Salah satu pertunjukan mencekam dari Ustawka, gerombolan ultras. |
Pada 17 Oktober 1943, Krakow dilanda kerusuhan besar gara-gara perkelahiran berjam-jam kedua pendukung mulai dari dalam stadion sampai ke Ludminow di pusat kota. Kejadian ini rada mengagetkan tentara Schutzstaffel (SS) Nazi yang berpatroli. Namun kemudian mereka sengaja membiarkan saja amuk massa tersebut. “Syukur-syukur banyak yang mati,” harap mereka.
Kisah hooliganisme dilaporkan pertama kali secara terbuka pada 2 Juni 1935. Saat Cracovia dan Ruch Chorzów berlaga, para polisi dikabarkan kewalahan memisahi tawuran yang menjalar ke dalam lapangan. Pada 15 Juni 1936, harian Przegląd Sportowy sampai menghimbau klub Slask Swietochłowice agar bisa mengatur pendukungnya dan menjaga ketertiban umum.
Setelah dibebaskan Sekutu selepas Perang Dunia II, karut marut keributan sepak bola tak juga hilang. Pada 29 September 1947 di kota Sosnowiec, pada laga RKU Sosnowiec vs AKS Chorzów, terjadi pemandangan mengerikan ketika petugas pemadam kebakaran dan Milicja Obywatelska, polisi militer didikan Uni Soviet, menggiring 20.000-an orang keluar dari stadion.
Dengan menggunakan semprotan dan senapan, mereka coba menahan ribuan pendukung tuan rumah yang mengamuk setelah RKU hanya menang 3-2 atas AKS sehingga gagal promosi ke divisi utama. Publik Sosnowiec yang tadinya mau menghajar wasit dan para pemain AKS, malahan banting stir dengan berperang dengan polisi selama dua jam lebih.
Karena ada rivalitas abadi antar-etnis di balik kerusuhan antara Sosnowiec dan Chorzów, persoalan pun gampang tersulut. Memang cuma seorang yang tewas, tapi puluhan korban terluka parah. Secara umum amuk massa sepak bola Polandia hingga 1960-an masih bersifat spontan dari permainan, tak menerima kekalahan atau gara-gara keseringan nenggak alhokol. Itu saja.
Fenomena berubah di era 1970-an. Efek dari Perang Dingin, rezim komunis yang represif serta kondisi sosial yang serba minus meletupkan kombinasi dahsyat kekerasan tontonan. Klub-klub dijarah pejabat negara dan komunitasnya dibajak untuk kepentingan penggalangan massa. Buntutnya, suporter beberapa klub sering bentrok, biasanya di dekat stadion atau stasiun kereta.
Di masa ini masyarakat mengenal istilah szalikowcy, bahasa lokal untuk bilang “pendukung fanatik”. Seorang wartawan, Grzegorz Aleksandrowicz, lalu mengenalkan istilah “fan clubs” untuk mempopulerkan eksistensi mereka sekaligus klub-klub Polandia di Eropa. Namun sejak awal 1980-an dilarang keras oleh rezim baru penguasa militer sebab dirasa bisa memotret situasi negara.
Uniknya di balik sikap antipati antar suporter klub, muncul pula aliansi antar pendukung yang bertujuan saling dukung dan cari pengaruh. Mereka memilih satu klub yang paling sejalan. Misalnya aliansi Legia Warszawa dan Zaglebie Sosnowiec atau Polonia Warszawa dan Cracovia. Persekutuan tertua diketahui antara loyalis Slask Wroclaw dengan Lechia Gdanks pada 1977.
Ketika Ruch Chorzow bertanding melawan LKS Lodz, 3 Mei 2004, grup radikal mereka yang bernama “Psycho Fans” mendapat bantuan tenaga dari para pendukung Widzew Lodz, musuh bebuyutan LKS. Bentrokan pendukung tiga klub dan polisi di stadion Miejski itu menghasilkan ratusan korban termasuk para polisi, 55 orang diantaranya dibawa ke rumah sakit.
Kelakuan Legionisci
Aksi Szalikowcy Legia, grup fanatik Legia Warszawa. Punya faksi menakutkan, Jihad Legia. |
Selang dua dekade lebih, Mei 2006, 230 fan Legia ditahan karena berandil besar melukai 50 polisi dan 30 suporter lawan. Tragedi berdarah ini muncul saat berlangsungnya laga menentukan Legia vs Wisla. Di luar, ribuan suporter tuan rumah mengacak-ngacak restoran serta kafe, dan menjarah toko-toko untuk merayakan tampilnya Legia menjadi juara liga.
Merasa di-beking aparat, Legionisci - suporter Legia - diketahui terbanyak jadi biang kerok keonaran. Satu faksi bernama “Jihad Legia” paling ditakuti. Musuh besar mereka adalah Polonia, Wisla Krakow, Lech Poznan, dan Widzew Lodz. Laga menyeramkan buat Legia tak lain derbi lawan Polonia. Meski jauh lebih hebat, Legia belum bisa mengungguli seterunya jika melihat rekor duel 29-20-29 dari 78 laga.
Pada derbi di April 2006, dengan gas CS dan peluru karet, polisi menerjunkan 1.300 personilnya untuk mengontrol 3.000 fan Legia garis keras. Tanpa diketahui, beberapa pejabat UEFA mengamati kejadian itu langsung on the spot. Namun tidak ada hukuman sebab laga tersebut berkategori liga domestik. Hingga kini Legia Warszawa menjadi klub incaran UEFA.
Belum lama ini pendukung mereka clash dengan UEFA gara-gara dicoret dari Liga Champion karena Legia ketahuan menurunkan pemain tak terdaftar saat mengalahkan Glasgow Celtic. Legia dicoret dari Liga Champion dan dilempar ke Liga Europa. September silam, fan Legia menghina UEFA lewat banner raksasa di stadion Pepsi Arena. Akibatnya klub itu didenda 80.000 euro.
Hooliganisme sepak bola di Polandia mencapai kesuburan pada 1984-89 sebab terjadi 99 kali keributan dan kebanyakan terjadi di kota-kota besar. Tapi laporan resmi pemerintah cuma bilang dua orang saja yang tewas. Masuk era 1990-an, muncul berbagai perusahaan “hooligan” hasil bekingan para politisi yang memakai spektrum klub untuk mengalahkan pesaingnya.
Aktivis grup ultras yang dikenal konservatif, religius, dan berorientasi sayap kanan seperti halnya mayoritas rakyat Polandia, bak mendapat angin. Slask Wroclaw, Lechia Gdańsk, Lech Poznań dan Legia merupakan golongan paling patriotik di mana kebanyakan anggotanya berpotongan tentara. Ciri khas mereka adalah selalu menyanyikan yel-yel nasionalis di stadion.
Di Polandia, jenis kerusuhan bola berbeda dengan di Eropa Barat. Selain menjinjing aneka pentungan sampai tongkat bisbol, botol bir, bayonet, atau bom molotov, kedua fan biasanya juga membawa-bawa panji identitas, politik, sampai agama. Biasanya kondisi akhir lebih dari sekedar babak belur. Kematian atau kehancuran kota merupakan risiko yang hampir pasti terjadi.
Ketika internet mulai lahir pada 1994, peperangan antar suporter makin variatif. Modus baru berupa provokasi, ancaman, agitasi, hinaan bertebaran di berbagai situs sebelum laga panas berlangsung. Saking maraknya, satu fanzines yang bertitel “Polish Hooligan League” diresmikan. Bukan main, di negara ini tawuran antar pendukung rupanya menjadi bagian penting sepak bola!
Kaum hooligan Polandia mengadaptasi gaya kolega-kolega mereka dari Inggris, Jerman, dan tentu saja, kaum skinhead. Sejak 1990-an, pemerintah mendirikan unit Komenda Glówna Policji yang khusus menangani kerusuhan sepak bola. Tugas mereka tidak lagi di lapangan, namun juga menyortir internet dan jaringan seluler yang dimiliki 70-80 perusahaan hooligan seantero negeri.
Korban Sejarah
Di Polandia perusuh berkategori berat ini dinamakan ustawka. Gerombolan ultras ini paling rapi modusnya sebab punya unit khusus untuk meladeni polisi atau mengatasi kelompok musuh. Mereka sudah menentukan medan “peperangan” dengan perhitungan strategis. Latihan fisik juga dilakukan jauh “lebih berat” ketika yang akan dihadapi adalah kelompok yang dianggap militan.
Suasana perang pada duel mengerikan Lech Poznań vs Legia Warszawa. |
Beberapa kelompok yang sepaham membentuk faksi dadakan ketika tim nasional Polandia akan bertanding. Hasilnya, mereka bikin kerusuhan di Rotterdam 1992, Chorzow 1993, Zabrze 1994, dan Bratislava 1995. Secara khusus, musuh bebuyutan szalikowcy adalah pendukung Inggris dan Jerman. Namun pada dasarnya, mereka sangat potensial untuk bikin onar di mana saja.
Ketika Polandia kalah 0-1 dari Jerman di Dortmund pada Piala Dunia 2006, kerusuhan muncul di Frankfurt yang berjarak 178 km. Lalu di sekitar Stadion Signal Iduna Park, polisi Jerman menangkap 300-an pengacau. Ini adalah lanjutan dendam Desember 2005, saat mereka yang datang untuk melihat undian Piala Dunia berperang dengan polisi di satu hutan dekat Frankfurt.
Menurut Przemyslaw Piotrowski dari Fakultas Psikologi Universitas Jagiellonian, motif dari semua kekacauan ini tidak lain dari dehumatarian alias penyimpangan sosial masyarakat akibat tekanan bertahun-tahun bahkan berabad-abad! Zaman berganti, kehidupan juga berubah namun intensitas justru kian meruyak dan variatif tanpa ada jaminan kapan pastinya akan berakhir.
Jika persoalan ditelisik maka akan terkuak latar belakang sesungguhnya, yang tidak lain dari faktor sejarah. Lihatlah posisi geografis Polandia yang terjepit Rusia dan Jerman. Dua peradaban besar ini secara bergiliran memperkosa negeri bernama asli Rzeczpospolita Polska ini. Pertama, oleh Rusia pada Perang Dunia I, lalu berikutnya Jerman di Perang Dunia II.
Inilah alasan utama kenapa suporter Polandia selalu bermusuhan dengan apapun yang berbau Rusia dan Jerman, meski daerah-daerah seperti Szczecin dan Poznan “berbau” Jerman, sementara Warsawa dan Krakow secara geografis lebih dekat dengan Rusia. Kebencian pada Jerman dan Rusia telah mendarah daging, turun temurun dan terbawa-bawa ke sepak bola.
Terlebih lagi dengan Jerman, yang pada 18 laga sebelumnya Polandia tak pernah menang. Kaitan sejarah di Perang Dunia I dan II ikut membentuk sikap Polandia atas karakter Inggris. Sebagai bapak moyangnya hooliganisme, tentu saja Inggris dijadikan Polandia sebagai role model baik dari sisi permainan maupun persaingan yang meningkat pesat sejak era 1970-an.
Sudah ditetapkan bahwa hooliganisme di sepak bola berakar dalam kondisi psikososial. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan menyoroti cara mengatasi keterasingan faktor internal dan individual seperti kepribadian, karakter, atau faktor biologis yang puluhan tahun berkutat di tiga lingkungan terpenting: keluarga, sekolah, dan kelompok sebaya. Inilah yang dialami Polandia.
EMPAT BESAR LIGA POLANDIA
Nama Asli | Klub Sportowy Górnik Zabrze |
Julukan | Trójkolorowi (Tri-Colour), Torcida |
Berdiri | 14 Desember 1948 |
Stadion | Ernest Pohl (32.000) |
Presiden | Zbigniew Waskiewicz |
Manajer | Robert Warzycha |
Juara Liga [14] | 1957, 1959, 1961, 1963, 1964, 1965, 1966, 1967, 1971, 1972, 1985, 1986, 1987, 1988 |
Piala Polandia [6] | 1965, 1968, 1969, 1970, 1971, 1972 |
Legenda | Andrzej Szarmach (1972-76), Robert Warzycha (1987-91) |
Situs Resmi | www.gornikzabrze.pl |
Wisla Kraków
Nama Asli | Wisla Kraków Spólka Akcyjna |
Julukan | Biala Gwiazda (The White Star) |
Berdiri | 1906 |
Stadion | Henryka Reymana (33.268) |
Presiden | Ludwik Mietta-Mikolajewicz |
Manajer | Franciszek Smuda |
Juara Liga [14] | 1927, 1928, 1949, 1950, 1951, 1978, 1999, 2001, 2003, 2004, 2005, 2008, 2009, 2011 |
Piala Polandia [4] | 1926, 1967, 2002, 2003 |
Legenda | Adam Nawalka (1972–85), Maciej Zurawski (1999–2005) |
Situs Resmi | www.wisla.krakow.pl |
Ruch Chorzów
Nama Asli | Ruch Chorzów Spólka Akcyjna |
Julukan | Niebiescy (The Blues), Niebieska eRka (The Blue R), HKS |
Berdiri | 20 April 1920 |
Stadion | Miejski (10.000) |
Presiden | Dariusz Smagorowicz |
Manajer | Waldemar Fornalik |
Juara Liga [13] | 1933, 1934, 1935, 1936, 1938, 1952, 1953, 1960, 1968, 1974, 1975, 1979, 1989 |
Piala Polandia [3] | 1951, 1974, 1996 |
Legenda | Andrzej Buncol (1979–81), Krzysztof Warzycha (1983–89) |
Situs Resmi | www.ruchchorzow.com.pl |
Legia Warszawa
Nama Asli | Legia Warszawa Spólka Akcyjna |
Julukan | Wojskowi ("Militarians"), Legionisci ("Legionarries") |
Berdiri | Maret 1916 |
Stadion | Pepsi Arena (31.103) |
Presiden | Boguslaw Lesnodorski |
Manajer | Henning Berg (Norwegia) |
Juara Liga [10] | 1955, 1956, 1969, 1970, 1994, 1995, 2002, 2006, 2013, 2014 |
Piala Polandia [16] | 1955, 1956, 1964, 1966, 1973, 1980, 1981, 1989, 1990, 1994, 1995, 1997, 2008, 2011, 2012, 2013 |
Legenda | Kazimierz Deyna (1966-78), Lucjan Antoni Brychczy (1954-72) |
Situs Resmi | legia.com |
(foto: epa/buzzfeed/weszlo)