Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Liga Champion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liga Champion. Tampilkan semua postingan

Seperti Menampar Air Di Dulang

Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher, dua fan fanatik mereka yang juga pentolan grup musik Oasis, untuk menggubah lagi himne Liga Champion daripada mencemooh karya musisi bangsa sendiri atau memusuhi UEFA.
Seperti Menampar Air Di Dulang
Ulah kaum The Cityzen. Parodi atau harapan?
Klub-klub Eropa sangat mendambakan lagu itu bisa diputar di stadion mereka. Para pelatih dan pemain sejagat dari berbagai ras dan bangsa, yang bintang atau bukan; bermimpi mendengarkan sambil berbaris khidmat. Mereka pun rela mengerahkan otak dan tenaga demi tujuan itu. Maka jika ada klub sampai menghinanya, pasti persoalan sudah bikin ngebul kepala.

Lagu Zadok The Priest, yang menjadi lagu resmi Liga Champion, amat dikenal publik sepak bola sejak meluncur pertama kali pada Agustus 1992. Adalah komposer Inggris, Tony Britten, yang menggubah salah satu karya komposer terbesar Inggris, George Frideric Handel pada 1727 itu, sekaligus memberi liriknya. Anehnya, orang-orang Inggris pula yang pertama kali melecehkannya.

Pendukung Manchester City mustahil tidak paham sejarah. Barangkali mereka lupa, kebablasan, sehingga dengan bodohnya mengolok-olok himne yang kerap membangunkan bulu kuduk itu di Stadion Etihad, Oktober lalu. Kejadiannya sebelum mereka mengalahkan Sevilla 2-1 di matchday 3. Akibat pelecehan kelas berat itu, klub kaya mendadak ini diperkarakan UEFA.

UEFA tengah mengumpulkan bukti-bukti lain untuk memutuskan vonis yang menurut rencana diumumkan pada 19 November. Kemungkinan besar berkas-berkas perkara City di UEFA bertambah. Sebelumnya 'pemain baru' di Liga Champion ini dikenai hukuman pelarangan transfer akibat melanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) pada 2013/14.

Dendam pendukung City pada UEFA pantas terjadi mengingat gara-gara larangan membeli bintang baru untuk musim 2014/15, gelar mereka lepas direbut Chelsea. Hukuman itu juga mempengaruhi kiprah mereka di Liga Champion yang dipenuhi ambisi. Namun terseretnya Platini ke dalam polemik FIFA, lewat isu suap 1,3 juta pound, justru sebagai pemicunya.

Mereka menganggap tindakan presiden UEFA dan Sepp Blatter dalam kasus korupsi di FIFA sebagai kejahatan keji. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari tampaknya benar adanya. Tapi, kasihannya kenapa Zadok The Priest yang jadi korban? Ternyata di telinga Cityzen, lagu itu dianggap simbol arogansi, provokasi, kemunafikan, dan kriminalitas.

Masak sih? Jangan-jangan memang Cityzen besar kepala, tidak injak bumi, lupa kacang pada kulitnya dan lagi-lagi, melupakan sejarah. Selama ini para pimpinan klub tidak mau repot-repot menantang UEFA, entah itu manajer, direktur, CEO apalagi pemiliknya. Mereka justru tahu diri sebagai klub anak bawang di belantara Liga Champion.

City justru baru memulai tradisinya di Liga Champion. Belum tiga tahun. Mau sukses instan menjadi jawara Eropa seperti di Premier League? Waduh, ini Eropa bung! Manajemen sadar, mereka tidak punya teknokrat, legenda atau tokoh berpengaruh di UEFA yang sanggup melobi atau bisa mempengaruhi keputusan. Kontak dan saluran mereka amat minim di sana.

Namun tidak demikian dengan pendukungnya, yang akrab disebut dengan Cityzen. Mereka mudah terbakar, marah sebagai bentuk letupan pengalaman pahit atau bisa juga bablasnya ekspektasi. Mereka amat sensitif, barangkali akibat hatinya kelamaan 'teraniaya' oleh kehebatan Manchester United. Galaknya minta ampun, bahkan lebih galak dari orang-orang lama.

Perlu Batasan
Seperti Menampar Air Di Dulang
Berani meledek UEFA walau tidak punya tradisi di Liga Champion.
Pendukung City berkata UEFA telah mengekang kebebasan berbicara, berekspresi, serta coba mengubur nilai-nilai demokratis. Di mata mereka, FFP adalah ironi, bukan bentuk kelaziman aturan tapi satu kezaliman pada kehidupan modern yang cenderung bebas, global, dan tentu saja kapitalis. Mereka mengingatkan UEFA dengan memo berjudul Bedtime Reading.

Fan berharap Le Petit Napoleon Platini, begitu mereka menjuluki presiden UEFA, menghentikan arogansinya dengan melihat pasal 10 dari Konvensi Eropa mengenai hak asasi manusia yang berbunyi, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan seterusnya.' Tapi, uniknya, di satu sisi pendukung City juga arogan serta tidak peka dengan lingkungan.

Di kala pendukung Sheffield United atau Watford asyik berkhayal kapan lagu Zadok The Priest diputar di stadion mereka, dengan angkuh The Cityzen bertindak mengejutkan. Padahal kurang dari 10 musim lalu, nasib ketiganya mirip: sama-sama berjuang dari degradasi di akhir musim. Namun sepak bola rupanya perlu batasan yang dijaga oleh pemangku kekuasaan.

UEFA selalu mengacu pada pasal 16 tentang peraturan disiplin yang berisi klub/pihak tuan rumah bertanggung jawab pada perilaku tak senonoh atas gangguan lagu kebangsaan atau himne kompetisi. Hukuman untuk jenis pelanggaran ini biasanya diketuk oleh Komisi Disiplin berupa denda uang, atau bermain di stadion kosong alias tanpa penonton.

Uniknya, di musim lalu, City pernah menderita kejadian serupa ketika diintimidasi sorakan dan hinaan suporter CSKA Moskva saat bertandang ke Rusia, November 2014. Waktu itu yang dijadikan obyek adalah Yaya Toure. Dengan treatment sama, UEFA menghukum CSKA sekali bertanding tanpa penonton. Gara-gara ini, CSKA kalah 0-1 dari Bayern Muenchen.

City cuma sekali lagi jadi tuan rumah, 8 Desember, dengan menjamu Borussia Moenchengladbach. Takut hukuman serupa mempengaruhi nasib dan kans timnya, Manuel Pellegrini akhirnya angkat bicara. Sang manajer meminta UEFA supaya menghormati penonton yang telah membayar mahal tiket Liga Champion untuk meramaikan turnamen andalan UEFA ini.

"Fan berhak melakukan protes secara damai untuk mengekspresikan haknya, perasaannya, asal dengan hormat, seperti ketika menyoraki pemain dalam pertandingan," kata Pellegrini apa adanya, jujur, tapi penuh maksud. "Saya tidak mengerti kenapa UEFA mengincar fan kami. Mereka yang beli tiket, bukan manajer, pemain, atau wasit."

Bukan sepak bola kalau tidak kontroversial. Pada kasus ini terlihat jelas perasaan megalomania sudah menjangkiti pendukung City, setelah superlatif pada skuadnya. UEFA barangkali berpikir, apa jadinya jika pelecehan himne itu dibiarkan? Tim ini telah membeli kesuksesan secara instan, tanpa melalui proses sebagaimana layaknya di sepak bola. Bahaya kalau tidak digubris.

Andai yang melakukan itu fan Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen, mungkinkah UEFA mentolerirnya? Sekarang sukses memang bisa dibeli, apa susahnya? UEFA seperti halnya FIFA, rupanya masih kental jiwa sosialisnya, barangkali untuk mengimbangi tuntutan masyarakat kapitalis. Perbedaan adalah hikmah dan berkah. Bayangkan kalau semuanya similar.

(foto: manchestereveningnews/spanishnewstoday)

Share:

Harga Skuad Menentukan Juara

Liga Champion identik dengan kepastian, kemapanan. Hanya klub sukses, bahkan paling sukses; klub kaya, kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya. Analogi ini boleh jadi keterlaluan, namun ada dasarnya.

Harga Skuad Menentukan Juara
Apakah Anda masih ingat kejutan terbesar di Liga Champion, ketika sebuah tim yang tak favoritkan mampu menjuarainya? Pada 1986, Steaua Bucuresti mengalahkan Barcelona dengan adu penalti. Pada 1991, Crvena Zvevda alias Red Star juga menang adu penalti dari Olympique Marseille. Pada 1997 Borussia Dortmund mengatasi Juventus. Setelah itu?

Tentu masih banyak lagi, baik sebelum dan sesudahnya. Tapi tetap saja, namanya kejutan lebih kecil probabilitasnya dibanding yang semestinya. Menanti kejutan adalah sisi paling misterius di sepak bola. Sayangnya Liga Champion mudah diprediksi, terutama saat memasuki sesi perdelapanfinal hingga final. Apa yang menjadi penyebab utamanya?

Paling terdepan karena nilai skuad di klub itu sendiri. Real Madrid (2014), Barcelona (2015), serta Bayern Muenchen (2013) adalah triumvirat mahsyur nan legendaris di Eropa yang menjadi juara di tiga musim terakhir. Catat, ketiganya merupakan klub dengan skuad termahal di dunia. Jika mau ditambah, dua di bawahnya lagi adalah Chelsea dan Manchester City.

Menurut situs Transfermarkt, skuad Real Madrid bernilai 718,80 juta euro atau setara dengan Rp 10,80 trilyun. Disusul oleh Barcelona 657,50 juta euro (Rp 9,9 trilyun), Bayern Muenchen 617,68 juta euro (Rp 9,3 trilyun), dan Chelsea 542,50 juta euro (Rp 8,1 trilyun). Terdekat dengan Chelsea adalah Manchester City senilai 514,50 juta euro atau sekitar Rp 7,75 trilyun.

Kecuali Manchester City, keempat klub di atas adalah kampiun Liga Champion di lima musim terakhir: Barcelona (2011 dan 2015), Chelsea (2012), Bayern (2013), dan Real Madrid (2014). Ada alasan lain yang menguatkan kepantasan mereka? Tentu. Bukankah para pemain mahal mereka mengkonfirmasi kelebihan dalam mengkreasi ide di permainan?

Dalam cakupan lebih luas, hingga 2010 Bayern, Barca, dan Real mengokupasi 15 dari 24 posisi semifinal (62,5 persen). Ini sebuah dominasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Liga Champion. Besar saldo klub atau tingginya tagihan gaji dianggap menjadi pemicu kesuksesan paling nyata di Liga Champion ketimbang di liga domestik.

"Walau tak ada garansinya, namun hadiah terbesar di akhir kompetisi selalu ada di Liga Champion, bukan di liga domestik," kata Presiden Bayern, Karl-Heinz Rummenigge pada 2013, saat kejutan di babak signifikan masih banyak terjadi. Namun kini, pandangan itu mulai berubah. Statistik semakin menjelaskan garansi sukses di liga domestik dan Liga Champion.

Kasus PSV
Bursa Transfer 2015/16: Tiga Komoditi Paling Hot
Tiga superstar lapangan hijau yang bernilai jual paling tinggi.
Musim ini posisi Atletico Madrid dalam tabel nilai skuad turun cukup dalam. Penyebabnya mereka tak lagi membeli pemain mahal sehingga tagihan gajinya berkurang. Namun sebagai ganjarannya, kreasi ide permainan atau potensi kemenangan jadi menciut. Prestasi pun mengkerut. Pada enam tahun terakhir, ada 18 klub yang menembus semifinal.

Namun sejak Florentino Perez mendatangkan Cristiano Ronaldo pada 2009 senilai 94 juta euro, sekaligus mentahbiskan klubnya sebagai Los Galacticos, terjadi penyusutan di mana hanya 11 klub yang sukses menembus empat besar Liga Champion. Setelah usianya bertambah enam tahun, nilai Ronaldo kini malah membubung menjadi 120 juta euro.

Gabungan nilai Ronaldo ditambah Lionel Messi, yang juga ditaksir sama 120 juta euro, sebesar 240 juta euro setara dengan 20 klub peserta Liga Champion musim ini (lihat tabel Harga Skuad). Akumulasi atau konsentrasi bakat selalu menaikkan posisi klub pada kuadran yang seharusnya. Jangan harap dengan membeli pemain murah dan bergaji kecil, mereka akan naik kelas.

Prestasi di Liga Champion datang dari dampak seperti itu. Lihatlah kasus PSV Eindhoven. Pada era 1980-an hingga awal 1990-an, mereka klub papan atas Eropa yang akhirnya meraih puncak prestasi dengan titel di 1988. PSV selalu ditaburi bintang mahal dengan gaji tinggi. Mulai dari Ruud Gullit, Ronald Koeman, Romario Faria hingga Luiz Ronaldo.

Memasuki tahun 2000-an, PSV mulai memasuki masa stagnasi, yang hingga di dekade kedua ini belum sanggup juga bersaing di Eropa. Penjualan beruntun Arjen Robben, Ruud van Nistelrooij, Mateja Kezman, Mark van Bommel, Park Ji-sung, Kevin Strootman, Georginio Wijnaldum sampai Memphis Depay langsung meruntuhkan dominasi dan kuadran mereka.

PSV terlalu berat untuk me-restart skuadnya yang menjadi sumber kesulitan untuk bisa bangkit lagi di Eropa. Hal yang sama terjadi pada Ajax setelah era emas di tangan Louis van Gaal di pertengahan 1990-an serta generasi Wesley Sneijder di awal 2000-an. Imbasnya, generasi penggemar bola yang sekarang tidak lagi menoleh kehebatan mereka seperti dulu.

Memelihara sejarah dan tradisinya, menjaga konsistensi dan posisinya menjadi kelebihan Real Madrid, Barcelona serta Bayern Muenchen di level Liga Champion. Sementara yang lain di bawah mereka. Ada yang memulai bangkit lagi seperti Manchester United atau Juventus, ada yang mengecil putaran bisnisnya seperti PSV, Ajax, Porto, dan seterusnya.

BINTANG TERMAHAL/KLUB (dalam juta euro)

Nama
Nilai jual
Lionel Messi (Barcelona)
120
Cristiano Ronaldo (Real Madrid)
120
Eden Hazard (Chelsea)
70
Sergio Aguero (Manchester City)
60
Paul Pogba (Juventus)
55
Thomas Mueller (Bayern Muenchen)
55
Alexis Sanchez (Arsenal)
55
Angel Di Maria (Paris Saint-Germain)
55
Koke Merodio (Atletico Madrid)
50
Wayne Rooney (Manchester United)
40
Hulk Givanildo (Zenit Saint-Petersburg)
37
Alexandre Lacazette (Olypimque Lyon)
30
Ricardo Rodriguez (Wolfsburg)
28
Radja Nainggolan (AS Roma)
27
Nicolas Gaitan (Benfica)
27
Enzo Perez (Valencia)
25
Andriy Yarmolenko (CSKA Moskva)
24
Alex Teixeira (Shakhtar Donetsk)
23
Lars Bender (Bayer Leverkusen)
22
Roman Eremenko (CSKA Moskva)
20
Evgen Konoplyanka (Sevilla)
20
Granit Xhaka (Borussia Moenchengladbach)
20
Yachine Brahimi (FC Porto)
18,5
Fernando Muslera (Galatasaray)
17
Jetro Willems (PSV)
10
Roberto Jimenez (Olympiakos)
8
El Arabi Hillel Soudani (Dinamo Zagreb)
5
Moses Simon (KAA Gent)
4
Eren Zahavi (Maccabi Tel Aviv)
3
Magnus Wolf Eikrem (FC Malmoe)
2
Fexi Kethevoama (FC Astana)
2
Denis Polyakov (BATE Borisov)
1,6

HARGA SKUAD (dalam juta euro)

Klub
Nilai Total
REAL MADRID
715,5
BARCELONA
657,5
BAYERN MUENCHEN
559,1
CHELSEA
531,75
MANCHESTER CITY
480,85
PARIS SAINT-GERMAIN
403,65
ARSENAL
402
JUVENTUS
388,1
MANCHESTER UNITED
377,25
ATLETICO MADRID
340,5
VALENCIA
262,5
ROMA
258,6
WOLFSBURG
205,65
ZENIT ST-PETERSBURG
190,4
BAYER LEVERKUSEN
189,15
SEVILLA
172
OLYMPIQUE LYONNAISE
170,6
PORTO
165,6
BENFICA
153,3
CSKA MOSKVA
152,65
BORUSSIA MOENCHENGLADBACH
144,4
SHAKHKTAR DONETSK
140,1
DYNAMO KYIV
123,25
GALATASARAY
123,25
PSV EINDHOVEN
96,3
OLYMPIAKOS
88,5
DYNAMO ZAGREB
48,25
KAA GENT
47,9
MACCABI TEL AVIV
21,55
MALMOE
20,8
BATE BORISOV
18,2
ASTANA
14,5

(foto: sportcabal/deportes.elpais)

Share:

5 Tabu dan 3 Syarat Menjadi Juara Liga Champion

Liga Champion suka disebut 'Piala Dunia setiap tahun' lantaran mutu, pesona, dan gengsinya. Inilah lahan uji nyali eksekutor, juga medan tempur ideal buat yang biasanya cuma mikirin bagaimana menang, meraih momentum yang tepat, atau mencari efektivitas permainan di tengah pekan, di mana bioritme banyak bertubrukan dengan kondisi ril.
5 Tabu dan 3 Syarat Menjadi Juara Liga Champion
Keseimbangan tim adalah kunci sukses di Liga Champion.
Mitos dan terkadang paradoks selalu melingkupi Liga Champion. Baik favorit maupun underdog selalu tertekan dalam melakoni laga, terutama menjelang babak akhir. Menurut Gerard Houllier, teknokrat sepak bola asal Prancis, kemenangan di Liga Champion ditentukan oleh keefektifan mengkreasi gol tanpa melupakan sisi pertahanan dan bioritme tubuh, juga hal seperti jetlag.

Bukan gol yang banyak, tapi gol yang komprehensif dan signifikan. Dia punya rumus atau tata cara memenangkan Liga Champion. Salah satunya Anda mesti punya rata-rata mencetak 1,5 gol tiap pertandingan, konstan. Ini bisa diterjemahkan satu gol lebih setiap main. Atau 3 gol yang Anda cetak dalam dua laga.

Jika grafik gol Anda 4-0, 2-1, 3-2, lalu 1-0 (@2,5 gol) maka itu tak lebih baik dari skor 1-0, 2-0, 2-1, dan 1-0 misalnya. Kenapa bisa begitu? Sepak bola adalah permainan keseimbangan. Hanya tim yang mengedepankan keseimbangan saja konon bakal sukses. Sepak bola cukup dimenangkan dan dijuarai dengan sebiji gol. Jangan lupakan lagi, bioritme. Ini teori Houllier.

Tidak ada jaminan usai menang 4-0, Anda tidak tersingkir karena kalah 0-1. Siapa yang berniat bikin banyak gol, berisiko pada organisasi permainannya. Itulah kenapa tiap gol Liga Champion dihargai uang oleh UEFA, dalam hal ini request dari para sponsor utamanya. Di Liga Champion, setiap tim bak berjudi, Menang, duit lawan Anda ambil. Kalah, uang Anda yang akan hilang,

Pada masa kini, di mana aspek permainan makin similar, juga pola latihan yang standar dan baku, tim yang bisa bikin selisih dua gol sebenarnya telah meraih target ideal. Pada hakikatnya sepak bola selalu berisi dua strategi. Bagaimana menyerang dan bertahan. Itu saja. Karena bolanya cuma satu, maka pada waktu diserang, Anda mesti dan pasti bertahan.

Prinsip ini bukan memihak pada tim yang sangat atraktif, tapi berlaku juga untuk tim yang paling defensif. Bahwa sepak bola soal gol benar adanya. Menyerang bentuk kerja untuk menang, dan kemenangan cuma lahir lewat gol. Sepak bola adalah sebuah permainan proses, seni bertahan dan menyerang terkadang merotasi fungsi. Penyerang jadi ikut bertahan. Bek maju menyerang.

Perihal ada yang mengedepankan pertahanan atau senang memprioritaskan penyerangan bukan jadi soal. Siapa yang seimbang memainkannya, dia yang akan sukses. Yang juga mesti diingat, tak ada jaminan kesebelasan yang bahkan selama 90 menit terus bisa bermain menyerang, akan bikin 12 gol. Contoh paling dekat adalah saat Spanyol merebut juara dunia pada 2010.

Siapapun kenal permainan menyerang ala La Furia Roja yang berintikan skuad agresif Barcelona. Kenanglah perjalanan mereka. Setelah dikejutkan dengan kekalahan 0-1 dari Swiss, lalu rangkaian skor dan gol-gol tim Matador selanjutnya adalah 2-0 (Honduras), 2-1 Chile, 1-0 (Portugal), 1-0 (Paraguay), 1-0 (Jerman), dan 1-0 (Belanda). Jumlah 8 gol dari 7 laga, atau rata-rata 1,14 gol/laga.

Apakah Spanyol main bertahan? Malah sebaliknya. Kenapa skornya pelit begitu? Ya, itu tadi lawan-lawannya tangguh dan gigih bertahan, dan kadang kali jatah waktu untuk Spanyol juga dihabiskan untuk bertahan karena mereka juga sering diserang. Keduanya proses itu sama-sama menggerogoti sang waktu. Belum lagi kalau ada banyak drama yang menggigit perasaan.
5 Tabu dan 3 Syarat Menjadi Juara Liga Champion
Crvena Zvevda vs Marseille di final 1990/91.
Sekali lagi, jika Anda mau bikin gol maka Anda harus menyerang. Tidak bisa tidak. Andai tak mau menyerang, maka lebih baik Anda berdoa saja agar pemain lawan tak karuan tiba-tiba bikin gol bunuh diri. Buat pakar strategi seperti Houllier, medan peperangan Liga Champion adalah yang paling pelik. Mantap dari sisi teknis, bisa saja bermasalah dari sisi mentalitas bahkan mitos.

Strategi Andalan

Tips Houllier ibaratnya do's yang mesti dipatuhi, dan itu baru separo jalan menuju sukses. Untuk melengkapinya, Anda juga harus ingat dont's yang ditabukan, yang terkait dengan fakta sejarah. Beberapa pantangan ini sering menjadi strategi andalan untuk meraih juara oleh klub-klub Italia. Berkali-kali Bayern Muenchen melanggarnya, dan berkali-kali pula mereka gagal di final.

Lalu apa saja pantangan itu? Yang pertama jangan jadikan laga final medan perang suci. Sebelum final 1994, Johan Cruijff berkata jika timnya sampai kalah, maka sepak bola akan mati! Baginya laga Barcelona vs AC Milan dengan serentetan retorika yang nyelekit. Mulai dari menyerang vs bertahan, romansa vs pragmatis, kepandaian vs efisien, sampai anak baik vs anak nakal.

Cruijff, dua tahun sebelumnya memberi trofi Champion untuk Barca pertama kalinya, secara tidak sadar meremehkan eksistensi Maldini, Boban, Donadoni, Savicevic, dan Desailly, bahkan esensi calcio secara total! Dia malah memotivasi Milan yang jadi tugas Fabio Capello. Akibatnya sadis. Belum sampai sejam, permainan benar-benar 'mati' sebab Milan telah unggul 4-0.

Kedua jangan meremehkan lawan seberapa jeleknya mereka. Ini yang ditanggung Glasgow Celtic. Merasa berpengalaman jadi juara pada 1967, manajer Jock Stein yakin menggapai titel keduanya di final 1970. Strateginya sepele, ia menyuruh anak buahnya main satu gaya: menyerang, tanpa mau tahu pola lawan. Sebaliknya pelatih Feyenoord, Ernst Happel, menemukan inspirasi.

Para pemainnya disuruh bertahan, menunggu dan menunggu. Ketika datang saatnya, mereka bikin serangan balik mematikan dengan motif menggelora, lalu sukses membuat gol penting. Gol itu lahir saat waktu ekstra 2 x 15 menit tinggal menyisakan dua menit jelang adu penalti, atau di menit 118! Celtic dan Stein tersentak, namun tak berdaya sebab kehabisan waktu.

Ulah Stein malahan melahirkan sejarah baru buat Feyenoord, klub Belanda yang pertama kali juara Eropa. Hal ketiga adalah jangan menjadikan Liga Champion sebagai momentum apapun. Tahu lawannya di final 1987 'cuma' FC Porto, presiden Bayern Muenchen Fritz Scherer telah menyiapkan pidato menyambut kemenangan untuk kelahiran kembali klubnya.
5 Tabu dan 3 Syarat Menjadi Juara Liga Champion
Marseille baru sukses di 1992/93 setelah mengoreksi final 1990/91.
Muenchen adalah juara Champion tiga kali, yang terakhir juara 11 tahun silam. "Ini akan jadi fajar baru buat sebuah era besar bagi klub," katanya penuh yakin. 15 menit lagi memang ambisi itu akan tercapai. Muenchen telah unggul 1-0. Namun tiba-tiba, dua gol dalam waktu dua menit (77 dan 79) mengubur impian mereka selama-lamanya.

Satu legenda baru kembali dilahirkan oleh kepongahan lawan! Porto meraih titel pertama kalinya. Gilanya lagi, bak kepala batu, Muenchen kembali mengulangi hal yang sama, tepatnya 12 tahun kemudian. Dunia sulit melupakan laga di Camp Nou pada final 1999. Lawan kali ini jagoan dari Inggris, Manchester United, yang tampaknya hanya bermodalkan semangat beton.

Selama 80-an menit, trio Mario Basler, Jens Jeremies, dan Stefan Effenberg mengocok-ngocok lini tengah United yang hadir tanpa duet Paul Scholes dan kapten Roy Keane. Muenchen unggul cepat via Basler sejak menit 6. Namun setelah itu, mereka gagal menambah gol kedua, ketiga dan seterusnya. Inilah rupanya tanda bencana buat klub Bavaria tersebut.

Ketika kapten Lothar Matthaeus tiba-tiba diganti oleh Thorsten Fink di menit 80, Alex Ferguson seperti mendapat inspirasi. Semenit kemudian dia memasukkan Ole Gunnar Solskjaer. Fergie melakukan respons melihat kesalahan yang dibuat Ottmar Hitzfeld. Roh kekuatan Bayern telah hilang. Roh spiritual! Sejarah mencatat dalam dua menit (91 dan 93) United mengubah nasibnya.

Pas di menit 90, atau sebelum Teddy Sheringham menyamakan skor, Presiden UEFA Lennart Johansson meninggalkan kursinya untuk mengecek dan menyuruh trofi segera meng-grafir nama Bayern Muenchen sebagai juara. Namun saat balik ke kursinya, ia terkejut karena skor telah 1-1. Sel-sel otaknya masih kacau memikirkan situasi, Solskjaer kembali membuat gol!

"Saya tidak percaya menyaksikan semuanya. Sang juara malah menangis, sedangkan yang kalah amat bergembira," komentar Johansson melihat drama paling menggegerkan di Liga Champion. Di lapangan Samuel Kuffour meraung-raung sambil mencium rumput. Dan untuk kedua kalinya Matthaeus gagal mencium trofi. "Ini laga yang dimenangkan oleh tim beruntung, bukan oleh tim terbaik," kata sang kapten yang mesti merasakan kepedihan serupa seperti 12 tahun silam!

Rahasia Dortmund

Apapun prosesnya, sepak bola berlangsung 90 menit atau 120 menit lebih. Pantangan keempat yang tabu dibuat: jangan pernah percaya dengan skor babak pertama. Selain Ferguson, Rafael Benitez juga melakoninya di 2005. Dua gol Hernan Crespo dan Paolo Maldini di babak pertama tak menyurutkan semangatnya untuk menang. Di babak kedua Liverpool bisa mencetak tiga gol. 3-3! Lalu perpanjangan waktu. Lalu drama adu penalti. Lalu Milan kalah!

Cuma ada empat tim yang bangkit setelah tertinggal selisih dua gol, kemudian jadi juara. Pertama di final 1956. Setelah ketinggalan 0-2, Real Madrid memukul balik Stade De Reims 4-3. Benfica melakukannya di final 1962. Tertinggal 2-3 oleh superteam Real Madrid, pelatih Bela Guttman menyiapkan strategi jitu di babak kedua: menyuruh satu pemain untuk mengurung Alfredo Di Stefano, pemain kunci yang jadi kreator tiga gol buatan Ferenc Puskas. Hasilnya berjalan bagus, Benfica ganti menyerang dan bikin tiga gol di babak kedua dan menang 5-3.

Faktor kelima, ini strategi terpenting untuk merebut titel: selalu memiliki strategi tak diduga. Rafa Benitez mengganti bek kanan Steve Finnan dengan breaker Dietmar Hamann bukan karena disfungsi, namun melihat tiga taktik baru dari observasi brilyan. Pertama, Milan jarang menusuk dari wilayah itu. Kedua, si pendulum permainan Milan saat itu, Ricardo Kaka, mesti dihentikan. Ketiga, Benitez mengubah peran Xabi Alonso-Gerrard menjadi lebih menyerang. Inilah intisari strategi hebat Benitez yang dilabeli Rafalution oleh pers. 

Di final 1969 Nereo Rocco membuat keputusan yang mengelabui Rinus Michels. Catenaccio, yang dipakai saat menyingkirkan skuad Matt Busby di semifinal, tiba-tiba dibuang Milan tatkala bertemu Ajax di final. Dia malah menyajikan menu menyerang membabi buta. Milan menang 4-1. Taktik ini ditiru Arrigo Sacchi (1989) dan Fabio Capello (1994). Milan menghantam Steaua Bucuresti dan Barcelona masing-masing 4-0.

Strategi tidak terduga mesti diterapkan oleh mereka yang ingin membuat sejarah baru. Tidak bisa tidak, sebab Liga Champion cenderung memihak kepada mereka yang 'berpengalaman' juara. Secara kebetulan penulis pernah menyaksikan proses kelahiran juara baru, tepatnya Rabu, 28 Mei 1997, di Olympiastadion, Muenchen, saat Borussia Dortmund menantang Juventus.
5 Tabu dan 3 Syarat Menjadi Juara Liga Champion
Andrea Moeller tahu banyak kekurangan Juventus.
Hebat di Jerman, tangguh di Eropa. Dortmund yang digarap Ottmar Hitzfeld, sukses memukul favorit kuat, si juara bertahan Juventus dengan skor 3-1. Dua gol Karl-Heinz Riedle dan the rising star Lars Ricken menutup ambisi Juve menjadi klub pertama yang bisa menahan trofi lebih dari sekali. Namun, apa sih tanda-tanda lahirnya juara baru di Liga Champion?

Pertama dan wajib hukumnya, punya manajer hebat. Dortmund memilikinya pada diri Hitzfeld. Kedua, materi tim mumpuni, minimal seimbang. Lini pertahanan Dortmund amat tangguh. Bek kanan Stefan Reuter, duet bek tengah Juergen Kohler-Matthias Sammer serta bek kiri Joerg Heinrich. Di tengah, trio Paul Lambert, Paulo Sousa, dan sang kreator Andreas Moeller bisa meredam kuartet Angelo Di Livio, Vladimir Jugovic-Didier Deschamps, dan Zinedine Zidane.

Ketiga, ini soal lumrah tapi suka dilupakan: sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan pukulan terakhir. Pendek kata, banyak yang menanti dengan cara apa Hitzfeld bisa mengalahkan Marcello Lippi di kala kecenderungan sejarah tidak memihak mereka? Satu hal yang agak luput diperhatikan adalah bahwa sepertiga skuad Dortmund merupakan eks legiun Juventus.

Kohler, Reuter, Moeller dan juga Sousa merupakan bekas tokoh kunci Bianconeri. Memahami kekuatan dan kelemahan individu per individu adalah kunci sukses Dortmund. Hebatnya lagi mereka menjadi juara cuma melalui satu kesempatan, mengikuti kiprah Steaua Bucuresti (1986), Crvena Zvevda alias Red Star alias Stella Rossa (1991), serta Olympique Marseille (1993). Apakah di era milenium prestasi yang mereka lakukan bisa terjadi lagi? Inilah misterinya.

(foto: digital-news/memosport/bbc/arhiva.srbija)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini