Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 GMT (12.30 WIB) ketika saya menghubunginya lewat telepon internasional. Namun secara tak sengaja, Kurniawan telah terganggu tidurnya oleh deringan telepon di kamar 109 Hotel Waldstaetten, Weggis, di pinggiran kota Luzern, Swiss.
“Oh, nggak apa-apa kok. Kalau nggak ada bunyi telepon, saya malah masih tidur. Soalnya saya punya rencana jalan-jalan nanti siang,” kata remaja yang mengaku hobi tidur itu. Ada yang lain dari gaya bicaranya selama ini, yakni agak ceplas-ceplos. Mengapa begitu? “Ndak tahulah, kayaknya lagi happy aja,” sambung Kurni. Akhirnya diakui bahwa dia kini mulai kerasan hidup di negeri perbankan itu.
Salah satu kendala terbesarnya tampak mulai dapat diatasinya. Apalagi kalau bukan sudah dipercaya pelatih Jean Paul Brigger sebagai pemain utama di FC Luzern. Dari masa 26 menit, ketika dia pertama kali dipercaya bermain bagi klubnya melawan Grasshopper, 26 Februari, lalu 30 menit tatkala tampil di Piala Swiss menghadapi klub divisi dua Red Star Zurich.
“Harus kuat mental, Mas. Soalnya Mr. Brigger itu orangnya panasan. Pokoknya sifatnya keras gitu,” tutur Kurniawan lebih lanjut. Sambil menjelaskan perbedaan karakter dengan pelatihhnya di Italia dulu, Romano Matte. “Kalau Romano marahnya nggak panjang, hanya saat latihan saja. Tapi Brigger dibahas terus hingga usai latihan dan saat lain acara,” jelas si penyerang bernomor 7 di FC Luzern.
Setelah berhasil mengasah kemampuannya dengan maksimal, lalu suasana yang terasa nikmat hidup di Weggis, maka faktor materi tampaknya menjadi alasan mengapa sekarang dia begitu betah di sana. “Gaji atau bonus yang saya miliki, semuanya saya transfer ke rekening saya di Volksbank Luzern. Kalau ada perlu baru saya ambil sendiri,” ucapnya.
Selain itu perhatian dari berbagai pihak turut membantunya selama di Swiss. Entah itu dari pihak hotel yang kebetulan dikelola oleh orang Indonesia, Ny. Yayah Burki, atau yang lain, seperti rekan-rekannya di Tavarone, Italia. “Maka saya merasa gembira sekali saat Pak Azwar Anas (Ketua Umum PSSI-red) mengunjungi saya selama empat jam,” katanya dengan jujur. Okelah kalau begitu. Semoga tambah sukses, Kur!
(foto: Tjandra)
“Oh, nggak apa-apa kok. Kalau nggak ada bunyi telepon, saya malah masih tidur. Soalnya saya punya rencana jalan-jalan nanti siang,” kata remaja yang mengaku hobi tidur itu. Ada yang lain dari gaya bicaranya selama ini, yakni agak ceplas-ceplos. Mengapa begitu? “Ndak tahulah, kayaknya lagi happy aja,” sambung Kurni. Akhirnya diakui bahwa dia kini mulai kerasan hidup di negeri perbankan itu.
Salah satu kendala terbesarnya tampak mulai dapat diatasinya. Apalagi kalau bukan sudah dipercaya pelatih Jean Paul Brigger sebagai pemain utama di FC Luzern. Dari masa 26 menit, ketika dia pertama kali dipercaya bermain bagi klubnya melawan Grasshopper, 26 Februari, lalu 30 menit tatkala tampil di Piala Swiss menghadapi klub divisi dua Red Star Zurich.
“Harus kuat mental, Mas. Soalnya Mr. Brigger itu orangnya panasan. Pokoknya sifatnya keras gitu,” tutur Kurniawan lebih lanjut. Sambil menjelaskan perbedaan karakter dengan pelatihhnya di Italia dulu, Romano Matte. “Kalau Romano marahnya nggak panjang, hanya saat latihan saja. Tapi Brigger dibahas terus hingga usai latihan dan saat lain acara,” jelas si penyerang bernomor 7 di FC Luzern.
Setelah berhasil mengasah kemampuannya dengan maksimal, lalu suasana yang terasa nikmat hidup di Weggis, maka faktor materi tampaknya menjadi alasan mengapa sekarang dia begitu betah di sana. “Gaji atau bonus yang saya miliki, semuanya saya transfer ke rekening saya di Volksbank Luzern. Kalau ada perlu baru saya ambil sendiri,” ucapnya.
Selain itu perhatian dari berbagai pihak turut membantunya selama di Swiss. Entah itu dari pihak hotel yang kebetulan dikelola oleh orang Indonesia, Ny. Yayah Burki, atau yang lain, seperti rekan-rekannya di Tavarone, Italia. “Maka saya merasa gembira sekali saat Pak Azwar Anas (Ketua Umum PSSI-red) mengunjungi saya selama empat jam,” katanya dengan jujur. Okelah kalau begitu. Semoga tambah sukses, Kur!
(foto: Tjandra)