Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Visi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Visi. Tampilkan semua postingan

Visi: Dongeng Albania (2)

DI KALA situasi makin dipenuhi kekalutan, sekonyong-konyong seorang ofisial dari Serbia berlari ke arah Balaj yang sedang membawa bendera. Tanpa ragu dia menghantamkan kursi plastik itu ke tengkuk Balaj, yang langsung tumbang. Melihat itu serta merta kapten Shqiperia, Lorik Cana, murka lalu mengirim ketupat bengkulu ke wajah si penyerang liar.
Awal kericuhan: memperebutkan bendera.
Dari berbagai penjuru, para penonton mulai menyelusup ke lapangan dengan niat dan tekad bulat: menyerang para pemain Albania. Sementara itu Cana masih bergumul dengan si penyerang liar yang ternyata berbadan jauh lebih besar darinya serta berkepala plontos. Cana sempat dipukul beberapa pemain cadangan Serbia yang mulai terbakar emosi nasionalismenya.

Di menit 42, akhirnya Atkinson tak tahan dengan keadaan. Ia meniup panjang tanda laga dihentikan. Pemandangan lain memperlihatkan segelintir pemain kedua negara baku pukul. Begitu juga para ofisial. Gilanya, ofisial lapangan yang harusnya netral malah ikutan adu otot melawan kontingen Albania.  Seseorang tampak mendorong Atkinson agar keluar lapangan. 

Aksi penonton yang tetap di tribun tidak mau kalah. Mereka kompak meneriakan "Vritini! vritini! Shqiptaret dhe vritini, vritini! Pritini! Shqiptaret nuk egzistojne!" (Bunuh! Bunuh! Bunuh orang Albania! Bunuh! Potong mereka! Albania tidak ada!). Mereka juga membakari bendera NATO, di kala poster Sesejl dan Radenovic diacung-acungi pendukung tuan rumah.

Tak pelak lagi, Stadion Partizan sudah diguyur aroma politik. Jenderal Vojislav Sesejl adalah panglima Serbia pada Perang Kosovo, yang ditahan NATO dengan status penjahat perang setelah diadili di Den Hague , Belanda. Begitu juga Jenderal Veljko Radenovic, komandan polisi di Prizren. Poster-poster lain yang terlihat adalah “Glory to Putin” serta “Kosovo adalah Serbia.” 

Tidak henti-hentinya koor seisi stadion yang berteriak: “Bunuh, bunuh mereka, tusuk mereka, jangan sampai ada orang Albania yang keluar dari lapangan,” juga jadi kekuatiran tersendiri karena dianggap menjadi provokasi, bahan bakar bagi para pengacau di laga yang berbau rasial itu. Orang-orang UEFA yang hadir di situ terlihat tak berdaya dan telah dipermalukan.

Melihat kurang seriusnya petugas keamanan, keselamatan stadion yang minim dan menyeruaknya tensi kemarahan dari penonton tuan rumah, bisa jadi Stadion Partizan berpotensi menjadi killing field, ladang pembantaian. Bisa dipastikan, hanya berkat kasih sayang-Nya atau perlindungan Illahi saja, tim Albania terhindar dari bencana penyerbuan puluhan ribu ke lapangan!

Beruntung bintang internasional Serbia seperti Kolarov, Ivanovic, atau Tadic malah bersikap bersahabat. Mereka malah menolong pemain Albania dengan cara mencegah para penyusup yang ingin memukuli mereka. Ofisial pertandingan akhirnya memikirkan hal terburuk di atas. Maka berlarianlah seluruh tim Albania ke lorong pemain yang terletak di sudut lapangan.

Celaka dua belas, rupanya di sudut itu grup ultras Serbia berada! Maka tak terhindarkan lagi ketika satu-dua penyusup dengan nekat menghantam dan menendangi para pemain Black Eagle yang berlarian ketakutan. Kolarov kembali menunjukkan dedikasi internasional dan akal sehatnya dengan cara mengawal sisa tim Albania yang lain. Setelah 30 menit kondisi mulai tenang.

Uniknya UEFA dan Atkinson berniat melanjutkan laga. Tentu saja tim Shqiponjat ogah karena psikologis mereka sudah terganggu. Albania tak mau meneruskan laga. Hanya tim Serbia yang memasuki lapangan. Maka sesuai aturan, Albania dinyatakan kalah Walk Over (WO) dengan skor 0-3. Setelah diurai ofisial pertandingan, kasus drone dianggap sebagai biang keladi kerusuhan.

Suasana kamar ganti pemain Albania jadi menegangkan. Banyak yang menderita memar dan luka di leher dan wajah. Episode ketiga peperangan antara dua etnis pun muncul lagi. Kepolisian Serbia menggeledah tas anggota skuad Albania untuk menemukan alat pengendali drone. Ruangan digeledah. Laci, kursi, toilet, sampai jendela namun remote-control tetap nihil didapat.

Tak lama muncul klaim tak terduga dari Shvercerat, grup pendukung FK Shkupi, anggota Liga Masedonia yang dimiliki orang Albania, mengaku sebagai operator drone. Tapi pihak berwenang tak menemukan bukti. Aksi penzaliman Shqiponjat melahirkan reaksi beragam. “Serbia menunjukkan sikap rasis dan fasis-nya,” kecam Agim Cana, ayah dari Lorik Cana.

Michel Platini dan Sepp Blatter juga mengutarakan kecaman similar atas masuknya pengaruh politik dalam sepak bola yang dilakukan Albania dan Serbia. Pernyataan resmi Serbia adalah mereka jadi korban provokasi sambil menuduh drone itu dikendalikan Olsi Rama, adik dari PM Albania Edi Rama dari tempat dia menonton: di ruangan VIP Stadion Partizan!
                                                               *******

Pemain Albania berlari ke arah yang salah.
TAK AYAL, perselisihan politik langsung merebak. Pemerintah Serbia langsung menuding Albania sengaja memprovokasi negaranya melalui tim Shqiponjat. PM Serbia Aleksandar Vucic juga bilang Olsi sempat ditangkap meski kemudian dikirim pulang. Olsi Rama membantah dengan mengakui ia keluar lebih dulu dari stadion sebelum kerusuhan di lapangan merebak.

“Dengan alasan keamanan saya pergi lebih dulu. Saya sempat dipersulit aparat yang menjaga di luar stadion. Namun karena saya memegang paspor Amerika mereka tak berdaya menahan,” aku Olsi yang saat itu rupanya ditemani Ighli Tare, bekas kapten timnas Albania. “Saya berani sumpah, dia hanya membawa kamera,” timpal Tare, direktur olah raga klub Serie A Lazio.

Entah mana yang benar. Namun Perdana Menteri Shqiperia, Edi Rami, memprotes keras adiknya dituduh sebagai dalang kerusuhan 14 Oktober 2014. Dampak keributan menjalar amat cepat. Di selatan Albania, pemukiman warga keturunan Yunani diserbu massa. Di Austria, 50-an orang Albania menghancurkan kafe milik orang Serbia, termasuk mobil polisi.

Menteri Luar Negeri Serbia, Ivica Dacic, mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Albania telah melakukan provokasi politik melalui pengibaran bendera terlarang di negerinya. “Kami menunggu reaksi dari Uni Eropa dan UEFA Anda bisa bayangkan apa yang kami terima jika bendera Serbia Raya dikibarkan di Tirana dan Pristina (ibukota Kosovo),” kata Dacic.

Sementara Menteri Dalam Negeri Nebojsa Stefanovic menuding aksi provokasi Albania itu menunjukkan ketidak-matangannya sebagai calon anggota Uni Eropa. Diserang secara politis, Albania berjuang di pentas UEFA. Kegagalan aparat Serbia mengamankan, bahkan ikut menzalimi para pemain Albania di laga internasional diungkap, dan kelak mengubah sejarah.

Tragedi 14 Oktober 2014 itu hanya sepekan sebelum PM Edi Rama tiba di Beograd, kunjungan resmi pertama tokoh Shqiperi dalam 70 tahun terakhir. Menurut media massa tuduhan Serbia amat berkebalikan dengan realita di Kosovo, di mana justru Serbia lebih agresif. Albania tidak mengungkit-ungkit isu panas Kosovo sehingga UEFA jadi curiga dengan motif lebay Serbia.

“Saya kecewa harus melakukan banding melihat keputusan UEFA yang bakal menjadi skandal dan preseden buruk ke depan,” kata Presiden FSHF (Federata Shqiptare E Futbollit) Armand Duka. “Rasisme dalam sepak bola adalah sebuah parodi. Ini bukan soal menang kalah, tapi bagaimana melawan rasisme,” tambah Cimi Shakohoxha, seorang anggota legal FSFH.

Dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi, PM Edi Rama menyatakan sikap kecewanya. “Keputusan UEFA dengan mengalahkan Shqiperia lewat cara seperti itu merupakan tindakan yang tidak adil. Yang saya bisa pastikan, hanyalah persiapan giliran menjamu Serbia. Kami telah menaikkan kapasitas Stadion Lori Borici menjadi 20 ribu penonton,” ucap sang pemimpin.

Setelah dinyatakan menang 3-0 oleh wasit Martin Atkinson, aksi Serbia di pentas politik semakin menggila. Ini jadi bumerang. “Bagaimana kami bisa kalah 0-3? Wasit tidak memberi tahu kami pertandingan akan dilanjutkan,” protes kapten tim Lorik Cana. “UEFA tahu tidak ada 'gadis baik-baik' jika ada di rumah bordil,” kecam Sokol Kushta, eks bintang Albania, penuh makna mendalam tapi jelas sinis.

Kushta memelopori persatuan pemain keturunan Albania di Eropa dan Amerika untuk melakukan aksi protes. UEFA dikutuk sebagai organisasi yang tidak adil dan rasis dalam mengambil keputusan. Bos UEFA, Michel Platini, yang tidak membela perjuangan Albania, ikut dikecam. Sekitar 100 orang Albania di Finlandia menjuluki Platini sebagai politisi mafia. Di mana-mana orang-orang Albania turun berdemo. Mulai dari Tirana, Kosovo, Podgorica, Masedonia, sampai di markas UEFA di Nyon, Swiss. 

Albanian Roots dan Albania-American Organization (AAO), dua organisasi resmi keturunan Albania melakukan protes, petisi, boikot, juga menyurati organisasi hak asasi manusia, UEFA, FIFA, termasuk kepada Platini. Selebriti top Albania, Ardit Gjebrea, melakukan aksi lapangan dengan mengajak rakyat Albania memboikot produk-produk Serbia di pasar-pasar.  Harapan Menlu Dacic untuk meraih kemenangan politis akhirnya urung lahir alias gatot, gagal total! 

Serbia malah ketiban sial seusai sidang sengit Komisi Kontrol, Etik dan Disiplin, UEFA menganulir kemenangan WO 3-0 menjadi kekalahan indisipliner 0-3! Dakwaan utamanya tiada lain karena Serbia dinilai tidak bisa mengatasi invasi penonton yang menjadi sebab musabab kerusuhan. Perolehan nilai tim Oriovi, julukan timnas Serbia, juga dikurangi tiga poin. Duka berlanjut. Dua laga kandang berikut harus dilalui tanpa penonton dan denda 100 ribu euro. Sepak bola terkadang bergantung pada nasib baik, dan Albania meraihnya.
                                                          *******
PM Albania Edi Rama.
SAKING gembira dan puasnya, Bekim Balaj – striker Shqiperia yang menjadi pemicu kerusuhan dengan merampas bendera Albania Raya dari tangan pemain Serbia – berkomentar dengan sarkas di akun Facebook-nya. “Maaf Platini untuk kursi yang hampir saya hancurkan dengan kepala saya, dan bravo UEFA!” tulis pemain yang merumput di HJK Rijeka (Kroasia). 

Keberuntungan Albania meraih hadiah ganda itu membantu mereka melangkahi Denmark di klasemen Grup I. Selain itu, kemenangan diplomasi Albania sanggup menaikkan moral tim Shqiponjat serta meruntuhkan moral Oriovi, julukan timnas Serbia. Di tiga laga ke depan, Serbia kalah beruntun dua kali dari Denmark (1-3 dan 0-2) serta Portugal (1-2). 

Sebaliknya dengan penambahan tri poin, Albania lebih bersemangat, terbukti dengan raihan empat poin dari tiga laga. Shqiperia mengalahkan Armenia 2-1, seri 0-0 lawan Denmark, dan kalah 0-1 dari Portugal. Langkah bersejarah mereka sempat tertahan dengan kekalahan 0-2 dari Serbia di kandang sendiri yang kali ini tanpa kerusuhan sama sekali.

Setelah Denmark kalah 0-1 dari Portugal, kepastian Shqiperia meraih sejarah besarnya ditentukan di Yerevan, dengan mengalahkan tuan rumah Armenia 3-0. Apakah Albania pantas mendapatkan itu semua dari perjalanan dongengnya? Upaya yang ditempuh dari semua jurusan terbukti menuai hasil fantastis sehingga Shqiperia pantas menjemput takdirnya. Itulah jawabannya.

Seperti Turki atau Tiongkok, ras Albania juga bertebaran di penjuru dunia. Dukungan masif itu bakal menjadi modal kuat Shqiperia di Prancis 2016 mendatang. Bangsa ini, dari segala paspor, kalangan dan jabatan, teruji bersatu padu dalam kedukaan dan pasti lebih heboh lagi saat merayakan kesenangan. Edi Rama tahu betul memanfaatkan situasi dan peluang. 

Pada malam kebahagiaan setelah Shqiperia membungkam Armenia, sang perdana menteri sibuk menelpon ke sana ke sini. Rumahnya masih diguyur suka cita dan teriakan anggota keluarga yang menonton siaran langsung laga bersejarah. Rupanya tuan Rama sibuk membatalkan banyak janji, atau sedang memberi perintah begini-begitu pada bawahannya. 

Pekerjaan pertama sang pemimpin pada Senin pagi, 12 Oktober 2015 adalah menjemput para pahlawan bangsa di Bandara Bunda Teresa (Nene Tereza) di Tirana. Pekerjaan kedua mengikuti kirab keliling ibukota dengan kendaraan terbuka bersama Shqiponjat. Siang istirahat sebentar di rumah, sebelum melakukan pekerjaan ketiga di sore hari: berpidato resmi di istana.

Pidato ini disiarkan langsung oleh berbagai jaringan televisi ke seluruh negeri, sehingga getaran nasionalismenya bisa dinikmati tiga juta penduduk. “Kepahlawanan kalian menjadi sumber inspirasi yang telah memberi harapan kepada jutaan orang di negeri ini,” demikian potongan pidato Edi Rama di depan rakyatnya. Pesta rakyat berlangsung hingga malam hari. 

Albania sedang menikmati dongeng sepak bolanya. Bayangkan, barisan manusia yang menyemut tidak putus mulai dari bandara hingga ke tengah kota. Semua mengelu-elukan pemain. Rakyat bergembira di jalanan, menari, bernyanyi layaknya. Praktis, di hari Senin itu rakyat Albania dan juga Kosovo dilanda suka-cita luar biasa sampai-sampai melupakan rutinitasnya. 

Seluruh rakyat tak mengira negaranya bisa bersaing di grup yang diisi tiga kekuatan besar; Portugal, Denmark, dan Serbia. Sehingga menembus Piala Eropa pertama kali lebih mirip dengan menjuarainya. Apalagi kalau jadi juara Eropa beneran?  Benarlah apa yang diucap Bill Shankly. “Sepak bola adalah persoalan hidup dan mati, bahkan jauh lebih penting dari itu.”

Edi Rama masih mengenang kisah insomnia yang menerpa dirinya setelah Albania dikalahkan Serbia 0-2 di kandang sendiri, tiga hari sebelum terbang ke Yerevan untuk melakoni laga terakhir. Ia memanggil seluruh anggota tim ke rumahnya untuk diberikan audiensi spiritual. “Mereka amat terpukul, begitu juga saya. Satu kekalahan yang menyakitkan,” paparnya.

Selama tiga hari, sang perdana menteri tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu memikirkan nasib tim nasionalnya. Namun beliau merasa lega telah memberi pesan penting buat para pemain. “Saya katakan pada mereka, jika ingin mencapai puncak gunung maka kalian harus mengatasi angin yang kuat. Tunjukkanlah karakter kalian nanti di Yerevan!” kata Rama saat itu.

Albania mesti menang untuk menggeser Denmark di peringkat  kedua. Falsafah ‘naik-naik ke puncak gunung’ ala Edi Rama diresapi para pemain luar dalam. Armenia memang negeri yang dipenuhi pegunungan tinggi dan berangin, namun semangat dan karakter Shqiperia lebih dicurahkan di atas lapangan hijau. Albania sukses menaklukkan Armenia 3-0. (bersambung)

(foto: balkineu)

Share:

Visi: Dongeng Albania (1)

SALAM hormat untuk para pendatang baru di Piala Eropa 2016 yaitu Islandia, Wales, Irlandia Utara, dan Slowakia. Tapi mohon maaf, selama di Prancis nanti barangkali sorotan pada mereka tidak seterang Albania, yang juga jadi debutan. Tiada keingintahuan paling dicari-cari ketika berlangsung di ajang paling bergengsi kecuali kisah dongeng dari sebuah negeri unik.
Visi: Dongeng Albania (1)
Bukan dongeng lagi Albania tampil di Piala Eropa 2016.
Yang perlu dicatat, ini bukan kisah unik dari negeri dongeng. Republik Albania alias Shqiperia, wilayah di jazirah Balkan seluas 28.748 km2 atau kira-kira separonya Provinsi Aceh, akhir Oktober lalu menggegerkan jagat sepak bola berkat aksi fenomenal: untuk pertama kalinya sepanjang sejarah lolos ke turnamen akbar berupa Piala Eropa 2016 di Prancis. 

Bayangkan ungkapan dan reaksi rakyat. Pasalnya seumur-umur nama Albania selalu tiarap bahkan terkubur di ajang Piala Eropa atau Piala Dunia. Jangankan itu, puluhan kali kualifikasinya saja menghasilkan juru kunci grup nan abadi. Rupanya mereka pantang menyerah mengais-ngais kesempatan. Minggu, 11 Oktober 2015 akhirnya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. 

Di laga terakhir Grup I, Shqiponjat (Si Elang) – julukan timnas Albania – membekap tuan rumah Armenia 3-0 di Yerevan. Kemenangan heroik ini melambungkan posisi mereka sebagai runner-up di bawah Portugal sekaligus menggeser posisi Denmark, yang kena apes usai kans lolos otomatis tewas di tangan Cristiano Ronaldo dkk. 0-1 di Braga, tiga hari sebelumnya. 

Belum lagi unjuk gigi di Prancis, banyak orang masih penasaran dengan Albania, negara tirai besi yang tersisa selain Korea Utara. Mengapa tiba-tiba mereka begitu piawai sampai bisa lolos ke Euro 2016? Bukankah di grup itu ada favorit Serbia yang punya pemain beken seperti Aleksandar Kolarov, Aleksandar Mitrovic, Branislav Ivanovic, Nemanja Matic atau Dusan Tadic? 

Orang pantas penasaran mencari kunci sukses Shqiponjat yang sejak 2011 dibesut seorang pelatih kapiran dari Italia, Giovanni De Biasi. Benarkah kekuatan misterius di UEFA yang membelokkan sejarah. Pasalnya kejutan Shqiponjat membuat outcome Grup I meleset dari prediksi awam. Lolos: Portugal dan Albania. Playoff: Denmark. Tersingkir: Serbia dan Armenia. 

Buat FSHF (federasi sepak bola Albania), lolos ke ajang akbar adalah yang pertama kali sejak dibentuk pada 1930. Sepanjang hidupnya, Albania berkelas taruna di benua biru. Mereka cuma pernah ikut Kejuaraan Eropa U-18 pada 1982 serta Kejuaraan Eropa U-16 pada 1994. Pendek kata, sukses tim Kuq e Zinjtë (merah dan hitam) pantas mengagetkan banyak pihak. 

Lolos ke Prancis 2016 merupakan impian nyata mantan negeri jajahan Turki yang memerdekakan diri pada 28 November 1912. Hampir semua rakyat turun ke jalan. Bukan untuk berdemo, namun merayakan kebanggaan dan melepaskan perasaan nasionalisme juga jepitan ekonomi dengan main petasan, joget, bernyanyi, dan memuja-muji seluruh skuad Shqiponjat. 

Ingat Albania ingat Enver Halil Hoxha. Ini bukan merek rokok atau kedai kopi. Dia berwujud manusia, ada kepalanya, tepatnya seorang diktator ulung yang memerah-hitamkan Albania selama 41 tahun. Aslinya Hoxha itu sekretaris Partai Buruh. Namun secara de facto dia penguasa tunggal sejak 8 November 1941 sampai 11 April 1985, ketika rohnya benar-benar melayang. 

Di era rezim komunis Hoxha yang amat terkunci, setiap orang Albania dilarang keluar negeri, yang ketahuan bandel sontak digiring ke gulag alias kamp kerja paksa. Yang merasa laki laki dilarang berjenggot, sebab katanya Albania bukan negeri relijius. Kalau masih nekat melawan, maka jenggot Anda akan dikerik paksa hingga licin di situ juga oleh Sigurimi, polisi rahasia. 

Kehidupan Albania yang jumlahnya tidak di bawah 3 juta jiwa di masa lalu kira-kira mirip Korea Utara sekarang. Dilihat dari peta, negara bernama tulen Republika e Shqiperise ini cuma punya pandangan luas Laut Adriatik yang nun jauh di seberang sana berdiri Italia. Tetangga dekat mereka yang dari Balkan kebanyakan tidak ramah. Masedonia, Montenegro, dan Yunani. 

Walau Hoxha telah berada di alam lain, namun Albania baru merasa bebas usai Tembok Berlin roboh pada 1989. Sampai sekarang pun masih ada kejanggalan lain di negara beribukota Tirana ini. Misalnya, mirip dengan Korea Utara, Albania adalah secuil wilayah yang tak pernah nonton Premier League. FA melarang menjual hak siar sebab di sana sarangnya pembajakan. 

Namun gara-gara sukses tim Shqiponjat bisa jadi efeknya akan berbeda. Lagi pula kapten nasional Lorik Cana pernah 35 kali membela Sunderland di musim 2009/10. Cana, 32 tahun, kini merumput di Nantes di Prancis. Rudi Vata, bek Celtic selama empat musim di era 1990-an, juga asli Albania. Tapi paling terkenal jelas Adnan Januzaj, pemuda Manchester United. 

                                                         *******
Visi: Dongeng Albania (1)
Lorik Cana, kapten nasional dan Shqiponjat, elang yang jadi maskot.
PEMAIN berusia 20 tahun yang disewa Borussia Dortmund itu juga orang Albania, blasteran Kosovo. Tapi secara waras, dia lebih memilih timnas Belgia. Kok? Begini ceritanya. Abidin Januzaj, bapaknya Adnan, pada 1992 kabur sejauh-jauhnya melintasi banyak negara setelah di-uber-uber intel untuk dijadikan wajib militer atau Sigurimi. 

Abidin akhirnya menetap di Belgia, berkeluarga, punya rumah sampai lahirnya Januzaj tiga tahun kemudian. Kala status kewarganegaraannya belum jelas, tapi karena punya akte kelahiran yang dicap rumah sakit di Brussels, Januzaj bisa ditarik tim nasional Belgia atau Les Diables Rouges. Tak lama barulah dia resmi diberi KTP Belgia. Inilah kesaktian futbollit alias sepak bola! 

Kembali soal efek sukses Shqiponjat. Bukan Inggris atau Belgia yang jadi sarang pesepak bola Albania. Paling banyak justru di Italia. Soalnya dengan modal berani separo nekat, mereka bisa menyeberangi Laut Adriatik dengan perahu untuk sampai di pelabuhan Bari atau Lecce. Di awal 2000-an, nama Igli Tare jadi satu-satunya attacante Albania paling jempolan bin terkenal di Serie A. 

Setelah sempat melanglang di Brescia dan Bologna, Tare hinggap di Lazio sampai gantung sepatu. Kini dia bekerja jadi supervisor di Lazio. Erjon Bogdani pernah tampil di Reggina dan Chievo. Trah Albania di Serie A kini dilanjutkan Erit Berisha (Lazio) dan Elseid Hysaj (Napoli). Albania memang lebih akrab dengan Italia, teman fasis-nya, sejak dari zaman Mussolini. 

Keakraban Italia-Albania mempengaruhi kenapa De Biasi mau melatih Shqiponjat, dan Shqiponjat juga yakin dengan orang yang sebelumnya nyaris tiap tahun dipecat itu. Kini hubungan mereka awet selama empat tahun. Ada ratusan pemain berdarah Albania di semua divisi di Italia, dan mungkin lima ratusan di seluruh Eropa. Tapi mayoritasnya memilih seperti Adnan Januzaj. 

Jadi pengkhianat bangsa maksudnya? Eit, tunggu dulu. Kini dunia tak dibatasi melulu oleh negara tetapi kemampuan, keterampilan atau keahlian. Budaya ekspatriat dan profesional berkembang kian hebat. Kisah Januzaj yang lebih memilih membela Belgia adalah globalisasi. Sebenarnya tren ini sudah terjadi puluhan, entah ratusan tahun di segala kehidupan. 

Istilahnya saja yang belum ada. Sadarkah Anda ketika mahafisikawan Albert Einstein yang ‘kabur’ dari Swiss pada 1945, begitu mendarat di AS sudah jadi KTP barunya? Lalu bedahlah deretan profesional di Google atau skuad sampai board of directors di Arsenal. Owner: AS dan Rusia. Direktur: AS, Inggris. Manajer: Prancis. Skuad: belasan bahkan puluhan negara. 

Di luar Januzaj, ada nama-nama cukup dikenal seperti Valon Behrami (Watford), Blerim Dzemaili (Galatasaray/Genoa), Xherdan Shaqiri (Stoke City) yang berdarah Albania tapi ketiganya dicomot timnas Swiss, lalu jadi warganegara resmi di sana. Diduga jumlah seperti mereka akan bertambah banyak di masa depan seiring dengan kebangkitan futbollit dari Albania. 

Di tim Black Eagle sekarang, skuad De Biasi amat kosmopolitan sebab datang dari Jerman, Prancis, Swiss, Italia atau Yunani. Mereka masih muda namun sarat pengalaman. Sebut saja Berat Djimsiti (22) atau Ergys Kace (22). Di tangan De Biasi dan berbekal generasi baru ranking FIFA Albania terus melonjak yang enam tahun lalu di kelas 90-an sekarang di 32 besar dunia. 

Di sepak bola mereka bisa dibilang sekelas dengan Denmark lantaran tim Dinamit itu sudah dua kali tidak bisa menang. Black Eagle juga pernah mengalahkan Portugal dan Prancis. Saat patung-patung Hoxha disingkirkan, yang berarti makin membuka peradabannya, seketika itu pula panorama alam Albania kian indah dan terurus sebagai sumber devisa di pariwisata. 

Kondisi ini pantas bikin iri para tetangganya yang kebanyakan masih hobi perang. Mereka melongo berat setelah tahu di dalam bumi Albania juga berisi bauksit, batu bara, tembaga, gas alam hingga minyak bumi. Lalu lanskap alam yang diapit pegunungan, laut, dan daratan melahirkan puluhan danau yang menjadi sumber tenaga listrik yang dapat dijual ke investor asing. 

Pergaulan Albania dengan tetangga seperti Montenegro, Masedonia, atau Yunani terbilang adem ayem. Tapi tidak demikian dengan Serbia. Gara-gara saling cari pengaruh politik di Kosovo, emosi keduanya kerap meledak. Gawatnya, dari hasil undian kualifikasi mereka malah sekandang di Grup I. Ini menjadi misteri mengingat UEFA dianggap melakukan pembiaran. 

Padahal salah satu ketentuan undian adalah mencegah negara-negara yang lagi konflik politik berada di satu grup. UEFA memilah Spanyol dengan Gibraltar, Armenia dengan Azerbaijan, Inggris dengan Irlandia Utara namun luput memisahkan Serbia dengan Albania yang tengah terlibat perang di Kosovo. Apakah organisasi sebesar UEFA lupa pada sejarah?
                                                             ******* 
Visi: Dongeng Albania (1)
Tragedi berdarah di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014.
SERBIA adalah intisari Yugoslavia, republik komunis yang dipimpin oleh Josip Broz Tito. Kematian Tito pada 1980 dan rubuhnya Tembok Berlin pada 1989 mempercepat pecahnya Yugoslavia mulai 1992 menjadi Serbia, Kroasia, Slovenia, Masedonia, Bosnia, Montenegro serta dua otonomi yang jadi sengketa hingga kini, Kosovo (vs Albania) dan Vojvodina (vs Kroasia). 

Saat Tito masih hidup, di wilayah itu cuma ada tiga negara; Yugoslavia, Albania dan Yunani. Awal permusuhan Serbia vs Albania tiada lain gara-gara perbedaan aliran komunis. Hoxha penganut komunis Cina pimpinan Mao Tse-tung, sedangkan Tito bermazhab komunis Uni Soviet. Saat berkuasa, ia menganggap Albania cuma kurcaci melihat betapa luas negaranya. 

Isu Kosovo plus sejarah buruk masa lalu terlalu sulit dicegah untuk tidak meledak saat mereka bersua pertama kali di penyisihan Piala Eropa 2016, di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014. UEFA baru merasa bersalah atas ‘ulahnya’. Inilah awal cerita dongeng Albania, sebuah negara terkucil tanpa tradisi sepak bola yang mulai dikenal karena sepak bola. 

Tanda-tanda duel mereka pertama kali itu bakal rusuh sudah terendus sejak awal. Tuan rumah melarang suporter Albania datang ke Serbia sebab tidak mau menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain ada kejanggalan. Pihak Serbia juga meminta tim Albania hanya membawa perlengkapan standar dari pada dapat kesulitan di bandara. UEFA terjebak dalam situasi dilematis. 

Ketika menuju stadion, bus tim Albania disambut hujan timpukan batu sekepal tangan bahkan potongan beton! Urung saja kaca bus pun remuk. Tiada yang namanya keramahan. Polisi dan petugas tampak tidak maksimal melindungi. Di mana-mana terdengar hardikan, makian atau ancaman penuh teror dari fan Serbia: "bunuh orang Albania, bunuh orang Albania!" 

Di dalam stadion, koin, korek gas, atau batu baterai dilemparkan ke lapangan ketika Shqiponjat melakukan pemanasan. Saat pemain Albania berbaris menyanyikan lagu kebangsaaan, para pemuda Serbia itu kembali meneriaki “bunuh Albania!” sambil bersorak keras “boooe” dan memukuli drum kosong sehingga melengkapi penistaan kedaulatan sebuah negara. 

Di menit 15 teror pertama muncul. Roket kecil menghujam lapangan, membakar rumput. Di menit 25 tiba-tiba bendera Yunani dikibarkan grup ultras Serbia. Yunani geram pada Albania karena merasa garis perbatasannya telah diserobot. NATO sukses mengancam Yunani agar tidak bikin onar. Mungkin itulah ada bendera NATO yang dibakar suporter Serbia. 

Wasit Inggris Martin Atkinson tampak bergidik menyaksikan kejadian. Di menit 35, giliran gelandang Albania, Ansi Agolli, kena sambit petasan saat bersiap ambil sepak pojok. Ia tergeletak tapi tetap ditimpuki. Asisten wasit ikut kena getahnya. Sambitan mereda setelah pemain Serbia, Danko Lazovic dan Aleksandar Kolarov turun tangan. Namun tensi terus melesat. 

Di menit 40, kondisi lapangan berubah seperti tempat sampah sebab penonton semakin kesetanan main lempar barang apa saja untuk melukai pemain Albania. Atkinson makin galau, pikirannya kisruh sesudah melihat sebuah botol melayang menimpa striker Albania, Bekim Balaj, yang langsung terkulai dengan kucuran darah dari belakang telinganya. 

Untuk meredakan ketegangan Atkinson malah mencoba melanjutkan pertandingan. Suasana terus menggila sebab di seluruh wilayah stadion, para penonton mencoba menerobos untuk menyerang pemain Albania. Walau laga berjalan namun praktis kedua tim sudah tidak konsentrasi lagi bermain. Sementara obor kecil, petasan dan benda-benda lain tak henti dilemparkan. 

Episode berikutnya justru kian menggetarkan jiwa. Tiba-tiba muncul pemandangan tak lazim. Sebuah drone, semacam helikopter mini, melayang-layang di atas stadion. Yang bikin heboh drone itu membawa bendera besar yang digantungkan dengan tulisan dan peta “Greater Albania” yang sontak mengagetkan seisi stadion, terutama rakyat Serbia yang langsung murka. 

Apalagi ada gambar Ismail Qemali dan Isa Boletini. Siapa lagi mereka itu? Keduanya adalah tokoh proklamator kemerdekaan Albania, tokoh dan bapak bangsa Albania. Cerita bergeser liar tak terduga. Bek Serbia, Stefan Mitrović, langsung berlari mengejar drone untuk merampas bendera. Sesi kedua kerusuhan pun dimulai, kelak akan membelokkan sejarah laga. 

Tiba-tiba dua bek Albania, Andi Lila dan Taulant Xhaka memburu Mitrović karena curiga dia akan merobek-robek bendera. Terjadi aksi kejar mengejar, namun malah Bekim Balaj yang sukses merampas bendera dari Mitrović. Para pemain Serbia dan Albania pun bersitegang. Setelah itu, pemandangan berikutnya sudah bukan laga sepak bola lagi. (bersambung) 

(foto: istimewa)
Share:

Kim Il-sung: Dear Leader, Great Leader

ENTAH kenapa tiba-tiba saya tertarik membaca berita soal rencana keberangkatan Megawati Soekarnoputri ke Korea Utara awal Oktober silam. Sebagai mediator yang dipercaya soal rencana reunifikasi Korea, dengan senang hati Ketua Umum PDI-P yang juga mantan Presiden Indonesia kelima itu memenuhi undangan pemimpin besar Republik Rakyat Demokratik Korea, Kim Jong-il, seperti halnya seorang kakak yang dimintai tolong adiknya.
Kim Il-sung: Dear Leader, Great Leader
Soekarno memberi anggrek asal Makassar kepada Kim Il-sung.
Sesudah tak lagi bertitel RI-1, Mega malah terlihat lincah karena dalam setahun ini saja ia telah dua kali datang ke Pyongyang, sejak pada April 2005. Siapa yang ia temui itulah yang membuat saya tertarik, sosok misterius yang berjuluk The Dear Leader. Pertemuan tersebut selalu bernilai historis lantaran mewarisi persahabatan kedua ayah mereka, Soekarno dan Kim Il-sung.

Ada sepenggal cerita bagaimana akrabnya dua tokoh termahsyur Asia di era 1950 sampai 1960-an itu. Dalam suatu kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 13 April 1965, Bung Karno mengajak jalan-jalan tamunya di Kebun Raya Bogor. Tiba-tiba Kim Il-sung tertarik pada deretan bunga anggrek asal Makassar yang tengah mekar.

Melihat itu, sontak Bung Karno menghadiahi anggrek berjenis CL Brandt itu pada Kim, seraya memberi nama Kimilsungia karena anggrek hasil penyilangan tersebut masih tanpa nama. Tentu saja hal ini diterima dengan senang hati oleh Kim, hitung-hitung sebagai kado ulang tahunnya yang ke-53, dua hari kemudian.

Kelak, lewat diplomasi bunga tadi, Indonesia dianggap sebagai satu-satunya sahabat erat Korut. Hingga kini, untuk mengenangnya, di Pyongyang setiap bulan April diadakan sebuah festival bunga dengan maskotnya, Kimilsungia, yang akhirnya ditabalkan menjadi bunga nasional negeri tersebut.

Jadi kita orang Indonesia, tenanglah, jika berada di Korea Utara. Insya Allah seharusnya aman. Karena apa? Karena sejarah. Karena Bug Karno. Rupanya saya masih terobsesi dengan Korea Utara. Padahal waktu kecil, saya benci sekali dengan negara ini. Sampai sekarang tertanam di lubuk hati saya karena Korea Utara-lah yang menggagalkan kesebelasan Indonesia lolos ke Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada.

Korut membuat saya menangis tendangan Anjas Asmara melenceng keluar saat tos-tosan. Indonesia kalah 4-5, dan sejarah 20 tahun lalu seperti terulang kembali tatkala langkah PSSI dijegal Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956. Sejak itulah yang namanya Korut selalu menyita perhatian saya, lebih dari sepak bolanya saja.

INGAT Korut ingat barisan rakyat yang kurus-kurus, termasuk para tentaranya. Juga barisan orang berbaju belacu berwarna sama di pasar-pasar, atau gerombolan perempuan di depan pintu mertua sambil mengucek-ngucek rambut sambil mencari kutu seolah menikmati keprihatinan hidup. Jika sudah sampai masanya, maka setiap pemuda Korut yang sehat lahir batin diharuskan ikut wajib militer.

Hiburan satu-satunya rakyat Korut adalah jaringan Pyongyang Television yang dimonopoli mutlak dan cuma siaran selama enam jam, dari jam 17.00 hingga 23.00. Di negara Stanilist ini, akses untuk TV satelit dan internet adalah terlarang. Semua berita dari luar negeri disensor habis dan harus diolah lagi oleh Pyongyang Television.

Walau tingkat ekonominya tak seberapa, hidup penuh kesederhanaan, namun jangan sangsikan nasionalisme mereka. Bermodal rasa kebanggaan dan kebangsaan yang kelewat tinggi itu, Korut mampu meningkatkan ilmu teknologinya yang membuat paranoid George W. Bush sehingga mencapnya sebagai bagian dari Axis of Evil.

Kenapa si koboi Texas itu takut? Jawaban bikin bulu romanya merinding, karena mereka punya nuklir! Katanya, kalau Kim Jong-il sampai ngamuk, maka nuklir Korut bernama Taepo Dong bisa mendarat di California. Itulah yang membuat AS lebih ngeper dengan Korut ketimbang Rusia, Iran, Pakistan, atau India.

Bagi saya, selain Albania, Angola, Lesotho, Mongolia atau Togo misalnya, Korut juga sebuah negara misterius. Tempat di mana sepertinya tak pernah ada perubahan, tak tersentuh modernisasi dan terkesan angker. Kondisi mereka begitu-begitu saja, dari dulu hingga kini. Uniknya, Angola dan Togo akan mendapat perhatian luas dunia pada 2006 berkat prestasi fenomenalnya: lolos ke Piala Dunia!

Dan bicara World Cup nyambung juga ke Korut. Sebelum Korea Selatan membuat sejarah besar pada 2002 dengan suksesnya ke semifinal, Korut duluan bikin separo isi dunia melongo saat kejuaraan digelar di Inggris pada 1966. Bahkan apa yang diperlihatkan Korea Kapitalis, tiga tahun silam itu, masih belum bisa mengalahkan kiprah Korea Sosialis pada 1966, meski ujung prestasinya hanya sampai perempatfinal.

ENTAH karena makan apa sebelum tampil, tiba-tiba saja Pak Doo-ik, Pak Seung-jin, atau Rim Jung-son bermain bak kemasukan setan yang harus membuat tim Italia terpaksa main kayu untuk menghentikannya. Dan kita semua tahu, tim berlabel Gli Azzurri itupun terperdaya. Tak pelak lagi, inilah salah satu The Biggest Sensation and The Greatest Shock in World Cup History paling ternama.

Bagi Italia, malunya nggak ketulungan. Dua kali juara dunia itu dikalahkan oleh negara antah berantah, yang saat mendarat di St. George Airport membuat orang-orang Inggris berjejalan untuk melihat kedatangan makhluk-makhluk, seperti komentar BBC, so little known they might be flying in from outer space.

Italia benar-benar merasa tertampar. Gianni Rivera dan Giacomo Bulgarelli, dua bintang Azzurri, nyaris berkeputusan pensiun dini dari lapangan hijau. Di negaranya sendiri, dampaknya lebih dari yang dibayangkan. Kekalahan ini membuat rakyat Italia malas bekerja, uring-uringan, nggak nafsu makan, sensitif berat, frustrasi dan tidak sedikit yang jadi berperangai aneh bin ngaco.

Puncaknya, ketika tiba di Bandara Genova, masyarakat Italia menghujani pasukan Azzurri dengan sambitan tomat dan telur busuk! "Enyahlah para pengkhianat bangsa!" teriak para demonstran. "Inilah lembaran sejarah paling gelap sepak bola Italia sepanjang masa," tulis koran Il Tiempo di halaman depan keesokan harinya.

Korut memang gagal ke semifinal karena kalah 3-5 dari Portugal, meski sempat unggul 3-0. Hanya berkat kehebatan Eusebio Ferreira, yang melesakkan empat gol, langkah tim yang oleh pers Inggris dijuluki Red Mosquitos itu terhenti. Namun demikian prestasi itu sontak menaikkan gengsi Korut, dan tentunya, The Great Leader Kim Il-sung di mata dunia.

Kim merasa petunjuk agar timnya bermain dengan semangat Chonlima telah berhasil. Chonlima adalah mitos klasik bangsa Korea yang berwujud pada seekor kuda yang cepat dan kuat. Membaca cerita betapa kerasnya pembinaan menjadi pemain nasional di Korut saat itu, cukup membuat saya menggigil. Para pemain di-skrining ketat. Yang tak hapal lagu kebangsaan, alamat celaka tiga belas karena bisa-bisa disetrum. Bayangkan, disetrum! Janji setia harus dihapali tiap malam sebelum tidur sampai mata mereka lamuran.

Sang pendiri bangsa itu memang sempat marah pada timnya, tapi bukan lantaran kalah, tapi lebih kepada 'kelakuan kapitalis' yang dibuat Doo-ik dan kawan-kawan setelah menang atas Italia. Dalam novel The Last Gulag karya Pierre Rigoulot disebutkan para pemain Korut menghabiskan malam kemenangan dengan berpesta, minum-minum dan ditemani sejumlah wanita. Saking senangnya, pencetak gol bersejarah Pak Doo-ik dan kiper Pak Seung-jin, dua pahlawan Korut, menyantap dengan rakus sejumlah serangga!

Pimpinan yang jauh dengan anak buahnya tak lain seperti panglima tanpa tentara. Begitulah yang diyakini Kim. Sebelum berangkat ke Inggris, ia berkata, "Eropa dan Amerika Selatan telah mendominasi sepak bola dunia. Sebagai wakil dari ras kulit berwarna, kita, bangsa Asia dan juga Afrika, saya ingin kalian memenangkan satu atau dua pertandingan di Inggris. Saya sudah senang jika itu tercapai."

Ternyata sampai kapanpun juga sepak bola masih layak pakai sebagai alat perjuangan bangsa. Untuk mengangkat harkat bangsa di mata dunia dan mewujudkan kesatuan nasional. Meskipun berakar sama, namun ternyata buahnya beda. Semangat, apalagi prestasi sepak bola bangsa Indonesia telah berubah drastis, sementara bangsa Korea kian fantastis

(foto:historia.id)

Share:

Roman Abracadabra!

KIRA-KIRA setahun lalu, saya terlongo-longo dengan munculnya sosok yang semudah membalikkan telapak tangan tiba-tiba saja membeli Chelsea FC. Bak meteor liar lepas dari edarnya, secepat itu pula namanya mulai tercetak di pelbagai surat kabar sejagat hingga sekarang. Roman Abramovich, orang yang dimaksud itu, membeli saham Chelsea Village milik Ken Bates, Juli 2003, sebesar 59,3 juta pound.

Roman Abracadabra!
Ia juga melunasi 80 juta pound utang klub kesukaan mantan PM Inggris John Major tersebut. Dalam sekejap imperium yang dibangun Bates sejak 1991 itu pun pindah tangan dan nama Che£$ki mulai berkumandang. 

Mengarungi musim pertamanya, pria 37 tahun yang berwajah imut itu kembali menyuntik Chelsea dengan dana 120 juta pound untuk belanja pemain. Hasilnya runner-up liga dan semifinalis Liga Champion digapai, prestasi yang selama 22 tahun belum pernah dirasakan Bates.

London pun heboh, terutama London Stock Exchange. Inggris geger. Manchester United dan Arsenal mulai menggigil. Bos-bos Real Madrid dan AC Milan juga langsung konsolidasi diri dengan lebih sering menjamu makan malam para akuntan dan pengacaranya. Secara substansial yang dihadapi bukan lagi Frank Lampard cs. atau Jose Mourinho, melainkan si lugu yang punya "pohon uang". Menghadapi orang naif model begini, apalagi kaya raya dan berkuasa, jauh lebih berat ketimbang urusan apa pun di lapangan hijau. Siapa pun setuju.

Selama ini Abramovich sudah melecehkan dua pesaing di Inggris dan Eropa itu seolah menepuk dada. Caranya menawar tinggi Ruud van Nistelrooy, Thierry Henry, David Beckham, dan Andriy Shevchenko sekaligus! Terasa main-main, tapi tolong jangan anggap remeh keseriusannya. Red Devils paling tertikam. Bayangkan CEO-nya saja, Peter Kenyon, bisa diangkut ke Stamford Bridge.

Itu membuat eksistensi Sir Alex Ferguson atau Silvio Berlusconi terancam. Akhirnya lamunan saya berhenti setelah menyadari tindak tanduk Abramovich. Repot memang meladeni orang sok tahu. Abramovich berlagak tahu, itu bisa diperdebatkan. Tapi, secara nalar, orang terkaya ke-25 di dunia jelas tak tahu bola. Ia sangka dengan punya gudang uang, maka "Abrakadabra!", ia bisa meraih apa saja termasuk harga diri. No way, Kamerad!

Dalam wawancaranya dengan harian olah raga Spanyol Marca, Claudio Ranieri mengaku sudah tidak tahan lagi dengan perasaannya. "Bisnis tak bisa memecahkan masalah sepak bola. Sejak tiba dia sudah ngebet pada Sven," kata pria berjulukan "Si Tukang Patri" itu. 

Sven-Goran Eriksson merasa tersanjung, tapi Abramovich telah menampar rasa kebanggaan dan historisnya. Ketika si naif bertemu dengan si playboy, yang muncul adalah sebuah basa-basi belaka. Aura, sikap, dan sifat keduanya tidak nyambung sama sekali. Yang ada di otak si Rusia adalah uang, sedang di benak si Swedia adalah wanita. "Saya seperti ditusuk pedang! Jika saya memberi titel juara Liga Champion pun, saya tetap dipecat," beber Ranieri.

Abramovich segera menitahkan patihnya menyiapkan cek 6 juta pound untuk pesangon Ranieri. Kalau si lugu mengerti sepak bola, tentu ia mengurungkannya saat Chelsea tengah berada di semifinal Liga Champion. "Dia tak tahu apa-apa soal sepak bola. Itu amat memalukan. Jika ia mengerti prestasi tim saya, harusnya ia memberi wewenang saya untuk menguatkan tim," tutur si Italia, yang kembali ke Valencia. Perlu juga dipikirkan bahwa jika si Roman tahu sepak bola, kenapa ia membeli bintang-bintang kelas dua, bukan pelatih kawakan?

Soal ini, Abramovich kalah telak dari Berlusconi, yang kerap mengatur strategi Rossoneri dari meja kerjanya di Milano. Tidak seperti PM Italia itu, agaknya jalan Abramovich untuk menghuni istana Kremlin makin terjal. Karakter Abramovich cuma terlihat dan terasa pada uangnya, bukan sosoknya. Dua gol di dua partai awal musim ini - bandingkan dengan 9 gol Arsenal - sudah bicara banyak. Mourinho tidak sebanding dengan Arsene Wenger. Di London, si merah tetap yakin lebih hebat dari si biru.

Sampai sekarang pun banyak rakyat Inggris sulit mengerti betapa kaya rayanya pria yang belum memenuhi persyaratan life begins at 40 - yang mereka anut - itu. Sungguh mencengangkan sebab Roman si anak yatim piatu itu baru berusia 37 tahun! Di Britania Raya, Gubernur Provinsi Chukotka di Siberia itu menggusur raja susu kotak Hans Rausing, yang telah bercokol empat tahun di puncak, sebagai the Richest Person kata The Daily Mail. Kekayaannya ditaksir melebihi 7,2 miliar pound. Bisa untuk membeli Chelsea 51 kali.

                                                    *****

MENURUT Fortune, kekayaan Abramovich 10,6 miliar dolar AS dan ada lima tingkat di atas Berlusconi (10,0), di posisi ke-30, sebagai 100 world's richest people. Posisi Roman naik terus. Nomor 363 di 2001, 127 di 2002, 49 di 2003. Dan kini 25. 

Di negerinya sendiri Abramovich berada di urutan dua dengan 12,5 miliar dolar AS, di bawah gurunya yang tengah dibui, Mikhail Khodorkovsky (15,2). Ini menurut Russia's Golden Hundred terbitan Forbes edisi khusus Rusia. Buku itu jadi kontroversial karena kemudian editornya, Paul Khlebnikov (41), tewas ditembak medio Juli lalu. 

Pria Rusia berkewarganegaraan AS ini dikenal sebagai spesialis pembongkar dunia hitam, menjamurnya kekerasan, kekuasaan, dan uang yang di Negeri Tirai Besi. Memang sudah suratan. Andai saja Khlebnikov jago menyamar bak Val Kilmer di film The Saint.... Siapa yang menembak? Menurut Mosnews gampang saja, pasti salah satu dari 100 orang terkaya itu. Nah!

Populasi mahajutawan Rusia memang keterlaluan. Negeri ini memiliki 25 orang terjaya sedunia, ketiga terbesar setelah AS (279) dan Jerman (52). Bahkan kata Valentina Akimova, staf Kementerian Pajak Rusia, negerinya punya 84 ribu miliuner! Hitungannya, karena sejumlah itulah yang membayar pajak antara 1-10 juta rubel (340 ribu dolar AS). Ironisnya, booming ini terjadi setelah Uni Soviet ambruk pada 1991. Di era Boris Yeltsin, industri metalurgi-minyak dan gas-berjaya. Semua kecipratan rezeki, termasuk Khodorkovsky dan Abramovich.

Inggris selalu dibuat bingung oleh kekayaan. Negeri ini paling menghargai ilmu pengetahuan melalui The Royal Society, yang pernah diketuai Sir Isaac Newton sampai Stephen Hawking. Namun, sudah jadi dalil bahwa orang-orang terkaya kerap mengabaikan pendidikan. Mereka bukannya tidak pintar, malah jenius. Selain Abramovich, contohnya William Henry Gates III alias Bill Gates, yang mapan sebagai the First Richest-man in the Free World justru setelah drop-out dari Universitas Harvard.

Akan tetapi otak mereka selalu dipenuhi bisnis, yang didasari ekonomi. Ilmu ekonomi mengilhami politik. Basis ilmu politik adalah ilmu perang. Abramovich juga selalu bikin bingung lawan-lawannya. Ia tak pernah berkoar-koar dan bermain cantik, tapi bisa liar ketika menginginkan sesuatu. 

Ketenangannya bak patung Lenin di tengah kota. Diam, kalem namun penuh magis. "Roman sinar mataharinya London," puji Pro Sport Magazine. Kekayaan bisa datang dari warisan atau kegigihan. Penentunya adalah luck, trick, and Machiavellism. Sejak 1974, Ivan Illich, pakar politik dan sosial paling radikal, memprotes fungsi utama sekolah lewat buku kontroversial After Deschooling, What? Begitu juga Robert Kiyosaky pada antologi Rich Dad, Poor Dad.

Cerita Abramovich terus mengalir tiada henti. Di Rusia ia telah membuat Chelsea II, yakni CSKA Moskva. Belum lagi misalnya pesawat pribadi teranyarnya, Boeing 767, yang baru dibeli dengan harga yang ditaksir 1 miliar dolar AS, yang menyamai keamanan dan kenyamanan Air-Force One.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada banyak arti roman. Ia bisa dipecah sedikitnya menjadi 15 macam, antara lain roman berangsur, bertendensi, detektif, sejarah, sosial atau psikologi dan sebagainya. Roman juga punya lima makna. Bisa wajah, cerita cinta, atau sejenis huruf. Secara definitif ia adalah kisah lengkap jalan hidup seseorang yang berhubungan dengan adat, ekonomi, sosial, lingkungan, atau pandangan hidup. Ternyata satu roman bisa mewakili multi kisah itu. Dia adalah Roman "Abrakadabra" Abramovich.

(foto: istimewa)

Share:

Kapitalisme

ORANG Amerika percaya suatu saat nanti kapitalisme justru membunuh sepak bola itu sendiri. Is capitalism killing football, tanya mereka. Kenyataannya, sepak bola kini tengah dibelit globalisasi, kata halus untuk kapitalisme.

Kapitalisme
Soal dampaknya, Eropa tidak peduli, jalan terus. Tengoklah UEFA, yang getol mengipasi arti profesionalisme sehingga dua klub terangkuh di dunia, Real Madrid dan kini Chelsea, dengan leluasa makin menikmati hidangan yang ada. Imbasnya bursa saham London dan Madrid terus bergairah.

Parahnya lagi, kontinen lain tak bisa apa-apa selain menjadi massa mengambang. Afrika jelas pengikut paling royal, Amerika Latin hilang akal, sedangkan Asia malah jadi area perahan baru nan favorit mengingat didiami 2/3 penghuni bumi. Apalagi di situ berdiri Cina, negeri yang berpenduduk 1/5 dari total seluruh manusia di planet ini.

Sepp Blatter bak membuka kotak Pandora. Setiap ia memberesi satu-dua persoalan, sepuluh masalah baru malah muncul. Dalam tindakannya yang selalu berusaha untuk harmonis, Presiden FIFA muncul sebagai seorang ultrasosialis, tokoh antikemapanan. Meski ia orang Swiss, negeri sejuta bank yang punya Nestle, sebuah ikon kapitalis makanan dunia, tetap saja orang Eropa memusuhinya.

Untuk memperkuat visualisasi kisah obsesif seorang Blatter, dan globalisasi yang menyeret sepak bola ke dalam lingkarannya, Franklin Foer menuangkannya dalam How Soccer Explain the World: An Unlikely Theory of Globalization. Kita di Indonesia juga sudah terseret dalam pusaran ini. TV satelit kian laku, plaza dipenuhi franchise klub-klub top. Apa lagi? Sepak bola kini lebih dari sekadar permainan atau sebuah way of life, jalan hidup.

Soccer is a perfect window into the crosscurrents of today's world, with all of its joys and sorrows, demikian kata bangsa Amrik, sang pencetus kapitalisme, mengakui gemebyar pentas sepak bola era milenium sekarang. Karena itu, Blatter sangat puas kala melihat Yunani menjadi juara Eropa, bersyukur tatkala FC Porto menggapai titel Liga Champion 2004, dan ikut gembira saat Korea dan Turki masuk empat besar World Cup 2002. Tiga sikap yang beda dengan satu ekspresi yang sama: kemenangan.

Sebaliknya UEFA merasa ada yang salah selama ini. Apa itu? Setelah dicari-cari, rupanya ketemu juga: jadwal kompetisi. Asumsinya, Yunani bisa juara karena pemain nasionalnya lebih sedikit main bola! Itu karena pahlawan nasional, Angelos Charisteas, hanya cadangan di Werder Bremen. Begitu juga Stylianos Giannakopoulos di Bolton Wanderers. Alpha Ethniki Katigoria, ini nama legal Liga Yunani, yang cuma beranggotakan 16 klub. Berarti tiap klub hanya 30 kali bermain dalam semusim.

Musim lalu tak satu pun dari Theodoros Zagorakis atau Angelos Basinas bertarung habis-habisan di pentas Eropa. Jadi, wajar jika Prancis atau Inggris tersisih karena Thierry Henry atau Frank Lampard sudah jenuh dengan 50-an pertandingan yang diikutinya termasuk di tim nasional.

Gara-gara bola, kita juga bisa melihat bahwa dunia ini memang kagak keruan. Lihat bagaimana klub Eropa bisa mencerca kedaulatan sebuah bangsa di Amerika Latin. Valencia dan Real Madrid marah karena Roberto Ayala dan Walter Samuel diperlukan negaranya di Olimpiade 2004. Belakangan Sir Alex Ferguson mengancam meninjau kontrak Gabriel Heinze di klubnya jika ia juga ikut pesta di Athena. Argentina, salah satu negara miskin di dunia, teraniaya.

Orang-orang pandai itu lupa bahwa tim nasional adalah eksistensi sebuah negara di atas rumput, di bawah koridor sport. Serangan Valencia bisa dianggap kurang bermakna. Tapi, bagaimana kalau klub yang dipunyai PM Italia juga bisa menyerang kedaulatan negara dan bangsa Brasil?

                                               *******

SOAL polemik Kaka beberapa waktu lalu, seorang bos Milan berani bilang, "Kami yang menjadikan dia seperti ini." Itulah kejahatan kapitalisme. Dia bisa membius orang, masyarakat, bahkan satu bangsa berpenduduk 184 juta jiwa.

Ciri khas kapitalis adalah berlebihan, berbau arogan. Kerap kali orang melihatnya sebagai ketamakan bin rakus, dihalalkan oligarkis. Tujuan diiringi dengan kepandaian melakonkan keserakahan. Harus berprinsip air laut, semakin haus saat terus diminum.

Maraknya kapitalisme bisa dilihat saat musim transfer. Ini tempat semua yang berlebihan tersuguh. Sepak bola cuma 11 pemain dan beberapa cadangan. Tapi sebuah klub di Eropa bisa punya 40-50 pemain, dua per tiganya foreigner.

"Saya heran pemain Asia mau saja digaji orang Eropa untuk bermain 4-5 kali setahun," sungut Blatter di Beijing suatu kali. "Kenapa Anda tidak bayar seorang Javier Saviola untuk main di sini?" Blatter berani menyebut sepak bola sekarang sudah mendekati slavery, perbudakan modern. Kongkritnya, orang-orang kulit putih (Eropa) makin menguasai, maaf, orang-orang kulit hitam (Afrika) dan kulit berwarna (Latin dan Asia).

Karena itu, ada baiknya, daripada puyeng melulu, seharusnya Blatter berani ambil keputusan drastis: mengesahkan sepak bola menjadi dua kubu, profesional dan amatir. Hal itu akan menjelaskan kesumiran yang terjadi seperti sekarang. Tinju misalnya. Orang pasti jelas memilahnya. Yang pakai kaus itu amatir dan yang telanjang adalah profesional. Beres. Amatir di tinju berbau nasionalisme, patriotik.

Makanya jangan paksa orang Kuba baku pukul sambil bertelanjang dada tanpa pakai kaus. Begitu juga sehebat-hebatnya Mike Tyson atau Oscar de la Hoya, jangan harap simbol kebangsaan lebih mencuat di situ meski The Star Spangled Banner selalu dinyanyikan secara acapela. Tidaklah, kecuali jumlah dolar atau nama Don King.

Dalam sejarahnya di Indonesia pun tak ada rekor penonton, haru biru kehidupan, drama, fanatisme positif yang bisa diraih seperti divisi utama (antarperserikatan) PSSI dulu. Begitu diubah pada 1978 dengan Galatama, antusiasme masih membubung.

Namun, karena tak memahami apa itu kapitalis, sepak bola Indonesia akhirnya malah kacau. Normalnya, muara sebuah kompetisi adalah membentuk tim nasional. Saat itu menjadi pemain nasional sangat prestisius, sulit diraih karena harus lolos dari opini publik dan pers.

Di Eropa pun kini terjadi kongkalikong antara pelatih nasional dengan klub-klub. Kapan boleh memakai si anu atau si fulan. Kalau main, perjanjian untuk berapa menit juga ada. FIFA dibuat sibuk karena agendanya harus mengacu pas pada klub, kompetisi, sampai federasi yang bersangkutan. Selain uang, sepak bola adalah simbol nasionalisme, politik, kultur, ekonomi, bahkan peradaban (civilization) dunia.

Jika saja orang AS maniak dengan permainan ini, dua per tiga isi dunia mungkin tidak kebagian apa-apa di olah raga ini. Selama ini mereka telah menguasai politik, ekonomi, teknologi, dan ruang angkasa. AS adalah bangsa di dunia yang paling gemar olah raga.

National Football League (NFL), National Basketball Association (NBA), dan National Baseball League (NBL) adalah simbol kapitalisme Amerika di dunia olah raga. "Siapa saja yang ingin tahu jantung hati Amerika harus lebih dulu mempelajari dengan baik bisbol," tegas Jacques Barzun, seorang pseudo-intelektual.

Bangsa ini memang superlatif, senang dengan sikap berlebihan. Tinju diganti dengan wrestling, balap mobilnya adalah Nascar yang bisa mencapai 500 lap. Mereka juga tak ragu mengubah standar yang ada di basket dengan NBA-nya atau di sepak bola (MLS). Jadi, beruntunglah Eropa tatkala orang AS menganggap sepak bola sebagai olah raga yang terlalu murah, kurang jantan, sedikit angka, gampang cedera, dan dipenuhi risiko keonaran massa.

Amerika masih tetap menganggap sepak bola adalah permainan sosialis, sangat jelata. Paling tidak Jack Kemp pernah mengungkapkan itu. Pada 1986, senator ini berani menentang Kongres yang mengesahkan kesediaan AS sebagai host Piala Dunia 1994. "Ada perbedaan mencolok antara football yang demokratis dan kapitalis dengan soccer yang olah raga sosialis ciptaan Eropa itu. Bagaimana mungkin?" tanya Kemp. 

(ilustrasi: istimewa)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini