Yang agak mendingan mungkin dihantam lawan entah di muka, perut, atau kaki.

Sepak bola PON XVI kemarin contohnya. Ada kiper yang patah kaki, wasit yang diburu penonton bak orang-orang Aborigin menguber-uber kanguru untuk disate, juga seorang pelatih yang sempat kehilangan kepercayaan diri menjadi manusia karena sewaktu ditimpuki batu ia merasa seperti seekor bekantan kesasar ke perkampungan warga.

Pendek kata, dari motif dan tingkah lakunya sepak bola nasional seperti menentang dan menantang peradaban manusia, jauh sekali dari sila kedua Panca Sila yang puluhan tahun menjadi falsafah bangsa, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bagaimana menyelesaikan semua ini? Apakah DPR atau presiden yang baru nanti harus turun tangan agar menjadikan sepak bola sebagai olahraga terlarang seperti raja-raja Inggris dulu (Edward III, Richard II, Henry IV dan V)?

Bukankah sesuatu yang tak berguna atau berbahaya bagi orang banyak bisa disebut sebagai kemudaratan? Jauh sebelum AFC, via sekjennya, Dato' Peter Velappan, menyatakan, saya telah yakin bahwa sumber permasalahan adalah PSSI karena secara faktual organisasi inilah yang memang bertanggung jawab atas aktivitas sepak bola di Indonesia.

Akhirnya AFC urun rembuk untuk membenahi PSSI melalui program Vision Asia. Tujuannya adalah menaikkan standar sepak bola Indonesia di era globalisasi. Sebanyak 240 juta penduduk Indonesia adalah tambang emas sepak bola tiada tara di Asia. Seharusnya itu bisa mengangkat alis mata tinggi-tinggi.

PSSI adalah organisasi besar, ingin menjadi besar tapi juga takut besar karena dikelola tanpa impian besar. Satu yang sepele: situs resmi saja mereka tidak punya. Bagaimana PSSI bisa mendapat feedback yang orisinal dari masyarakat? Selama ini PSSI hanya mengharapkan kontrol dan input dari media massa. Itu saja ternyata belum cukup.

(foto: primadaily.com)

Share:

PSSI: Piala Dunia Sebelum Kiamat!

SUDAH lama saya menghindari menulis soal PSSI. Bukan apa-apa, pasalnya hal itu bisa membuat saya berpikir sangat keras, letih, sakit hati tapi yang lebih celaka lagi adalah segala tutur kata bakal diakhiri tanpa harapan! Bayangkan, jika harapan saja sulit diraih dari usaha yang dibuat, apalagi yang mau dijadikan tantangan ke depan.

PSSI: Piala Dunia Sebelum Kiamat!
Kenapa dikatakan tanpa harapan? Sejak divonis publik sebagai organisasi paling konyol bin kontroversial di Tanah Air, barangkali PSSI telah menerima jutaan kritik dan saran. Kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan rajin membersihkan telinga, terlalu banyak harapan masyarakat kepada PSSI, demi kemajuan sepak bola nasional tercinta.

Siapakah yang dimaksud setiap kali menyebut kata PSSI? Apakah dia identik dengan ketua umumnya? Direktur-direkturnya? Komisi Disiplinnya? Tim nasionalnya, atau segala yang berkenaan dengan hal ihwal dunia persepak bolaan di Indonesia? Bisa jadi semuanya benar. Dengan mudahnya harapan berganti menjadi kemarahan atau frustrasi yang akan berujung pada kerusuhan.

"PSSI = Perampok Sepak Bola Seluruh Indonesia," demikian spanduk besar yang dibentangkan suporter Jak-mania di Stadion Lebak Bulus, setelah tim Indonesia kalah 1-2 dari Lebanon, Rabu (28/3). Bayangkan, dengan negara yang lapangan bolanya sering jadi ladang bom Israel saja kalah. Ada lagi, Komdis disebut Komisi Sadis, dan itu belum cukup bila kita mendengar langsung apa yang mereka selalu hujat.

Setiap saat PSSI menuai badai. Coba kumpulkan guntingan opini, surat terbuka, kritik dan saran yang ada di koran-koran saja setiap pekan. Isinya mulai dari yang paling halus sampai paling kasar. Semoga Jaya Suprana punya ide untuk memuat itu ke MURI sebagai rekor terbarunya: kliping tentang topik tertentu yang terbanyak di dunia!

Simpanlah file-file tentang PSSI dari ratusan ribu milis atau blog, dijamin hard disk lap-top kita akan penuh dengan koleksi caci makian. Juga rekamlah acara-acara di talk-show, diskusi, seminar, simposium, radio atau televisi yang pernah terjadi. Lagi-lagi maka anda akan takjub melihat durasinya yang, barangkali, 7 x 24 jam alias seminggu non-stop!

Dan uniknya, semuanya itu bertema sama: soal PSSI! Entah itu cara memajukannya, pembentukan timnas, skandal jadwal, wasit, tiket, kebrutalan penonton, hingga pengaturan skor misalnya. Sebenarnya fenomena ini menarik karena menunjukkan betapa dinamikanya sepak bola nasional.

Sayangnya, hasil yang diraih tak mengarah menuju kemajuan alias muter-muter di tempat persis seperti kecoak terbalik. Nyaris setiap hari ada berita kekisruhan pemain, kepemimpinan wasit, ulah penonton, tingkah para pengurus, dan seterusnya. Ternyata memikirkan bagaimana cara membenahi PSSI itu sulitnya alang kepalang, seperti menegakkan benang. Nyaris mustahil.

Sisi Negatif

Membicarakan PSSI itu perlu punya tenaga super, harus rajin mengecek tekanan darah karena resikonya bikin jantung berdebar-debar tak karuan. Kalau pun sudah dipenuhi, usai berusaha keras banyaklah doa agar sabar. Sebab jika tak pintar mengelola stres, jangan-jangan tujuan mulia belum tercapai, kita sudah digotong orang-orang ke makam umum.

Kini menonton timnas main saja, sontak membuat tensi kita tinggi mendadak! Betapa tertinggalnya persepak bolaan kita bisa dilihat dari pelbagai kekalahan ajaib dari negara-negara 'aneh' seperti Vietnam atau Singapura yang dulunya tak ada tradisi menang jika melawan Indonesia.

Bahkan dengan Lebanon atau Iraq, yang latihannya saja di bawah desingan peluru, timnas PSSI masih saja kalah memalukan. Jangan cari alasan kuno seperti soal bakat atau postur tubuh. Bukan itu. Kalau mau bandingkan, lihatlah di Iraq dan Lebanon, jangan-jangan gedung federasi sepak bolanya sudah rata dengan tanah akibat terjangan bom. Fenomena ini membuktikan bahwa - sepak bola adalah permainan belaka dan bukannya drama - telah kembali. Sebentar lagi tren ini akan menyapu bersih Eropa seperti yang telah dikumandangkan Presiden UEFA Michel Platini.

Sahabat saya yang pernah lama tinggal di Italia dan tahu banyak bagaimana kinerja FIGC (PSSI-nya Italia), akhirnya mengakui bahwa organisasi sepak bola negeri ini tiada duanya. Di Italia, katanya, kongkalikong dan intrik juga mirip di sini malahan jauh lebih bejibun. Bedanya di sana hukum dan fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya.

PSSI seperti Indonesia kecil. Sarat problema, penuh polemik dan selalu dilematis. Gaya PSSI bak judul film Asrul Sani, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Prinsipnya klasik seperti pepatah Arab, Biar Anjing Terus Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, dan last but at least, mata batin PSSI seperti sudah terkunci mati.

Apa yang pernah diucapkan Jose Mourinho barangkali benar adanya. Orang Portugal yang melatih Chelsea ini bilang, "Sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh negatifnya ke dalam masyarakat melalui sepak bola."

Bagi saya, sepak bola menunjukkan bangsa sekaligus menjadi ukuran sebuah peradaban. Negeri ini punya banyak orang pintar termasuk yang ada di PSSI. Yang kurang banyak itu orang cerdik, yang berani dan yang jujur. Secara teknis PSSI juga memerlukan banyak praktisi psikolog atau sosiolog andal. Perhatikanlah permainan tim nasional kita.

Bakat pemainnya hebat dengan pengalaman yang cukup, pelatihnya mumpuni, latihannya keras dan intens, strateginya ciamik, makanannya mungkin bergizi, tapi begitu main, alamak, semua di luar skenario. Tak punya kecerdasan mental bermain. Visinya minim meski kemampuannya oke.

Munaslub PSSI

Dalam sepak bola modern, waktu dan ruang harus selalu matching. Benarkah PSSI makin sulit lagi mengembangkan performanya seiring dengan kacaunya tatanan kehidupan di Indonesia secara multi-dimensi? Seperti kata Michel Platini, "For me football is more about making the right pass at the right time", barangkali memang sedang terjadi di Indonesia.

Selama ini banyak kalangan yang kelihatannya diam melihat sepak terjang PSSI. Tidak intens bukan berarti tidak perduli. Kata orang, batas antara benci dan cinta itu tipis. Maklumlah kalau orang gampang marah pada PSSI. Itu berarti masih ada perhatian. PSSI akan selalu jadi pusat perhatian dan harapan, sebab 224 juta rakyat Indonesia mayoritasnya adalah penggemar bola.

Sepak bola Indonesia memang sudah salah dan cacat sejak berojol. Ia dilahirkan dari rahim perjuangan dan atmosfir politik yang kental dengan benih bernama nasionalisme. Jadi bukan untuk mencari prestasi bahkan untuk menyehatkan rakyat. Di mata saya, PSSI seperti perusahaan besar, ingin besar tapi takut besar. Saking besarnya justru tidak tahu akan kebesarannya itu sendiri.

Tapi tidakkah kita merasa bangga sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia 1938? Sekjen AFC Dato Peter Velappan bahkan menjuluki Indonesia 'Brasil-nya Asia' atau 'Raksasa yang sedang tidur'. Salah satu ambisi terkini Ketua Umum PSSI Nurdin Halid adalah meloloskan Indonesia ke Piala Dunia 2018, yang mudah-mudahan berlangsung di Australia. Walau terlalu jauh, namun setidaknya masih lebih berani ketimbang Visi Indonesia 2030 yang dikreasi pemerintah dan pengusaha.

Namun yang lebih penting, PSSI harus konsisten dan konsekwen. Pekerjakanlah orang-orang yang fokus dengan dedikasi tinggi. Sebab kalau tidak, jangan lagi 2018 atau 2030 (saat PSSI berusia seabad), sampai kiamat pun Indonesia tidak akan pernah masuk ke putaran final Piala Dunia!

Pedoman Dasar, perubahan AD/ART yang dibuat pada 2004, harus menjadi harapan dan impian anyar sekaligus tonggak baru persepak-bolaan nasional setelah 77 tahun (1930-2007) berjalan. Maka Munaslub, yang bulan ini digelar di Makassar, sangat menentukan visi dan misi PSSI ke depan.

Di negeri, sepak bola kita semua bergantung pada satu merek: PSSI! Merek, kata David D'Alessandro dalam Brand Warfare, adalah nasib Anda. Yang perlu diingat lagi, skandal adalah ancaman besar yang paling sulit ditangani pembangun merek. Jadi sudahilah! Mudah-mudahan ke depan masyarakat akan lebih positive-thinking memandang keputusan dan gerakan yang dibuat PSSI. Jangan sampai ada demo mahasiswa bahkan revolusi rakyat sebagai gantinya toh? Selamat ulang tahun ke-77, PSSI!

(foto: istimewa)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini