-
Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?
Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.
-
Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone
Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.
-
Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger
Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.
-
Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia
Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!
-
Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs
Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.
-
Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda
Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.
-
Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.
Arsene Wenger: Premier League Dibanjiri Ambisi
Premier League 2016/17: Medan Laga Manajer Terbaik
Sebut saja barisan ahli taktik yang belum apa-apa telah mengisi seperempat lahan persaingan. Mulai si gaek Arsene Wenger (Arsenal), Josep Guardiola (Manchester City), Jose Mourinho (Manchester United), Antonio Conte (Chelsea), sampai Juergen Klopp (Liverpool). Lima manajer kelas tuna dari world class club. Perlu diperhatikan, tak satupun yang orang Inggris!
Belum lagi yang kelas kakap nan berpengalaman hebat. Di sini malah bakal lebih sesak pergerakannya lantaran dihuni tujuh orang, yaitu Claudio Ranieri (Leicester City), Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur), Slaven Bilic (West Ham United), Walter Mazzarri (Watford), Claude Puel (Southampton), David Moyes (Sunderland), serta Ronald Koeman (Everton).
Sudah 12 manajer bukan? Nah delapan sisanya bisa ditebak kelasnya. Kelas yang perlu mukjizat jika sampai juara. Jangan salah, mereka tetap bukan kelas kroco, sebut saja masih kelas pematangan. Sebut lima dulu: Mark Hughes (Stoke City), Alan Pardew (Crystal Palace), Francesco Guidolin (Swansea City), Aitor Karanka (Middlesbrough) dan Tony Pulis (West Bromwich Albion).
Barulah tiga sisanya benar-benar berkategori kelas masih belajar. Nama-namanya memang sulit membekas di hati. Eddie Howe (Bournemouth), Sean Dyche (Burnley), serta satu lagi siapapun yang jadi manajer anyar Hull City sepeninggal Steve Bruce. Konon Gianfranco Zola dan Roberto Martinez jadi kandidat paling serius dibanding Chris Coleman, Roy Keane, dan Mike Phelan.
Sudah terbayang tensi persaingan dan perseteruan mereka di berbagai lahan. Adu mulut di pinggir lapangan, sindiran di jumpa pers, sampai perang kata-kata di tabloid-tabloid. Kenapa bisa demikian, katakanlah, rentan bakal terjadi? Penyebabnya cuma satu: soal reputasi. Bentrok juga bisa merambah ke kuadran tetangga.
Walau setingkat di bawahnya namun Ranieri, Pochettino, Bilic, atau Koeman rentan konflik dengan kelas di atasnya. Begitu juga sosok Hughes, Pardew, dan Pulis yang gampang gahar bila merasa disepelekan. Secara umum, dari 20 manajer yang berkeliaran di belantara Premier League, lebih dari separonya dijejali reputasi, watak, karakter, sampai CV yang aduhai.
Pendek kata, begitu peluit keberangkatan musim ini ditiup, Sabtu 13 Agustus 2016, sosok dan kinerja manajer jadi perhatian awak media. Khayalak ramai juga mulai sadar bukan zamannya lagi melulu memberi atensi kepada bintang. Mesti disadari bahwa kenikmatan menonton bola yang diperagakan pemain berasal dari sentuhan, perubahan, dan taktik sang koreografer tim.
Namun kehebatan paradigma yang kian menghebat itu mesti dibayar mahal. Kini sebagian publik Inggris agaknya pantas masygul pada realita kompetisi ketika justru makin dibanggakan. Kenapa begitu? Tengok saja kuantitas dan kualitas manajer pribumi yang juga semakin terseok-seok. Vonis hampir pasti diketuk mengingat tidak mungkin Pardew, Howe, dan Dyche – ketiga pribumi itu – menjadi juara Premier League musim ini.
Intisari Kompetisi
Ironisnya, jumlah pelatih asal Inggris kalah jumlahnya dengan Italia yang diwakili Ranieri, Conte, Mazzarri, dan Guidolin. Hampir semua negara teras Eropa punya wakilnya di Liga Inggris. Wenger dan Puel (Prancis), Guardiola dan Karanka (Spanyol). Lalu ada Hughes dan Pulis (Wales), Mourinho (Portugal), Klopp (Jerman), Koeman (Belanda), Bilic (Kroasia), Moyes (Skotlandia); termasuk satu-satunya wakil Amerika Latin, Pochettino (Argentina).
Dugaan sementara adalah Premier League musim ini berisiko semakin tidak jelas lagi, lebih parah dibanding sebelumnya. Jika kemarin Ranieri yang bikin dunia tercengang, mungkin besok semakin banyak calonnya. Sikap mental nan empatik ala Ranieri barangkali jadi acuan pesaingnya untuk memperhatikan kembali ‘khittah’ dasar prinsip kepelatihan: disiplin dan tegas.
Sebuah fakta tak terbantahkan, tidak ada lagi kemapanan di Tanah Air leluhur sepak bola. Sikap underestimate ratusan tahun yang bertahan mematok klub-klub gurem tidak bisa juara, sekarang lumayan telah menggetarkan sukma siapapun yang merasa jagoan. Terima kasih pada Ranieri dan Leicester City-nya. Itu adalah inspirasi yang mahal bagi para manajer non-kelas tuna dan terus ke bawahnya lagi.
Porsi duel antar bos tim di Premier League kini semakin luas diperhatikan. Dengan lima manajer kelas tuna dan tujuh kelas kakap, media massa dijamin tidak akan pernah kehabisan cerita. Setiap saat publik mendapat sajian drama. Dari jadwal 2016/17 rilisan Juni silam (lihat boks), bentrok pertama manajer papan atas dilakoni Arsene Wenger vs Juergen Klopp di pekan perdana.
Publik dunia lebih menunggu bentrok kedua Jose Mourinho vs Pep Guardiola, kala si Biru datang ke Old Trafford, 10 September. Melihat tampang keduanya, ingatan orang pada El Clasico menyeruak. Mou akan melakoni ujian berat 15 dan 22 Oktober sebab harus datang ke rumah Klopp dan Conte berturut-turut! Sebaliknya Pep malah kedatangan Conte dan Wenger secara beruntun.
Secara singkat, 20 laga kelas super-berat manajer kelas tuna, menjadi intisari kompetisi Premier League yang sesungguhnya. Kelimanya punya karakteristik utama yang berbeda. Conte penyanjung disiplin, Mou si penggila keberanian, Klopp si penuntut komitmen, dan Pep pengidam gairah, serta Wenger yang penggila improvisasi. Dalam sisi prinsip, intensitas Conte dan Mou similar. Sementara Pep mirip dengan Wenger.
Dari kelima manajer ini, Conte dan Klopp diuntungkan oleh absennya Chelsea dan Liverpool di laga Eropa. Peluang mereka untuk mengikuti kiprah Ranieri sebagai England Champions musim lalu ada di sini. Sayangnya bersama Pep, Conte diduga bakal kesulitan ketika bersua dengan deretan manajer kuadran lain seperti Pochettino, Bilic, Moyes atau Koeman bahkan Pardew yang berpengalaman di Premier League.
Reputasi Bilic diramal lebih mencuat musim ini. Dengan stadion baru nan mewah, Olimpik, West Ham berpotensi meraih kejayaan dari sisi prestasi dan tentu saja bisnis. Tampil di arena berkapasitas 50.000 penonton memberikan warna lain dalam spirit permainan. Dan pemain macam Dimitri Payet atau Andy Carroll dikenal sering menghebat jika tampil di stadion lebih besar.
Fokus pada Wenger kali ini juga jauh lebih besar. Medio Oktober dia resmi 20 tahun berkuasa di Arsenal. Ranieri diduga kembali ke kuadrannya sebagai pelatih biasa. Statusnya sebagai juara tidak akan mengubah persepsi orang. Battle of the Bosses jelas semakin menyemarakkan Premier League 2016/17 dibanding Liga Eropa lainnya yang masih mengandalkan kebintangan pemain. (Arief Natakusumah)
“20 Heavyweights Match”
Jadwal
|
Duel Manajer
|
Minggu 14 Agustus 2016
|
Arsene Wenger vs Juergen
Klopp
|
Sabtu 10 September 2016
|
Jose Mourinho vs Pep
Guardiola
|
Jumat 16 September 2016
|
Antonio Conte vs Juergen
Klopp
|
Sabtu 24 September 2016
|
Arsene Wenger vs Antonio
Conte
|
Sabtu 15 Oktober 2016
|
Juergen Klopp vs Jose
Mourinho
|
Sabtu 22 Oktober 2016
|
Antonio Conte vs Jose
Mourinho
|
Sabtu 19 November 2016
|
Jose Mourinho vs Arsene
Wenger
|
Sabtu 3 Desember 2016
|
Pep Guardiola vs Antonio
Conte
|
Sabtu 17 Desember 2016
|
Pep Guardiola vs Arsene
Wenger
|
Sabtu 31 Desember 2016
|
Juergen Klopp vs Pep
Guardiola
|
Sabtu 14 Januari 2017
|
Jose Mourinho vs Juergen
Klopp
|
Rabu 1 Februari 2017
|
Juergen Klopp vs Antonio
Conte
|
Sabtu 4 Februari 2017
|
Antonio Conte vs Arsene
Wenger
|
Sabtu 25 Februari 2017
|
Pep Guardiola vs Jose
Mourinho
|
Sabtu 4 Maret 2017
|
Juergen Klopp vs Arsene
Wenger
|
Sabtu 18 Maret 2017
|
Pep Guardiola vs Juergen
Klopp
|
Sabtu 1 April 2017
|
Arsene Wenger vs Pep
Guardiola
|
Rabu 5 April 2017
|
Antonio Conte vs Pep
Guardiola
|
Sabtu 15 April 2017
|
Jose Mourinho vs Antonio
Conte
|
Sabtu 6 Mei 2017
|
Arsene Wenger vs Jose
Mourinho
|
20 Manajer Premier League 2016/17
Manajer
|
Klub
|
Usia
|
Negara
|
Durasi
|
Pola Main
|
Eddie Howe
|
Bournemouth
|
38
|
Inggris
|
3 Tahun 10 Bulan
|
4-2-3-1
|
Aitor Karanka
|
Middlesbrough
|
42
|
Spanyol
|
2 Tahun 9 Bulan
|
4-2-3-1
|
Sean Dyche
|
Burnley
|
45
|
Inggris
|
3 Tahun 9 Bulan
|
4-4-2
|
Slaven Bilic
|
West Ham United
|
47
|
Kroasia
|
1 Tahun 2 Bulan
|
4-2-3-1
|
Jürgen Klopp
|
Liverpool
|
49
|
Jerman
|
11 Bulan
|
4-2-3-1
|
Mark Hughes
|
Stoke City
|
52
|
Wales
|
3 Tahun 3 Bulan
|
4-2-3-1
|
Alan Pardew
|
Crystal Palace
|
55
|
Inggris
|
1 Tahun 7 Bulan
|
4-2-3-1
|
Tony Pulis
|
West Bromwich
|
58
|
Wales
|
1 Tahun 8 Bulan
|
4-2-3-1
|
Francesco Guidolin
|
Swansea City
|
60
|
Italia
|
8 Bulan
|
4-2-3-1
|
Claudio Ranieri
|
Leicester City
|
64
|
Italia
|
1 Tahun 1 Bulan
|
4-2-3-1
|
Arsène Wenger
|
Arsenal
|
66
|
Prancis
|
19 Tahun 11 Bulan
|
4-2-3-1
|
Pep Guardiola
|
Manchester City
|
45
|
Spanyol
|
3 Bulan
|
4-2-3-1
|
Antonio Conte
|
Chelsea
|
47
|
Italia
|
2 Bulan
|
3-5-2
|
Ronald Koeman
|
Everton
|
53
|
Belanda
|
2 Bulan
|
4-2-3-1
|
José Mourinho
|
Manchester United
|
53
|
Portugal
|
2 Bulan
|
4-2-3-1
|
Mike Phelan
|
Hull City
|
53
|
Inggris
|
1 Bulan
|
4-4-2
|
David Moyes
|
Sunderland
|
53
|
Skotlandia
|
1 Bulan
|
4-2-3-1
|
Claude Puel
|
Southampton
|
54
|
Prancis
|
1 Bulan
|
4-1-3-2
|
Walter Mazzarri
|
Watford
|
54
|
Italia
|
2 Bulan
|
3-5-2
|
Mauricio Pochettino
|
Tottenham Hotspur
|
44
|
Argentina
|
2 Tahun 2 Bulan
|
4-2-3-1
|
(foto: twitter.com)
Bursa Juara Premier League 2016/17: Menantang Harapan Menentang Peluang
Patokan bursa taruhan juara Premier League 2016/17. Lebih dinamis. |
Namun kenyataannya terbalik sehabis-habisnya, pasukan Claudio Ranieri malah memecahkan ‘rekor dunia’ sebagai tim paling gurem yang sanggup jadi juara. Saking kapoknya, Sky Bet kini menyatakan bahwa Premier League 2016/17 merupakan musim yang paling belum bisa ditebak.
Sinyal itu bisa dilihat dari enam klub yang dielus-elus menjadi juara dengan probabilitas tipis. Empat dari sembilan orang (9/4) diyakini Sky Bet mematok Manchester City sebagai kandidat juara paling serius. Di belakang The City adalah sang tetangga Manchester United (3/1), lalu Chelsea (5/1), Arsenal (6/1), Liverpool (8/1), dan Tottenham Hotspur (10/1).
Keenam klub ini masuk dalam kategori utama, calon juara paling serius. Lha terus ke mana sang juara bertahan Leicester City? Sebagai pemilik anomali juara, klub yang dimiliki orang Thailand itu terlempar di segmen khusus sebagai ‘kuda hitam’ calon juara dengan angka 25/1. Sejujurnya kepercayaan pasar pada The Foxes naik drastis. Jika setahun lalu setiap 5.000 orang yakin mereka juara, kini tinggal 25 orang saja.
Atas peran barunya yang menantang harapan dan menentang peluang, bursa taruhan untuk Leicester itu juga mencerminankan posisi uniknya. Apa itu? Mereka dipatok sebagai klub yang paling ‘diharapkan’ terhindar dari degradasi di musim ini. Pasalnya setelah mereka, probabilitas untuk klub-klub lainnya bisa dibilang terjun bebas.
Gerombolan biru yang jadi kebanggaan kota berpenghuni 330 ribu jiwa memang fenomenal. Mereka sanggup mengubah fakta dan realita, secara keseluruhan. Dengan julukan baru sebagai musim yang paling terbuka sepanjang sejarah, dari satu sisi citra Premier League kian terangkat. Kini banyak orang, terutama yang tidak ‘tahu bola’ lebih berani berinvestasi di bursa taruhan.
Fenomena Leicester jelas amat langka. Melihat konsistensi yang diperlihatkan The Foxes sepanjang 2015/16 lalu, kita seperti terhenyak dan terhentak oleh kinerja positif manajer Claudio Ranieri dan stafnya. Mereka mengkreasi sebuah tim ulet dengan unit spesial. Mulai dari kiper Kasper Schmeichel, kapten Wes Morgan, jangkar dobel N’Golo Kante dan Danny Drinkwater, hingga tandem maut Riyad Mahrez dan Jamie Vardy.
Manajer Baru
Men in debuts: Josep Guardiola dan Antonio Conte. |
Kecenderungan orang untuk menjagokan underdog memang selalu ada. Hebatnya itu kebanyakan dilakukan bukan oleh pasar, bandar, atau pengamat, tetapi masyarakat awam. Mereka nothing to lose dengan sikapnya karena tidak harus menanggung kredibilitas atau reputasi. “Kami menawarkan Burnley 5.000/1, namun volume yang datang mengejutkan sebab dengan menaruh 10 pound, mereka juga berharap Burnley akan menjadi juara,” ucap seorang juru bicara Sky Bet.
“Pencapaian luar biasa Leicester yang dipatok 5 pound di musim lalu, kini telah mengubah tarif paling dasar dan volume taruhan di musim ini. Satu hal lagi yang menggembirakan, dan jadi harapan konsumen adalah kedatangan manajer baru,” tambah orang itu lagi. Seperti dipahami, pemain dan bintang baru selalu lahir dari bursa transfer. Seperti halnya taktik dan strategi, bursa transfer juga lahir dari keputusan manajer klub.
Pasar menyepakati klub yang paling dijagokan menjuarai Premier League musim ini adalah Manchester City. Sedikit di bawah mereka, Manchester United. Dua manajer baru, dua strategi baru, dan sejumlah bintang segar yang muncul dari jendela transfer. Bahkan tidak sedikit yang dibalik, United yang utama lantaran ‘menganggur’ di Liga Champion dan faktor ‘pengalaman’ Jose Mourinho.
Kedatangan Pep Guardiola tentu bakal mengubah permainan The City jauh lebih genit dan seksi dibanding zamannya Manuel Pellegrini. Darah segar juga berhamburan dari kubu Etihad melihat Ilkay Gundogan, Nolito, atau Leroy Sane. Begitu juga alasan United dijagokan. Ada Paul Pogba, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, sampai Eric Bailly. Jangan lupakan juga Chelsea dengan Antonio Conte-nya, seorang pelatih bermental juara, yang akan memulai debutnya di Premier League.
Meski jadi debutan di Premier League, namun karena diwarisi skuad hebat dan mendapat sangu lumayan gede dari Roman Abramovich untuk belanja pemain, sulit bagi orang atau pasar mencoretnya dari bursa juara. Hadirnya dua tenaga baru, N’Golo Kante dan Michy Batsuayi, makin melengkapi kekuatan.
Saking ingin buru-buru mengemas timnya lebih dini, seperti halnya United, The Blues juga harus panic buying. Walhasil kerugian yang didapat. Kante yang harga pasarannya 17 juta pound dibeli 30,43 juta pound. Batsuayi pasarannya cuma 12,75 juta pound namun mereka membayar 33,15 juta pound pada Olympique Marseille. Hanya Arsenal, Liverpool, dan Tottenham yang masih mengedepankan akal sehat kala mengarungi di bursa transfer.
Memang orang selalu menyukai kejutan. Namun perlu diingat, jika kejutannya terlalu besar, sangat besar, justru menyulitkan pikiran juga sebab terlalu berat dicerna akal sehat. Pendek kata, sekarang pasar lebih bergejolak dari musim lalu karena masyarakat lebih bergairah menanti harapan dan kejutan, dua motivasi terkuat dalam pencapaian dan kehidupan. Asal risiko dan konsekuensi bila tidak muncul juga siap ditanggung, bebas-bebas saja. (Arief Natakusumah)
(foto: skysports/espn)
Leicester City: Perebut Mimpi Orang Lain
Danny Drinkwater, Claudio Ranieri, dan Wes Morgan. Mimpi yang salah kamar. |
Oke, lupakan Arsenal dengan sosok utama yang selalu menjadi kendala terbesarnya untuk meraih juara itu. Mari simak sepak terjang klub yang bakal bikin super sensasi di tahun ini dalam sejarah Liga Inggris: Leicester City. Melihat komposisi klasemen sementara, Leicester cuma butuh mengumpulkan 81 poin untuk mencatatkan sejarah terindahnya sepanjang 132 tahun umurnya.
Sejak kalah 1-2 dari Arsenal di Emirates, 16 Februari, tim yang musim lalu menempati urutan 14 itu tidak pernah kalah hingga menjelang akhir April. Dari 8 laga berikutnya, mereka meraih 20 poin tambahan hasil 6 kali menang dan 2 kali seri! Tak berlebihan bila mereka sudah bisa mencium bau trofi meski malu-malu kucing mengatakannya. Empat laga sebelum mengakhiri petualangan terbaiknya di musim ini saja The Foxes sudah meraih tiket ke putaran grup Liga Champion 2016-17!
Siapa sangka, dengan gaya bermain ala klub-klub Championship (divisi satu) bahkan League One atau League Two, serta hanya diperkuat pemain kelas dua-tiga kecuali Riyad Mahrez, Leicester bisa menyeruduk puncak klasemen tak terkendali bak peserta panjat pinang yang melihat hadiah laptop di atas sana. Lebih istimewa lagi, para pemain kelas dua-tiga itu naik derajat seperti menjadi pemain kelas satu.
Leicester diperkuat deretan pemain buangan tapi berpengalaman di mana 19 klub Premier League lainnya pun rasanya ogah membelinya. Sebut saja Robert Huth, Danny Simpson, Marc Albrighton, Nathan Dyer, dan kiper tua Mark Schwarzer. Saking berisi banyak pemain yang telah mentok kemampuannya, Richie De Laet dan Paul Konchesky terpaksa harus disewakan ke klub divisi satu Championship.
Kelompok lainnya adalah pemain kelas dua yang kini tampil seperti pemain kelas satu, yang bisa disebut sebagai generasi pertama kejayaan tiada tara Foxes di musim ini. Sebut saja pemain jangkar Danny Drinkwater, bek Jeffrey Schlup, kiper utama Kasper Schmeichel, kapten Wes Morgan, serta striker Jamie Vardy. Hampir bisa dipercaya, inilah barisan tradisional yang menjadi fondasi kekuatan sesungguhnya Leicester City.
Mimpi Morgan
Faksi terakhir dari super grup racikan manajer Claudio Ranieri adalah empat pemain asingnya di diri Shinji Okazaki (Jepang), Leonardo Ulloa (Argentina), Christian Fuchs (Austria), N'Golo Kante (Prancis) dan Riyad Mahrez (Aljazair). Menariknya lagi, satu pemain yang sebenarnya berstatus first-class yakni Gokhan Inler (Swiss) selalu tidak sempat diturunkan karena saking takutnya Ranieri kehilangan arah permainan.
Pola klasik Foxes jelas beraura Italia, contro tiempo dan L'uomo contro uomo. Contro tiempo artinya mereka selalu menghitung waktu yang tepat untuk menyerang dan tahu bagaimana mesti bertahan. Sedangkan L'uomo contro uomo bermakna teknis belaka. Jangan harap pemain lawan akan mudah memasuki garis pertahanan inti mereka, atau bisa membongkar pagar berlapis yang sekilas meningatkan orang pada catenaccio.
Disebut sangat aneh atau jadi anomali luar biasa, mimpi besar Leicester sedikit lagi akan menjadi kenyataan. Mau dibilang apa, inilah sepak bola. Jangankan dunia atau kita yang terkejut, Morgan sang kapten Foxes juga mengaku heran. "Kemungkinan besar kami meraih mimpi itu, mimpi yang seharusnya bukan milik kami. Memang masih harus terus diusahakan, tapi ini sangat, sangat mungkin," kilah Morgan.
Dia mengaku merasakan keanehan luar biasa selama berkecimpung di sepak bola. Sebab 12 bulan lalu keseharian latihan mereka hanya diisi dengan bagaimana cara menghindari degradasi. Ketika kecil Morgan pernah punya impian main di kompetisi terbaik di dunia, menjadi juara dan dia yang mengangkat trofi. "Ini sangat luar biasa, kok tiba-tiba saja semuanya itu tinggal sedikit lagi terjadi."
Bayangkan apa yang akan ditulis oleh media ketika seonggok nama yang 'mustahil' merebut trofi Premier League, sanggup memutarbalikkan akal sehat orang banyak. "Saya tidak bisa membohongi perasaan, kami punya kans untuk meraihnya!" tutur pemain gempal berusia 32 tahun itu lagi. Leicester juara Premier League? Mabukkah Anda? Hah, benar? Wow, sangat luar biasa kalau begitu!
(foto: telegraph)
Seperti Menampar Air Di Dulang
Ulah kaum The Cityzen. Parodi atau harapan? |
Lagu Zadok The Priest, yang menjadi lagu resmi Liga Champion, amat dikenal publik sepak bola sejak meluncur pertama kali pada Agustus 1992. Adalah komposer Inggris, Tony Britten, yang menggubah salah satu karya komposer terbesar Inggris, George Frideric Handel pada 1727 itu, sekaligus memberi liriknya. Anehnya, orang-orang Inggris pula yang pertama kali melecehkannya.
Pendukung Manchester City mustahil tidak paham sejarah. Barangkali mereka lupa, kebablasan, sehingga dengan bodohnya mengolok-olok himne yang kerap membangunkan bulu kuduk itu di Stadion Etihad, Oktober lalu. Kejadiannya sebelum mereka mengalahkan Sevilla 2-1 di matchday 3. Akibat pelecehan kelas berat itu, klub kaya mendadak ini diperkarakan UEFA.
UEFA tengah mengumpulkan bukti-bukti lain untuk memutuskan vonis yang menurut rencana diumumkan pada 19 November. Kemungkinan besar berkas-berkas perkara City di UEFA bertambah. Sebelumnya 'pemain baru' di Liga Champion ini dikenai hukuman pelarangan transfer akibat melanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) pada 2013/14.
Dendam pendukung City pada UEFA pantas terjadi mengingat gara-gara larangan membeli bintang baru untuk musim 2014/15, gelar mereka lepas direbut Chelsea. Hukuman itu juga mempengaruhi kiprah mereka di Liga Champion yang dipenuhi ambisi. Namun terseretnya Platini ke dalam polemik FIFA, lewat isu suap 1,3 juta pound, justru sebagai pemicunya.
Mereka menganggap tindakan presiden UEFA dan Sepp Blatter dalam kasus korupsi di FIFA sebagai kejahatan keji. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari tampaknya benar adanya. Tapi, kasihannya kenapa Zadok The Priest yang jadi korban? Ternyata di telinga Cityzen, lagu itu dianggap simbol arogansi, provokasi, kemunafikan, dan kriminalitas.
Masak sih? Jangan-jangan memang Cityzen besar kepala, tidak injak bumi, lupa kacang pada kulitnya dan lagi-lagi, melupakan sejarah. Selama ini para pimpinan klub tidak mau repot-repot menantang UEFA, entah itu manajer, direktur, CEO apalagi pemiliknya. Mereka justru tahu diri sebagai klub anak bawang di belantara Liga Champion.
City justru baru memulai tradisinya di Liga Champion. Belum tiga tahun. Mau sukses instan menjadi jawara Eropa seperti di Premier League? Waduh, ini Eropa bung! Manajemen sadar, mereka tidak punya teknokrat, legenda atau tokoh berpengaruh di UEFA yang sanggup melobi atau bisa mempengaruhi keputusan. Kontak dan saluran mereka amat minim di sana.
Namun tidak demikian dengan pendukungnya, yang akrab disebut dengan Cityzen. Mereka mudah terbakar, marah sebagai bentuk letupan pengalaman pahit atau bisa juga bablasnya ekspektasi. Mereka amat sensitif, barangkali akibat hatinya kelamaan 'teraniaya' oleh kehebatan Manchester United. Galaknya minta ampun, bahkan lebih galak dari orang-orang lama.
Perlu Batasan
Berani meledek UEFA walau tidak punya tradisi di Liga Champion. |
Fan berharap Le Petit Napoleon Platini, begitu mereka menjuluki presiden UEFA, menghentikan arogansinya dengan melihat pasal 10 dari Konvensi Eropa mengenai hak asasi manusia yang berbunyi, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan seterusnya.' Tapi, uniknya, di satu sisi pendukung City juga arogan serta tidak peka dengan lingkungan.
Di kala pendukung Sheffield United atau Watford asyik berkhayal kapan lagu Zadok The Priest diputar di stadion mereka, dengan angkuh The Cityzen bertindak mengejutkan. Padahal kurang dari 10 musim lalu, nasib ketiganya mirip: sama-sama berjuang dari degradasi di akhir musim. Namun sepak bola rupanya perlu batasan yang dijaga oleh pemangku kekuasaan.
UEFA selalu mengacu pada pasal 16 tentang peraturan disiplin yang berisi klub/pihak tuan rumah bertanggung jawab pada perilaku tak senonoh atas gangguan lagu kebangsaan atau himne kompetisi. Hukuman untuk jenis pelanggaran ini biasanya diketuk oleh Komisi Disiplin berupa denda uang, atau bermain di stadion kosong alias tanpa penonton.
Uniknya, di musim lalu, City pernah menderita kejadian serupa ketika diintimidasi sorakan dan hinaan suporter CSKA Moskva saat bertandang ke Rusia, November 2014. Waktu itu yang dijadikan obyek adalah Yaya Toure. Dengan treatment sama, UEFA menghukum CSKA sekali bertanding tanpa penonton. Gara-gara ini, CSKA kalah 0-1 dari Bayern Muenchen.
City cuma sekali lagi jadi tuan rumah, 8 Desember, dengan menjamu Borussia Moenchengladbach. Takut hukuman serupa mempengaruhi nasib dan kans timnya, Manuel Pellegrini akhirnya angkat bicara. Sang manajer meminta UEFA supaya menghormati penonton yang telah membayar mahal tiket Liga Champion untuk meramaikan turnamen andalan UEFA ini.
"Fan berhak melakukan protes secara damai untuk mengekspresikan haknya, perasaannya, asal dengan hormat, seperti ketika menyoraki pemain dalam pertandingan," kata Pellegrini apa adanya, jujur, tapi penuh maksud. "Saya tidak mengerti kenapa UEFA mengincar fan kami. Mereka yang beli tiket, bukan manajer, pemain, atau wasit."
Bukan sepak bola kalau tidak kontroversial. Pada kasus ini terlihat jelas perasaan megalomania sudah menjangkiti pendukung City, setelah superlatif pada skuadnya. UEFA barangkali berpikir, apa jadinya jika pelecehan himne itu dibiarkan? Tim ini telah membeli kesuksesan secara instan, tanpa melalui proses sebagaimana layaknya di sepak bola. Bahaya kalau tidak digubris.
Andai yang melakukan itu fan Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen, mungkinkah UEFA mentolerirnya? Sekarang sukses memang bisa dibeli, apa susahnya? UEFA seperti halnya FIFA, rupanya masih kental jiwa sosialisnya, barangkali untuk mengimbangi tuntutan masyarakat kapitalis. Perbedaan adalah hikmah dan berkah. Bayangkan kalau semuanya similar.
(foto: manchestereveningnews/spanishnewstoday)