Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label KOLOM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KOLOM. Tampilkan semua postingan

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga

KATA orang yang jago berfilsafat, tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri, betul? Motif atau pelampiasan para pahlawan olah raga, nyaris tidak pernah berubah. Begitu juga di sepak bola. Esensi untuk pelajaran hidup tetap sama, bedanya hanya pada ruang dan waktu.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Contoh terbaik tipikal kepahlawanan kaum pemberontak.
Para olahragawan dan pesepakbola selalu digenangi oleh multi sikap saat bermain. Lantas attitude itu rentan terkontaminasi oleh penonton, keberuntungan, kesialan, yang kesemuanya terkumpul di kaki atau kepala mereka. Ada sikap diskriminatif, cemoohan, bahkan kutukan, yang lazim menerpa mereka yang kelak teruji sebagai hero, pahlawan.

Buat segelintir kaum pesepak bola ini, status mereka adalah pengumpul sentimen dan harapan dengan simbolnya: momentum kemenangan. Sepak bola selalu diintip takdir. Bahkan buat orang-orang berkulit hitam, buat mereka yang tidak menginginkannya atau tidak sadar, tidak tahu; selalu ada sosok-sosok istimewa yang selalu kejatuhan nilai-nilai simbolis. Mereka seolah-olah tak terkalahkan, dilindungi sinar nasib baik meskipun martabatnya terinjak-injak.

Tawlon Manneh Oppong Weah, misalnya, menjadi contoh terdekat bagaimana dia didamba dan diharapkan begitu banyak orang serta dikuntit sinar nasib baik. Nilai perbuatan atau usahanya begitu fenomenal, inspirasional, menjangkau satu Afrika. Bahkan kemauannya menginspirasi dunia. Jadi bukan saja buat rakyat Liberia, atau masyarakat yang hidup di rawa-rawa sekitar pelabuhan Monrovia, di mana dia dibesarkan.

Lelaki sukses yang kemudian dikenal dunia dengan nama George Weah, merupakan Pesepak bola Terbaik Dunia pada 1995 yang sedetik begitu diberojolkan ibunya langsung berstatus sebagai gelandangan sesuai nasib kedua orang tuanya. Pria tegap yang kemudian hari memaksa dirinya kuliah di Universitas De Vrys, di Downers Grove, Illinois, Amerika Serikat, dilahirkan di sebuah gubuk yang terbuat dari potongan kardus dan kaleng di dekat pembuangan sampah dan rawa yang dipenuhi nyamuk, lalat, kepinding, tikus, sampai ular.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
George Weah menginspirasi Liberia dan seluruh Afrika.
Di masa itu, andai menyaksikannya langsung dari hari ke hari, maka Anda sangat yakin bahwa bocah itu tidak akan pernah dihampiri nasib baik, rezeki yang terang. Anak kumuh bin dekil tersebut seluruh kehidupan dan keadaannya sangat getir. Pada saat ini, barangkali, nilai keimanan seseorang tidak kuat diuji untuk mengatakan anak 12 tahun, yang suka merokok dari rumput kering serta bekerja sebagai rampok kecil atau pencuri profesional, kelak akan menjadi pesepak bola terbaik dunia, seorang pengusaha sukses, politisi, calon presiden, seorang humanis sejati. Bandar taruhan sekelas William Hill pun - yang sering memastikan nasib baik atau buruk - tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan rencana Illahi. Tidak seujung rambut pun!

Robinson dan Guadamuch

Namun cerita antiteori model Weah tidak selalu terjadi di sepak bola. Tokoh aktivis hak sipil di AS yang bernama Jackie Robinson bahkan dianggap sebagai nabi oleh sekelompok masyarakat fanatik yang keblinger, yang separo sinting. Apa yang diperbuat Jackie? Di akhir tahun 1940-an, Tuan Robinson dipilih takdir sebagai pemain bintang kulit hitam pertama di olah raga masyarakat kulit putih: bisbol.

Pada saat itu dari hari ke hari, tidak akan pernah terjadi orang kulit hitam bisa diterima orang kulit putih. Atau juga sebaliknya, orang kulit putih tidak bisa berbaur , bersebelahan dan berbagi dengan kaum negro. Di bioskop, di kedai kopi, deretan kursi di stasiun atau di dalam kereta, bertetangga, bahkan di kuburan.

Lewat tontonan olah raga, di dalam permainan, Jackie Robinson mengubah segalanya. Kemampuan luar biasanya, tubuhnya yang atletis - seperti ciri khas orang kulit hitam jika mendapat gizi yang baik - tidak pernah dikalahkan oleh hinaan, makian, atau lemparan kacang ke arahnya baik di dalam maupun di luar stadion. Di jalanan, masyarakat kulit putih sering meludah di depannya begitu berpapasan dengan sang inspirator. Dan, Robinson pun acap kali secara teratur mendapat ancaman kematian. Sekali lagi, keahlian serta kemampuan fisik bisa mengubah segalanya.
Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Dihina oleh bule tapi Jackie Robinson dianggap 'nabi' oleh negro fanatik.
Secuil contoh lagi datang dari Guatemala. Orang-orang pribumi yang menjadi penghuni awal bagi kaum pendatang keturunan Meksiko atau Spanyol, selama tujuh turunan selalu rajin menghina mereka: suku Indian Quiche, pecahan Maya - bangsa agung zaman dahulu kala. Di negeri yang jauh kalah luas dari Kalimantan Timur itu hidup seorang pelari jarak jauh, yang tidak pernah terkalahkan dalam marathon, yang pernah menyambung hidupnya dengan menjadi pemungut bola golf di sebuah lapangan.

Orang ini bernama asli Quiche, yakni Doroteo Guadamuch, yang kemudian rasisme mewajibkan dia mengganti namanya menjadi Mateo Flores. Namun di kemudian hari, dari perbuatan heroiknya memaksa bangsa Guatemala menabalkan nama itu untuk stadion nasional sepak bola mereka di kota Gueate, nama alias ibukota mereka, Guatemala City.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Doroteo Guadamuch, Indian asli yang dikekang oleh pemerintah Guatemala.
Entah tidak ada ketulusan, atau juga begitu mudahnya nasib baik dan buruk mengombang-ambingkan merek buatan Mateo Flores ketimbang Doroteo Guadamuch, pada 1996 di stadion ini terjadi aksi penjemputan nyawa 90 orang oleh malaikat maut dalam sebuah laga sepak bola. Sejarah pun telah mencatatkan nama Mateo Flores sebagai tempat kematian massal sekaligus pahlawan olah raga bangsa Guatemala.

Antiteori Maradona

Harus diakui, ketika melongok bisnis dan gairah sepak bola serta sisi takdirnya, amat sulit menghempas nama Diego Armando Maradona, manusia dengan beberapa kata, beberapa pernyataan, dan banyak pertanyaan. Apakah seorang pahlawan sepak bola populer yang mengilhami banyak orang, menyeret jutaan orang lagi mengidolainya; selalu mempunyai takdir, salah satunya, sebagai manusia kesepian? 

Apakah seorang Maradona mempengaruhi masyarakat, atau masyarakat yang mempengaruhi dia? Apakah dia lari dari kenyataan, menghindari kejaran anjing-anjing popularitas yang coba merobek-robek nafas kehidupannya? Maradona merasa seperti dikejar-kejar ketenaran yang melingkari dirinya, atas perbuatan hebat di masa lalunya. Bisakah dia bertahan? Bisakah dia hidup tanpa ketenaran? Sifat dari ketenaran adalah senang membalaskan dendam pada kemiskinan, cemoohan, penistaan.

Dalam karya apik Mitos dan Realitas, Eduardo Galeano pernah berhipotesa bahwa Maradona berdiri di dua sisi ketenarannya, kokain dan sukses. Tampaknya tidak satu pun klinik di dunia yang dapat menyembuhkan ketagihannya itu. Menurut sastrawan Argentina tersebut, Maradona menolak pensiun dari ketenarannya karena dia menyerah untuk mati. Dia sering menolak nonton laga premium sepak bola lantaran adrenalinnya sulit dicegah. Sifat dan sikap masa lalu selalu membelitnya, perasaan untuk bermain dan menang.

Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Diego Maradona, simbol ketenaran dan kepahlawanan kaum bawah. 
Maradona sulit menerima kenyataan dia dielu-elukan orang banyak ketika duduk di tribun VIP. Dia menginginkannya di atas lapangan hijau. Memakai celana kolor ketat, bukan celana bahan katun atau denim. Sang dewa sepak bola tidak suka memberi tanda tangannya untuk segelintir orang atau anak-anak, kecuali menanda-tangani ingatan abadi di kepala mereka melalui segala aksi individunya; untuk dirinya, untuk timnya, bangsanya.

Dapatkah dia menerima kenyataan pahit untuk akhir kariernya yang manis? Kakinya lebih indah daripada mulutnya. Maradona tidak pandai berargumen atau berkomunikasi normal kecuali dengan permainannya yang abnormal di lapangan hijau. Sanggupkah ia menepiskan simbol dewa begitu masuk ke dalam stadion untuk menonton laga sepak bola?

Ketika di Argentina muncul sekelompok partisan bin militan bin fanatik yang mendirikan agama Maradona, atau pemberhalaan dirinya berwujud Il Nostro Dio di Napoli, mesin waktu langsung bekerja membalikkan dunia ke zaman Aztec atau Maya. Bangsa ini selalu mengorbankan pahlawan terbaiknya untuk sang dewa, atau pilihan lain yang sulit diterima akal sehat: membagi-bagi potongan tubuhnya untuk disantap rakyat.

Kadang kala kita lebih berutang budi pada sepak bola daripada membutuhkannya. Rasa terima kasih bergulir begitu saja pada pemain-pemain pemberontak yang berani melawan stigma dan anggapan nista. Mereka berjuang keras demi kehormatan sambil memberi banyak keindahan dalam hidup kepada kita. Dunia olah raga banyak memberikan inspirasi hidup kepada kita.

(foto: dotnews/thegatewaypundit/notevenpast/pinterest)

Share:

Visi: Dongeng Albania (2)

DI KALA situasi makin dipenuhi kekalutan, sekonyong-konyong seorang ofisial dari Serbia berlari ke arah Balaj yang sedang membawa bendera. Tanpa ragu dia menghantamkan kursi plastik itu ke tengkuk Balaj, yang langsung tumbang. Melihat itu serta merta kapten Shqiperia, Lorik Cana, murka lalu mengirim ketupat bengkulu ke wajah si penyerang liar.
Awal kericuhan: memperebutkan bendera.
Dari berbagai penjuru, para penonton mulai menyelusup ke lapangan dengan niat dan tekad bulat: menyerang para pemain Albania. Sementara itu Cana masih bergumul dengan si penyerang liar yang ternyata berbadan jauh lebih besar darinya serta berkepala plontos. Cana sempat dipukul beberapa pemain cadangan Serbia yang mulai terbakar emosi nasionalismenya.

Di menit 42, akhirnya Atkinson tak tahan dengan keadaan. Ia meniup panjang tanda laga dihentikan. Pemandangan lain memperlihatkan segelintir pemain kedua negara baku pukul. Begitu juga para ofisial. Gilanya, ofisial lapangan yang harusnya netral malah ikutan adu otot melawan kontingen Albania.  Seseorang tampak mendorong Atkinson agar keluar lapangan. 

Aksi penonton yang tetap di tribun tidak mau kalah. Mereka kompak meneriakan "Vritini! vritini! Shqiptaret dhe vritini, vritini! Pritini! Shqiptaret nuk egzistojne!" (Bunuh! Bunuh! Bunuh orang Albania! Bunuh! Potong mereka! Albania tidak ada!). Mereka juga membakari bendera NATO, di kala poster Sesejl dan Radenovic diacung-acungi pendukung tuan rumah.

Tak pelak lagi, Stadion Partizan sudah diguyur aroma politik. Jenderal Vojislav Sesejl adalah panglima Serbia pada Perang Kosovo, yang ditahan NATO dengan status penjahat perang setelah diadili di Den Hague , Belanda. Begitu juga Jenderal Veljko Radenovic, komandan polisi di Prizren. Poster-poster lain yang terlihat adalah “Glory to Putin” serta “Kosovo adalah Serbia.” 

Tidak henti-hentinya koor seisi stadion yang berteriak: “Bunuh, bunuh mereka, tusuk mereka, jangan sampai ada orang Albania yang keluar dari lapangan,” juga jadi kekuatiran tersendiri karena dianggap menjadi provokasi, bahan bakar bagi para pengacau di laga yang berbau rasial itu. Orang-orang UEFA yang hadir di situ terlihat tak berdaya dan telah dipermalukan.

Melihat kurang seriusnya petugas keamanan, keselamatan stadion yang minim dan menyeruaknya tensi kemarahan dari penonton tuan rumah, bisa jadi Stadion Partizan berpotensi menjadi killing field, ladang pembantaian. Bisa dipastikan, hanya berkat kasih sayang-Nya atau perlindungan Illahi saja, tim Albania terhindar dari bencana penyerbuan puluhan ribu ke lapangan!

Beruntung bintang internasional Serbia seperti Kolarov, Ivanovic, atau Tadic malah bersikap bersahabat. Mereka malah menolong pemain Albania dengan cara mencegah para penyusup yang ingin memukuli mereka. Ofisial pertandingan akhirnya memikirkan hal terburuk di atas. Maka berlarianlah seluruh tim Albania ke lorong pemain yang terletak di sudut lapangan.

Celaka dua belas, rupanya di sudut itu grup ultras Serbia berada! Maka tak terhindarkan lagi ketika satu-dua penyusup dengan nekat menghantam dan menendangi para pemain Black Eagle yang berlarian ketakutan. Kolarov kembali menunjukkan dedikasi internasional dan akal sehatnya dengan cara mengawal sisa tim Albania yang lain. Setelah 30 menit kondisi mulai tenang.

Uniknya UEFA dan Atkinson berniat melanjutkan laga. Tentu saja tim Shqiponjat ogah karena psikologis mereka sudah terganggu. Albania tak mau meneruskan laga. Hanya tim Serbia yang memasuki lapangan. Maka sesuai aturan, Albania dinyatakan kalah Walk Over (WO) dengan skor 0-3. Setelah diurai ofisial pertandingan, kasus drone dianggap sebagai biang keladi kerusuhan.

Suasana kamar ganti pemain Albania jadi menegangkan. Banyak yang menderita memar dan luka di leher dan wajah. Episode ketiga peperangan antara dua etnis pun muncul lagi. Kepolisian Serbia menggeledah tas anggota skuad Albania untuk menemukan alat pengendali drone. Ruangan digeledah. Laci, kursi, toilet, sampai jendela namun remote-control tetap nihil didapat.

Tak lama muncul klaim tak terduga dari Shvercerat, grup pendukung FK Shkupi, anggota Liga Masedonia yang dimiliki orang Albania, mengaku sebagai operator drone. Tapi pihak berwenang tak menemukan bukti. Aksi penzaliman Shqiponjat melahirkan reaksi beragam. “Serbia menunjukkan sikap rasis dan fasis-nya,” kecam Agim Cana, ayah dari Lorik Cana.

Michel Platini dan Sepp Blatter juga mengutarakan kecaman similar atas masuknya pengaruh politik dalam sepak bola yang dilakukan Albania dan Serbia. Pernyataan resmi Serbia adalah mereka jadi korban provokasi sambil menuduh drone itu dikendalikan Olsi Rama, adik dari PM Albania Edi Rama dari tempat dia menonton: di ruangan VIP Stadion Partizan!
                                                               *******

Pemain Albania berlari ke arah yang salah.
TAK AYAL, perselisihan politik langsung merebak. Pemerintah Serbia langsung menuding Albania sengaja memprovokasi negaranya melalui tim Shqiponjat. PM Serbia Aleksandar Vucic juga bilang Olsi sempat ditangkap meski kemudian dikirim pulang. Olsi Rama membantah dengan mengakui ia keluar lebih dulu dari stadion sebelum kerusuhan di lapangan merebak.

“Dengan alasan keamanan saya pergi lebih dulu. Saya sempat dipersulit aparat yang menjaga di luar stadion. Namun karena saya memegang paspor Amerika mereka tak berdaya menahan,” aku Olsi yang saat itu rupanya ditemani Ighli Tare, bekas kapten timnas Albania. “Saya berani sumpah, dia hanya membawa kamera,” timpal Tare, direktur olah raga klub Serie A Lazio.

Entah mana yang benar. Namun Perdana Menteri Shqiperia, Edi Rami, memprotes keras adiknya dituduh sebagai dalang kerusuhan 14 Oktober 2014. Dampak keributan menjalar amat cepat. Di selatan Albania, pemukiman warga keturunan Yunani diserbu massa. Di Austria, 50-an orang Albania menghancurkan kafe milik orang Serbia, termasuk mobil polisi.

Menteri Luar Negeri Serbia, Ivica Dacic, mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Albania telah melakukan provokasi politik melalui pengibaran bendera terlarang di negerinya. “Kami menunggu reaksi dari Uni Eropa dan UEFA Anda bisa bayangkan apa yang kami terima jika bendera Serbia Raya dikibarkan di Tirana dan Pristina (ibukota Kosovo),” kata Dacic.

Sementara Menteri Dalam Negeri Nebojsa Stefanovic menuding aksi provokasi Albania itu menunjukkan ketidak-matangannya sebagai calon anggota Uni Eropa. Diserang secara politis, Albania berjuang di pentas UEFA. Kegagalan aparat Serbia mengamankan, bahkan ikut menzalimi para pemain Albania di laga internasional diungkap, dan kelak mengubah sejarah.

Tragedi 14 Oktober 2014 itu hanya sepekan sebelum PM Edi Rama tiba di Beograd, kunjungan resmi pertama tokoh Shqiperi dalam 70 tahun terakhir. Menurut media massa tuduhan Serbia amat berkebalikan dengan realita di Kosovo, di mana justru Serbia lebih agresif. Albania tidak mengungkit-ungkit isu panas Kosovo sehingga UEFA jadi curiga dengan motif lebay Serbia.

“Saya kecewa harus melakukan banding melihat keputusan UEFA yang bakal menjadi skandal dan preseden buruk ke depan,” kata Presiden FSHF (Federata Shqiptare E Futbollit) Armand Duka. “Rasisme dalam sepak bola adalah sebuah parodi. Ini bukan soal menang kalah, tapi bagaimana melawan rasisme,” tambah Cimi Shakohoxha, seorang anggota legal FSFH.

Dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi, PM Edi Rama menyatakan sikap kecewanya. “Keputusan UEFA dengan mengalahkan Shqiperia lewat cara seperti itu merupakan tindakan yang tidak adil. Yang saya bisa pastikan, hanyalah persiapan giliran menjamu Serbia. Kami telah menaikkan kapasitas Stadion Lori Borici menjadi 20 ribu penonton,” ucap sang pemimpin.

Setelah dinyatakan menang 3-0 oleh wasit Martin Atkinson, aksi Serbia di pentas politik semakin menggila. Ini jadi bumerang. “Bagaimana kami bisa kalah 0-3? Wasit tidak memberi tahu kami pertandingan akan dilanjutkan,” protes kapten tim Lorik Cana. “UEFA tahu tidak ada 'gadis baik-baik' jika ada di rumah bordil,” kecam Sokol Kushta, eks bintang Albania, penuh makna mendalam tapi jelas sinis.

Kushta memelopori persatuan pemain keturunan Albania di Eropa dan Amerika untuk melakukan aksi protes. UEFA dikutuk sebagai organisasi yang tidak adil dan rasis dalam mengambil keputusan. Bos UEFA, Michel Platini, yang tidak membela perjuangan Albania, ikut dikecam. Sekitar 100 orang Albania di Finlandia menjuluki Platini sebagai politisi mafia. Di mana-mana orang-orang Albania turun berdemo. Mulai dari Tirana, Kosovo, Podgorica, Masedonia, sampai di markas UEFA di Nyon, Swiss. 

Albanian Roots dan Albania-American Organization (AAO), dua organisasi resmi keturunan Albania melakukan protes, petisi, boikot, juga menyurati organisasi hak asasi manusia, UEFA, FIFA, termasuk kepada Platini. Selebriti top Albania, Ardit Gjebrea, melakukan aksi lapangan dengan mengajak rakyat Albania memboikot produk-produk Serbia di pasar-pasar.  Harapan Menlu Dacic untuk meraih kemenangan politis akhirnya urung lahir alias gatot, gagal total! 

Serbia malah ketiban sial seusai sidang sengit Komisi Kontrol, Etik dan Disiplin, UEFA menganulir kemenangan WO 3-0 menjadi kekalahan indisipliner 0-3! Dakwaan utamanya tiada lain karena Serbia dinilai tidak bisa mengatasi invasi penonton yang menjadi sebab musabab kerusuhan. Perolehan nilai tim Oriovi, julukan timnas Serbia, juga dikurangi tiga poin. Duka berlanjut. Dua laga kandang berikut harus dilalui tanpa penonton dan denda 100 ribu euro. Sepak bola terkadang bergantung pada nasib baik, dan Albania meraihnya.
                                                          *******
PM Albania Edi Rama.
SAKING gembira dan puasnya, Bekim Balaj – striker Shqiperia yang menjadi pemicu kerusuhan dengan merampas bendera Albania Raya dari tangan pemain Serbia – berkomentar dengan sarkas di akun Facebook-nya. “Maaf Platini untuk kursi yang hampir saya hancurkan dengan kepala saya, dan bravo UEFA!” tulis pemain yang merumput di HJK Rijeka (Kroasia). 

Keberuntungan Albania meraih hadiah ganda itu membantu mereka melangkahi Denmark di klasemen Grup I. Selain itu, kemenangan diplomasi Albania sanggup menaikkan moral tim Shqiponjat serta meruntuhkan moral Oriovi, julukan timnas Serbia. Di tiga laga ke depan, Serbia kalah beruntun dua kali dari Denmark (1-3 dan 0-2) serta Portugal (1-2). 

Sebaliknya dengan penambahan tri poin, Albania lebih bersemangat, terbukti dengan raihan empat poin dari tiga laga. Shqiperia mengalahkan Armenia 2-1, seri 0-0 lawan Denmark, dan kalah 0-1 dari Portugal. Langkah bersejarah mereka sempat tertahan dengan kekalahan 0-2 dari Serbia di kandang sendiri yang kali ini tanpa kerusuhan sama sekali.

Setelah Denmark kalah 0-1 dari Portugal, kepastian Shqiperia meraih sejarah besarnya ditentukan di Yerevan, dengan mengalahkan tuan rumah Armenia 3-0. Apakah Albania pantas mendapatkan itu semua dari perjalanan dongengnya? Upaya yang ditempuh dari semua jurusan terbukti menuai hasil fantastis sehingga Shqiperia pantas menjemput takdirnya. Itulah jawabannya.

Seperti Turki atau Tiongkok, ras Albania juga bertebaran di penjuru dunia. Dukungan masif itu bakal menjadi modal kuat Shqiperia di Prancis 2016 mendatang. Bangsa ini, dari segala paspor, kalangan dan jabatan, teruji bersatu padu dalam kedukaan dan pasti lebih heboh lagi saat merayakan kesenangan. Edi Rama tahu betul memanfaatkan situasi dan peluang. 

Pada malam kebahagiaan setelah Shqiperia membungkam Armenia, sang perdana menteri sibuk menelpon ke sana ke sini. Rumahnya masih diguyur suka cita dan teriakan anggota keluarga yang menonton siaran langsung laga bersejarah. Rupanya tuan Rama sibuk membatalkan banyak janji, atau sedang memberi perintah begini-begitu pada bawahannya. 

Pekerjaan pertama sang pemimpin pada Senin pagi, 12 Oktober 2015 adalah menjemput para pahlawan bangsa di Bandara Bunda Teresa (Nene Tereza) di Tirana. Pekerjaan kedua mengikuti kirab keliling ibukota dengan kendaraan terbuka bersama Shqiponjat. Siang istirahat sebentar di rumah, sebelum melakukan pekerjaan ketiga di sore hari: berpidato resmi di istana.

Pidato ini disiarkan langsung oleh berbagai jaringan televisi ke seluruh negeri, sehingga getaran nasionalismenya bisa dinikmati tiga juta penduduk. “Kepahlawanan kalian menjadi sumber inspirasi yang telah memberi harapan kepada jutaan orang di negeri ini,” demikian potongan pidato Edi Rama di depan rakyatnya. Pesta rakyat berlangsung hingga malam hari. 

Albania sedang menikmati dongeng sepak bolanya. Bayangkan, barisan manusia yang menyemut tidak putus mulai dari bandara hingga ke tengah kota. Semua mengelu-elukan pemain. Rakyat bergembira di jalanan, menari, bernyanyi layaknya. Praktis, di hari Senin itu rakyat Albania dan juga Kosovo dilanda suka-cita luar biasa sampai-sampai melupakan rutinitasnya. 

Seluruh rakyat tak mengira negaranya bisa bersaing di grup yang diisi tiga kekuatan besar; Portugal, Denmark, dan Serbia. Sehingga menembus Piala Eropa pertama kali lebih mirip dengan menjuarainya. Apalagi kalau jadi juara Eropa beneran?  Benarlah apa yang diucap Bill Shankly. “Sepak bola adalah persoalan hidup dan mati, bahkan jauh lebih penting dari itu.”

Edi Rama masih mengenang kisah insomnia yang menerpa dirinya setelah Albania dikalahkan Serbia 0-2 di kandang sendiri, tiga hari sebelum terbang ke Yerevan untuk melakoni laga terakhir. Ia memanggil seluruh anggota tim ke rumahnya untuk diberikan audiensi spiritual. “Mereka amat terpukul, begitu juga saya. Satu kekalahan yang menyakitkan,” paparnya.

Selama tiga hari, sang perdana menteri tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu memikirkan nasib tim nasionalnya. Namun beliau merasa lega telah memberi pesan penting buat para pemain. “Saya katakan pada mereka, jika ingin mencapai puncak gunung maka kalian harus mengatasi angin yang kuat. Tunjukkanlah karakter kalian nanti di Yerevan!” kata Rama saat itu.

Albania mesti menang untuk menggeser Denmark di peringkat  kedua. Falsafah ‘naik-naik ke puncak gunung’ ala Edi Rama diresapi para pemain luar dalam. Armenia memang negeri yang dipenuhi pegunungan tinggi dan berangin, namun semangat dan karakter Shqiperia lebih dicurahkan di atas lapangan hijau. Albania sukses menaklukkan Armenia 3-0. (bersambung)

(foto: balkineu)

Share:

Visi: Dongeng Albania (1)

SALAM hormat untuk para pendatang baru di Piala Eropa 2016 yaitu Islandia, Wales, Irlandia Utara, dan Slowakia. Tapi mohon maaf, selama di Prancis nanti barangkali sorotan pada mereka tidak seterang Albania, yang juga jadi debutan. Tiada keingintahuan paling dicari-cari ketika berlangsung di ajang paling bergengsi kecuali kisah dongeng dari sebuah negeri unik.
Visi: Dongeng Albania (1)
Bukan dongeng lagi Albania tampil di Piala Eropa 2016.
Yang perlu dicatat, ini bukan kisah unik dari negeri dongeng. Republik Albania alias Shqiperia, wilayah di jazirah Balkan seluas 28.748 km2 atau kira-kira separonya Provinsi Aceh, akhir Oktober lalu menggegerkan jagat sepak bola berkat aksi fenomenal: untuk pertama kalinya sepanjang sejarah lolos ke turnamen akbar berupa Piala Eropa 2016 di Prancis. 

Bayangkan ungkapan dan reaksi rakyat. Pasalnya seumur-umur nama Albania selalu tiarap bahkan terkubur di ajang Piala Eropa atau Piala Dunia. Jangankan itu, puluhan kali kualifikasinya saja menghasilkan juru kunci grup nan abadi. Rupanya mereka pantang menyerah mengais-ngais kesempatan. Minggu, 11 Oktober 2015 akhirnya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. 

Di laga terakhir Grup I, Shqiponjat (Si Elang) – julukan timnas Albania – membekap tuan rumah Armenia 3-0 di Yerevan. Kemenangan heroik ini melambungkan posisi mereka sebagai runner-up di bawah Portugal sekaligus menggeser posisi Denmark, yang kena apes usai kans lolos otomatis tewas di tangan Cristiano Ronaldo dkk. 0-1 di Braga, tiga hari sebelumnya. 

Belum lagi unjuk gigi di Prancis, banyak orang masih penasaran dengan Albania, negara tirai besi yang tersisa selain Korea Utara. Mengapa tiba-tiba mereka begitu piawai sampai bisa lolos ke Euro 2016? Bukankah di grup itu ada favorit Serbia yang punya pemain beken seperti Aleksandar Kolarov, Aleksandar Mitrovic, Branislav Ivanovic, Nemanja Matic atau Dusan Tadic? 

Orang pantas penasaran mencari kunci sukses Shqiponjat yang sejak 2011 dibesut seorang pelatih kapiran dari Italia, Giovanni De Biasi. Benarkah kekuatan misterius di UEFA yang membelokkan sejarah. Pasalnya kejutan Shqiponjat membuat outcome Grup I meleset dari prediksi awam. Lolos: Portugal dan Albania. Playoff: Denmark. Tersingkir: Serbia dan Armenia. 

Buat FSHF (federasi sepak bola Albania), lolos ke ajang akbar adalah yang pertama kali sejak dibentuk pada 1930. Sepanjang hidupnya, Albania berkelas taruna di benua biru. Mereka cuma pernah ikut Kejuaraan Eropa U-18 pada 1982 serta Kejuaraan Eropa U-16 pada 1994. Pendek kata, sukses tim Kuq e Zinjtë (merah dan hitam) pantas mengagetkan banyak pihak. 

Lolos ke Prancis 2016 merupakan impian nyata mantan negeri jajahan Turki yang memerdekakan diri pada 28 November 1912. Hampir semua rakyat turun ke jalan. Bukan untuk berdemo, namun merayakan kebanggaan dan melepaskan perasaan nasionalisme juga jepitan ekonomi dengan main petasan, joget, bernyanyi, dan memuja-muji seluruh skuad Shqiponjat. 

Ingat Albania ingat Enver Halil Hoxha. Ini bukan merek rokok atau kedai kopi. Dia berwujud manusia, ada kepalanya, tepatnya seorang diktator ulung yang memerah-hitamkan Albania selama 41 tahun. Aslinya Hoxha itu sekretaris Partai Buruh. Namun secara de facto dia penguasa tunggal sejak 8 November 1941 sampai 11 April 1985, ketika rohnya benar-benar melayang. 

Di era rezim komunis Hoxha yang amat terkunci, setiap orang Albania dilarang keluar negeri, yang ketahuan bandel sontak digiring ke gulag alias kamp kerja paksa. Yang merasa laki laki dilarang berjenggot, sebab katanya Albania bukan negeri relijius. Kalau masih nekat melawan, maka jenggot Anda akan dikerik paksa hingga licin di situ juga oleh Sigurimi, polisi rahasia. 

Kehidupan Albania yang jumlahnya tidak di bawah 3 juta jiwa di masa lalu kira-kira mirip Korea Utara sekarang. Dilihat dari peta, negara bernama tulen Republika e Shqiperise ini cuma punya pandangan luas Laut Adriatik yang nun jauh di seberang sana berdiri Italia. Tetangga dekat mereka yang dari Balkan kebanyakan tidak ramah. Masedonia, Montenegro, dan Yunani. 

Walau Hoxha telah berada di alam lain, namun Albania baru merasa bebas usai Tembok Berlin roboh pada 1989. Sampai sekarang pun masih ada kejanggalan lain di negara beribukota Tirana ini. Misalnya, mirip dengan Korea Utara, Albania adalah secuil wilayah yang tak pernah nonton Premier League. FA melarang menjual hak siar sebab di sana sarangnya pembajakan. 

Namun gara-gara sukses tim Shqiponjat bisa jadi efeknya akan berbeda. Lagi pula kapten nasional Lorik Cana pernah 35 kali membela Sunderland di musim 2009/10. Cana, 32 tahun, kini merumput di Nantes di Prancis. Rudi Vata, bek Celtic selama empat musim di era 1990-an, juga asli Albania. Tapi paling terkenal jelas Adnan Januzaj, pemuda Manchester United. 

                                                         *******
Visi: Dongeng Albania (1)
Lorik Cana, kapten nasional dan Shqiponjat, elang yang jadi maskot.
PEMAIN berusia 20 tahun yang disewa Borussia Dortmund itu juga orang Albania, blasteran Kosovo. Tapi secara waras, dia lebih memilih timnas Belgia. Kok? Begini ceritanya. Abidin Januzaj, bapaknya Adnan, pada 1992 kabur sejauh-jauhnya melintasi banyak negara setelah di-uber-uber intel untuk dijadikan wajib militer atau Sigurimi. 

Abidin akhirnya menetap di Belgia, berkeluarga, punya rumah sampai lahirnya Januzaj tiga tahun kemudian. Kala status kewarganegaraannya belum jelas, tapi karena punya akte kelahiran yang dicap rumah sakit di Brussels, Januzaj bisa ditarik tim nasional Belgia atau Les Diables Rouges. Tak lama barulah dia resmi diberi KTP Belgia. Inilah kesaktian futbollit alias sepak bola! 

Kembali soal efek sukses Shqiponjat. Bukan Inggris atau Belgia yang jadi sarang pesepak bola Albania. Paling banyak justru di Italia. Soalnya dengan modal berani separo nekat, mereka bisa menyeberangi Laut Adriatik dengan perahu untuk sampai di pelabuhan Bari atau Lecce. Di awal 2000-an, nama Igli Tare jadi satu-satunya attacante Albania paling jempolan bin terkenal di Serie A. 

Setelah sempat melanglang di Brescia dan Bologna, Tare hinggap di Lazio sampai gantung sepatu. Kini dia bekerja jadi supervisor di Lazio. Erjon Bogdani pernah tampil di Reggina dan Chievo. Trah Albania di Serie A kini dilanjutkan Erit Berisha (Lazio) dan Elseid Hysaj (Napoli). Albania memang lebih akrab dengan Italia, teman fasis-nya, sejak dari zaman Mussolini. 

Keakraban Italia-Albania mempengaruhi kenapa De Biasi mau melatih Shqiponjat, dan Shqiponjat juga yakin dengan orang yang sebelumnya nyaris tiap tahun dipecat itu. Kini hubungan mereka awet selama empat tahun. Ada ratusan pemain berdarah Albania di semua divisi di Italia, dan mungkin lima ratusan di seluruh Eropa. Tapi mayoritasnya memilih seperti Adnan Januzaj. 

Jadi pengkhianat bangsa maksudnya? Eit, tunggu dulu. Kini dunia tak dibatasi melulu oleh negara tetapi kemampuan, keterampilan atau keahlian. Budaya ekspatriat dan profesional berkembang kian hebat. Kisah Januzaj yang lebih memilih membela Belgia adalah globalisasi. Sebenarnya tren ini sudah terjadi puluhan, entah ratusan tahun di segala kehidupan. 

Istilahnya saja yang belum ada. Sadarkah Anda ketika mahafisikawan Albert Einstein yang ‘kabur’ dari Swiss pada 1945, begitu mendarat di AS sudah jadi KTP barunya? Lalu bedahlah deretan profesional di Google atau skuad sampai board of directors di Arsenal. Owner: AS dan Rusia. Direktur: AS, Inggris. Manajer: Prancis. Skuad: belasan bahkan puluhan negara. 

Di luar Januzaj, ada nama-nama cukup dikenal seperti Valon Behrami (Watford), Blerim Dzemaili (Galatasaray/Genoa), Xherdan Shaqiri (Stoke City) yang berdarah Albania tapi ketiganya dicomot timnas Swiss, lalu jadi warganegara resmi di sana. Diduga jumlah seperti mereka akan bertambah banyak di masa depan seiring dengan kebangkitan futbollit dari Albania. 

Di tim Black Eagle sekarang, skuad De Biasi amat kosmopolitan sebab datang dari Jerman, Prancis, Swiss, Italia atau Yunani. Mereka masih muda namun sarat pengalaman. Sebut saja Berat Djimsiti (22) atau Ergys Kace (22). Di tangan De Biasi dan berbekal generasi baru ranking FIFA Albania terus melonjak yang enam tahun lalu di kelas 90-an sekarang di 32 besar dunia. 

Di sepak bola mereka bisa dibilang sekelas dengan Denmark lantaran tim Dinamit itu sudah dua kali tidak bisa menang. Black Eagle juga pernah mengalahkan Portugal dan Prancis. Saat patung-patung Hoxha disingkirkan, yang berarti makin membuka peradabannya, seketika itu pula panorama alam Albania kian indah dan terurus sebagai sumber devisa di pariwisata. 

Kondisi ini pantas bikin iri para tetangganya yang kebanyakan masih hobi perang. Mereka melongo berat setelah tahu di dalam bumi Albania juga berisi bauksit, batu bara, tembaga, gas alam hingga minyak bumi. Lalu lanskap alam yang diapit pegunungan, laut, dan daratan melahirkan puluhan danau yang menjadi sumber tenaga listrik yang dapat dijual ke investor asing. 

Pergaulan Albania dengan tetangga seperti Montenegro, Masedonia, atau Yunani terbilang adem ayem. Tapi tidak demikian dengan Serbia. Gara-gara saling cari pengaruh politik di Kosovo, emosi keduanya kerap meledak. Gawatnya, dari hasil undian kualifikasi mereka malah sekandang di Grup I. Ini menjadi misteri mengingat UEFA dianggap melakukan pembiaran. 

Padahal salah satu ketentuan undian adalah mencegah negara-negara yang lagi konflik politik berada di satu grup. UEFA memilah Spanyol dengan Gibraltar, Armenia dengan Azerbaijan, Inggris dengan Irlandia Utara namun luput memisahkan Serbia dengan Albania yang tengah terlibat perang di Kosovo. Apakah organisasi sebesar UEFA lupa pada sejarah?
                                                             ******* 
Visi: Dongeng Albania (1)
Tragedi berdarah di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014.
SERBIA adalah intisari Yugoslavia, republik komunis yang dipimpin oleh Josip Broz Tito. Kematian Tito pada 1980 dan rubuhnya Tembok Berlin pada 1989 mempercepat pecahnya Yugoslavia mulai 1992 menjadi Serbia, Kroasia, Slovenia, Masedonia, Bosnia, Montenegro serta dua otonomi yang jadi sengketa hingga kini, Kosovo (vs Albania) dan Vojvodina (vs Kroasia). 

Saat Tito masih hidup, di wilayah itu cuma ada tiga negara; Yugoslavia, Albania dan Yunani. Awal permusuhan Serbia vs Albania tiada lain gara-gara perbedaan aliran komunis. Hoxha penganut komunis Cina pimpinan Mao Tse-tung, sedangkan Tito bermazhab komunis Uni Soviet. Saat berkuasa, ia menganggap Albania cuma kurcaci melihat betapa luas negaranya. 

Isu Kosovo plus sejarah buruk masa lalu terlalu sulit dicegah untuk tidak meledak saat mereka bersua pertama kali di penyisihan Piala Eropa 2016, di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014. UEFA baru merasa bersalah atas ‘ulahnya’. Inilah awal cerita dongeng Albania, sebuah negara terkucil tanpa tradisi sepak bola yang mulai dikenal karena sepak bola. 

Tanda-tanda duel mereka pertama kali itu bakal rusuh sudah terendus sejak awal. Tuan rumah melarang suporter Albania datang ke Serbia sebab tidak mau menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain ada kejanggalan. Pihak Serbia juga meminta tim Albania hanya membawa perlengkapan standar dari pada dapat kesulitan di bandara. UEFA terjebak dalam situasi dilematis. 

Ketika menuju stadion, bus tim Albania disambut hujan timpukan batu sekepal tangan bahkan potongan beton! Urung saja kaca bus pun remuk. Tiada yang namanya keramahan. Polisi dan petugas tampak tidak maksimal melindungi. Di mana-mana terdengar hardikan, makian atau ancaman penuh teror dari fan Serbia: "bunuh orang Albania, bunuh orang Albania!" 

Di dalam stadion, koin, korek gas, atau batu baterai dilemparkan ke lapangan ketika Shqiponjat melakukan pemanasan. Saat pemain Albania berbaris menyanyikan lagu kebangsaaan, para pemuda Serbia itu kembali meneriaki “bunuh Albania!” sambil bersorak keras “boooe” dan memukuli drum kosong sehingga melengkapi penistaan kedaulatan sebuah negara. 

Di menit 15 teror pertama muncul. Roket kecil menghujam lapangan, membakar rumput. Di menit 25 tiba-tiba bendera Yunani dikibarkan grup ultras Serbia. Yunani geram pada Albania karena merasa garis perbatasannya telah diserobot. NATO sukses mengancam Yunani agar tidak bikin onar. Mungkin itulah ada bendera NATO yang dibakar suporter Serbia. 

Wasit Inggris Martin Atkinson tampak bergidik menyaksikan kejadian. Di menit 35, giliran gelandang Albania, Ansi Agolli, kena sambit petasan saat bersiap ambil sepak pojok. Ia tergeletak tapi tetap ditimpuki. Asisten wasit ikut kena getahnya. Sambitan mereda setelah pemain Serbia, Danko Lazovic dan Aleksandar Kolarov turun tangan. Namun tensi terus melesat. 

Di menit 40, kondisi lapangan berubah seperti tempat sampah sebab penonton semakin kesetanan main lempar barang apa saja untuk melukai pemain Albania. Atkinson makin galau, pikirannya kisruh sesudah melihat sebuah botol melayang menimpa striker Albania, Bekim Balaj, yang langsung terkulai dengan kucuran darah dari belakang telinganya. 

Untuk meredakan ketegangan Atkinson malah mencoba melanjutkan pertandingan. Suasana terus menggila sebab di seluruh wilayah stadion, para penonton mencoba menerobos untuk menyerang pemain Albania. Walau laga berjalan namun praktis kedua tim sudah tidak konsentrasi lagi bermain. Sementara obor kecil, petasan dan benda-benda lain tak henti dilemparkan. 

Episode berikutnya justru kian menggetarkan jiwa. Tiba-tiba muncul pemandangan tak lazim. Sebuah drone, semacam helikopter mini, melayang-layang di atas stadion. Yang bikin heboh drone itu membawa bendera besar yang digantungkan dengan tulisan dan peta “Greater Albania” yang sontak mengagetkan seisi stadion, terutama rakyat Serbia yang langsung murka. 

Apalagi ada gambar Ismail Qemali dan Isa Boletini. Siapa lagi mereka itu? Keduanya adalah tokoh proklamator kemerdekaan Albania, tokoh dan bapak bangsa Albania. Cerita bergeser liar tak terduga. Bek Serbia, Stefan Mitrović, langsung berlari mengejar drone untuk merampas bendera. Sesi kedua kerusuhan pun dimulai, kelak akan membelokkan sejarah laga. 

Tiba-tiba dua bek Albania, Andi Lila dan Taulant Xhaka memburu Mitrović karena curiga dia akan merobek-robek bendera. Terjadi aksi kejar mengejar, namun malah Bekim Balaj yang sukses merampas bendera dari Mitrović. Para pemain Serbia dan Albania pun bersitegang. Setelah itu, pemandangan berikutnya sudah bukan laga sepak bola lagi. (bersambung) 

(foto: istimewa)
Share:

Catatan Ringan tentang Chelsea: John Neal

PENDUKUNG Chelsea sedunia seharusnya sering mengenang tanggal 28 April 1984. Meskipun kelahiran klub, yang pada 10 Maret 1905 itu terlihat lebih bersejarah, namun sebuah peristiwa yang muncul 30 tahun lebih dicap sebagai tonggak baru, reborn, buat klub yang kini menjelma menjadi salah satu pilar utama atau simbol kapitalisme olah raga di London, dan juga di Inggris. 

John Neal.
Pendeknya tanpa momen itu tak mungkin, Anda akan mencintai dan meletupkan ekspresi pada Chelsea seperti sekarang. Tanpa kejadian tersebut, mustahil ada orang seperti Roman Abramovich, Jose Mourinho, Didier Drogba bla bla bla yang mau datang ke Stamford Bridge mengenakan kostum biru. 

Bahkan kejayaan tiga titel Liga Inggris, enam Piala FA, tiga Piala Liga, tiga Piala Community Shield, dua kali Piala Winner, serta sekali Piala Super Eropa, Liga Europa, dan puncaknya di Liga Champion pada 19 Mei 2012, harus mengarungi peristiwa tadi. Ini adalah perjalanan sebuah takdir. Dan, pada akhirnya tak mungkin sekarang Chelsea punya 400 juta fan sejagat seperti klaim CEO-nya, Ron Gourlay, September 2014 silam. 

Penggemar baru True Blue, yang disinyalir 90%-nya berusia 19-32 tahun – berkebalikan dengan julukan lamanya sebagai klub para pensiunan (The Pensioners) – seharusnya menghargai juga jasa seseorang terlupakan yang bernama John Neal, sama pentingnya seperti pada Kamerad Abramovich atau Senhor Mourinho. Tanpa Mr. John barangkali nasib Chelsea sekarang mirip Brentford atau Millwall, dua klub London yang sulit lagi menggapai piramida tertinggi sepak bola Inggris.

John Neal adalah manajer Chelsea pada 1981-85 yang menggagalkan nasib buruk Chelsea kejeblos ke Divisi Tiga pada musim 1982/83. Di akhir musim itu, Chelsea hanya terpaut satu kemenangan dari Rotherham United, Bolton Wanderers, dan Burnley yang kesemuanya itu terlempar dari Divisi Dua. 

Di era pra Premier League ini, hebatnya lagi Neal pula yang meloloskan lagi Chelsea ke Divisi Utama setelah merebut juara Division Two old pada 1983/84. Ibarat roda kehidupan, saat itulah putaran nasib masa depan Chelsea rupanya ditentukan. Apa yang dilakukan John Neal pada dua musim yang paling menentukan itu? 

Sejak terdegradasi dari Divisi Utama di musim 1974/75, reputasi Chelsea yang cuma sekali menjadi juara Inggris pada 1955, jatuh ke titik nadir. Klub ini mulai dilupakan orang, dan sakitnya lagi, juga dilupakan media massa yang berarti dilupakan dunia. 

Secangkir Kopi 

Sebuah kesebelasan ibukota yang pernah melahirkan bintang nasional Ron Bentley, Jimmy Greaves, dan Peter Osgood ini tak kuasa meladeni poros persaingan yang kala itu sedang dikuasai Liverpool, Leeds United, atau Arsenal. Tak ada orang yang mau melatih Chelsea, tak ada orang yang peduli, kecuali itu tadi, para pensiunan! 

Sejak dulu, berkat lokasinya, Chelsea hanya didukung kaum manula dan golongan purnakarya yang tinggal di kawasan elite London Barat. Chelsea hanyalah hiburan pengisi waktu senggang di hari libur, selain golf, baccarat, atau menonton polo. Yang tidak punya ambisi dan hawa nafsu lagi kecuali menghabiskan umurnya. Populasi mereka tidak banyak, pasif, dan memandang klub di wilayahnya itu sebagai identitas semu yang tidak memberi ruang ekspresi kecuali impresi. 

Neal hadir mendadak di Stamford Bridge, April 1981 usai pemecatan pelatih Geoffrey Hurst, si pahlawan Inggris di Piala Dunia 1966. Pemilik klub ini adalah Keluarga Mears, yang moyangnya adalah pendiri Chelsea. Gara-gara harga baja yang meroket, mereka kehabisan duit usai pembangunan tribun East Stand. 
                                                       
Dengan bujet transfer yang amat minim bin mentok, Neal diwanti-wanti agar bijaksana memakai dana pinjaman dari berbagai lintah darat yang siap memanfaatkan kesulitan Keluarga Mears. Pikir punya pikir, peminjaman pemain agaknya jadi sesuatu yang realistis ketimbang membelinya. 

Neal diwarisi skuad yang nyaris tanpa motivasi dan ambisi yang jelas. Musim pertama Chelsea di bawah Neal sangat tidak berkesan kecuali kemenangan 2-0 di Piala FA atas juara Eropa, Liverpool. Stigma yang menancap di Chelsea waktu itu tidak lain sebagai klub yang banyak hutang, tanpa ambisi dan sekedar ada. Istilahnya bagai kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup pun tak mau. 

Saking miskinnya, harga jual klub ini tidak melebihi secangkir teh. Diberi gratis pun orang masih berpikir seribu kali. Stadionnya masih utang, temboknya bolong-bolong sehingga mudah dilewati kucing garong apalagi tikus. Skuad-nya milik klub orang lain alias pinjaman. Belum lagi tagihan gaji pemain dan staf, serta biaya transportasi yang gali lubang tutup lubang. Semua ini hanya bisa ditutup tiap bulannya dari mengandalkan pemasukan tiket. Benar-benar berjudi. 

Turbulensi di Chelsea sungguh gila-gilaan, menyamai pesawat Hercules yang mati baling-balingnya. Dan catat, ini klub divisi dua pula. Yang menggoda cuma satu, lokasinya yang elite. Di bilangan segitiga Kensington - Knightsbridge - Notting Hill. Kalau di Jakarta, barangkali seperti di sekitaran Jalan Pakubuwono - Hang Tuah yang adem itu.

Sampai akhirnya pada 1982 Kenneth William Bates, pengusaha kontraktor pemugar The Bridge yang bolong-bolong tadi, akhirnya membeli klub itu hanya dengan harga 1 pound. Dibeli lantaran frustrasi membenahi bangunan dan memikirkan seluk beluk klub orang purnakarya ini. Bayangkan, Bates membelinya dengan harga secangkir kopi! 

Banyak yang bilang Bates sudah sinting dan hilang ingatan mengingat Chelsea dalam kondisi kritis dan krisis serta berisiko tercebur ke Divisi Tiga. Siap-siap saja hutang dan pajaknya makin bertumpuk. Bates seolah-olah menjudikan hidupnya. Namun dalam hidup terkadang orang mesti mundur dulu selangkah agar bisa maju dua langkah. 

Ken Bates mulai mengubah pekerjaan, kebiasaan dan waktunya menjadi pengelola klub, dan beruntungnya, dia punya John Neal. Dalam bulan-bulan ke depan yang menentukan, Neal sukses mencegah Chelsea jatuh ke lubang lebih dalam di divisi tiga, hanya di dua laga tersisa musim itu! Chelsea menang 1-0 di kandang Bolton dan bermain 0-0 lawan Middlesbrough di kandang sendiri. 

Bates menang “judi”, dan perjuangan pertama Neal pun, sementara selesai. Chelsea masih bokek memasuki musim 1983/84. Neal kembali harus menyewa pemain atau membeli pemain termurah, yang berisiko seperti mendapat kucing dalam karung. Sudah pasti nama-namanya asing dan aneh-aneh. Salah satu nama yang patut dicatat adalah Pat Nevin. 

Ditolak Glasgow Celtic, Neal buru-buru menggaet penyerang bertipe “Eden Hazard” dalam bentuk lawas. Nevin – yang disapa Wee Pat – seolah-olah jimatnya Neal. Memulai dengan mencukur Derby County 5-0, Chelsea sukses meraih lima kemenangan di 6 laga perdana. Malahan merangkak jadi 13 di 17 partainya dan belum terkalahkan. 

Neal juga melahirkan “legenda” lain yang boleh jadi tidak dikenal oleh Chelsea-mania sekarang. Salah satunya Paul Canoville, pemain kulit hitam pertama sepanjang sejarah di Chelsea. Gelandang sayap ini dicomot dari klub tarkam Hillingdon Borough. Ini risiko besar buat Neal mengingat pendukung Chelsea kebanyakan golongan sayap kanan yang dikenal pemuja rasisme. 

Benar saja, di berbagai waktu Canoville mendapat perlakuan tak manusiawi saat tampil bersama Chelsea. Konyolnya lagi pendukung Chelsea juga ikut-ikutan menghina. Lebih parah lagi, di kamar ganti sendiri pun, Canoville sering “di-bully” dan dihina oleh pemain Chelsea sendiri! Alamak. Karena dirinya masih yakin sebagai manusia, tak urung Canoville berancang-ancang untuk hengkang. Di saat yang tepat, dengan bijaksana Neal datang membujuk seraya memberi tips untuk melupakan hal itu dengan berkata: “Abaikan semuanya itu Paul, yang lebih penting adalah kamu digaji tetap!” Di kemudian hari Canoville berandil besar meloloskan Chelsea ke Divisi Utama di laga penentuan. 

Pembelokan Sejarah 

Sabtu 28 April 1984 ibarat hari koronasi buat Neal. The Bridge yang rata-rata dikunjungi 15 ribu orang, kali ini disesaki 33.447 penonton, sepertiganya adalah fan Leeds United, lawan Chelsea di laga ke-38 Divisi Dua. Gejala bakal ada perayaan gila-gilaan terlihat saat Chelsea unggul 3-0 di babak pertama. Tiba-tiba jumlah penonton membludak hingga 50-an ribu orang! Ken Bates terpaksa turun panggung. Memakai toa, dia minta agar penonton jangan masuk lapangan di akhir laga. Tapi percuma. Usai Canoville bikin gol kelima di saat injury-time, ribuan penonton menyerbu lapangan. Suasana kacau balau. 

Karena deg-degan, wasit langsung menyudahi laga. Uniknya tak satu pun invader menemukan John Neal. Sebelum laga usai, rupanya ia menyelusup ke lorong sendirian. Berjalan tertunduk. Walau masih ada empat laga sisa, Chelsea dan juga Sheffield Wednesday resmi promosi ke Divisi Utama (“Premier League” sebelum 1992/93). Jelang musim 1984/85, Neal menjalani operasi jantung dan wajib beristirahat, tapi nyatanya ia tetap memandu timnya berlaga di Highbury menjumpai Arsenal di pekan pertama (1-1). Chelsea mengakhiri kompetisi secara fantastis dengan menduduki posisi 6 di atas Arsenal! Di akhir musim, Neal resmi meninggalkan gelanggang dengan alasan kesehatan. 

Hingga akhir hayatnya, dia menjadi penonton kehormatan di Stamford Bridge. Setiap saat ia dapat merasakan kini Chelsea telah stabil. Minggu, 23 November 2014, John Neal telah berpulang selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Klub berduka dan mengumumkan kepergiannya dengan testimoni di situs resmi. “Tak berlebihan bila dikatakan mungkin tidak ada kesuksesan Chelsea FC seperti sekarang tanpa kesuksesan John Neal saat mengatasi segala krisis demi menempatkan klub ini sebagaimana mestinya.” 

“Beliau adalah kebijaksanaan sejati yang langka, kata Nevin dengan wajah muram, “bukan saja di sepak bola tetapi juga di kehidupan.” Canoville urun rembug: “Dia pembuat keputusan yang berani, melakukannya dengan benar serta memperlakukan pemain dengan hormat. Saya tidak bisa menemukan satu kata buruk pun darinya, dan tidak yakin ada orang yang lebih baik darinya.” 

Tuah sang mendiang masih ada. Dua hari sebelum pemakamannya, Chelsea tampil kesetanan di pentas Liga Champion dengan menghancurkan tuan rumah Schalke 5-0 di Gelsenkirchen, Rabu dinihari (26/11/2014). Menjelang laga, skuat maupun fan Chelsea mengenang upaya hebat, kehalusan karakter serta kesederhanaan John Neal dengan cara masing-masing. 

Dari yang mulai mengheningkan cipta sampai membaca-baca Wikipedia tentangnya. Sejarah telah menulis begini: tanpa lakon Ken Bates, juga Pat Nevin, Paul Canoville yang amat signifikan, boleh jadi sejarah Chelsea akan berbelok. Namun tanpa orang ini mustahil Roman Abramovich mau membeli Chelsea dan menyulap menjadi gemerlap. Dan pahlawan yang terlupakan itu bernama John Neal. @riefnatakusumah, November 2014 

(foto: chelseafc)
Share:

Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permainan Arsene Wenger, yakni memakai strategi tersirat dan energi tersurat. Dua hal itulah titik terlemah Arsenal. Jika ada yang belum bisa menang dari Arsenal, agaknya itu cuma kalah di bujet transfer saja. Tapi sekarang, Hull City dan Swansea City pun sudah bisa mempraktekkannya. 
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Ngotot memainkan gaya musik klasik di era modern? Silakan saja.
Berulang kali pertanyaan muncul. Bagaimana sih cara Wenger mengemas taktiknya? Apakah taktiknya sudah kadaluwarsa untuk menghadapi agresivitas sepak bola modern? Contoh paling baik mengeksploitasi strategi untuk membunuh gaya Arsenal dibuat Borussia Dortmund di Signal Iduna. Sejak awal, gairah heavy metal Juergen Klopp menyulitkan irama 'musik klasik' karya Wenger. 

Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama membuat klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan kepercayaan diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing

Gaya ini sekarang mulai hot karena menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.

Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi tugas khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing gila atau juga pitbull.

Arsenal adalah klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup bingung melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga jagoan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.

Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim kuat itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal adalah sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh kuat dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.

Di tangan Jupp Heynckess, pada musim 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur saat Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di musim berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin nyata sudah bahwa pola Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.

Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, karena makin menunjukkan ketidakjelasan taktik dan strategi Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar masalah duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger bisa dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Etihad.
Kita lihat determinasi dan kebugaran fisik Phillip Lahm, Thomas Mueller dan Mario Goetze, atau Bastian Schweinsteiger yang kalau tidak bertubuh atletis, pasti bernafas kuda dan agresif serta serba bisa. Saat dipermak Dortmund 0-2 di Signal Iduna, September silam, kunci kemenangan diawali dengan duet Sven Bender-Sebastian Kehl yang menang bertarung atas Mikel Arteta-Aaron Ramsey. Sementara itu Kevin Grosskreutz ditugaskan untuk mengunci pergerakan sang kreator serangan, Jack Wilshere.

Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi saat itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang sebab Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman karena tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap adalah kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.

Menebak Nasib

Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal jago berinovasi kelihatannya sudah kehabisan ide dan kehilangan eranya. Sekarang dia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang deretan pelatih yang lebih muda.

Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 menunjukkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan adalah memperlihatkan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan ketika giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding strategi menyerang. Materi skuad Arsenal sekarang sangat jauh kualitasnya dibanding era kejayaan The Invincibles 2003/04.

Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba berbagai metode, rencana A, rencana B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi deretan paket maut seperti Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.

Dengan materi pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan strategi Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada final Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Anfield.
Tahu-tahu sekarang sudah musim 2014/15. Apa yang didapat Gooner sebagai modal kebanggaan? Titel Piala FA? Turun kelas kalau euforianya berlebihan. Jangankan titel Eropa, selama 9 musim Arsenal tak berdaya merenggut lagi jawara di Inggris. Parahnya lagi beberapa dilalui dengan hinaan sadis, dibejek Manchester United 2-8, dipermak Manchester City 3-6, di-bully Liverpool 1-5, serta ditelanjangi Chelsea 0-6. Barangkali tinggal menunggu, kapan giliran Tottenham Hotspur?

Menyimak berbagai kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger bisa terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf,  musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.

Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di kandang lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang tiba-tiba.

Mereka tak pernah mau bermain open play seperti saat menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa diharapkan dari Wenger.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Stamford Bridge.
Begitu juga dari persiapan teknis. Hampir tidak pernah Wenger mengajak seluruh pemainnya ke dalam ruangan untuk menganalisis rekaman pertandingan dari tim yang akan dihadapi. Memberi arahan, diskusi, menganalisis titik kekuatan dan kelemahan lawan secara visual sehingga tahu apa yang akan dilakukan nanti di hari H. Padahal kata Sun Tzu dalam The Art of War, "kenali dirimu kenali lawanmu, 1000 pertempuran, 1000 kemenangan."

Motif dan Alasan

Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson mengatakan: "Ketika melawan Arsenal, saya butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."

Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seolah-olah mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah dekat." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.

Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat dia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jika lawan sudah dikalahkan.

Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, bisa dipastikan Mourinho adalah master taktik karena kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat bisa terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, karena frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.

Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya adalah kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen adalah problem serius bicara soal target. Jika dia terus angkuh dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.

Terlalu mementingkan filosofi merupakan problem lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan kebanggaan. Naifkah dia? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di sikap mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir pasti.

Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah bisa terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, setelah melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.

Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap saat memberinya contoh langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya jelas sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak remaja, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya karena kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.

Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Kelahiran sejarah pembantaian Arsenal di Old Trafford pada 2014.
Entah terlambat atau tidak, Arsenal masih punya kesempatan untuk mengubah garis nasibnya. Seorang gelandang bertahan, kalau perlu yang bertipe baja, harus didatangkan berapapun harganya. Banyak yang mengusulkan agar Sami Khedira atau Blaise Matuidi segera dibeli pada transfer Januari mendatang. Juga sesosok bek tengah kelas dunia, yang belakangan santer disebut-sebut dia adalah Mats Hummels. Sekarang uang bukan masalah lagi buat Opa Wenger, kecuali sikapnya itu tadi.

Beda Kualitas

Rasanya terlalu sederhana membahas persoalan teknis di tubuh Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi gosip. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa tua perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!

Secara teknis operasional, itulah intisari isu pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling hebat adalah merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara moral ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.

Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari gejala keanehan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap musim. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama hebat dengan kemampuan hebat."

Pendek kata, kan dia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, bisa-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya jelas, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang jago bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.

Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Bould, Seaman, Adams, Dixon, dan Winterburn.
Inilah barisan pertahanan terbaik bentukan dan warisan George Graham, steel defending, fabulous four sepanjang sejarah The Gunners yang diantaranya jadi titisan tim Boring Boring Arsenal di era pra-Wenger. Istilahnya, separo skuat nasional Inggris sudah dijejali rombongan Highbury. Melihat kekompakan enam pemain beringas di garis pertahanan itu, memang karena faktor kebodohan pelatih nasional saja, yang saat itu lagi dijabat Graham Taylor (1990-1993), lantaran pada Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS.

Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger saat datang ke Highbury itu adalah seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi bisa juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger saat jadi pemain juga sama, yakni gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.

David Dein

Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi jago mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol setelah melakukan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun kalau begitu.

Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, yaitu seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.

Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang pria kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka adalah dua belas pria yang senang 'berkelahi' demi bola.
Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Seiring perjalanan waktu, kecerdasan Arsene Wenger mulai luntur.
Bandingkan dengan skuat terakhir sekarang itu, dengan cara head to head langsung. Misalnya Wojciech Szczesny dengan David Seaman, Tony Adams dengan Per Mertesacker dan seterusnya. Apa yang Anda dapat atau pikirkan tentang kualitas skuat Arsenal dulu dan sekarang? Arsenal 2013/14: lini belakang no comment; lini tengah no comment; lini depan tergantung lini belakang dan tengah.

Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang saat itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole sampai terang. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang sanggup menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.

Apa rahasia itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta sikap profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menjadikan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.

Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan peran David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak bisa dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) adalah Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.

Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh khayalan dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.

(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini