Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label KRONIKA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KRONIKA. Tampilkan semua postingan

Claudio Ranieri (4-habis): Legenda Abadi Leicester

Suatu hari di April 2016, Ranieri tersenyum mengenang petualangan pertamanya di Inggris. Ditemui seorang wartawan La Repubblica yang khusus datang ke kantornya, dia lantas bertanya simpel dengan gaya Italia: bertanya kepada lawan bicaranya dan menjawabnya sekaligus. “Di mata Anda apakah karier saya seperti itu buruk? Saya rasa tidak,” kata Ranieri yang mau tak mau membuat lawan bicaranya dipaksa mengangguk.
Malah sukses besar dengan skuad tanpa pemain world class.
Memang butuh waktu untuk mengatakan Ranieri tidak lagi terkutuk, yang selama ini publik di negaranya mencapnya serba tanggung, si nomor dua, atau apalah. “Mari kita bicara kondisi di Italia,” ajaknya lagi. “Apakah tim yang saya latih menjadi lebih baik sepeninggal saya? Saya kira tidak.” Seperti kebanyakan manajer andal, Ranieri juga mematok target poin di setiap musim, dan dia merasa kebanyakan sukses diraihnya.

Kecerdasan Ranieri adalah tak bicara target secara gamblang kecuali dengan angka. Namun di sisi lain, rahasia keluguan terbesarnya jadi terkuak. Ketika Leicester terus mendekati titel pertama liga dalam 132 tahun sejarahnya, dia tetap mengelak bicara soal ambisi jadi juara. Yang justru diungkap: sasaran meraih 79 angka! Kelicikannya adalah hal itu diungkapkan ketika timnya sudah mencapai kepala tujuh!

“Ketika kami meraih 79 poin baru saya puas sebab itu berarti satu poin lebih banyak dari pencapaian di paruh pertama. Ingin sekali rasanya jumlah laga ditambah supaya kami bisa melampaui 79 poin,” katanya yang pasti mengajak orang ingin bertanya lebih lanjut. Dan Ranieri sudah menyiapkan jawabannya. “Ya, ini selalu jadi falsafah saya.” Boleh jadi hal itu disebabkan oleh pengalaman pahit masa lalunya.

“Saya memang tidak suka bilang ‘kami ingin juara’. Sejak lama saya sudah bilang ingin 79 poin, sebab itu hanya satu hentakan kecil. Sampai sekarang pun saya tak mau memikirkannya. Jika meraih Liga Champion, kami harus berusaha dan terus berusaha sekuat mungkin, dan inilah mentalitas saya,” ucapnya sebelum ditahan West Ham 2-2 yang membuat poin Leicester menjadi 72 poin dengan empat laga sisa.

Seperti halnya kebanyakan orang Italia yang memandang laga sepak bola sebagai uji nyali dan kehidupan sesungguhnya, Ranieri juga begitu. Di matanya tidak ada yang mudah di sepak bola. Pengalaman hidup dan jam terbang di atas lapangan hijau telah mengajarkannya. Terlebih-lebih di Premier League. “Tidak ada lawan yang mudah di sana, minggu besok, minggu besok, minggu besoknya lagi,” jelasnya lagi.

Di mata Ranieri, musuh harus dihadapi dengan gaya dan ciri khas permainan. Ia tidak membedakannya. Ini adalah strategi dasar Leicester City musim ini, meski tetap ada bedanya dalam penerjemahan teknis. Semisal melawan tim yang lebih kuat, tim-tim papan atas, biasanya dia menginstruksikan anak buahnya agar lebih sabar. Menunggu ruang dan waktu yang paling tepat untuk melakukan serangan balik.

Taktik ini terbukti berhasil sepanjang Desember-Januari silam ketika mereka melabrak Everton 3-2, Chelsea 2-1, Tottenham Hotspur 1-0, Liverpool 2-0, dan Manchester City 3-1. Pada paruh kedua kompetisi, pelajaran kesabaran level kakap makin dicangkokkan oleh Ranieri. Ketika itu gaya Italiano Leicester kentara sekali, yaitu cukup menang tipis lantaran kelewat terobsesi menjaga konsistensi permainan.

Setelah menderita kekalahan ketiga, 1-2, pas pada hari Valentine, Ranieri kian serius mengencangkan sabuk pertahanan lewat kekuatan stamina dan kekukuhan semangat. Walhasil Leicester tak pernah lagi hingga kini. Dan ingat, dalam strategi sepak bola orang Italia lazim dikenal saklek, zakelijk istilah Belanda. “Di Inggris semua berat. Swansea, Everton, Chelsea atau Manchester United, sama saja,” sebutnya.

Tidak seperti manajer lain yang suka mengadaptasi bentuk permainan lawan, Ranieri justru tidak. Taktik dia yang sangat ajeg, acapkali sering merepotkan pesaingnya. Dia lebih suka menerima saja tekanan dari pemain atau pelatih lawan karena ada gunanya. “Saya suka tekanan sebab pekerjaan kita jadi semakin bermutu karenanya,” kilahnya enteng. “Saya suka kebebasan bermain dengan spirit yang fantastis. Ini penting.”

Tak heran jika di paruh kedua sebelas starting line-up-nya kian menjadi-jadi. Ranieri mengkreasi satu batalyon pembunuh paling efektif. Jamie Vardy dan Riyad Mahrez eksekutor utama. Shinji Okazaki atau Leonardo Ulloa pengacau konsentrasi. Danny Drinkwater dan N’Golo Kante penjaga stabilitas. Sementara Marc Albrighton, Jeffrey Schlupp, atau Demarai Gray bergantian menjadi pengintai.

Yang menarik ada di sektor pertahanan yang bernuansa agresif. Danny Simpson dan Christian Fuchs setelah menekan, bergantian menyelusup dari sisi sayap. Duet Robert Huth dan Wes Morgan sejatinya pengawal pintu gawang Kasper Schmeichel, namun juga punya tugas ekstra: eksekutor bola-bola set-pieces. Perhatikanlah deretan ‘para pembunuh’ ini: tidak satupun ada yang berkelas world class!
Kembali ke dasar. Menerapkan pemainan kesabaran khas Italia.
Dengan mental baja dan semangat berapi-api seperti itu tidak heran bila satu ucapan Ranieri gampang merasuki tim penuh cibiran ini. “Kalian harus juara sebab dunia tidak pernah mengenang runner-up,” kata Ranieri. Meski perjalanannya masih berliku sebab masih menghadapi Manchester United, Everton, dan Chelsea, namun sejarah terbesar dalam dunia olah raga tampaknya tetap milik mereka.

Kejutan akbar di sepak bola memang pernah ditorehkan Denmark dan Yunani saat menjuarai Piala Eropa 1992 dan 2004. Begitu pula misalnya sewaktu tim baru promosi Nottingham Forest menjadi King of England di musim 1977/78 yang dipandu manajer sensasional Brian Clough. Namun geliat Leicester kali ini tetap mencengangkan dunia, terutama dari fakta statistik bursa taruhan 1/5.000: hanya satu dari 5.000 orang yang yakin mereka jadi juara!

Tinggal sedikit lagi Ranieri bakal dikenang sepanjang zaman sebagai legenda seperti para pendahulu yang melakukan hal serupa. “Kami hanya baru membuat berita hebat, meraih tiket langsung ke Liga Champion, namun untuk dikenang 40 atau 50 tahun mendatang, kami harus menjadi juara. Untuk mencapai itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali terus berjuang, tetap fokus, dan menjadi kuat,” ucap Ranieri berapi-api.

Dia benar. Hanya melakukan hal-hal demikian, kita akan menghargai kemenangan sebab sejatinya sepak bola sering terlalu aneh untuk dipahami, baik proses maupun pencapaiannya. “Andai posisi kami ini sekarang diisi Manchester City atau United, barangkali Anda dan dunia akan bilang ‘selesai sudah’ mereka menjadi juara. Betul? Kenapa? Sebab kami hanyalah Leicester City,” tukas Ranieri dengan gaya khas.

Jangankan menjadi juara, tampil di putaran final Liga Champion 2016/17 saja cibiran sudah bertebaran. Dan Ranieri sadar, memahaminya, lantas tegas menyatakan bukan itu tujuannya. “Saya tidak memikirkan musik Liga Champion kok. Saya suka musik. Ini akan menjadi pencapaian fantastis. Dari mimpi menjadi kenyataan, tapi tunggu dulu, semua itu menunggu pembuktian,” kata kakek berusia 64 tahun ini. 

Sukses Ranieri kali ini tampaknya karena membaktikan diri sebagai kepala keluarga besar Leicester City. Ia melakoni sosok ayah seutuhnya tanpa dibantah lagi. Hal yang amat langka, dan untuk pertama kali dalam 30 tahun karier kepelatihannya.   “Semua anak-anak saya. Saya puas bisa membuat mereka sukses. Jika anak Anda sukses tentu sang ayah juga merasa ikut bahagia, bukan?” kata Ranieri balik bertanya. 

Sekarang hampir semua warga Leicester, tampaknya akan lebih mencintai dan menghormati apapun tentang Italia. Dan ini semua berkat jasa besar King Claudio. Di sisa-sisa usianya, kerja kerasnya sejak muda akhirnya berhasil, minimal dia akan selalu tercatat sebagai legenda abadi Leicester City, sampai dunia kiamat!

(foto: givemesport/thesun)

Share:

Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea

Hari pertama bergabung di markas latihan, para pemain Chelsea melongo mendengar Ranieri berbicara dengan bahasa Italia. Dia memang belum mengerti bahasa Inggris. Untungnya ada Ray Wilkins, eks bintang Chelsea yang pernah membela AC Milan. Dia lihai bicara Italia sehingga selain jadi asisten, pria berkepala botak di depan itu juga otomatis bertindak sebagai interpreter.
Claudio Ranieri: Pengalaman Di Chelsea
Impian besar Ranieri di Chelsea berasal dari bujet transfer besar.
Lebih beruntung lagi, sebagian besar pemain inti Chelsea lumayan bahasa Italia-nya sebab selain pernah dilatih Ruud Gullit atau Vialli, mereka juga punya Gianfranco Zola, Gabriele Ambrosetti, Roberto Di Matteo, Carlo Cudicini, dan Samuele Dalla Bona. Kehadiran Ranieri juga tidak masalah di mata dua pemain inti Chelsea, Albert Ferrer, dan Gustavo Poyet sebab bahasa Spanyol-nya terbilang lumayan.

Ranieri dikenang pers Inggris sebagai manajer yang mengubah gaya sexy football peninggalan Gullit dan Vialli menjadi permainan dengan seni bertahan yang hebat. Di eranya, nama-nama Frank Lampard, Emmanuel Petit, Boudewijn Zenden, atau Jesper Gronkjaer, dan William Gallas hadir di Stamford Bridge. Kehebatannya lainnya adalah mendidik lalu mencuatkan John Terry sebagai suksesor sang kapten Dennis Wise.

Gara-gara kebanjiran pemain bagus – pertama dalam karier kepelatihannya – dia jadi suka bereksperimen pekan demi pekan. Dalam jangka pendek tampak sukses, namun tidak untuk jangka panjang. Chelsea jadi sulit meraih prestasi klimaks di musim 2000-01. Saat itu julukan ‘The Tinkerman’ mulai diletupkan pers. Debut Ranieri berujung di posisi enam. Bahkan di final Piala FA, mereka dikalahkan Arsenal 0-2.

Di musim kedua, ulah Ranieri lain lagi. Kali ini dia lebih mengutamakan pemain muda yang berujung pada penjualan pemain-pemain senior, salah satunya menimpa kapten Dennis Wise, pujaan publik Stamford Bridge. Namun setelah menjulangkan barisan muda di diri Samuele Dalla Bona, Mario Stanic, John Terry, Robert Huth, atau Carlton Cole, penggemar sejati Chelsea mulai memahami tujuan Ranieri.

Namun seperti biasa, keberuntungannya tidak terlalu lama. Akibat hutang yang makin menumpuk lantaran jor-joran membeli banyak bintang namun tidak pernah juara, pada medio 2003 Ken Bates akhirnya menyerah dan menjual Chelsea dengan harga yang nyaris gratis! Awalnya Roman Abramovich – si pemilik baru – ingin mengganti Don Claudio yang dinilainya ‘membahayakan’ prospek bisnis Chelsea ke depan.

Sejak mengawali musim 2003-04, kehidupan Ranieri di Chelsea sudah tidak tenang mengingat Abramovich keseringan bersua Sven-Goran Eriksson, yang dinominasikan menggantikannya. Namun juru bisiknya mengatakan sabar dulu sebab tidak ada juga jaminan bagi Eriksson bisa sukses dengan skuad yang seluruhnya ‘buatan’ Ranieri. Kelak di kemudian hari, feeling sang owner jauh lebih benar.
Claudio Ranieri: Pengalaman Di Chelsea
Senang bereksperimen formasi dan taktik permainan.
Ranieri sendiri memanfaatkan kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan reputasi. Tak tanggung-tanggung ia mengajukan bujet 120 juta pound untuk menciduk Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Juan Sebastián Veron, Hernan Crespo, Claude Makelele serta Adrian Mutu! Namun masih selain Sir Alex Ferguson, kiprah Arsene Wenger masih sulit dilawan saat itu. Siapa Ranieri dibanding mereka?

Kemarahan Abramovich pada Ranieri mencapai puncaknya di musim 2003-04, walau di liga menempati urutan dua di bawah Arsenal yang meraih immortal, juara tanpa kalah, yang menjadi kemenangan terakhir Wenger di Premier League. Namun Ranieri menyingkirkan impian Wenger ke semifinal Liga Champion. Kegagalan Ranieri kian komplit karena tanpa diduga Chelsea dikalahkan Monaco di semifinal Liga Champion.

Abramovich akhirnya menemukan seorang manajer yang tidak terkenal tapi sanggup membawa FC Porto menjuarai Liga Champion 2004. Orang itu adalah Jose Mourinho. Kebanyakan publik Chelsea tak menangisi kepergian Ranieri di akhir musim itu sebab dinilai memang tidak berkelas. Lagi pula harapan tertinggi publik Stamford Bridge bukan pada Ranieri, tetapi pada Abramovich. Hasil yang serba tanggung, seperti takdirnya selama ini, kembali diderita Ranieri. Dia harus menerima realita tidak sanggup mengelola skuad yang banyak berisikan bintang.

Takdir Ranieri adalah klub kecil, sebuah penyematan sahih yang terbukti hingga kini. Selama empat musim, Ranieri hanya sukses menaikkan nilai dan peringkat Chelsea. Sukses kecil lainnya mematok John Terry, Wayne Bridge, dan Frank Lampard sebagai pondasi bangunan tim. Dia juga mendatangkan Didier Drogba dan Arjen Robben. Namun, tepat 31 Mei 2004 karier Ranieri disudahi Abramovich.

(foto: skysport/the quint)

Share:

Claudio Ranieri (2): Belajar Ke Spanyol

Karier pelatih yang seumuran dengan Louis van Gaal ini dimulai di tim kecil Lametini (1986-87), lalu Puteolana (1987-88), sebelum menangani tim dari Pulau Sardinia itu di musim 1988-89. Ahli mempromosikan klub Serie B dibuktikan lagi kala mengangkat Fiorentina ke Serie A di 1992-93. "Juara Coppa Italia, Piala Super Italia, dan semifinal Liga Champion lawan Barcelona adalah prestasi terbaik saya di sana," kilahnya.

Claudio Ranieri: Belajar Ke Spanyol
Memulai debut internasional dengan melatih Valencia pada 1997/98.
"Juve memecat saya walau mereka di posisi dua, sebelumnya tiga. Oke-oke buat saya sebab banyak terjadi kesalahpahaman. Sejak pekan ketiga di Roma, saya memberi 80 poin dan hanya gagal juara di pekan terakhir dari Inter-nya Jose Mourinho. Saya izin pada pemain untuk pamit, mereka bilang tidak, namun itu tetap terjadi. Akhirnya saya mengucapkan selamat tinggal pada mereka," kata Ranieri lagi.

Namun Ranieri belum kehabisan rezekinya di Serie A. Agennya berhasil meyakinkan Inter yang lagi butuh pelatih baru untuk mengangkat posisinya. Dia setuju. Namun kisahnya di Inter barangkali lebih membukakan mata Interisti perihal ambruknya Inter usai ditinggal Mourinho, Rafael Benitez, Leonardo, dan Gasperini.

Hingga kini dia merasa bangga sebab saat berada di Nerazzurri tercatat sebagai satu-satunya manajer yang tak pernah membeli pemain. "Saat saya masuk sebenarnya tim mulai stabil, meraih kemenangan, namun akhirnya saya sendiri yang disalahkan. Saat harapan makin tinggi, tiba-tiba Philippe Coutinho dan Thiago Motta dijual," pungkasnya sekaligus menguak rahasia awal kehancuran Inter di 2011-12.

Claudio Ranieri: Belajar Ke Spanyol
Ranieri dan Monaco. Menyelamatkan dan sempat mengagumkan.
Tak tahan dengan intrik dan kondisi sepak bola di negaranya, memasuki musim 2012-13, untuk ketiga kalinya dia melanglang buana. Kali ini ke Prancis. Tugasnya tetap berat, harus meloloskan AS Monaco yang saat itu berada di Ligue 2 untuk promosi ke Ligue 1. Eh, Ranieri sukses. Untuk ketiga kalinya, setelah Cagliari dan Fiorentina, dia mempromosikan klub ke divisi utama. 

Monaco kagum lalu meneruskan kontrak Ranieri di 2013-14. Hasilnya luar biasa, meski tidak mengejutkan. Lagi-lagi timnya hanya finis di bawah Paris Saint Germain. "Kami bisa meraih 80 poin di belakang PSG yang saat itu sudah dibeli oleh sheikh," tukas Ranieri beralasan unik.

Prancis merupakan negara ketiga yang ditinggali Ranieri sebagai pelatih asing. Yang pertama adalah Spanyol, tatkala secara mengejutkan dia dipinang Valencia di musim 1997-98. Kelebihannya sebagai pelatih sabar dan bertangan dingin membuat klub top La Liga itu percaya dengan dirinya. Valencia hanya menempati posisi 9 dan 4 selama dua musim dibesut Ranieri, namun target lain tercapai: El Che melahirkan bintang.

Claudio Ranieri: Belajar Ke Spanyol
Periode kedua di Valencia melahirkan banyak bintang top.
Nama-nama yang kemudian tenar: Gaizka Mendieta, Miguel Angel Angulo, Santiago Canizares, atau Javier Farinos diorbitkan oleh Ranieri. Seusai di Valencia tiba-tiba dia menerima tawaran Jesus Gil, presiden Atletico Madrid yang dikenal punya kegemaran gila karena senang memecat pelatih. Namun Ranieri memang patut digusur sebab di akhir musim 1999-2000 itu Atleti teronggok di posisi 19 alias terdegradasi.

Seolah-olah tidak kapok dengan budaya sepak bola Spanyol yang keseringan gonta-ganti pelatih, Ranieri nekat kembali ke Valencia di musim 2005-06, setelah dipecat Roman Abramovich di Chelsea. Hasilnya: baru semusim dia kembali di-PHK akibat hanya membawa El Che di posisi ketujuh. Kondisi ini sangat menyakitkan hatinya sebab dalam dua musim beruntun dia selalu dipecat.

Dia memutuskan mesti istirahat dari hiruk-pikuk sepak bola. Entah di gudang atau di gua, Ranieri berkontemplasi secara mendalam mengenai nasib dan kariernya. Sejak Juni 2006 dia stop total, yang pertama kali dalam hidupnya sejak 1972, atau seperti di usia 21 tahun tatkala dirinya belum terjun total menggeluti calcio! Namun itu hanya berlangsung 6 bulan lebih saja, sebab mulai Februari 2007 ia kembali terjun ke sepak bola hingga kini.
Claudio Ranieri: Belajar Ke Spanyol
Sesaat sebelum gantung sepatu sebagai pemain di Palermo.
Claudio Ranieri dilahirkan di Roma pada 20 Oktober 1951. Kariernya di sepak bola bisa dibilang telat sebab dia baru menjadi pemain profesional di AS Roma di usia 22 tahun, meski sejak remaja sudah bergabung di akademi klub berjuluk Il Lupo itu. Ranieri justru tercatat sebagai salah satu pemain legenda Catanzaro yang dibelanya sebanyak 225 kali dengan sumbangan 8 gol selama 8 tahun (1974-1982).

Dia juga jelas bukan pemain kelas satu di Serie A sebab namanya tidak pernah mencuat ke permukaan, terlebih lagi dipanggil ke tim nasional. Setelah Catanzaro, dia sempat singgah di Catania (1982-1984) dan menggantung sepatunya di Palermo (1984-1986). Prestasi dan kenangan terbaik pria rendah emosi ini barangkali cuma merasakan empat kali promosi di sana, dua kali di Catanzaro dan sekali dengan Catania dan Palermo.

Beberapa bulan gantung sepatu bola, dia langsung terjun menangani klub amatir. Jadi pelatih! Ini membuktikan DNA sepak bolanya begitu kental. Tentu saja yang digarap adalah klub tarkam dulu, semisal Vigor Lamezia atau Campania Puteolana. Impiannya mengubah dari status pemain kapiran untuk menjadi pelatih profesional saat itu mulai dirajut, sebuah ide sederhana merupakan rute sukses mayoritas para manajer top.

Kisah sukses Ranieri sebenarnya dimulai di Inggris, di mana sepak bola adalah 'darah dan tulang' buat kebanyakan media massa di sana. Entah semalamnya habis bermimpi apa, Ken Bates si pemilik Chelsea tiba-tiba menyetujui nama Ranieri jadi pengganti Gianluca Vialli beserta caretaker-nya Graham Rix, sebagai pelatih baru The Blues. Tepat 18 September 2000, Ranieri tiba di London untuk memulai petualangan baru.

(foto: ilpost.it/isimewa)

Share:

Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan

Selain Arsene Wenger, sosok yang 'paling bertanggung jawab' atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri. Simaklah cara main Danny Drinkwater dkk..., oh, lalu apa kesimpulan Anda? Cita rasa Italia? Mirip klub-klub Serie A, atau mungkin mengingatkan orang pada jalan sukses Italia saat merebut juara dunia 1982 dan 2006? Betul! Kira-kira seperti itulah.

Claudio Ranieri: Melepaskan Kutukan
Bumi Italia dilanda geger luar biasa mendengar berita dari Inggris.
Di dalam darah setiap manajer asal Italia selalu terkandung mentalitas dan DNA 'jangan sampai kalah' yang diejawantahkan dengan gaya main contro tiempo dan taktik L'uomo contro uomo. Tidak menang tidak masalah, yang jadi masalah apabila kalah. Lewat skor 1-0, 2-1, atau 2-0, begitu pula statistik angka-angka yang dikumpulkan klub yang bermarkas di Stadion King Power, yang dulu bernama Stadion Walker itu.

Bayangkan, dari 33 kali laga di Premier League 2015/16 klub sekecil Leicester City hanya kalah 3 kali yang berarti prosentase kekalahannya cuma di bawah 10 persen. Dengan kata lain, setiap main 11 kali mereka hanya sekali kalah! Dua kekalahan yang diderita Ranieri dibuat oleh Wenger (2-5 dan 1-2) serta Juergen Klopp (0-1). Berbekal rekor yang cukup fantastis, diantaranya 5 kali menang 1-0 dan 4 kali menang 2-1, boleh jadi Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur) hanya cuma bisa berharap 'si tukang tambal sulam' ini tiba-tiba terjerembab, kalau bisa sampai dua-tiga kali.

Mengharapkan yang lain rasanya sulit dilakukan lantaran semua punggawa The Foxes sedang in the mood dan lagi bermental baja untuk menjemput impiannya. Namun ada satu harapan khusus, sebuah stigma yang barangkali bisa menggagalkan pria kelahiran 20 Oktober 1951 ini. Apakah itu? Kutukan! Sepanjang hidupnya, Ranieri selalu dipeluk erat oleh orang yang pecundang di saat akhir alias berpuncak sebagai nomor dua.

Claudio Ranieri: Melepaskan Kutukan
Juventus jadi apes di tangan Ranieri.
Benarkah demikian? Jika ditanyakan langsung ke orangnya, tentu saja dia menampik. "Orang-orang mengatakan saya orang yang tidak bisa juara, langsung bisa saya jawab dengan lihat dulu kondisi tim sesungguhnya," ucap Ranieri. Dunia mematok sebagai pelatih yang baik hati, tapi bukan seorang pemenang. "Tidak satupun yang pernah memberi saya secara total dalam hidup. Saya selalu mulai dari nol," tambahnya tegas.

Bangsa Italia dan Serie A tentu saja terkejut melihat rekor Leicester, sekaligus mesem-mesem melihat keganjilan di sepak bola Inggris. Maklum di Serie A, Ranieri adalah manajer kelas 1,5 menjurus ke level 2. Di tangan Ranieri, pada masanya klub sekuat Napoli, Fiorentina, Roma, Inter, bahkan Juventus pun tidak bisa dibawanya menjadi scudetto. Apalagi Cagliari dan Parma yang pernah juga memakai jasanya.

Di Napoli (1991-1993), sepeninggal Diego Maradona, posisi puncak Ranieri adalah empat di Serie A walau saat itu dia punya Gianfranco Zola, Antonio Careca, Daniel Fonseca, Fernando De Napoli, Massimo Crippa, Ricardo Alemao, duet bek tengah Laurent Blanc dan Ciro Ferrara serta kiper Giovanni Galli. Tak heran dia ditendang setelah dua musim. Lanjut ke Fiorentina (1994-1997), hasil puncak juga di posisi empat. Halah.
Claudio Ranieri: Melepaskan Kutukan
Seharusnya bisa meraih scudetto di Fiorentina.
La Viola pun kapok berat. Padahal waktu itu Fiorentina diisi para bintang; Gabriel Batistuta, Luis Oliveira, Manuel Rui Costa, Sandro Cois, Stefan Schwarz, Andrei Kanchelskies hingga kiper Francesco Toldo. Yang unik adalah Parma ketika mencoba peruntungan memakai jasa dia di 2006-07. Bukannya menanjak, mereka malah bablas bin amblas di posisi 12. Juve juga dua kali bersabar dengannya pada 2007-08 dan 2008-09.

Tapi setelah dua kali berposisi ketiga lalu kedua, surat talak tiga dari Bianconeri pun melayang kepada Don Claudio. Dasar orang baik maka nasibnya pun baik. AS Roma datang dengan harapan tinggi pada Ranieri di era 2009-2011. Di musim pertamanya, hasilnya mengejutkan walau kutukan itu belum juga lepas: posisi runner-up! Ah coba lagi di musim berikutnya, celaka 12, hasilnya malah parah.
Claudio Ranieri: Melepaskan Kutukan
Sosok Ranieri ini adalah harapan palsu buat AS Roma.
Di tengah perjalanan Ranieri akhirnya mendapat surat PHK. Di saat itulah Ranieri merasa Italia bukanlah tanah air bagi kehidupan sepak bolanya. Namun saat ingin kembali berkelana, entah kenapa Inter pun terpincut dengan Ranieri di musim 2011-12. Barangkali Massimo Moratti berharap bisa mengubah jalan hidup klubnya dengan memakai Ranieri waktu klubnya dilanda prahara usai ditinggal Jose Mourinho.

Claudio Ranieri: Melepaskan Kutukan
Ranieri dan Inter. Terkenal sebagai penyelamat dan spesialis runner-up.
Eh tenyata benar. Maklum saat itu Inter tersuruk hingga ke posisi 18 ketika dipegang Gian Piero Gasperini. Dengan telaten dan sabar seperti khasnya, Ranieri mengangkat Inter hingga ke posisi enam klasemen akhir! Grazie Ranieri, kami berterima kasih tapi dirimu tetap harus pergi. Begitu kira-kira sikap Interisti saat itu. Seperti inilah nasib Ranieri, persis seperti yang dibilang tadi. Dia tidak pernah mendapat dukungan total.

Ketika diwawancara La Repubblica, awal April lalu, tampak banyak pertanyaan yang masih meragukan kapabilitasnya meskipun posisi Leicester sudah nyaris pasti bakal merebut mahkota Premier League. Begitulah tipikal Italia. Rekam jejak jadi patokan. "Saya memegang Napoli yang sedang bingung ditinggalkan Maradona, dan hasilnya lumayan. Napoli sempat menang 5-1 atas tuan rumah Valencia di Piala UFEA," ucapnya.

Claudio Ranieri: Melepaskan Kutukan
Asal muasal reputasi Ranieri berasa dari sini.
Napoli adalah klub pertama yang mengangkat nama bekas bek Roma, Catanzaro, Catania, dan Palermo itu ke blantika sepak bola Eropa. Kesempatan itu datang setelah dia sukses mengantarkan Cagliari menjuarai Serie B 1990-91 setelah 3 tahun menjadi pelatihnya. Sejak menangani klubnya Diego Maradona itulah nama Claudio Ranieri mulai dikenal orang hingga sekarang. Sebuah perjalanan epik lebih dari tiga dekade.

(foto: givemesport/thesun/istimewa)

Share:

Manchester United 2015/16 (1): Revolusi Makan Hati

Penggemar Manchester United mulai yakin dengan gerakan revolusioner ala Louis van Gaal. Bukan mengamini ucapan Sir Alex Ferguson, tetapi barangkali lebih kepada fakta. Kalau begitu teruslah Anda, hai para Mancunian, duduk manis dan bersabar.
Manchester United 2015/16: Revolusi Makan Hati
Wajah skeptis pendukung Red Devils menjawab posisi Louis van Gaal di mata publik.
Ferguson omong apa? "Silsilah dia jelas," katanya ringkas. "Van Gaal punya pengalaman yang bagus, tahu bagaimana menangani persoalan. Hanya saja akan butuh waktu."Anda betul, tuan Fergie! Namun semusim telah lewat, thanks pada Van Gaal untuk Liga Champion-nya, sementara dua musim ke depan, revolusi yang didengung-dengungkan itu rasanya masih berbentuk arsiran.

Pandangan soal United pasti tak ada yang setajam sang empu, apalagi menilai suksesornya. Bayangkan, salah satu modal Ferguson untuk mengatakan Van Gaal itu bakal sukses cuma dari observasinya saat jumpa pers di Carrington. "Saya suka gayanya menghadapi wartawan, menurut saya itu brilyan. Anda tahu, pertanyaan mereka suka menyentak. Tapi dia pede mengatasi itu," ucap Fergie buka rahasia.

Barangkali buat manajer klub seberat United, mengatasi rentetan pertanyaan menusuk ibarat menghadapi serangan Arsenal, Chelsea, atau Liverpool. Sanggup mengatasi para jurnalis kawakan saat jumpa pers jadi sinyal bagus di atas lapangan. Namun, tentu, ekspektasi khalayak ramai biasanya sederhana. Sebatas hasil, skor, cara mata menangkap kepuasan permainan, dan ini repotnya, perbandingan!

Inilah barangkali yang bikin roda revolusi Van Gaal dianggap masih benjol-benjol alias belum mulus. Memang, Anda mesti membaca dan melihat secara utuh siapa sebenarnya pria Belanda yang bernama lengkap Aloysius Paulus Maria van Gaal ini. Apa, bagaimana, bahkan kenapa saja masih kurang untuk merasakan denyut gaya baru permainan United, apalagi soal peluang atau harapan.

Van Gaal coba menjelaskan falsafahnya panjang lebar kepada Anda. "Yang kalian perkaya itu bukan hasil, tapi permainan. Skor itu hanyalah untaian data. Apakah angka kelahiran yang meningkat adalah kesuburan? Bukan. Penyebab kesuburan adalah prosesnya. Yang kalian debat itu permainan, bukan hasil, sebab hasil tak bisa diperdebatkan. Itulah kalian!" katanya rada sengit.

Di depan wartawan kawakan Sid Lowe, pria temperamental itu menjelaskan analoginya yang lain. "Apakah Anda mau membeli koran seharga satu euro pada Senin pagi tapi semua isinya data hasil pertandingan? Apakah Anda akan membeli tiket ke stadion saat menit-menit akhir, lalu setelah melongok ke papan skor Anda keluar lagi? Anda pasti membayar 90 menit untuk menonton proses!"

Skor 1-0 untuk Van Gaal. Dia telah memenangi sekaligus menancapkan impresi tentang siapa dirinya. Namun publik tetap belum puas soal falsafah itu, meski mereka memang tak bisa menuntut gaya permainan LVG seperti SAF. Di mana letak harga diri kalau begitu. Pelatih besar selalu punya gaya tersendiri. Di mata LVG, yang frustrasi itu, jika memang begitu, justru publik bukan dirinya.

Van Gaal selalu percaya diri, kapan pun di mana pun. Seusai kena kritikan Jose Mourinho sewaktu pasukannya mengalahkan United 1-0, April silam, dia tetap tak bergeming. "Dia terlalu peduli dengan possession dan kurang perhatian pada hasil," senggol Mou. Ini bukan sindiran pertama yang dia dengar. Dua dekade silam, mahabintang Belanda Johan Cruijff pun menghujat gayanya.

Manchester United 2015/16: Revolusi Makan Hati
Trial by error sering ditunjukkan saat pertempuran berlangsung.
Menurut salah satu ilmuwan strategi permainan itu, gaya Van Gaal terlalu mekanis, kaku, tak lentur. "Pola itu menunjukkan ketakutan berlebihan dia bila kehilangan bola yang solusinya sudah ditemukan di awal 1970-an," kata Cruijff cukup pedas. Repotnya lagi, gaya possession akan mengurangi totalitas serangan sebab tuntutan pada peran seorang gelandang yang jadi pendulum permainan.

Ciri Diktator

Istilah Italia menyebutnya regista, kira-kira berperan seperti playmaker. Sayang sekali di United, dia kesulitan menemukan aktornya. Lebih tepat lagi tidak konsisten. Terkadang Juan Mata, sering juga Wayne Rooney, Ander Herrera, Michael Carrick bahkan Bastian Schweinsteiger atau Daley Blind. Terus terang LVG terobsesi dengan peran Jari Litmanen (Ajax), atau Juan Riquelme (Barca).

Interpretasi pemain 'bernomor 10' versi LVG tidak lazim. Ini yang barangkali bikin pendukung United gemas bin geram melihat Rooney jadi mandul. Menurut Henry Kormelink dalam The Coaching Philosophies of Louis van Gaal and the Ajax Coaches, fungsi utama The Ajax No.10 adalah menjadi orang pertama yang menguber-uber lawan yang menguasai bola ketika tim kehilangan possession. Waw!

Ia juga pemain defensif yang tiba-tiba bermutasi jadi second-striker. Bayangkan, Van Gaal pernah mencoba Dennis Bergkamp, lalu Rob Alflen, sebelum menetap awet di Litmanen. Cruijff terbahak-bahak melihat cara LVG yang menafikan sosok penting di sebuah tim. Bergkamp, Rivaldo, hingga Rooney tak ada bedanya seperti bek lainnya. Mungkin ini alasan utama dia sama sekali ogah menjajal Serie A.

Celakanya, ternyata ini bukan gaya Ajax sejati. Konsep Van Gaal adalah satu sekte sebab dia bikin ajaran sempalan yang menyimpang. Dalam Brilliant Orange karangan David Winner dikisahkan bahwa Sjaak Swart, gelandang Ajax 1970-an, mencerca cara main winger era 1990-an, Finidi George dan Marc Overmars yang mesti 'panca-longok' dulu sebelum menerobos pertahanan lawan.

"Saya tak pernah memberi bola ke belakang dulu. Tak akan pernah! Ini luar biasa! Tetapi begitulah sistem Van Gaal. Di banyak laga Anda bisa tertidur!" sergah Swart, 77 tahun. "Di TV dia berkata 'Ajax meraih 70% penguasaan bola' apa maksudnya? Ini bukan sepak bola karena kreativitas telah hilang!" lanjut kakek yang 461 kali membela Ajax dengan 170 gol pada 1956-1973.

Apa yang mendasari Van Gaal pada konsepnya yang saklek itu? Inikah wujud sifat super-egonya? Sinyalnya memang ada. Belakangan dia memuji dirinya sebagai pelatih yang piawai memilih bakat muda dan kehebatan mengkreasi dinasti. "Xavi, Iniesta, Valdes yang telah menjadi kapten Barcelona. Begitu juga Alaba, Mueller, Badstuber yang kini tulang punggung di Bayern," ungkap Van Gaal lugas.

Soal ini ia amat serius. Jika tidak, mustahil Glazer mau meneken bon senilai 70 juta pound untuk Memphis Depay (21) dan Anthony Martial (19)? Van Gaal mengklaim keduanya plus Luke Shaw dan Adnan Janujaz adalah calon dinasti berikut. "Saya yakin keberagaman budaya kelak membanjiri sepak bola sehingga mendidik mereka begitu penting sebagai bagian dari budaya klub," kilahnya.
Manchester United 2015/16: Revolusi Makan Hati
Dari sisi persiapan pertempuran menjadi salah satu yang terbaik.
Silakan Anda meragukan LVG, tapi dia tidak akan pernah canggung dengan prinsip-prinsipnya. Van Gaal adalah diktator, kreator, manajer, pelatih, pendidik bertipe tank yang melindas semua yang menghambat laju pemikirannya. Itulah kenapa Ferguson pun menyukainya. Perbedaan dengannya hanya gaya permainan, dan itu wajar karena kini LVG punya tanggung-jawab yang amat berat.

Tanpa direcoki rengekan fan, kebandelan pemain, atau badai kritikan saja otak LVG sudah puyeng. Untungnya dia selalu yakin dan yakin sebab ratusan juta loyalis United sejagat pasti berharap padanya sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menerima dan mendukungnya. "Saya bertugas membangun tim untuk (diteruskan) bos United yang berikut," ucapnya tanpa basa basi.

Satu kritikan tajam pengamat pada Van Gaal adalah cara dia memperlakukan eksponen lama entah itu pemain atau ofisial lainnya. Di lingkup manajemen, Giggs mungkin yang paling tragis. Ia adalah salah satu staf Van Gaal yang totalnya ada 11 orang. Penempatan Giggs adalah hak prerogatif pemilik serta rekomendasi empat direktur; Ferguson, Sir Bobby Charlton, Michael Edelson, serta David Gill.

Kasus Giggs

Namun dari 11 staf itu cuma lima yang paling teras lantaran prioritasnya. Selain Giggs, ada Albert Stuivenberg, Frans Hoek, Jos van Dijk, Marcel Bout, dan Max Recker yang semuanya ber-KTP Belanda. Anehnya tangan kanan LVG adalah Stuivenberg (44), si spesialis pemain muda. Orang ini selalu di samping LVG saat pertandingan, yang seperti halnya Giggs, duduk di kiri atau di kanan.

Sebelumnya Nicky Butt juga berstatus sebagai asisten pelatih. Namun entah kenapa belakangan Butt ditugaskan melatih U-19. Frans Hoek sejatinya salah satu pelatih kiper terbaik di Eropa. Jos Van Dijk adalah perencana sesi latihan sekaligus analis data kebugaran. Keputusan manajer siapa jadi starter atau cadangan diambil dari rapor Van Dijk setiap pekan.

Bout adalah staf khusus yang kerjaannya mengintip perkembangan seluruh calon lawan dan memantau para pemainnya. Dari hasil risetnya, LVG baru bisa merancang strategi United secara tuntas. Sedang Reckers, seorang jago komputer, punya spesialisasi di bidang disain performa tim, yang siap menjelaskan visualisasi strategi yang sewaktu-waktu diperlukan Van Gaal untuk membuat terobosan baru.

Karena job-description-nya jelas, maka bisa dipahami betapa hebohnya khalayak ramai membaca opini Wim Kieft seusai United kalah 1-2 dari tuan rumah PSV di matchday 1 Liga Champion. "Kami di Belanda tidak percaya melihat itu. Mereka menyiapkan Marcos Rojo sebagai pengganti Luke Shaw, namun sesuatu yang aneh telah terjadi," ucap mantan bintang Ajax dan PSV itu. Apakah itu?

Rupanya Kieft mengamati betul ritual United menjelang pergantian pemain. "Tiba-tiba Hoek berdiri, memakai kaca matanya, mengambil papan strategi lalu memberi instruksi pada Rojo. Hoek? Si pelatih kiper itu? Kieft terus dibelit kebingungan. Lalu giliran Stuivenberg menyuruh Rojo untuk melakukan ini-itu di lapangan. Terakhir giliran Van Gaal menjelaskan sesuatu pada Rojo," kata Kieft takjub.

Manchester United 2015/16: Revolusi Makan Hati
Sulit mendapat solusi terbaik dari staf ahli yang terus-terusan gamang.
"Ryan Giggs tidak terlihat, padahal dia satu-satunya staf Van Gaal yang paling berpengalaman di Premier League, sebagai pemain dan pernah melatih United. Terlihat sekali Van Gaal terlalu mengandalkan staf Belanda-nya. Kita semua tahu, sepertinya Van Gaal mengulangi kesalahan yang sama ketika di Barcelona," lanjut mantan striker yang mencetak 11 gol dari 42 laganya di tim Oranje (1981-1993).

Dua hikmah dari opini Kieft, pertama, Van Gaal tidak terbiasa dengan reaksi dadakan, keputusan seketika melihat kemalangan Shaw. Kedua, ini lebih penting karena bikin makan hati kaum tradisionalis, kalau Van Gaal terus menyepelekan Giggs maka proses peralihan mustahil berjalan mulus. Jangankan Giggs, manajer mana pun yang yang jadi suksesor, pasti butuh waktu panjang lagi untuk memulai.

Bagi kalangan tradisional, sikap skeptis ini sama urgensinya melihat anomali rekor musim pertama Van Gaal di United yang terburuk selama kariernya. Hingga tulisan ini dibuat, kiprahnya di United berusia 436 hari. Dari 55 laga, rekornya cukup redup sebab cuma 31 kali menang, 12 kali seri, dan 12 kalah. Sementara selama 648 hari di Bayern, total 96 laganya menghasilkan rekor 59-18-19.

Hidup selama 1.054 hari di Barcelona jauh lebih mumpuni. Rekornya 72-24-36 dari 132 total laga. Bicara gol, penggemar United patut khawatir sebab rata-rata gol memasukkan hanya 1,69 sementara kemasukannya cukup tinggi, 0,96 atau hampir satu gol setiap partai. Bila dikomparasi, hasilnya bikin tertegun. Di Bayern rata-ratanya 2,23/1,02, sedangkan di Barcelona 2,04/1,36.

Konfirmasi Falsafah

Catatan ini memang tak membuktikan Van Gaal kelak akan gagal di United. Dia enggan mengandalkan data-data, kecuali pencarian proses yang sempurna yang menjadi drama permainan itu sendiri. Kesempurnaan kekuasaan permainan selalu jadi tujuan revolusi Van Gaal. Dia semakin obsesif lagi bila hal itu dapat konsisten di United. Kebetulan belum lama ini dia punya acuannya.

Usai mengalahkan Southampton 3-2, akhir September, ia segera mengklaim laga itu sebagai yang terbaik. "Saya selalu bilang pada pemain, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan pada pola defensif mereka. Hari ini saya sangat gembira, sebab hal itu bekerja dengan baik untuk mengkonfirmasi falsafah kami," ungkap LVG yang merasa seperti mengalahkan Ronald Koeman dalam permainan catur.

Pada duel antar manajer Belanda itu, demi memainkan tempo tinggi, seperti biasa Van Gaal memakai skema 4-2-3-1. Dia menaruh Rooney, sang menteri, di belakang Martial, sebagai pemeran nomor 10 yang kerap dilakoni Herrera. Sejajar dengan Rooney adalah sepasang kuda, Depay dan Juan Mata. Di belakang mereka ada dua pion penghambat di diri Morgan Schneiderlin dan Michael Carrick.

Matteo Darmian dan Rojo, yang mengisi pos Shaw, diplot Van Gaal sebagai benteng. Sementara dua pion pelindung di depan raja, tak lain Daley Blind dan Chris Smalling. Intisari laga ini adalah kelihaian Van Gaal melindungi Blind, titik terlemah incaran Koeman. Bagaimana caranya? Ia mematok dua benteng untung membendung dua sayap lawan, James Ward-Prowse dan Dusan Tadic.
Manchester United 2015/16: Revolusi Makan Hati
Perang taktik melawan pasukan Ronald Koeman menjadi harapan baru.
Pada 20 menit pertama, permainan milik tuan rumah. Ward-Prowse bertugas mengangkat bola ke jantung pertahanan, sedangkan Tadic lebih kongkrit lagi sebab sering menusuk sektor kanan pertahanan United. Jika Depay dan Mata alpa ikut membantu di lini sayap itu, alamat celaka karena Sadio Mane dan Graziano Pelle amat efektif melihat peluang yang paling kecil pun.

Gol pertama dari Pelle membuktikan teori permainan. Bermula dari umpan Mane dari tengah, bola dikebut Ward-Prowse lalu diumpan lagi ke depan gawang untuk dihantam Mane. David De Gea menangkis, namun bola melejit lagi ke Pelle yang segera menghujamkan bola ke gawang. Sejatinya, Smalling ditugaskan untuk menempel Pelle karena tinggi tubuhnya memungkinkan untuk itu.

Sedangkan keuletan Blind dirasa dapat mengimbangi kegesitan Mane. Andai Pelle dan Mane menukar posisinya dengan baik, ini yang paling dikuatirkan Van Gaal sebab bola-bola lambung ke Pelle pasti sulit dihadapi Blind yang tubuhnya lebih pendek. Umpan Ward-Prowse juga sangat berbahaya saat set-piece sehingga LVG menekankan jangan sampai bikin pelanggaran di sayap, atau sepak pojok.

Strategi yang satu ini cukup berhasil, kecuali di sektor kanan. Di sini Tadic keseringan mengeksploitasi Darmian, sehingga di babak kedua, LVG mengganti bek asal Italia itu dengan Antonio Valencia. Hal yang sama terjadi di Southampton ketika Matt Targett diganti Cuco Martina demi menyetop penetrasi Mata. Berkat kualitas skuadnya, keseimbangan permainan lebih dimiliki United.

Sementara itu karena timnya tidak memiliki kedalaman, Koeman kesulitan untuk memenangkan pertarungan. Dua kali keteledoran bek kanan Maya Yoshida, bahkan sekali blunder saat back-pass, membuat Koeman menderita kekalahan. Baik United dan Soton punya kelemahan di barisan beknya, namun United lebih beruntung sebab punya De Gea, dan lebih baik memanfaatkan kesalahan lawan.

Bagi pecinta berat United, melihat kemenangan di St Mary's mendekatkan ingatan mereka pada kejayaan lama di era Ferguson. Selalu tampil berani, antusias, dan cekatan melihat peluang. Anda mungkin baru sadar bahwa tidak ada bedanya di zaman Van Gaal. Rupanya revolusi baru yang menerjang United cuma terjadi pada konteksnya, bukan pada kontennya. Itu barangkali yang bikin makan hati.

(foto: mirror/thenational/haydensport)

Share:

Manchester United 2015/16 (2): Van Gaal Cuma Gagal Setunggal

Tanda seorang pelatih hebat dia berdampak signifikan di mana pun berada dan jelas, Louis Van Gaal adalah salah satunya. Kekuatan sejati orang ini, tak lain, keyakinan berskala 9,9 pada falsafah ball possession, personifikasi yang langsung mengidentifikasi seluk beluk sosoknya serta jadi identitas diri. Saking zakelijk-nya pada obsesi itu julukan otoriter sering singgah dalam hikayat manajerialnya.
Manchester United 2015/16: Van Gaal Cuma Gagal Setunggal
Jalan panjang dan berliku buat Louis van Gaal di Old Trafford.
Dokumentasi perseteruan dengan pemainnya tercatat dengan baik, plus kisah blak-blakan para korban kediktatorannya. Pihak yang anti-LVG bilang beliau punya karakter pemecah belah. Saking sulitnya mengamini beragam keputusannya, pendukung klub yang lagi dilatihnya suka terjebak pada situasi yang sulit ditebak atau disuguhi fluktuasi ketidakpastian.

Musim pertamanya di Manchester United dihiasi dengan hentakan sekaligus kegagalan. Orang bertanya-tanya, apakah Red Devils pantas menempati urutan 4 di klasemen akhir? Tanda tanya ini menyeruak mengingat di 2014/15 dia menjadi The King of Window Shopping di bursa transfer dengan total bon belanja 136,75 juta pound (143,40 juta euro), kini setara dengan Rp 3 trilyun, untuk belanja enam pemain plus satu freelancer termahal dalam sejarah sepak bola bernama Radamel Falcao.

Terus terang, ekspektasi yang berfluktuasi itu tak saja menghantui para loyalis yang sering meneriakkan yel-yel "GGMU", tapi juga harapan dan sikap pemainnya sendiri terhadap rezim King Louis di kerajaan Old Trafford. Di tangan Van Gaal hampir mustahil melihat United bermain free-flowing dan free-scoring seperti di era Alex Ferguson.

Di tangan Van Gaal pula kesan retro pepatah 'hujan 27 tahun dihapus kemarau setahun' sungguh terjadi. Harapan meraih lagi titel Premier League pun seperti tuntutan yang terlalu berat. Total gol menjadi isu strategis berikutnya pria kelahiran Amsterdam 8 Agustus 1951. Musim lalu United cuma mencetak 62 gol, berselisih 21 gol dari Manchester City, atau kalah 9 gol dari Arsenal.

Bahkan rekor LVG itu masih kalah 2 gol dari David Moyes/Ryan Giggs meski muncul aib bagi United melihat peringkat 7 di klasemen akhir 2013/14, posisi United terburuk sejak 25 tahun. Saat Ferguson mengakhiri legacy-nya di 2012/13, total golnya 86. Sejarah rekor gol Van Gaal memang membingungkan ketimbang membanggakan.

Saat meraih Deutscher Meister alias kampiun Bundesliga, di musim pertamanya dengan Bayern Muenchen pada 2009/10, dia cuma mencetak 72 gol. Di musim 2010/11 meroket menjadi 81 gol, namun Bayern justru terperosok di posisi tiga, situasi yang mengawali PHK dirinya pada 10 April 2011. Pendukung Bayern bingung, penerus Van Gaal linglung.

Saat ganti dipegang Jupp Heynckes, total gol malah turun lagi menjadi 77 walau meraih runner-up. Setelah bersih-bersih dari anasir permainan Van Gaal, barulah Heynckes sukses di musim keduanya ketika mencetak 98 gol dan jadi kampiun. Kemudian permainan mengalir ala Heynckes diteruskan Josep Guardiola untuk mencatat total 94 gol pada debutnya.

Satu catatan yang mengesalkan lagi, rezim Van Gaal bertendensi mengebiri produktivitas striker. Produktivitas Wayne Rooney langsung anjlok menjadi 12 gol begitu pria bernama asli Aloysius Paulus Maria van Gaal itu masuk. Hingga tulisan ini kelar, malahan Rooney belum sanggup mencetak sebiji gol di Premier League musim ini! Padahal di era Moyes dan Giggs saja, si Wazza masih meraup 17 gol.
Manchester United 2015/16: Van Gaal Cuma Gagal Setunggal
Louis van Gaal dan asistennya di Barcelona, Jose Mourinho.
Robin van Persie lebih mengenaskan. Musim pertama di Old Trafford dia bahkan jadi top skorer Premier League dengan 26 gol. Di rezim Moyes/Giggs, 12 gol. Eh, begitu Van Gaal masuk, yang notabene adalah pelatih yang disanjungnya di tim nasional Belanda, rekor gol RVP terjun bebas jadi 10 gol. Ditelisik lebih teliti, di era LVG produktivitas gol semua pemain United ikutan ambrol.

Statistik gol bukan sebagai ukuran dan perspektif falsafah Van Gaal. Simak saja komentarnya. Tak seperti Fergie yang selalu to the point, sederhana dan terangkum baik, maka Van Gaal lain lagi. Ia metodis, detil, tapi parsial. Misalnya: "Saya pikir kami lebih baik di babak pertama karena lebih banyak mengontrol, dengan 65% penguasaan. Di babak kedua turun 53% karena kami mulai lelah."

Terus terang, buat kaum #GGMU komentar seperti ini bikin sakit kepala. Telinga mereka sangat asing mendengar ucapan intelektual ala LVG karena benak mereka sudah puluhan tahun disetir dengan logika sederhana. Pendukung United biasa dimanjakan oleh jaminan, keyakinan dan bukti di lapangan. Mengendalikan permainan bukan sesuatu yang penting buat mereka kecuali menghabisinya.

Problem Backroom

Barangkali Van Gaal benar, sebab kalau mau menyalahkan tunjuklah Avram dan Joel Glazer. Masa lalu tak pernah mengkhianati masa depan. Van Gaal juga tak pernah mengkhianati komitmennya. Kecuali Ajax Amsterdam (1991-1997) dan AZ Alkmaar (2005-2009), tidak ada klub selain dari Belanda yang tahan dan kuat menerima Van Gaal plus falsafahnya lebih dari 3 tahun.

Namun uniknya warisan metodologis Van Gaal acapkali melahirkan konsep dan terobosan baru. Perjalanan tiki-taka di Barcelona memang buah karya Johan Cruyff dan sang murid, Pep Guardiola. Namun tanpa fondasi dan konsep Van Gaal, rasanya tiki-taka mustahil lahir. Tiki-taka itu aslinya memang menafikan harmonisasi.

Untuk itu Barcelona butuh penyesuaian di tangan Frank Rijkaard, salah satu murid terbaik Van Gaal selain Danny Blind dan Frank De Boer. Rijkaard mengawali dengan runner-up, menutupnya dengan dua kali titel La Liga, sekali Piala Super Spanyol dan Liga Champion. Heynckes juga begitu. Runner-up di awal lalu quadruple di Bundesliga, DFB Pokal, DFL-Super Cup dan Liga Champion.

Ketika pindah ke Bayern, Pep mencangkok konsep keseimbangan dari Van Gaal untuk mengimbangi permainan satu arah ala Barcelona. Pertahanan terbaik adalah menyerang ala Cruyff sudah tidak bisa dipertahankan lagi sebab setiap klub kini paham bagaimana cara menyerang. Tak ayal, falsafah Van Gaal telah menjadi salah satu basis terpenting sepak bola era modern.

Tanpa tiki-taka, Van Gaal sukses besar di Barcelona (1997-2000) terutama di dua musim perdana. Hubungannya dengan Cruyff memburuk sebab dia menutup kedua telinga begitu bapak moyang permainan Barcelona itu memberi masukan. Jangan lagi Anda, Anda atau Anda, seorang Cruyff saja siap dilindasnya. Salah satu korban dari totalitarianisme Van Gaal adalah Rivaldo, pemain terbaik dunia 1999.
Manchester United 2015/16: Van Gaal Cuma Gagal Setunggal
Louis van Gaal saat di Bayern Muenchen.
Pamor Rivaldo yang sedang jaya-jayanya itu tiba-tiba surut mengering begitu menolak main di kanan. Ia gagal mengadaptasi sifat, sikap, dan kemauan Van Gaal. Jadi elegi RVP atau Angel Di Maria bukan yang pertama. Danny Wellbeck, Shinji Kagawa, Wilfried Zaha, Patrice Evra, Darren Fletcher, Alexander Buttner bahkan lebih dulu jadi korban Van Gaal cuma dari pengamatan saja.

Setelah Van Persie atau Falcao, menyusul pula Tom Cleverley, Luis Nani, Jonny Evans, Angelo Henriquez, Rafael, Bebe, seterusnya. Sekarang pemain bagus seperti Victor Valdes, Adnan Janujaz, Tyrel Blackett, termasuk Rooney dan David De Gea mulai bernasib tiada menentu. Tampaknya hanya waktu saja yang kelak memastikan keberlangsungan mereka di United.

Di dalam lubuk hatinya, ini salah satu sikap positif, Van Gaal berkeyakinan bahwa orang Belanda adalah rektor sekaligus dosen terbaik di universitas bernama sepak bola. Usai Ferguson pensiun, eksistensi Republik Mancunia seolah limbung, hal yang wajar saat terjadi pergantian rezim. Tapi kelimbungan berubah jadi serius begitu Moyes masuk. Apakah di era LVG status itu kini menuju titik kritis?

Rasanya mustahil, dan jangan. Kurang bijaksana rasanya memvonis Van Gaal baru satu musim. Bicara ke depan, stabilitas United dan eksistensi Van Gaal masih dibutuhkan meski dialah pemutus mata rantai yang jadi aib besar karena menodai prinsip selama 75 tahun. Kini tiada lagi pemain asli United (home grown) di setiap laga setelah Patrick McNair (20) dan James Wilson (19) masuk daftar tunggu.

Cangkang United boleh jadi tak berubah banyak. Mereka tetap sangar di atas lapangan. Namun tentu orang tidak tahu situasi di dalam, backroom. Kalau dulu suasana kamar ganti didasari ketakutan kini kebingungan. Padahal selama hampir tiga dekade, dapur pacu terbaik United dimulai dari sana. Di bawah logika kejam seperti ini, alhasil penggemar United diminta berdamai dengan kompromi.

Pendek kata, ambil saja positif dan hikmahnya. Optimis ini harus dipelihara, mengingat efisiensi organisasi bentukan Van Gaal selalu jadi pembuka cakrawala kejayaan klub-klub besar. Ajax, Barca, Bayern dan United, semoga. "Saya sudah janji pada istri. Kami tak punya waktu bersama lagi," kata Van Gaal ketika ditanya Vinny O'Connor dari Sky Sports News.

Ya pria 64 tahun itu akan pensiun total dari dunia permainan terindah ketika kontraknya di United kadaluarsa pada 30 Juni 2017. Penggantinya, Pep atau Giggs, bukan isu yang vital sekarang ini. Dua musim tersisa harus dimanfaatkan optimal. Berkaca dari CV-nya, Van Gaal tak pernah tanpa titel juara. Tapi, semoga United tidak seperti tim nasional Belanda, satu-satunya tempat kegagalan total Van Gaal alias nirprestasi sama sekali. 

(foto: skysport/marcamedia/haydensport)

Share:

Manchester United 2015/16 (3-habis): Suksesi 2017, Guardiola, Giggs, Atau...

Riwayat Meneer van Gaal di Old Trafford dinilai plus-minus banyak pihak. Tanggal 30 Juni 2017 akan tercatat sebagai waktu penting sebab isu suksesi bakal menerpa tubuh Manchester United lagi. Jangan lagi Anda yang terus meraba-raba siapa suksesor Van Gaal, sang pemilik beserta deretan direktur pun sampai kini masih terus bermain tebak-tebakan buah manggis.
Manchester United 2015/16: Suksesi 2017, Guardiola, Giggs, Atau...
Ryan Giggs paling pantas tapi kurang ilmu dan pengalaman.
Ada yang menginginkan Josep Guardiola, ada pula yang pro Ryan Giggs bahkan Jose Mourinho. Jika Guardiola, maka isu obyektif lebih mendominasi akal sehat. Tapi memilih Giggs juga diyakini sebagai lahannya kedaulatan tradisional yang sudah ratusan tahun jadi ciri khas, dan kini katanya masuk taraf berbahaya. Untuk klub bergaya aristokrat khas Britania hal ini pantas-pantas saja diterima.

Real Madrid mencerminkan Spanyol. Barcelona adalah identitas Catalunya. Bayern Muenchen bercita rasa Jerman. Ajax adalah Belanda. Juventus adalah Italia. Barca dan Bayern pernah 'menendang pantat' Van Gaal karena beliau ingin mengubah warna, bau, dan rasa serta kultur asli mereka. Alangkah wajar jika ada sikap militansi serupa di tubuh Manchester United. Kemana gaya asli Red Devils warisan SAF?

Boleh jadi terlalu paranoid bila menyama-ratakan hal-hal yang seharusnya memang terjadi di era modern. Sejak dulu Barca atau Bayern addicted dengan manajer dan manajemen asing. Oke, itu memang sulit disangkal, kecuali mungkin pada seseorang yang bernama Van Gaal. Dicermati secara mendalam memang ada benarnya. Baik sejarahnya maupun fakta yang kini terjadi di United.

Belum lama ini Sir Alex Ferguson malah bikin teori baru. Katanya, Van Gaal berusaha menjadi manajer di Old Trafford selama mungkin. Tak heran bila beliau belakangan ini gencar berkampanye menggadang-gadang nama Giggs sebagai orang yang paling tepat jadi pengganti Van Gaal mulai Juli 2017. "Saya pikir Ryan punya kualitas segalanya menjadi manajer fantastis," kata Sir Alex mulai berteori.
Manchester United 2015/16: Suksesi 2017, Guardiola, Giggs, Atau...
Tiga didikan Louis van Gaal di Barca; Luis Enrique, Jose Mourinho, dan Josep Guardiola.
Ferguson mengaku kampanyenya bukan berdasarkan ilusi tapi ada dasarnya yang cukup merisaukan. Isu mulai bertebaran Giggs akan hengkang dari United bila Guardiola atau siapa pun dia, resmi menggantikan Van Gaal. "Dia tak punya pengalaman jika melatih klub lain. Sekarang dia sedang menimba pengalaman dengan Louis van Gaal," kata sang maestro. Suksesi bakal menjadi agenda sengit antara stakehoder dan shareholder. Isunya adalah mereka butuh legacy untuk mempertahankan identitasnya.

Maka dari itu Fergie tidak pernah mau atau berpikir Giggs akan hengkang dari United, sebab sejarahnya terlalu indah untuk dikesampingkan. "Dia juga pernah bersama David Moyes dan bekerja dengan saya sebagai pemain," sambungnya.

Tersisa 17 bulan lagi, hingga kini belum ada indikasi Van Gaal akan merilis kabar resmi memperpanjang kontraknya atau tidak. Yang pasti, pada Maret 2015 dia sudah mengutarakan ke khalayak ramai akan mengakhiri petualangannya di sepak bola, pensiun di Old Trafford. Alasannya adalah ingin punya waktu bersama dengan keluarganya - dengan Truus, istri keduanya yang dinikahinya pada 2008, juga dengan cucu, anak, menantu, serta mertua.

Tapi insting Fergie berkata lain lagi. "Louis bilang dia akan pensiun pada 2017, maaf, saya meragukannya," kata si opung. Lho, kenapa? "Sekali Anda digigit 'kutu' di United, maka sangat sulit untuk meninggalkan Old Trafford." Kutu apaan? Apakah Anda bisa memaknai ucapan si opung? Ah, lebih baik nantikan saja tepat tidaknya naluri Ferguson yang biasanya sih banyak benarnya. 

(foto: mirror/thenational/twitter)

Share:

Juventus 2015/16 (3-habis): Evolusi Kelamaan! Revolusi?

Badai cedera yang mengganggu stok tim, plus lemah dalam aktivitas mercato, membuat La Gazzetta dello Sport skeptis Juventus bisa memperpanjang gelarnya. Terlalu banyak rintangan dan konsekuensi, tulis harian asal kota Milano beroplah 400.000 eksemplar sehari itu. Koran olah raga sejak 1896 bertanya siapa pasangan Bonucci bila Chiellini absen? Daniele Rugani atau Martin Caceres? Apakah Juve kembali dengan skema tiga bek? Saat jumpa pers Allegri (48) jarang memberi jawaban memuaskan. 
Juventus 2015/16: Evolusi Kelamaan! Revolusi?
Massimiliano Allegri dan Giuseppe Marotta, direkur transfer Juventus.
Karakternya yang dominan, intuitif, kreatif, tekun tapi juga cemas, posesif dan keras kepala kerap terlihat. Di wajahnya tak pernah ada perasaan santai dan lepas. Apakah itu gara-gara selama empat tahun dia 'ditempa' Silvio Berlusconi (78 tahun)? Beruntung di Juve Andrea Agnelli itu delapan tahun di bawahnya. Kalau dulu dia menghadapi ayah, sekarang hanya melayani seorang adik.

Apapun, dengan jalan berbeda keduanya telah memberi sukses. Namun sepak bola selalu soal laga berikut dan berikut. Tiada enerji besar selain persiapan. Tekanan mempertahankan gelar jauh lebih berat dari ingin merebutnya. Sorotan strategi dimulai dari bengkel serangan: lini tengah. Pertama, para Juventini berdoa agar Allegri menaruh Pogba ketimbang Pereyra sebagai fantasista. Dalam ujicoba, Pereyra diplot sebagai tokoh protagonis dalam skema 4-3-1-2.

Saat giliran Pogba pada ujicoba melawan Marseille, tampak determinasinya lebih mencuat. Semangatnya 'berkelahi' boleh. Kontrol wilayah serta kontribusinya pada serangan juga hidup dan variatif. Pogba sering mendengar aplaus penonton yang semoga kian membuatnya percaya diri. Kedua, posisi Khedira sebaiknya diberikan kepada Stefano Sturaro, 22 tahun. Gelandang didikan Genoa ini bermain ciamik saat melibas Real Madrid di semifinal Liga Champion kemarin.

Tak ada yang memungkiri lini tengah Juve akan bergairah jika Khedira fit. Dia jenis pemain taktik, enerjik dan atletis. Bernafas kuda dan bertipe prajurit, namun insting mencetak gol lelaki berdarah Tunisia ini masih di bawah Vidal. Khedira cukup cerdas dan cepat menyatu dengan tim namun lemah memahami lawan. Ia pandai menjalani ritme permainan dan sanggup merebut bola. Sampai di sini, sungguh, ketika sudah pulih, Khedira memang pengganti Vidal yang ideal.

Dengan dukungan Marchisio sebagai regista, Sturaro, dan Kwadwo Asamoah jika fit, media massa meramalkan grup ini sebagai penopang duet Mario Mandzukic dan Alvaro Morata /Paulo DybalaLalu kritikan bertebaran. Siapa Pereyra, Coman, atau Sturaro? Peranan Pogba pun dipertanyakan sebab dia gelandang murni. Cedera Khedira bikin kisruh keadaan.

Apakah mereka menang bertarung melawan trio maut Roma: Radja Nainggolan, Daniele De Rossi, dan Miralem Pjanic? Juga trio Inter Geoffrey Kondogbia-Marcelo Brozovic-Hernanes? Untuk melakoni peran 'halus' di depan trio Khedira-Marchisio-Pogba, Juve disarankan merekrut Alex Witsel (Zenit) atau Julian Draxler (Schalke), yang sesuai kemampuan bujetnya, daripada keterusan mengkhayalkan Mesut Oezil, Mario Goetze, Christian Eriksen, Oscar dan Isco.

Kecocokan Chemistry

Juventus 2015/16: Evolusi Kelamaan! Revolusi?Merekrut mereka lebih baik ketimbang mengambil Juan Cuadrado atau Willian yang sontak buram nasibnya setelah Pedro Rodriguez tiba di Chelsea. Pasalnya jika Allegri ngotot, Juve mesti dengan format 4-3-3. "Ya, bisa saja ubah sistem," cetus Allegri yang didukung La Stampa. "Daripada kelamaan menanti evolusi para spesies, lebih baik buat satu revolusi singkat," tulis koran yang jadi corong Juve itu lantaran sama-sama dimiliki klan Agnelli. Mendatangkan Mario Mandzukic terbilang cerdas, terutama melihat Robert Lewandowski, Edinson Cavani, apalagi Karim Benzema sulit dijangkau harganya. 

Kecuali Juve mau kehilangan Pogba sebagai alat barter. Striker Kroasia ini langsung memahami taktik Allegri, terutama kapan waktu untuk menembak atau membuka ruang. Semangat berkorban Mandzukic paling menonjol, dan ini amat berguna tatkala gelandang lain dan para penyerang muda berebutan mau bikin gol.

Pelapis Mandzukic adalah Simone Zaza yang juga ahli posisi dan punya reputasi lokal. Sayang performa Morata masih di bawah rata-rata. Ia dikenal telat panas. Jika terus begitu Morata bisa kehilangan jabatan sebab Dybala kian eksplosif dan bergairah. Meski belum berdampak signifikan, karena keseringan bermain dengan pola 3-5-1-1 di Palermo, ambisi pemain dengan termahal di Serie A musim ini (32 juta euro) oke banget dan cuma butuh waktu beradaptasi.

Terus terang enam posisi untuk enam pemain inilah yang masih mengusik pikiran Allegri, dan mungkin juga para Juventini di seluruh dunia. Bukan soal kualitas atau kuantitas, tapi lebih kepada bagaimana menemukan chemistry yang cocok. Untuk lima posisi pertama ini, 99 persen tampaknya diperuntukan untuk golongan mapan, barisan old-crack, usia 30-an, yang dalam konsep sepak bola Italia lagi matang-matangnya sebagai pesepak bola.

Di jantung pertahanan idealisme tentu ada di duet Chiellini (31) dan Leonardo Bonucci (28). Namun jika satu atau keduanya cedera, jadi seru. Pertama, Andrea Barzagli yang biang cedera.  Maklum dia veteran juga, 34 tahun. Pilihan berikut Martin Caceres (28), bek Uruguay yang hanya 10 kali tampil di Serie A musim lalu.

Juventus 2015/16: Evolusi Kelamaan! Revolusi?Nama terakhir, Daniele Rugani (21), paling hot-issue karena punya prospek terbaik. Rugani 'dicolong' buru-buru dari Empoli sebelum dibawa pelatihnya, Maurizio Sarri, ke Napoli. Di kiri, Patrice Evra (34) punya suksesor pada diri Alex Sandro (24). Di kanan, Mauricio Isla (27) telah dipanggil pulang dari QPR untuk mem-back-up Stephan Lichtsteiner (31). Saat ujicoba, Isla kedodoran menerusi standar Lichtsteiner. Ini satu catatan penting lagi buat Allegri. Sedangkan untuk sektor kiper Allegri tanpa problem kecuali Gigi Buffon tak dalam kondisi sehat. 

Juventus pun tak perlu keluar uang untuk menarik lagi seorang calon 'pengangguran' yang bertugas jadi cadangan si Numero Uno. Setelah Rubinho (33), datang lagi kiper Brasil yakni Neto (26) yang didapat gratis dari Fiorentina. Dengan 25 pemain utamanya, perjalanan The Old Lady untuk mengarungi Serie A, Coppa Italia dan Liga Champion musim ini sudah dimulai.

Skuad Utama Juventus 2015/16

Nama
Negara
Posisi
Lahir
Join
Kontrak
Klub Asal
Beli
1  Gianluigi Buffon
Italia   
GK     
28.01.78 (37)
2001
2017   
Parma
45  
25 Neto
Brasil
GK     
19.07.89 (26)
2015
2019   
Fiorentina
0   
34 Rubinho
Brasil
GK     
04.08.82 (33)
2012
2016   
Palermo
0   
2  Mauricio Isla
Chile    
RB/RM  
12.06.88 (27)
2012
2017   
Udinese
14  
3  Giorgio Chiellini**  
Italia   
CB/LB  
14.08.84 (31)
2005
2018   
Fiorentinn
7.4 
4  Martin Caceres
Uruguay  
CB/RB  
07.04.87 (28)
2012
2018   
Sevilla
8   
15 Andrea Barzagli
Italia   
CB     
08.05.81 (34)
2011
2016   
Wolfsburg
0.3 
18 Alex Sandro
Brasil   
LB     
26.01.91 (24)
2015
2020   
Porto
26  
19 Leonardo Bonucci
Italia   
CB     
01.05.87 (28)
2010
2019   
Bari
15.5
24 Daniele Rugani
Italia   
CB     
29.07.94 (21)
2015
2019   
Empoli
3.5 
26 Stephan Lichtsteiner
Swiss
RB/RW
16.01.84 (31)
2011
2017   
Lazio
10  
33 Patrice Evra
Prancis  
LB     
15.05.81 (34)
2014
2016   
Manchester United
1.6 
6  Sami Khedira
Jerman   
DM/CM  
04.04.87 (28)
2015
2019   
Real Madrid   
0
8  Claudio Marchisio
Italia   
CM/AM  
19.01.86 (29)
2006
2020   
Juventus
0   
10 Paul Pogba
Prancis  
DM/CM  
15.03.93 (22)
2012
2019    
Manchester United
0   
20 Simone Padoin
Italia   
RM/CM  
18.03.84 (31)
2012
2016   
Atalanta
4.5 
22 Kwadwo Asamoah
Ghana    
CM/LM  
09.12.88 (26)
2012
2018   
Udinese
18  
27 Stefano Sturaro
Italia   
DM/CM  
09.03.93 (22)
2014
2019   
Genoa
5.5 
37 Roberto Pereyra
Argentina
AM/LW  
07.01.91 (24)
2014
2019   
Udinese
14  
7  Simone Zaza
Italia   
ST/CF  
25.06.91 (24)
2015
2020   
Sassuolo
18  
9  Alvaro Morata
Spanyol  
ST/CF  
23.12.92 (22)
2014
2019   
Real Madrid  
20
11 Kingsley Coman
Prancis  
AM/CF  
13.06.96 (19)
2014
2019   
Paris Saint-Germain
0   
14 Fernando Llorente
Spanyol  
ST/CF  
26.02.85 (30)
2013
2017    
Athletic Bilbao
0   
17 Mario Mandzukic
Kroasia  
ST/CF  
21.05.86 (29)
2015
2019   
Atletico Madrid
19  
21 Paulo Dybala
Argentina
ST/CF  
15.11.93 (21)
2015
2020
Palermo   
32











Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini