Sudah lama saya tidak berbincang-bincang langsung dengan Kurniawan Dwi Yulianto. Namun mulai minggu lalu hubungan akrab bagai sahabat dengannya, dan juga beberapa rekan mahasiswa perhotelan di sana terjalin kembali.
“Baru saja, ada telepon dari beberapa media di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Juga telepon dari Magelang yang ternyata ortu-nya Kurniawan. Tapi karena Kurniawan pulang jam 12 malam terus, maka tidak pernah bisa ketemu. PSSI juga pernah telpon ke sini,” sebut Aryadi Chandara (19), anak Jakarta yang tinggal di Hotel Waldstaetten.
Tentu sulit bicara dengan Kurniawan bila melupakan perbedaan waktu WIB dengan Swiss, yang sekitar 6 jam lebih cepat. Kalau jam 12 malam di Swiss, berarti sekitar jam 06.00 pagi WIB keesokan harinya. “Saya paling sering diajak ngobrol di kamarnya. Yang diungkapkan macam-macam misalnya demi mengharumkan nama negara ia akan membetahkan diri di Luzern,” tambah Wendy Harto Kusumaatmadja (24) pada saya.
Dari Wendy pula, pada Selasa (21/2) malam, tersiar kabar mengejutkan soal Kurniawan. “Wah, mas. Kurniawan lagi ke rumah sakit. Katanya sih ada yang patah, saya sendiri cuma lihat dia diantar orang bule,” ujar Wendy. Rabu (22/2) dinihari WIB, untungnya Kurniawan dapat dihubungi. Kenapa, Kur? “Iya mas. Jari manis kanan saya patah. Gara-gara salah tumpuan waktu jatuh ketika berlatih tadi,” aku remaja kelahiran 13 Juli 1976 itu.
“Waktu di lapangan sih tidak begitu sakit. Baru setelah latihan terasa sakitnya. Untung Alessandro Minelli (bek Luzern) mengantar saya ke Rumah Sakit Kantonspital,” tambahnya. Yakin masih bisa main, Kur? “Ndak tahulah, saya tetap mau main, karena jika berlatih oleh dokter akan diberi alat pengaman. Kata dokter kalau dalam jangka waktu seminggu belum sembuh, saya terpaksa harus beristirahat. Namun saya tidak tahu apa keputusan klub selanjutnya,” ucap Kurniawan.
Agar tidak panik, Kurniawan sengaja tidak menelepon orang tuanya. “Biarlah nanti juga tahu sendiri,” tukasnya lagu sambil meminta pada saya untuk mengirimkan kaset lagu-lagu Indonesia. Yang mengusik jiwanya kini tentu seandainya ia tidak bisa tampil membela Luzern karena cederanya itu. “Berarti saya mengecewakan masyarakat Indonesia, saya berdosa banget rasanya,” kata Kurniawan lirih. Dasar orang Indonesia, apapun bisa disyukuri.
Mengaku Rumit
Cedera Kurniawan hampir pasti akan membuatnya absen di Liga Swiss yang sudah memasuki babak playoff. Apa dan bagaimana babak playoff, lewa pembicaraan lewat telpon internasional, Kurni sempat mengungkapkan sedikit kebingungannya dengan sistem kompetisi yang terbilang tidak lazim di Eropa tersebut.
Buat penggemar sepak bola, kompetisi divisi satu Liga Swiss boleh jadi disebut aneh mengingat perbedaan sistem yang kita ketahui dengan mayoritas kompetisi reguler Eropa. Mulai Minggu 26 Februari 1995, playoff musim 1994/95 digelar secara serentak. FC Luzern, klub di mana Kurniawan Dwi Yulianto bergabung, siap mengawali kiprahnya melawan tim kuat yang telah 22 kali jadi juara liga, Grasshopper Zurich.
Putaran akhir, lebih dikenal dengan spring phase, diikuti delapan klub yang lolos kualifikasi dari 12 klub sebelumnya di putaran pertama (autumn phase). Kompetisi Liga Super Swiss baru berakhir pada bulan September, sedang babak penentuannya akan dimulai Februari sampai Juni mendatang,
Empat tim terbawah akan diadu oleh empat tim teratas dari divisi dua. Sedang empat tim lainnya akan menentukan calon juara. “Rumit sekali, saya sendiri bingung kalau membandingkan dengan Italia misalnya. Tapi yang penting tugas saya kan main dan mencetak gol,” ucap Kurniawan Dwi Yulianto, pesepak bola Indonesia pertama yang bermain di kompetisi profesional Liga Eropa.
Kurniawan beruntung. FC Luzern adalah klub yang promosi pada smusim 1993/94 lalu. Dalam sejarah mereka yang berdiri sejak 12 Agustus 1901, prestasi terbaik klub berjuluk Die Leuchten (sinar terang) ini tiada lain ketika menjuarai musim kompetisi 1988/89, yang hingga kini cuma sesekalinya, serta sebagai kampiun Piala Swiss pada 1960 dan 1992.
Bermarkas di Stadion Allmend yang berkapasitas 26.100 orang, Luzern mencatat sejarah baru karena untuk pertama kalinya sepanjang sejarah mereka dan juga kompetisi Liga Super Swiss sebagai klub pertama yang memakai pemain dari Asia. Yang bikin bangga tentunya karena orang itu adalah Kurniawan! Persaingan dalam Liga Super cukup keras dan ketat karena di sana bercokol nama-nama lumayan tenar di blantika sepak bola Eropa seperti Grasshopper Zurich, Basel, Neuchatel Xamax, atau Young Boys.
Saking ketatnya terkadang hasil akhirnya begitu liar. Sang juara liga tiba-tiba saja bisa terlempar ke divisi dua pada musim berikutnya. Kondisi ini seharusnya akan membantu Kurniawan dalam mengencangkan motivasi dan tantangannya untuk memberikan penampilan terbaiknya. Mudah-mudahan.
(foto: istimewa)
“Baru saja, ada telepon dari beberapa media di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Juga telepon dari Magelang yang ternyata ortu-nya Kurniawan. Tapi karena Kurniawan pulang jam 12 malam terus, maka tidak pernah bisa ketemu. PSSI juga pernah telpon ke sini,” sebut Aryadi Chandara (19), anak Jakarta yang tinggal di Hotel Waldstaetten.
Tentu sulit bicara dengan Kurniawan bila melupakan perbedaan waktu WIB dengan Swiss, yang sekitar 6 jam lebih cepat. Kalau jam 12 malam di Swiss, berarti sekitar jam 06.00 pagi WIB keesokan harinya. “Saya paling sering diajak ngobrol di kamarnya. Yang diungkapkan macam-macam misalnya demi mengharumkan nama negara ia akan membetahkan diri di Luzern,” tambah Wendy Harto Kusumaatmadja (24) pada saya.
Dari Wendy pula, pada Selasa (21/2) malam, tersiar kabar mengejutkan soal Kurniawan. “Wah, mas. Kurniawan lagi ke rumah sakit. Katanya sih ada yang patah, saya sendiri cuma lihat dia diantar orang bule,” ujar Wendy. Rabu (22/2) dinihari WIB, untungnya Kurniawan dapat dihubungi. Kenapa, Kur? “Iya mas. Jari manis kanan saya patah. Gara-gara salah tumpuan waktu jatuh ketika berlatih tadi,” aku remaja kelahiran 13 Juli 1976 itu.
“Waktu di lapangan sih tidak begitu sakit. Baru setelah latihan terasa sakitnya. Untung Alessandro Minelli (bek Luzern) mengantar saya ke Rumah Sakit Kantonspital,” tambahnya. Yakin masih bisa main, Kur? “Ndak tahulah, saya tetap mau main, karena jika berlatih oleh dokter akan diberi alat pengaman. Kata dokter kalau dalam jangka waktu seminggu belum sembuh, saya terpaksa harus beristirahat. Namun saya tidak tahu apa keputusan klub selanjutnya,” ucap Kurniawan.
Agar tidak panik, Kurniawan sengaja tidak menelepon orang tuanya. “Biarlah nanti juga tahu sendiri,” tukasnya lagu sambil meminta pada saya untuk mengirimkan kaset lagu-lagu Indonesia. Yang mengusik jiwanya kini tentu seandainya ia tidak bisa tampil membela Luzern karena cederanya itu. “Berarti saya mengecewakan masyarakat Indonesia, saya berdosa banget rasanya,” kata Kurniawan lirih. Dasar orang Indonesia, apapun bisa disyukuri.
Mengaku Rumit
Cedera Kurniawan hampir pasti akan membuatnya absen di Liga Swiss yang sudah memasuki babak playoff. Apa dan bagaimana babak playoff, lewa pembicaraan lewat telpon internasional, Kurni sempat mengungkapkan sedikit kebingungannya dengan sistem kompetisi yang terbilang tidak lazim di Eropa tersebut.
Buat penggemar sepak bola, kompetisi divisi satu Liga Swiss boleh jadi disebut aneh mengingat perbedaan sistem yang kita ketahui dengan mayoritas kompetisi reguler Eropa. Mulai Minggu 26 Februari 1995, playoff musim 1994/95 digelar secara serentak. FC Luzern, klub di mana Kurniawan Dwi Yulianto bergabung, siap mengawali kiprahnya melawan tim kuat yang telah 22 kali jadi juara liga, Grasshopper Zurich.
Putaran akhir, lebih dikenal dengan spring phase, diikuti delapan klub yang lolos kualifikasi dari 12 klub sebelumnya di putaran pertama (autumn phase). Kompetisi Liga Super Swiss baru berakhir pada bulan September, sedang babak penentuannya akan dimulai Februari sampai Juni mendatang,
Empat tim terbawah akan diadu oleh empat tim teratas dari divisi dua. Sedang empat tim lainnya akan menentukan calon juara. “Rumit sekali, saya sendiri bingung kalau membandingkan dengan Italia misalnya. Tapi yang penting tugas saya kan main dan mencetak gol,” ucap Kurniawan Dwi Yulianto, pesepak bola Indonesia pertama yang bermain di kompetisi profesional Liga Eropa.
Kurniawan beruntung. FC Luzern adalah klub yang promosi pada smusim 1993/94 lalu. Dalam sejarah mereka yang berdiri sejak 12 Agustus 1901, prestasi terbaik klub berjuluk Die Leuchten (sinar terang) ini tiada lain ketika menjuarai musim kompetisi 1988/89, yang hingga kini cuma sesekalinya, serta sebagai kampiun Piala Swiss pada 1960 dan 1992.
Bermarkas di Stadion Allmend yang berkapasitas 26.100 orang, Luzern mencatat sejarah baru karena untuk pertama kalinya sepanjang sejarah mereka dan juga kompetisi Liga Super Swiss sebagai klub pertama yang memakai pemain dari Asia. Yang bikin bangga tentunya karena orang itu adalah Kurniawan! Persaingan dalam Liga Super cukup keras dan ketat karena di sana bercokol nama-nama lumayan tenar di blantika sepak bola Eropa seperti Grasshopper Zurich, Basel, Neuchatel Xamax, atau Young Boys.
Saking ketatnya terkadang hasil akhirnya begitu liar. Sang juara liga tiba-tiba saja bisa terlempar ke divisi dua pada musim berikutnya. Kondisi ini seharusnya akan membantu Kurniawan dalam mengencangkan motivasi dan tantangannya untuk memberikan penampilan terbaiknya. Mudah-mudahan.
(foto: istimewa)