Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan

Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku

Kejayaan sepak bola terkadang dibatasi waktu. Dominasi Barcelona dan Manchester United di pentas Eropa sekarang ini adalah sebuah rangkaian panjang proses evolusi Liga Champion. Berawal dari impian, ambisi, kemauan. Dijalankan oleh kerja keras dan pemikiran. Butuh pengorbanan, mengatasi risiko, enerji, serta biaya yang besar. Itulah, mengapa, kedua klub tersebut menjadi calon serius untuk memenangkan titel Eropa musim 2011/12.
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Sir Alex Ferguson dan Pep Guardiola. Hidup adalah belajar.
Pada 18 Mei 1960, seorang perjaka berbaur di antara 135.000 pasang mata yang menjejali Hampden Park, stadion nasional yang jadi markas tim lokal Queen's Park. Bujangan 19 tahun ini asli anak Glasgow, dan striker binaan salah satu klub di ibukota Skotlandia itu selain Celtic dan Rangers. Apa yang dia lihat sangat mempesonakan, inspiratif, lalu membenam jauh dalam sel-sel otaknya: final Liga Champion 1959/60.

Real Madrid, mahaklub Eropa di era itu, dengan teganya menguliti klub Jerman Barat, Eintracht Frankfurt, lewat skor 7-3. Madrid juara Eropa untuk kelima kali secara beruntun. Pemuda santun ini jadi saksi sebuah dominasi. Dia, Alexander Chapman Ferguson, menikmati laga final penuh magis, revolusioner sekaligus misterius, lantaran menjadi persembahan trofi terakhir Madrid di dekade itu.

Tiga rekannya lain: Andy Roxburgh, Billy Bremner, dan Jimmy Johnstone juga hadir di Hampden Park. Jelang 1960, Skotlandia lumayan menguasai lalu lintas antarklub di benua biru. Pada akhirnya cuma ada satu klub di mana borjuisme, hedonisme berpadu yang pantas merampas impian indah: Los Blancos. Spanyol adalah kendala nomor satu Skotlandia untuk meraih prestasi puncak.

Ferguson masih ingat sepak bola negerinya runtuh karena arogan. Sebelum berangkat ke Jerman untuk memulai laga semifinal pertama, manajer Glasgow Rangers, Scot Symon, terprovokasi liputan media-massa Britania. Eintracht? Siapa mereka? Buat orang-orang Skotlandia, prestasi klub Jerman selalu dianggap kebetulan. Rangers dan Symon jelas pongah.

Ia menyuruh timnya agar tak usah mencoba lapangan sebab itu akan dilakukan nanti saat berlaga. Buang-buang waktu saja. Lalu dampaknya, mereka dilumat Eintracht 1-6. Pada semifinal di Ibrox, spirit tidak bisa mendongkrak keadaan. Rangers kembali dicukur 3-6. Total agregat golnya 12-4, bayangkan! Sejak itu paradigma di tanah Halloween tersebut berubah.

Ferguson, Roxburgh, Bremner, dan Johnstone sulit untuk tak mengidolakan si jenius Hongaria, Ferenc Puskas, atau Alfredo Di Stefano. Di Inggris, George Best, Jimmy Greaves, dan Bobby Charlton langsung menyatakan diri jadi partisannya. Kemenangan Real Madrid 7-3 - di mana Puskas bikin empat gol, dan Di Stefano tiga gol - membuat Don Revie mengubah sejarah Leeds United selamanya.
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Trio maut Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, dan Francisco Gento.
Meski diprotes, manajer Leeds ini sukses mengubah kostum Leeds jadi putih-putih. Demi membuka belenggu sepak bola Britania yang terkucil, Matt Busby (Manchester United) juga mengajak Jock Stein (Celtic) dan Willie Waddell (Rangers). Caranya adalah dengan mempelajari gaya main Eropa secara serius. Pada 1965, Stein bertanya pada kapten Nerazzurri, Giacinto Facchetti, soal konsep catenaccio racikan Helenio Herrera. Dua tahun kemudian, Stein sukses membawa Celtic sebagai klub Britania pertama yang menjadi kampiun Eropa usai mengalahkan Internazionale Milano.

Dalam final 1967 di Lisbon, Celtic mengatasi Inter yang bergaya kosmopolitan, berteknik canggih, dan glamor di mana para laskarnya beraksi laksana aktor Cesare Romero potongan rambut sleek-backed dan senyum Colgate. Media massa di Britania menjuluki Celtic dengan Lisbon Lions lantaran melakukan 42 kali shoot on target ke gawang Giuliano Sarti!

Murni, inilah sepak bola inventif, sergah Stein yang lagak lagunya dan pola pikirnya langsung mengilhami Ferguson muda pada waktu itu. Apa rahasia kehebatan Stein saat itu? Sebelum berlaga di final, dia mewajibkan pasukannya untuk menonton rekaman final 18 Mei 1960 di Hampden Park. Tujuannya agar kepercayaan diri pemain Celtic berkobar-kobar.

Scotch Whisky
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Real Madrid, superklub di Eropa era 1960-an.
Gaya magis duet maut Puskas-Di Stefano juga menginspirasi dua bocah Belanda berusia 14 tahun, Barrie Hulshoff dan Gerrie Muhren. Satu dekade kemudian, mereka membawa Ajax Amsterdam mendominasi titel tiga tahun berturut-turut. 
Saat bertemu Madrid di Bernabeu, Muhren beratraksi meng-juggling lalu meliak-liuk separo lapangan usai dapat umpan. Di semifinal kedua Ajax menang 1-0 dari gol emas Muhren. 

"Bermain melawan Madrid selalu jadi impian saya," akunya dalam buku Brilliant Orange karya David Winner. Namun representasi gaya Amsterdammers sejati adalah Hendrik Johannes Cruijff. Permainan cepat, seksi, dan menawan seperti potongan rambut dan tubuhnya kelak akan mengubah permainan di Spanyol.

Bersama Johan Neeskens dan majikannya, Rinus Michels, Cruijff mendirikan akademi sepak bola La Masia. Di kemudian hari, Cruijff dan Neeskens memandu El Barca menerapkan gaya tik-tak, passing akurat, interaksi, pergerakan cepat yang berbasis pada teknik individu. Dengan rute yang berputar, gaya kolektivitas ala Puskas-Di Stefano 'dipindahkan' orang-orang Belanda ke Barcelona.

Arrigo Sacchi coba mengadaptasi gaya Madrid 60 saat menukangi Milan di akhir 1980-an tapi dengan metode L'uomo contro uomo, satu lawan satu. Ia pecandu permainan Honved (klub asal Puskas), Madrid, Brasil, dan Belanda. "Olanda 1970-an sangat menggugah emosi. TV terlalu kecil. Saya butuh melihat seluruh lapangan untuk memahami permainan mereka," sergah Sacchi tanpa tedeng aling-aling.

Dua dekade kemudian, Sacchi sungguhan merealisasikan hasratnya. Bergerak, menekan, dan keyakinan jadi kuncinya. Jangan lupa, menang saja tak cukup tapi harus menghibur, kilahnya. Salah satu anak asuhnya di Rossoneri adalah Frank Rijkaard, yang lama ditempa di Ajax. Transformasi permainan kontemporer pada poros Madrid- Ajax-Milan berakhir saat Rijkaard menggarap Barcelona.

Tokoh di belakang layar yang mengatur itu tiada lain, Johan Cruijff, yang ngotot merekomendasikan Rijkaard mengingat curriculum vitae yang hebat di Milan. Pada diri Rijkaard terdapat seni bertahan khas Italia. Di Barca, dia memerankan posisi menteri dalam catur yang dulu dimainkan Cruijff. Dengan begitu Rijkaard bisa mempromosikan bidak-bidak Barca, yang terunggul adalah Josep Guardiola.

Sejak belia Pep kebetulan sudah khatam menyaksikan tayangan final Hampden Park 1960 sehingga memahami betul irama orkestra trio Ferenc Puskas-Alfredo Di Stefano-Francisco Gento. Pep punya kelebihan lain yang sulit ditiru teknokrat muda sepak bola. Ia senang belajar dan cari pengalaman hingga ke ujung dunia. Roma, Brescia, Doha, bahkan ke Culliacan di Meksiko. Jadi berbahagialah Barca!

Kini kita kembali dulu ke cerita semula. Seorang Briton yang memang istimewa, salah satu yang jadi saksi hidup final 1960: Alex Ferguson. Masuk di milenium baru, tiba-tiba gejolak dan hasrat membabi-buta makin menggodanya. Fergie masih mengingat segalanya, Real Madrid dan duet Puskas-Di Stefano, dengan baik. Dan itu harus segera dilaksanakan mumpung masih ada umur.
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Final Liga Champion 1960 yang ditonton Alex Ferguson muda.
Pemaknaannya tentang Real Madrid 1960 mesti dilakoni di Manchester United. Modalnya adalah skuad berteknik tinggi, kuat, dan cepat yang turunannya bisa digambarkan sebagai berikut: bek tanpa pandang bulu, gelandang yang jeli dan lihai membaca permainan, serta penyerang yang punya insting predator. Fergie selalu terobsesi dengan Puskas, dan itu harus didapatkannya.

Momentum dimulai dengan diciduknya Eric Cantona dari Leeds United. Nyaris saja dia merekrut Guardiola. Bahkan sempat terpikir Paul Gascoigne. Namun yang dibeli justru Juan Veron. Kegagalan adalah pintu menuju kesuksesan. Di tengah melakoni pertempuran demi pertempuran di Premier League, dia selalu menyimpan baik-baik obsesinya.

Saat akhirnya Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, dan Dimitar Berbatov diusung sebagai three muskeeters di Old Trafford, para ahli taktik memahami tujuan dan determinasi Ferguson pada konsep teknik, imajinasi dan penyerangan frontal. Mereka juga semakin manggut-manggut saat muncul isu Carlos Tevez yang bakal menggenapi fantastic four di pentas atraksi era modern.

Inilah realiasi kuartet Puskas-Di Stefano-Gento-Raymond Kopra versi Fergie! Tanpa disadari, dia mendahului Guardiola, Rijkaard, bahkan Cruijff soal konsep penyerang modern. Selain jam terbang dan pengalaman yang menjadi kata kunci suksesnya, pengidolaan Ferguson pada Stein juga amat berarti. Berkat advis sang mentornya itu, Ferguson bisa bikin bukti lebih dulu.

Boxers vs Sluggers

Di 1983, dia merebut titel Eropa pertamanya di Piala Winner bersama Aberdeen. Siapa yang dilibas amat menyentak: Real Madrid asuhan Ferenc Puskas! Apa Anda tak ingin acungkan botol Scotch whisky kepadanya andai The White Arrow yang menang?" ucap Stein pada Fergie sebelum final. Sejarah mencatat, Fergie tetap memberi Puskas sebotol wiski yang menerimanya dengan wajah bingung.

Pada 15 Mei 1991 di Rotterdam, giliran Ferguson dan United mengalahkan Cruijff dan Barca 2-1 pada final Piala Winner 1990/91. Lalu tiga tahun kemudian, Cruijff membalasnya dengan tega, menang 4-0 pada putaran Grup A Liga Champion di Camp Nou. Pada 28 April 2008 di Old Trafford, Rijkaard dan Azulgrana ganti dibekap 0-1, sehingga urung ke final sebab sepekan sebelumnya dibendung 0-0.

Sampai berhenti jadi pelatih, Rijkaard tak pernah mengalahkan Fergie. Namun era berubah, karena itulah rupanya kemenangan terakhir Red Devils atas Barca. Seperti kehilangan akal, di depan Guardiola, Ferguson selalu takluk. Dua final di tiga musim terakhir, Guardiola memenangkan seluruh duelnya. 2-0 pada final 2009 dan 3-1 di final 2011.

Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Manchester United dirobek-robek Barcelona pada 2009.
Di Olimpico 2009, kekalahan disebabkan kesalahan taktik sebab United memilih pola bertahan dan cuma ingin serangan balik. Tak diduga Fergie menyimpan Berbatov dan Ronaldo jadi striker tunggal. Lantas di Wembley 2011 Fergie tidak punya dalih lagi kecuali mengakui kehebatan Lionel Messi dan gaya Barca yang akarnya diilhami dari sebuah laga yang disaksikannya 51 tahun lalu, setengah abad lebih! 

Bagaimana Fergie menyiapkan diri andai kata di final 2012 bertemu Guardiola lagi, tampaknya patut dicermati baik-baik. Berharaplah United dan Barca sama-sama lancar jaya di putaran grup sesuai skenario sehingga tak lahir perjumpaan aneh-aneh di awal. Bukan di semifinal, apalagi final. setuju atau tidak, faktanya kedua klub itulah yang kini tengah mendominasi kejuaraan.

Liga Champion selalu melahirkan dominasi permainan, seperti yang ditunjukkan Real Madrid pada akhir 50-an dan 60-an, Ajax dan Bayern Muenchen di 70-an, atau Liverpool dan Milan pada 1980-an. Di lima musim terakhir Liga Champion, Barca dan United berhasil menembus empat kali semifinal. Barca dua kali juara, sementara United sekali.

"Barcelona (asuhan Pep) adalah tim terberat dan terhebat yang pernah saya temui," begitu kata Sir Alex usai disikat 1-3 pada final terakhirnya, Mei 2011. Tapi jangan salah, bagi Ferguson kalah tentu berbeda dengan menyerah. Dan rasanya dia belum, atau bahkan tak akan pernah menyerah! Jika bertemu lagi di final 2012, maka bisa jadi duel Barca vs United kian lama akan kian klasik dikenang.

Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Berani mengakui kalah ilmu dari Pep Guardiola.
Barangkali seperti Muhammad Ali vs Joe Frazier, atau Evander Holyfield vs Mike Tyson di tinju. Barca yang bertipe boxers adalah Ali atau Holyfield, United yang berciri fighters atau sluggers itu seperti Frazier atau Tyson. Guardiola dan Fergie sama-sama diilhami oleh kesemarakan permainan trio Puskas-Di Stefano-Gento yang menjadi kunci kejayaan Madrid di era awal Liga Champion Eropa.

Keduanya tahu betul apa yang harus dilakukan. Dengan penguasaan bola rata-rata 62% melawan tim manapun, poros Xavi-Iniesta-Messi akan berkuasa dan United akan kesulitan menahan dominasi itu. Tapi bukan berarti Barcelona boleh merasa tenang. Sirene tanda bahaya langsung berbunyi bila bola jatuh di kaki Rooney atau Nani, lalu Javier Hernandez lepas dari pengawasan.

Ketiganya amat ditakuti Barca lantaran kelebihan skill dan imajinasi, juga kecepatannya. Final 2009 dan 2011 kita lihat bagaimana Barcelona tanpa basa-basi selalu menyerang, menekan, dan menyerang. Sementara Manchester United menunggu, menunggu, menyerang (balik), dan menunggu. Tiada yang berubah dari itu? Bisa jadi. Namun sekali lagi, Ferguson bukan orang yang pantang menyerah.

Dengan sisa waktu dan rembetan usianya, Ferguson pasti berusaha mati-matian merebut titel ketiganya di Liga Champion, bahkan membidik yang keempat, sehingga Manchester United bisa menyamai rekor rivalnya Liverpool, lima kali juara. Pada akhirnya, halangan terbesar impian Ferguson adalah Guardiola, pemain yang nyaris direkrutnya pada 2001 ke Old Trafford.

Barca rezim Guardiola sedang menemukan kejayaannya, bahkan melebihi apa yang dicapai Rijkaard dan Cruijff. Barangkali skenario untuk final 2012 terlalu cepat dikemukakan mengingat tidak ada kepastian dalam sepak bola. Akan tetapi sepak bola juga menganut bentuk kemungkinan. Mungkinkah Guardiola bertemu lagi dengan Ferguson pada final Muenchen pada 19 Mei 2012?

(foto: kickoff/theguardian/ibtimes/uefa/thesun)

Share:

Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...

Tenang, santun dan bersahabat. Itulah kesan mendalam padanya. Minggu pagi, 9 Juni 1996, merupakan saat yang tak terlupakan. Di British Internasional School (BIS), Pondok Aren, Bintaro, saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris, Sir Alan Ball. Saya turut sedih tatkala mendengar beliau meninggal dunia pada Rabu, 25 April 2007.

Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...Memori 11 tahun lalu pun langsung terkuak. Saya sulit melupakan Alan pada sikap humanisnya. Dia amat mencintai keluarga, family-man. Malah kehadirannya di Jakarta saat itu lebih dimotivasi oleh kecintaannya pada anak-anak. Padahal di negerinya sedang berlangsung Euro '96. Dia bisa saja menerima tawaran di TV sebagai komentator atau pengamat. Dia menampik semuanya. "Anak-anak adalah faktor penting di sepak bola. Saya amat antusias datang ke sini karena akan melatih anak-anak," ucapnya pada saya saat itu. Seperti kata pepatah; harimau mati menyisakan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitupun Alan Ball. Jasanya akan terus dikenang abadi oleh Blackpool, Everton, Arsenal, Southampton, Portsmouth, Bristol Rovers dan tentu rakyat Britania. 

Saat berada di lapangan hijau, kebanggaan pada klub dan negara melebihi pada uang, di mana sepak bola masih menjadi permainan rakyat ketimbang permainan pebisnis. Seumur hidupnya, Alan Ball tak pernah berada dalam comfort zone. Hidup dan kariernya berasal dari spirit membara, patriotisme. Untuk tahu siapa Alan Ball, orang harus membuka album Piala Dunia, partai final 41 tahun silam, atau tanyakan pada Geoffrey Hurst dan Martin Peters, dua orang yang menjadi legenda nasional berkat jasa Ball.

London, Sabtu, 30 Juli 1966. Sejumlah 96.924 orang di Wembley mulai putus asa saat pertandingan melewati menit ke-75. Jerman Barat tetap tangguh, di kala 'tim tua' Inggris mulai dilanda kelelahan. Satu-satunya asa mereka datang dari pemain terkecil, termuda, bernomor punggung 7 dan beroperasi di sayap kanan. Dialah Alan Ball.

Ball berlari tak kenal lelah, berusaha menerobos area yang dikawal Karl-Heinz Schnellinger. Di satu momen, ia memenangi corner-winning dari bek AC Milan itu. Sepak pojok diambil Ball, dan ia mengirim bola pada Hurst yang kurang terjaga. Tembakan Hurst diblok, bola mental dan jatuh di kaki Peters yang meneruskannya ke gawang Hans Tilkowski. 2-1.

Namun di injury-time, Wolfgang Weber menambah nafas Jerman. 2-2, lalu perpanjangan waktu. Inggris urung jadi juara. Menit 111, Ball kembali lolos dari hadangan Hoettges lalu segera mengirim umpan yang disambar Hunt, membentur mistar atas gawang dan tak dapat dijangkau Tilkowski. Gol?

Yang pasti tragedi paling kontroversial pada sejarah Piala Dunia pun tercipta, Wembley-Tor alias Gol Wembley. Wasit Gottfried Dienst (Swiss) ragu mengesahkan gol lantaran pantulan bola begitu sulit dijangkau mata. Ia berdiskusi dengan asistennya, Tofik Bakhramov (Uni Soviet), dan hasilnya: gol! 3-2, dan Inggris kembali berada di atas awan.

Memasuki saat akhir, menit ke-120, sebuah crossing Bobby Moore diselesaikan Hunt, 4-2. Suasana dramatis terasa kala mendengar teriakan reportase Kenneth Wolstenholme via BBC. "And here comes Hurst he's got... some people are on the pitch, they think it's all over. It is now! It's four! England World Champion!"

Pada saat menjadi salah satu pahlawan bangsa di Wembley itu, Ball masih 21 tahun dan tercatat sebagai gelandang muda Blackpool yang telah membela 116 laga dengan 40 golnya. Kepincut dengan kontribusi besarnya di Piala Dunia 1966, Everton segera mentransfernya dengan nilai 112 ribu poundsterling. 

Di kemudian hari, di The Toffees-lah dia mencatatkan diri sebagai salah satu legenda hidup klub Merseyside tersebut. Ball bermain hingga 208 kali dan 66 gol. Hingga kini tidak ada yang dapat menyamai keharuman trio lapangan tengah terhebat klub itu yang dihuni Alan Ball, Colin Harvey, dan Howard Kendall. Trio ini dijuluki pers dan publik Goodison dengan The Holy Trinity (trio paling suci).

Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...Pada Desember 1971, di usia emasnya sebagai pemain, 26 tahun, tanpa diduga klub top ibukota Arsenal menawari Everton nilai 220 ribu pounds untuk melepas Ball ke Highbury. Publik Goodison Park bersedih dan kecewa sebab Everton menerimanya. Nilai ini merupakan rekor dunia transfer saat itu. Manajer Arsenal Bertie Mee antusias menggaet Ball yang dikenal gelandang cekatan nan gigih. Ball bertahan hingga musim 1975/76 dengan catatan 177 laga dengan 45 gol untuk The Gunners. 
Yang tidak bisa dilupakan pendukung Arsenal tentang Ball, mungkin, salah satunya ketika dia menderita patah kaki pada April 1974. Akibatnya dia tak bisa membela Arsenal sepanjang musim 1974/75. Mau tahu hasil akhir The Gunners di musim ini? Peringkat 16! Sejak kakinya patah, penampilan Ball terus menurun. 

Dia sempat melanglang ke Yunani dan AS, sebelum membela Southampton di dua masa, balik ke Blackpool, dan mengakhiri karier jadi pemain di Bristol Rovers pada 1983. Sementara karier kepelatihannya dimulai di AS, tepatnya Liga NASL pada 1978. Blackpool, Portsmouth, Stoke City bahkan Exeter City sempat merasakan kiprah manajerialnya. Setelah mengembara ke Southampton (1994-1995) dan Manchester City (1995-1996), Alan Ball menutup karier kepelatihannya di Portsmouth pada 1998/99.

Pahlawan Wembley

Sebagaimana kata sejarah, banyak yang menduga pemain terbaik saat itu adalah Hunt si pencetak hattrick. Nyatanya tidak, dan Alan bak memerlukan nyawa kedua untuk mengubah itu. "Dialah pemain terbaik di final. Suasana tim 1966 berubah banyak setelah itu," jelas Sir Geoffrey Hunt dengan mimik serius. Alan selalu bersikap ceria, dan sebagai pemain termuda, ia kerap meluap-luap saking antusiasnya masuk tim nasional. Semangat besarnya dan pancaran senyum di wajahnya sulit dilupakan Sir Bobby Charlton.

Meski badannya paling kecil, tapi Karl-Heinz Schnellinger terus mewaspadainya. 
"Alan mungkin pemain terbaik hari itu dan andai pun tidak, dialah yang mempengaruhi permainan sehingga hasilnya berubah total," timpalnya dengan nada sedih. Tabloid Daily Mail mengenangnya sebagai The Little Man with Gigantic Spirit. Pria kecil dengan semangat raksasa.

Di mata Sir Bobby Robson, yang pada 1965 memprotes pemanggilan Ball, sampai saat ini tak satu pun pemain nasional yang bisa menyamai dedikasi dan dinamika The Little Ginger Dynamopria kecil berambut merah jahe. "Lampard, Gerrard, Beckham seharusnya belajar banyak dari Bally," imbuh Sir Bobby pada kolomnya di Daily Mail.

James Alan Ball terlahir sebagai golongan working-class, kelas menengah, pada 12 Mei 1945 di Farnworth, Bolton, dari turunan Lancashire terpandang. Ayahnya, yang bernama sama persis, adalah pesepak-bola andal yang senang hidup nomaden. Alan muda diberikan latihan intensif. Setiap malam, di pekarangan rumahnya, ia digenjot sang ayah demi sebuah ambisi: bermain untuk Bolton Wanderers.

Sayang, The Wanderers menolaknya. Alasannya, tubuh Ball kekecilan. Malahan mereka menyarankan agar ia banting stir menjadi... joki kuda!  "Saat 16 tahun aku bilang, 'Dad, aku ingin masuk tim nasional sebelum 20 tahun.' Akhirnya aku tampil di World Cup pada usia 20 tahun kurang lima hari," kenangnya pada penulis ketika di suatu hari bertemu di British International School, Pondok Aren, Juni 1996. Tapi Ball senior justru tak memujinya. "Lupakan skuad, Nak. Aku baru senang jika kau masuk tim utama!"

Bolton menyesal sebab Ball membela Inggris 72 kali, 8 gol, juara dunia termuda, kapten nasional dan gelar domestik. Di puncak kejayaan, ia menikahi Lesley pada 1967. Karier Ball di tim nasional amblas setelah dicap penggemar klenik oleh Don Revie, pengganti Sir Alf Ramsey. Namun sebagai manajer sinarnya berkebalikan ketimbang jadi pemain. Semacam kutukan, sebab kemenangan Inggris dipenuhi konspirasi? Bisa jadi, sebab begitu juga Gordon Banks, Bobby Moore, Nobby Stiles, Bobby Charlton, Martin Peters dan Geoff Hurst. Paling lumayan, ya Jack Charlton di Irlandia.

1966 Glory: Alan Ball di sisi Bobby Charlton dan Bobby Moore.
Serial hidupnya berjalan tragis sesudah dia diberi gelar MBE oleh Kerajaan Inggris atas jasanya di Wembley 1966. Pada 2001, Lesley dan si sulung Mandy Byrne divonis kanker rahim. Mandy bisa bertahan, tapi Lesley tak tertolong pada 2004. "Tiada pria yang punya istri terbaik, dan ibu terbaik untuk anak-anakku kecuali aku," ungkapnya. Bab terakhir otobiografinya pada 2005 bikin orang sedih. "Dia yang pertama dan satu-satunya cintaku. Dia 14 dan aku 16 tahun saat jumpa. Aku takkan menikah lagi, demi Lesley, dan demi diriku. Perkawinan kami selalu abadi."

Akibat Kaget

Alan mampu mengalahkan siapa saja, namun dia tak pernah bisa mengalahkan kenangannya setelah kehilangan istrinya. Setelah Lesley tiga tahun tak berdaya, kekuatan ekonomi rumah tangganya diuji. Harta terbaiknya, medali 1966, dilelangnya demi kesembuhan istri tercintanya.

Suatu kali Alan bercerita. "Tiba-tiba dia berkata: 'kau terlihat putus asa dan itu membuatku khawatir. Yakinkan diriku agar kau berlatih dan tidur seperti sedia kala, serta tak menghemat makanan. Kuingin kau menjadi orang paling berbahagia di dunia seperti yang kau telah perbuat untukku. Aku ingin kau menikah lagi'. Dia pasti berjuang keras mengatakan itu, sebab dia tahu perkawinan kami untuk selama-lamanya," papar Ball. 

Sungguh menyesakkan mendengar pria sebaik Alan Ball meninggal dunia secara mendadak. Sungguh tragis tubuhnya tergeletak tanpa daya di halaman rumahnya di Hampshire, setelah terjatuh akibat panik melihat kobaran api dari pembakaran sampah, tak lama sesudah usai nonton duel Liga Champion Manchester United vs AC Milan di televisi. 

Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...
Selamat jalan sang patriot kecil.
Secara klinis, Ball dinyatakan wafat akibat serangan jantung. "Padahal dia tak punya riwayat itu," kata sang anak, Jimmy Ball, yang ditelpon ayahnya beberapa menit usai menonton laga Liga Champion itu hanya untuk mengungkapkan kepuasannya atas semangat khas Inggris.

"Dia bilang (duel) itu kelas dunia, dan perlawanan United benar-benar kelas dunia. Aku gembira dia melihat laga itu, permainan dengan spirit dan keberanian," kata Jimmy yang masih ingat betul ayahnya terus mengomentari umpan Paul Scholes ke Wayne Rooney yang menjadi gol.

Di hari-hari terakhirnya, Alan menghabiskan waktunya di Warsash, Hampshire. Ia berencana pindah rumah ke Berkshire untuk memulai hidup baru sebagai joki, sebuah peran yang gagal dilakoninya kala muda. Dengan serius Alan bekerjasama dengan Mick Channon, teman lamanya di sepak bola yang banting stir jadi pelatih kuda balap.

Ucapan Frank McLintock saat prosesi penguburan sungguh mengharukan. Dengan mata basah dan bibir terbata-bata, kapten legendaris Arsenal itu bilang, "Kematian bukanlah hal yang penting, bahkan andaikan kita bisa mengaturnya. Hidup adalah perbuatan, dan kupikir Bally berhasil melakukannya. "Alan menjalani hidupnya dengan penuh, dan kuingin haturkan terima kasih untuk semua kenangan, terima kasih atas seluruh kontribusinya untuk hidup kita."

Sebelum dimasukan ke liang lahat, Jimmy Ball menepuk-nepuk peti mati ayahnya, lalu berpuisi sebagai kesan terakhir. Sebuah puisi terkenal milik pujangga besar Rudyard Kipling berjudul If. "Ini untukmu Yah, untuk semangatmu yang tak pernah pudar," ucapnya lirih dan sesenggukan.

Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...
Tiga anak Alan Ball: Mandy, Jimmy, dan Keely.
Ketika membaca bait terakhir, And you'll be a man, my son, Jimmy menambahi: "Dia seorang lelaki, mungkin terbaik yang aku pernah jumpai. Kukatakan pada Mandy dan Keely, kita amat beruntung punya ibu dan ayah yang hebat seperti yang kami miliki."

Sebelum menutup acara pemakaman, Jimmy meminta pada hadirin untuk menyanyikan lagunya Frank Sinatra, My Way. Perlahan-lahan peti masuk ke dalam tanah, tepuk tangan dan siulan bergemuruh, juga sorak sorai, dan semua bernyanyi "Alan Ball, Alan Ball..." Cara inilah yang diadaptasi di semua pertandingan di seluruh negeri, tak terkecuali Premier League pada pekan itu. Tak ada mengheningkan cipta, tapi tepuk tangan selama 1 menit.

Selamat tinggal sahabat, selamat berpisah the patriot, dan selamat jalan the world champion! Sepak bola dan Inggris kehilanganmu, namun dunia sepak bola akan selalu mengenangmu, tak pernah lupa dengan contoh kepahlawanan yang kau berikan untuk sepak bola dan kehidupan...

(foto: dailymail/reuters/telegraph)

Share:

Johan Cruijff: L'Barca C'est Moi

Ya, jangan heran kalau pria 47 tahun ini dianggap raja di Barcelona. Titahnya amat kuasa, keras kepala, dan sulit distop siapapun. Namun ia bisa begitu karena ada dasarnya. Sebagai pemain dia meleganda, sebagai pelatih punya reputasi keren. Julukannya saja Imperio Cruijffista alias Cruyff Sang Penguasa. Siapa yang berani memungkiri, apalagi nekat protes?

Makanya ketika Barcelona ditahan 1-1 oleh Paris Saint-Germain di Camp Nou, banyak orang kaget dan tak percaya dengan hasil itu. Tak urung Cruijff jadi sasaran empuk kritikan media massa se-Spanyol. Apa penyebab kegagalan? 
Johan Cruyff: L'Barca C'est Moi
Bersama anak didik kesayangannya, Josep Guardiola.
Berbagai pihak sepakat hal itu disebabkan pola permainan yang diinginkan tidak berjalan mulus lantaran Cruijff kukuh memainkan formasi kesukaannya. Menurut media massa, Cruijff terlalu keras kepala untuk berani ambil risiko. Pemaksaan pada 'putra mahkotanya', yakni Josep Guardiola, yang tetap dimainkan walau menderita cedera juga disorot publik. Akhirnya Guardiola hanya tahan 20 menit. Ambruk. Uniknya, hilangnya Guardiola dari lapangan membuat Hristo Stoichkov jadi kehilangan taji karena irama permainan sudah tersaji ngadat dan ngaco.

Cruijff seperti raja di Barcelona. Titahnya amat kuasa. Pemilik lebih baik manut karena secara legacy, karakter, apalagi filosofi permainan, sangat merasa hutang budi Para pengurus ibarat penasehatnya. Pemain adalah balatentara yang mesti patuh padanya.

Sementara suporter bisa dianggap sebagai rakyat yang tidak boleh tahu urusan internal. Hanya media yang berani mengkritiknya. Kalau Raja Prancis Louis XIV pernah bilang L'etat c'est moi, Negara Adalah Saya, maka barangkali - kalau mau - Raja Cruijff juga bisa bilang L'Barca c'est moi. Barcelona Adalah Saya!

Di hadapan Cruijff, pemain sehebat apapun tiada arti. Tidak percaya? Coba tanyakan pada Gary Lineker, Frank Rijkaard, Romario Faria, Gheorghe Hagi, atau Stoichkov tentang ucapan atau ungkapan apa saja yang pernah keluar dari mulutnya yang nyinyir bin pedas itu? Saking trauma kena serangan baliknya, sebagian wartawan sangat berhati-hati terhadap pertanyaan yang akan diajukan.

Cinta Rokok

Rijkaard menjulukinya “si mulut sampah.” Stoichkov menyebut bosnya sebagai “ahli bersilat lidah.” Sedangkan Lineker, yang terkenal kalem itu, sampai mengatakan bahwa pelatihnya termasuk “orang yang ingin mengubah dunia.”

Cara Hagi atau Romario dalam mengungkapkan kekecewaan atas sikap Cruijff berbeda dengan yang lainnya. Mereka tidak berkata-kata, tetapi bertindak. Salah satunya ngambek saat latihan, atau bahkan seperti yang dilakukan Romario: mangkir saja sekalian!

“Berdebat dengan dia? Itu sama saja memperpanjang masalah,” papar Stoichkov, yang dongkol lantaran sempat dihambat pergi ke Lisbon, Portugal, Januari lalu saat ingin menghadiri penganugerahan Pemain Terbaik Dunia 1994. Memang, sehebat-hebatnya orang pasti ada kelemahannya.

Salah satu kelemahan salah satu legenda sepak bola terbesar ini adalah dia jatuh cinta pada rokok! Sangat loyal dengan asap tembakau sempat membuat dirinya masuk rumah sakit. Paru-paru Cruijff pernah collapse akibat terlalu kepenuhan asap rokok. Banyak orang yang menasehatinya untuk berhenti total, atau setidaknya mengurangi frekuensi mengepulnya itu.

Bayangkan, jatah Cruijff merokok dalam sehari adalah empat bungkus! Ketika terlalu sering untuk tidak menggubrisnya, dia akhirnya masuk rumah sakit. Dokter langsung memvonis bahwa jika ingin terus hidup, Cruijff harus stop total dari asap rokok. Nah, untuk hal yang satu ini, Cruijff baru terlihat jadi anak penurut. Dia pun kini berhenti merokok. Sampai kapan? Semoga selamanya.

(foto: kicker.de)

Share:

Tony Adams: Rock of Highbury Tiada Duanya

Perhatikanlah jika Arsenal mendapat sepak pojok atau tendangan bebas. Tiba-tiba saja, seorang pemainnya yang bernomor punggung 6 secara otomatis menyelusup ke kerumunan pemain di depan gawang lawan. Dengan memasang wajah garang, dia bersiap menjemput datangnya bola. Tak peduli kena atau tidak, bukan masalah. 

Tony Adams: Rock of Highbury Tiada Duanya

Namun kehadirannya itu saja telah membuat perasaan atau nyali para lawannya menjadi ciut. Memang, siapa lagi kalau bukan Tony Adams, si jago sundul tim yang bermarkas di daerah Highbury, London, yang suka memamerkan keahliannya itu. Para pendukung kesebelasan yang dijuluki "Gudang Peluru" itu sepertinya tak perlu lagi berharap demikian. 

Kapten tim Arsenal itu sudah menyadari salah satu manfaat, sekaligus kelebihannya, yakni tubuhnya yang kekar itu. "Sundulan dan terjangan saya akan membuat mereka ketakutan sepanjang pertandingan," sergahnya. Vinnie Jones, bek paling sangar di Inggris bahkan se-Eropa pun mengakuinya dengan nada satir. 

Tony Adams: Rock of Highbury Tiada Duanya

"Sundulan Tony Adams merupakan campuran kekuatan, naluriah, dan keberingasan. Itu tiada duanya," tutur bek tengah Wimbledon tersebut. Keistimewaan Adams ternyata lebih dari itu, justru ini yang paling utama. Silakan perhatikan bahwa pria ganteng yang selalu didamba oleh Alex Ferguson menjadi beknya di Manchester United itu juga bisa berfungsi sebagai tembok pertahanan yang amat kokoh. 

Momok Penyerang 

Daerah kekuasaannya terletak di kotak penalti sendiri, di depan rekannya, kiper nasional The Gunners dan Inggris, David Seaman. Sundulan kepala Adams menjadi senjata yang ampuh. Berkat sundulannya ini pula, Adams kadang menyumbang gol untuk Arsenal. 

Tony Adams: Rock of Highbury Tiada Duanya

Kebiasaan ini telah berlangsung sejak dia dipanggil masuk tim nasional Inggris U-21 pada 1986. Jangan harap lawan akan mudah menembus daerah garis 16 meter jika dia lagi nongkrong di situ. Apalagi bek tengah asli didikan Arsenal sejak anak-anak ini selalu bermain lugas sehingga menjadi momok paling mengganggu para penyerang lawan. 

Paling tidak, sebagian besar penyerang di Liga Primer Inggris telah merasakan kehadiran Adams yang amat merisaukan. Maka tidak berlebihan jika publik Inggris, dan terutama kaum pencinta Arsenal, sangat hapal dengan kegigihannya itu. 

Tidak heran pula bila pemain yang memulai debut sejak usia 17 tahun di Arsenal ini dijuluki Rock of Highbury alias Si Batu Karang Highbury. Satu-satunya orang dalam sejarah Arsenal yang ditabalkan begitu. 
Tony Adams: Rock of Highbury Tiada Duanya

Kini di usianya yang semakin matang, 28 tahun, Adams sukses mengantarkan Arsenal meraih gelar juara Piala Winner 1993/94 dengan penampilan prima. Saat itu The Gunners menuntaskan perlawanan Parma 1-0 di Kopenhagen, Denmark.

Gara-gara ketangguhan pria kelahiran 10 Oktober 1966 ini pula, trio maut Parma, Gianfranco Zola, Faustino Asprilla, dan Tomas Brolin, terhenti aliran golnya yang sebelum final tidak pernah gagal membobol gawang lawan-lawannya. Adams – yang dikelilingi Steve Bould, Lee Dixon, dan Nigel Winterburn – saat itu benar-benar menjadi hero lewat penampilan, komando, tunjuk sana tunjuk sini, atau perintah-perintah lisan kepada anak buahnya. 

Atas sukses tersebut, pelatih nasional Terry Venables langsung mencanangkan mematok Adams sebagai jangkar utama pertahanan tim Three Lions. Dengan siapa dia akan ditandemkan? "Duet Tony Adams dan (Gary) Pallister merupakan jaminan tersendiri bagi kami," kata Venables penuh harap. Dan dia bukan asal bicara. Pada November 1994, duet Adams-Pallister - yang selalu jadi dambaan Alex Ferguson di United - sukses mengatasi berbagai serangan Nigeria dalam ujicoba di Wembley yang berakhir 1-0 untuk Inggris. 

(foto: dailymail/rightattheend/express)

Share:

Franco Baresi: Ciao La Roccia!

Franco Baresi akhirnya benar-benar gantung sepatu dari tim nasional Italia. Mundurnya kali ini bukan main-main, sudah bulat. Bukan seperti dua tahun lalu, saat dia pertama kali menyatakan mundur tapi diralat kembali. "Untuk kali ini tidak ada diralat lagi. Saya benar-benar mundur dari tim nasional. Saya harus membuka kesempatan kepada pemain-pemain muda," kilah Baresi.

Permisinya kapten Rossoneri ini sudah ia rencanakan sejak Piala Dunia 1994 berakhir, Juli lalu. Namun pelatih nasional Arrigo Sacchi masih menahannya. Barulah setelah dia melihat sendiri tidak mungkin lagi berkiprah lebih baik lagi, keputusan bulat diambil.

"Sudah banyak kelemahan saya kini. Lari sudah tidak kencang, gerak tidak segesit dulu, dan yang lebih saya rasakan adalah ketahanan fisik saya," tambahnya. Dua minggu lalu saat Milan bertemu Casino Salzburg di Liga Champion, ia merasakan benar bagaimana ketahanan fisiknya sudah menurun, cenderung rapuh.

Suatu saat Baresi bertabrakan dengan pemain depan Salzburg. Tabrakan itu sebenarnya tidak berat, tapi buat dia terasa keras sekali. Wajahnya langsung bengkak. Walhasil matanya pun sukar dibuka lebar. "Usai pertandingan saya merenung. ternyata saya sudah tidak sekuat dulu lagi. Dari situlah saya menelpon Sacchi untuk mengutarakan maksud saya," tuturnya apa adanya.

Jadi Pelatih

Kini muncul pertanyaan, setelah mundur dari tim nasional kapan Baresi mundur pula secara total dari Milan, yang berarti dari sepak bola? Lalu setelah mundur apa yang akan dia kerjakan? Akankah dia seperti rekannya terdahulu, Carlo Ancelotti, yang ditarik oleh Sacchi untuk menjadi asistennya? Memang semuanya masih menjadi teka teki, sebab Baresi sendiri sampai sekarang belum mengutarakan kelanjutan dari pernyataan mundurnya.

Ia tidak bisa memastikan kapan ia harus meninggalkan sepak bola secara total. Ia pun tidak tahu akan menjadi apa setelah berhenti bermain. Yang menarik justru orang-orang di belakang sukses Baresi selama ini, khususnya di Milan. Klub kaya itu berjanji akan melakukan penghormatan besar jika bek berjulukan La Roccia atau The Rock alias Si Batu Karang mundur dari Milan.

"Terlalu besar jasa Baresi buat Milan," ujar Adriano Galliani, sekretaris AC Milan. Bahkan kubu Milan pun akan membuka pintu lebar-lebar bagi sang kapten jika ia ingin menjadi pelatih di sana yang kemungkinan dimulai dengan menjadi pelatih tim junior Milan. Tapi, tentu semua akan bergantung pada Baresi sendiri.

Soal siapa suksesornya di tim nasional maupun di Milan, bek tengah bertubuh pendek ini langsung menyatakan pendapatnya. Kebetulan baik dirinya maupun Sacchi atau pun Fabio Capello, pelatih Rossoneri saat ini, punya pendapat yang sama. Siapa dia? Paolo Maldini! Posisi memang beda, namun kepemimpinan harus dilanjutkan pada putra Cesare Maldini, yang secara tradisional memang terlahir sebagai Milanista.

Tanda-tanda itu semakin tampak. Saat Italia berujicoba melawan Estonia, belum lama ini, Maldini sudah memakai nomor punggung 6 yang melegenda dimiliki Baresi di tim nasional maupun di Milan. Tapi khusus di Milan tampaknya Maldini emoh mengubah nomor kesukaannya, 3.

Lalu bagaimana soal kemampuan Maldini mengatasi tekanan sebagai pusat koordinasi pertahanan di Milan nanti? "Saya kira Maldini bisa lebih baik dari saya. Ia masih muda dan mempunyai kesempatan memperbaiki diri lebih banyak," ujar Baresi dengan nada bijaksana. Oke selamat menikmati pensiun sebagai pemain Don Franco, Ciao!


DATA DIRI

Nama: Franco Baresi
Lahir: Travagliato, Brescia, 8 Mei 1960
Tinggi/Berat: 177 kg/72 kg
Julukan: La Roccia (Si Batu Karang)
Istri: Maura (istri terdahulu; Nella Pagina)
Anak: Eduardo Baresi (2 tahun)
Klub: AC Milan (1976-1994)
Alamat: Via Turati 3 -210121, Milano, Telp.: 02/62.281 -Fax: 02/65.98.876.
Debut Serie A: 23 April 1978 (Verona vs AC Milan 1-2)
Debut tim nasional: 21 Februari 1982 (vs Rumania 0-0)
Penampilan terakhir tim nasional: 7 September 1994 (vs Slovenia 1-1)
Penampilan di Serie A: 390 kali (13 gol)
Penampilan tim nasional: 85 kali (2 gol)
Tokoh berpengaruh: Niels Liedholm, Guido Settembre, Silvio Berlusconi
Prestasi:
juara Serie A: 1978/79, 1987/88, 1991/92, 1992/93, 1993/94
juara Piala Super Italia: 1989
juara Piala Mitropa: 1989
juara Liga Champion: 1989/90, 1990/91, 1993/94
juara Piala Super Eropa: 198/89, 1989/90
juara Piala Toyota: 1989/90, 1990/91

(foto: junglekey/ledieci)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini