Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Liputan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liputan. Tampilkan semua postingan

Kazuyoshi Miura: Figur Pemimpin dan Sumber Berita

Sebut satu nama jika bergaul dengan masyarakat Jepang: Kazuyoshi Miura, maka siapapun akan menghormati Anda! Mitos ini ternyata berlaku untuk semua warga, baik yang suka atau kurang suka dengan sepak bola.

Kazuyoshi Miura: Figur Pemimpin dan Sumber Berita
King Kazu, begitu sapaan intim sang bintang, ternyata mampu mempertahankan reputasinya di mata publik atau insan pers negeri Sakura, empat tahun belakangan ini. Ia mulai populer saat Jepang menjadi juara Asia 1992 di Hiroshima. "Kazu? Dia pemain kesukaan saya. Kehebatannya di atas lapangan, dan juga sifat eksentriknya itu yang saya senangi," tutur Konno Sayaita, seorang sekretaris yang anehnya justru seorang fan klub Nagoya Grampus Eight.

Bersama Ruy Ramos, Tetsuji Hashiratani, dan Tsuyoshi Kitazawa, yang kesemuanya adalah rekannya di Verdy Kawasaky, Kazu mempersembahkan juara tatkala Jepang untuk pertama kalinya tampil di ajang paling elite persepakbolaan Asia itu. "Sulit mencari figur seperti dia, walau kini banyak pemain muda yang menonjol. Apapun yang dilakukannya pasti menjadi berita," kata Michio Koyama, seorang wartawan sepak bola senior.

Dan ketika ia pergi ke Italia untuk bergabung dengan klub Genoa, awal musim kompetisi 1994/95, saat itulah titik kulminasi tertinggi perjalanan kariernya yang dimulai sejak 1985. "Kompetisi Italia adalah impian saya sejak berumur 15 tahun," kilah kapten Verdy ini, sambil tersenyum.

Tim Nasional

Walau Verdy tak mencapai hasil terbaik musim ini di Liga Jepang, sosok Kazu tetap mengusik kalbu Shu Kamo, pelatih kepala tim nasional Jepang. Alasan makin menguat mengingat dukungan publik dan simpati pers terus menebarkan aroma kredibilitas dirinya. Kamo memang memberi kepercayaan kepada Kazu memegang ban kapten. Ia akan menjadi komandan pasukan Jepang di lapangan untuk Piala Asia yang berlangsung di Uni Emirat Arab, 3-21 Desember.

"Ya, dia tetap menjadi andalan kami bukan saja di lini depan tapi juga pemimpin lapangan sebagai modal untuk mengangkat moral bertanding rekannya," ujar Kamo ketika ditanya soal keberadaan Kazu. Hal itu makin terlihat jelas, bagaimana Kazu sering memberi pengarahan pada rekan-rekannya yang lebih muda seperti Takuya Takagi atau Masayuki Okano ketika berlatih.

"Walau masih muda-muda, tapi saya yakin, berkat Kazu mereka bisa mengatasi segala kendala yang ada. Apalagi kami ingin mempertahankan gelar di UEA," kata Kamo lagi. "Beban kami berat, tapi itu harus kami tanggung dan berjuang untuk merebut kemenangan,"kata Kazu optimistis. Buktikanlah Kazu!

(Arief Natakusumah, dari Tokyo)

Data Diri

Lahir: Shizuoka, 26 Februari 1967
Tinggi/Berat: 175 cm/72 kg
Posisi: Penyerang
Klub:
1985 XV de Jau (Brasil)
1986 Santos (Brasil)
1986 Matsubara
1987 CRB Alagoas (Brasil)
1988 XV de Jau
1988 Curitiba (Brasil)
1989 Curitiba (Brasil)
1990 Santos (Brasil)
1990 Yomiuri
1991 Yomiuri
1992 Yomiuri
1993 Verdy Kawasaky
1994 Verdy Kawasaky
1995 Genoa (Italia)
1996 Verdy Kawasaky

(foto: theasahishimbun)

Share:

Kunjungan Joe Royle: Karakter Pemain Ditentukan Di Usia Dini

Jika sepak bola ingin maju, seriuslah dalam pembinaan, terutama di usia dini. Kalimat ini dilontarkan oleh Joe Royle, orang yang baru saja sukses mengantarkan Everton menjuarai Piala FA 1994/95  di Pondok Aren, Tangerang, Minggu (4/6) lalu. Ada apa seorang legenda sepak bola dari Everton mau datang jauh-jauh ke Pondok Aren?

Kunjungan Joe Royle: Karakter Pemain Ditentukan Di Usia DiniSedang mencari rumahkah dia di daerah di Ciputat? Oh tentu tidak. Ada misi yang harus diemban untuk pembinaan sepak bola usia dini. Royle yang datang ke Jakarta atas undangan British International School Jakarta (BISJ) mengakui belum sehebat Terry Venables atau Sir Bobby Robson dalam menilai perkembangan sepak bola dunia. Namun dia cukup 'bertenaga' kalau bicara soal pembinaan sepak bola usia muda.

"Kekuatan sepak bola dunia sedang mengalami transisi. Anda lihat bagaimana perubahan yang sedang terjadi di Eropa dalam satu tahun belakangan ini. Saya yakin mereka yang berhasil itu menerapkan pembinaan usia dini dengan benar," kata Royle yang mengenakan t-shirt biru khas Everton.

Yang dilakukan BISJ menurutnya adalah prototipe pembinaan khas berjenjang yang ada di Inggris secara persis. Ada usia pembinaan 6-8 tahun, 8-10 tahun, 10-12 tahun, 12-15 tahun, serta 15 tahun ke atas. Di usia 15 tahun ke atas, pembinaan dipilih dan dipilah lagi hingga usia 16-19 tahun sebelum dikategorikan pemain jadi.

"Pada kategori 15 tahun ke atas jangan dianggap remeh, karena di saat itulah ditentukan jadi tidaknya seorang pemain di masa depan berdasarkan bakat, dan kemampuan. Ini periode yang paling menentukan dalam pembinaan aspek karakter seseorang. Jadi harus sangat serius," papar mantan striker yang enam kali membela tim nasional Inggris sepanjang 1971-1977 tersebut.

Di belahan dunia lain, selain dua mazhab sepak bola terkuat, Eropa dan Amerika Latin, dia mengaku menjatuhkan perhatian pada Afrika, yang menurutnya dari segi mutu sudah menyamai dua golongan elite sebelumnya. "Lihat Afrika, mereka mempunyai bakat yang luar biasa. Kelemahan mereka hanya ada dalam pengorganisasian pembinaan. Apa jalan pemecahan buat mereka? Harus mau belajar, mendatangkan pelatih Eropa misalnya," tambah lelaki kelahiran 8 April 1949.

Legenda Everton

"Tim Afrika favorit saya adalah Nigeria, dan beruntung kami (Everton) memiliki Daniel Amokachi," ujar Royle setengah bangga menyebut pemain yang dua golnya mengubur impian Tottenham Hotspur di semifinal Piala FA. Wajah Royle mendadak menjadi serius tatkala disodorkan pertanyaan tentang sepak bola Asia.

"Secara umum Asia Barat dan Timur yang baru punya prestasi bagus karena mereka terbukti pernah ikut Piala Dunia. Kekuatan Jepang sekarang juga mengagumkan. Tim sematang Inggris saja susah payah untuk mengalahkannya," katanya sambil menyitir hasil kemenangan Inggris 2-1 di Piala Umbro, belum lama ini.

Kunjungan Joe Royle: Karakter Pemain Ditentukan Di Usia DiniNama Joe Royle di blantika sepak bola Inggris cukup terpandang. Bukan saja dia mantan pemain nasional tapi juga berkat karyanya di Everton sebagai pemain, juga pelatih. Saat Everton memecat Mike Walker, dia diwariskan pekerjaan penuh risiko itu, sejak akhir 1994. Panggilan hati tampaknya jadi alasan kuat kenapa dia memutuskan angkat kaki dari Oldham Athletic menuju Goodison Park. Tanggung jawab moral jadi dasar keputusan Royle. Merasa dibesarkan klub, dia ingin membalas budi dengan berkontribusi lewat usaha kongkrit. Di sisi lain, reputasi Everton tentu saja sangat melambung dibanding Oldham. Berani menghadapi tantangan lebih tinggi sudah menggambarkan seperti apa sosok pria yang masih tinggi tegap tersebut.

Di balik risiko ambruknya prestasi Everton di Liga Primer, namun masih tersembunyi sinar kesuksesan yang kelak bisa menjulangkan namanya. "Yang saya benahi pertama kali adalah fighting spirit pemain, Saya tahu betul karakter klub ini. Makanya kami dijuluki sang jagoan," kata legenda hidup Everton pencetak 102 gol dari 232 kali sepanjang 1964-1974 ini.

Royle benar. Rumus itu dibuktikannya, dan hanya kurang dari setahun, sebuah titel dipersembahkan kepada Everton dari ajang Piala FA. Obsesi berikutnya tentu ada di Liga Primer. The Toffees terakhir kali menjuarai liga pada musim 1986/87. Sanggupkah Joseph Royle mengejahwantahkannya?

Latar belakang manajemennya akan jadi penentu. Berbekal 474 kali main di liga dengan total 152 gol, termasuk di Manchester City, Bristol City, dan Norwich City, Royle memutuskan menukangi Oldham Athletic pada Juli 1982, beberapa bukan setelah gantung sepatu. 

Tidak ada prestasi istimewa diraihnya selama di Oldham selama 9 musim. Namun di akhir musim 1990/91 sesuatu yang luar biasa mendatanginya. Untuk pertama kalinya, Royle mengantarkan Oldham promosi ke Liga Primer. Sayangnya Oldham hanya bertahan satu musim saja.

Pada 1992/93, mereka kembali ke divisi satu. Di akhir 1993/94, untuk kedua kalinya Royle membawa Oldham promosi lagi ke Liga Primer sekaligus menjadikan Latics sebagai semifinalis Piala FA di musim ini sebelum dihajar Manchester United dalam sebuah laga play-off.

Namun lagi-lagi, sebelum musim 1994/95 berakhir, yang akhirnya membawa klub yang berasal di pinggiran kota Manchester tersebut kembali terjerembab ke kelas asalnya, dia meninggalkan Oldham untuk bergabung ke Everton, sesuai panggilan jiwanya, yang baru saja memecat Mike Walker. Dendam Royle pada Red Devils sewaktu menyingkirkan Oldham, langsung dibayar di Everton.

Di musim pertamanya itu, The People's Club mengalahkan Manchester United 1-0 di final Piala FA lewat gol tunggal Paul Rideout di menit 30. Selama menjadi pemain, karier Royle terbilang lumayan meski naik turun. Pernah membela tim nasional adalah pengalaman yang menjadi CV-nya tinggi. Enam kali di Three Lions serta 10 kali di tim nasional junior. Semasa aktifnya, Royle juga pernah main di semua kejuaraan antarklub Eropa.

Mohon Maaf

Bahkan di Piala Champion 1970/71 dia menyumbangkan empat gol untuk Everton. Royle juga merumput bersama Everton di Piala Winner 1966/67. Namun di Piala UEFA 1976/77, kostumnya telah berganti sebab dia kali ini bermain untuk Manchester City. Saat itu Royle berkesempatan menghadapi Juventus yang kemudian jadi juara.

Raut muka Royle mulai kusam serta tidak bahagia ketika saya tanyakan soal sepak bola Indonesia. "Saya mohon maaf sebelumnya, karena tidak mengetahui sedikit pun sepak bola negara Anda. Namun saya sempat diberitahu bahwa ada pemain Anda yang berkiprah di FC Luzern, Swiss. Saya rasa itu menjadi awal yang bagus," ungkap ayah tiga anak yang semuanya lelaki itu apa adanya.

Namun dia tampak berbinar dan menjadi berbalik semangat saat penulis menanyakan Everton. Menurutnya dalam waktu dekat pihaknya paling tidak akan mengontrak beberapa pemain muda yang sedang ngetop misalnya Stan Collymore (Nottingham Forest) atau Les Ferdinand (Queens Park Rangers) di pentas bursa transfer untuk menghadapi musim 1995/96.

Rencana itu, kata Royle, selain untuk menghadapi ajang Piala Winner 1995/96 sekaligus buat memperbaiki lini penyerangan agar di musim depan prestasi Everton bisa meningkat. "Ya tepat sekali. Collymore menjadi incaran utama kami," katanya rada kaget namun tetap menjawab pertanyaan penulis soal isu hangat Collymore yang memang sedang naik daun di Premier League musim lalu itu.

Bahkan dia sekalian membeberkan hal yang cukup mengejutkan. "Dan Everton telah menawar seharga 7 juta pound," tandas Joseph Royle, pria kelahiran asli Merseyside di wilayah Norris Green, Liverpool. Dihitung-hitung, tujuh juta pound berarti sekitar Rp 24 miliar.

Dalam pengakuan lainnya, Royle bilang Everton mungkin tidak akan membeli pemain asing lain yang dirasa sudah cukup dimiliki. Ada eks Arsenal, Anders Limpar (Swedia), sejumlah pemain asal Irlandia, Skotlandia, Wales, serta Amokachi sendiri. "Pasalnya itu akan menyulitkan kami juga berkompetisi di Piala Winner karena UEFA hanya mengizinkan tiga pemain asing," tandas Royel.

Secara implisit, dia mengaku lebih ingin Everton merekrut pemain binaan dari akademi sendiri. Suami dari Janet Royle, dan ayah dari Lee (24), Darren (21), dan Mark (14) ini dikenal sebagai pelat yang selalu dekat dengan para pemainnya. Penampilannya simpatik, necis pula. Saat turun bertanding, di pinggir lapangan dia tidak pernah berteriak atau memaki pemainnya.

Maka wajar jika seluruh pemain Everton menghormatinya, setengah memuji setinggi langit. "Dia dekat dengan kami dan semua orang di Everton," aku Neville Southall, kiper legendaris Everton, suatu kali. Duncan Ferguson, calon bintang masa depan The Toffess juga berujar positif. "Saya mau bergabung dengan Everton karena saya kenal wataknya," kata Ferguson, pemain termahal di Everton musim ini.

Anders Limpar, yang bergabung dari The Gunners sebelumnya, juga menorehkan kesannya. "Kami selalu tertekan dengan (Mike) Walker. Namun kehadiran Royle telah mengembalikan kegairahan. Dia juga membangun mentalitas kami," kata gelandang internasional Swedia yang baru saja diperpanjang kontraknya oleh Royle untuk dua tahun ke depan.

Omong-omong, apa target Everton di Piala Winner musim 1995/96 nanti, begitu penulis memberikan pertanyaan terakhir kepadanya saat mengobrol di Pondok Aren. "Juara! Kami harus mempunyai keyakinan dalam segala hal," sergahnya cepat dengan mimik serius. Wah, mantap, Sir!

(foto: arief natakusumah)

Share:

Ada Joe Royle Di Pondok Aren

Tak banyak perbedaan antara apa yang pernah dipuji media Inggris dan kenyataan di lapangan. Ia tetap ramah, penuh perhatian, dan akrab. Sederet kesan itulah yang tampak dari Joe Royle (46), manajer Everton - klub yang baru saja menjuarai Piala FA 1994/95. Kedatangannya yang pertama kali ke Jakarta adalah dalam rangka pembukaan kompleks baru British International School Jakarta (BISJ) di Pondok Aren, Tangerang, yang juga diramaikan oleh turnamen sepak bola internasional antar sekolah asing se-Jakarta edisi yang kelima.

"Hai, apa kabar," sapanya lebih dulu ketika saya menemuinya, Ahad, 4 Juni 1995. "Ini kedatangan saya yang pertama ke sini. Jadi, maaf kalau banyak yang tidak saya ketahui tentang Indonesia," lanjut mantan striker yang pernah enam kali dan dua golnya membela tim nasional Inggris sepanjang 1971-1977 itu dengan jujur, sambil tersenyum tentunya.

Ada Joe Royle Di Pondok Aren
Namun Royle bisa juga jadi serius atau bahkan lucu. Serius jika digiring bicara bola. Ketika membalik-balikkan Mingguan BOLA yang saya bawa khusus untuknya, tiba-tiba dia memekik, "Aha, ini 'kan Amokachie dan ini saya!" serunya dengan mimik lucu bin takjub yang membuat saya tertawa senang. Waktu saya bersiasat "licik" dengan "menghajarnya" dengan kamera pocket saat membaca koran tersebut, dia baru menyadari apa yang terjadi, lantas sontak berujar: "Nice, nice, it's brilliant publication!" Kami semua tertawa dibuatnya.

Sebagai tamu istimewa yang "diimpor" langsung dari Inggris, Royle terus didampingi oleh kepala sekolah BISJ, Richard Birchall, dan direktur litbang Jill McLean ke mana pun dia melangkah di kompleks sekolah asing tersebut. Bahkan saat wawancara, kedua tokoh BISJ itu ikut mendengarkan dengan seksama. Walau di negeri jauh, namun nama Joe Royle rupanya masih sakti mandraguna di kalangan warga Inggris Tangerang. Tak jarang, langkah atau gerakkannya terhenti tiba-tiba mana kala beberapa dari mereka meminta foto bersama atau tanda tangannya. Baik tua maupun muda, atau besar maupun kecil. 

Sementara banyak masyarakat Indonesia, kebanyakan orang tua murid, hanya menyaksikan sambil melongo dan terus menebak kira-kira siapa Mister Joe Royle ini. Didera aktivitas dan situasi yang mendadak, toh senyum khasnya tetap tidak hilang dari wajahnya yang ramah. Sepanjang koridor dia menyapa siapa saja yang dilaluinya. "Siapa namamu? Teruslah berlatih ya," ucap Royle dengan wajah kocak saat menanyakan dan menyalami seorang bocah bule ketika diminta mengalungi medali pemenang turnamen sepak bola anak-anak. Biar terlihat amat kegerahan dengan udara sekitar dan sedikit letih, pria kelahiran 8 April 1949 itu terus berusaha semangat dan ceria.

"Kami mendapat kehormatan besar kedatangan manajer tim yang barusan meraih FA Cup. Anda lihat sendiri 'kan, anak-anak pun tahu siapa dirinya dan mereka menyukainya," ucap Miss Jill McLean dengan bangga pada saya. "Ia pelatih yang luar biasa karena bisa mengangkat Everton ke tempat terhormat di Inggris," tambah Birchall menimpali.

Ada banyak hikmah yang didapat dari sosok Royle. Rupanya kisah sukses seseorang selaras atau seiring sejalan dengan sifat dan sikap yang ada di dalam kepribadiannya yang hangat dan penuh perhatian. Kesan ini pula yang barangkali dirasakan oleh pemain Everton. Semua menyukainya. Dalam taraf khusus buat pencinta Everton, Royle meraih dua sukses sekaligus, yaitu menyelamatkan The Toffees dari degradasi dan merebut Piala FA. 

(foto: Arief Natakusumah) 

Share:

Jadwal Padat, Biang Keladi Kekalahan Gelora Dewata dalam Tur Kalimantan

Memang berat. Tekad Gelora Dewata untuk minimal tidak kalah selama turnya di Kalimantan, gagal menjadi kenyataan. Akhirnya pada pertarungan ketiga, mereka tumbang juga. Adalah tim tuan rumah Putra Samarinda (Pusam) yang bertarung di kandang, Stadion Segiri, mampu menundukkan tim yang pernah menjuarai Piala Liga VII 1993/94 ini dengan skor 1-0.
Jadwal Padat, Biang Keladi Kekalahan Gelora Dewata dalam Tur Kalimantan
Hasil ini terasa menyakitkan mengingat dalam empat kali pertemuan, Pusam belum pernah menang, dua diantaranya di tempat yang sama. Gelora, yang sebelumnya bermain imbang 0-0 dan 1-1 melawan Persiba Balikpapan dan PKT Bontang, terlihat kewalahan menghadapi Pusam.

Beberapa kali gempuran yang dilakukan dua striker Pusam, Jalil Jamaluddin dan Hendri Susilo, membuat morat-marit sektor belakang Gelora yang dikoordinasi oleh kapten tim Kadek Suwartama. Meski tanpa diperkuat beberapa pemain inti, antara lain Suradi dan Ibrahim Lestahulu, tim berkostum kebanggaan kuning-kuning itu bermain lebih taktis dan banyak menekan lawannya, terutama di babak kedua.

Tercatat dua peluang emas di babak pertama gagal dimanfaatkan oleh Jalil, yang sering terlepas dari kawalan Yanto dan Freddy Mulli. Sebaliknya, meski disaksikan oleh owner Gelora, Haji Mislan, tim ini terlihat kurang mengigit. Vata Matanu Garcia, yang kembali dipasangkan dengan Abel Campos dan Jeremi kerap belum padu kerjasamanya dengan Ida Bagus Mahayasa ataupun Agus Suryanto.

Eddy Gemilang

Apalagi pemain berkepala plontos itu kemana pun selalu dikawal ketat  oleh gelandang bertahan Pusam, Abdul Rahim, sampai-sampai terlibat konflik yang bikin wasit Drs. Sakka Jamain (Ujung Pandang) memperingatkannya. Tak tampilnya Misnadi Amrizal memang membuat tusukan Geloran kurang tajam. Akibatnya, Mahayasa terlihat bekerja sendirian di depan.

Apalagi, Jeremie dan Campos tampil di bawah form terbaiknya. Lengkaplah sudah kemacetan serangan Gelora. Walau banyak ditekan, beberapa peluang toh tetap ada. Sayang, tendangan Jeremi dalam posisi bebas melambung dan sundulan Mahayasa hanya membentur mistar gawang Pusam.

Tak dipungkiri, salah satu bintang lapangan saat itu adalah kiper tuan rumah Eddy Harto. Mantan penjaga gawang nasional berumur 34 tahun ini bukan saja bermain gemilang, tapi juga taktis dalam memberikan komando dari belakang.

Gol Pusam yang membuat histeris penonton terjadi akibat kecerdikan gelandang Yance Katehokang. Pada menit ke-85, mendapat bola di garis penalti lawan, ia memanfaatkan pergerakan Jalil dan Hendri yang diikuti lawan. Ia akhirnya terus melaju dan berhadapan dengan kiper Gelora, Sutrisno Herlambang, dari sebelah kanan. Gol pun lahir di jelang akhir laga.

Faktor kelelahan pemain, yang sejak semula dikhawatirkan kubu Gelora, memang benar-benar terjadi. Tambahan recovery juga kurang berlangsung mulus. Ini yang tak bisa dipungkiri oleh kubu Gelora. Biang keladinya tak lain jadwal yang padat. “Anak-anak terlihat habis di babak kedua, mau bagaimana lagi?” kata pelatih Sutrisno.

“Kekalahan kami hanya faktor luck mereka saja. Coba lihat, mereka dapat memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan kami tidak,” keluh manajer tim gelora, Ir. Vigit Waluyo, usai pertandingan yang disaksikan sekitar 7.000 penonton itu.

“Pusam bermain lebih baik dan dapat memanfaatkan kelebihan anak-anak. Kalau mereka tenang, seharusnya gol sudah terjadi dari babak pertama,” tambah Mislan, yang khusus datang dari Semarang untuk menyaksikan pemainnya bertarung. Barangkali akan serupa nasib tim tamu yang melancong ke beberapa tempat dengan jadwal padat. Aturlah jadwal lebih baik lagi dong, PSSI! Mau dibawa mutu kompetisi kalau dibiarkan?

(foto: Arief Natakusumah)

Share:

Gelora Dewata Menghindari Julukan Jago Kandang

Target Gelora Dewata masuk empat besar wilayah timur kini tengah diuji berat. Ujian itu, apalagi kalau bukan tur Kalimantan-nya yang harus dijalani hingga Rabu mendatang. Dibilang berat sah-sah saja karena mereka harus menempuh ratusan kilometer dengan jalan darat ala roller-coaster untuk menembus hutan Kalimantan mulai Balikpapan, Bontang, Samarinda, hingga Banjarmasin!

Gelora Dewata Menghindari Julukan Jago KandangDan yang paling ditakutkan sebenarnya adalah kejenuhan pemain. Jadwal pertandingan liga yang kurang sistematis akibat kondisi geografis memang membuat semua tim, baik dari wilayah barat maupun timur, pada saatnya akan menjalani kunjungan borongan.

Dan hal itu kini tengah dialami oleh klub kebanggaan masyarakat Bali ini. “Ya karena sistem dan jadwalnya begitu, kita ikuti saja. Soal jenuh pemain? Mereka ‘kan bukan pemain pemula lagi, jadi harus bisa mengatur waktu,” kata Nino Sutrisno, salah seorang dari trio pelatih tim Gelora Dewata.

Kalau tahun lalu, saat kompetisi Galatama periode akhir digulir, mereka dapat mencapai runner-up, adakah kesempatan kali ini terulang, bahkan lebih fenomenal lagi yakni menjuarai kompetisi Liga Indonesia format baru? “Kenapa tidak? Asal disiplin dan kebersamaan tetap dijaga, hal ini bisa saja kami dapatkan. Namun, target utama kami cukup itu dulu, empat besar,” ujar Ir.Vigit Waluyo, manajer Gelora.

Selanjutnya ia berbicara mengenai misi Gelora selama di Kalimantan. “Dari maksimal 12 angka, mendapat sepertiga target saja sudah bagus. Ya, minimal dapat empat atau enam angkalah,” tambah manajer yang sering bercanda dengan pemainnya ini.

Oleh sebab itu, Vigit pun tak ambil pusing ketika timnya ditahan imbang oleh Persiba. “Yang penting dapat angka, jangan punya target terlalu tinggi,” timpalnya usai pertandingan. Justru dua pemain asing Gelora, Abel Campos asal Angola, dan Jeremi Mboh Nyetam (Kamerun) yang kecewa dengan hasil itu.

Tanpa Matanu

“Saya tidak mengerti dengan permainan kami waktu itu, padahal jika melawan tim tangguh kami sering main baik,” ungkap Jeremi. Sedang Campos juga mengakui bahwa tidak adanya Vata Matanu mempengaruhi tim. “Kami bermain buruk waktu itu, serangan jarang membahayakan gawang lawan. Ditambah dengan lapangan yang becek, maka hasil seri menurut saya sudah bagus,” timpal Campos, sambil berjanji akan bermain lebih baik lagi.

Hal senada juga diucapkan oleh pelatih lainnya, Nino Sutrisno. “Tidak adanya Vata Matanu memang membuat tim kami pincang. Mereka bertiga sudah menyatu,” katanya. Selain itu, Gelora datang ke Kalimantan tanpa beberapa pemain terasnya seperti kiper Erick Ibrahim yang pindah ke Mitra, atau Nus Yadera yang sedang cedera.

Maka untuk menjaga keutuhan tim, Gelora amat mengharapkan kerjasama tim di luar lapangan. Maksudnya, jika tidak sedang bertanding, faktor keakraban dan kebersamaan harus dijaga. “Bisa kacau permainan nanti jika ada pemain yang clash misalnya. Ini pengalaman saya selama melatih,” kata Nino, yang pernah membawa Persebaya juara Divisi Utama PSSI tahun 1988 dan 1993 ini.

Keberhasilan kecil Gelora dalam tur Kalimantan bisa jadi banyak ditentukan oleh dua pemain asingnya itu. Mampukah mereka memberikan kemampuan semaksimal mungkin? Kalau saja Campos dan Jeremi menampilkan permainan buruk ketika melawan Persiba, bukan tidak mungkin Gelora akan terjungkal. Di sini ujian sesungguhnya muncul, sebab apakah mereka hanya jago kandang?

Setelah tur Kalimantan ini, yang berakhir 22 Maret mendatang, Gelora kembali bermain di kandang dengan menjadi tuan rumah bagi dua tim Jawa Timur, Persebaya Surabaya dan Persegres Gresik, minggu pertama April. Kemudian mereka kembali melakukan perjalanan jauh dengan bertandang ke Ujung Pandang menghadapi PSM dan ke Jayapura menghadapi Persipura.

(foto: Roosyudhi Priyanto)

Share:

Persiba: Penontonnya Fanatik Tapi Aman

Prestasi Persiba Balikpapan yang mengecewakan di Liga Indonesia tidak harus membuat suporternya merasa kecewa. Ini terbukti jika tampil di kandang sendiri, para pencinta tim kota minyak itu begitu garang. Akibat grogi dengan fanatisme penonton di Stadion Persiba, Gelora Dewata, Tim papan atas wilayah Timur, pun tak kuasa melumat mereka dalam pertandingan yang ternyata berjalan seimbang itu.

Persiba: Penontonnya Fanatik Tapi Aman
Namun jangan salah sangka. Garangnya penonton di sini dalam arti memberi dukungan, tidak dengan ulah atau tindakan. Berteriak atau mencemooh ‘kan sah-sah saja saat menonton sepak bola sebatas tidak mengganggu pertandingan.

Promosi dan upaya meyakinkan berbagai pihak lewat imbauan di media, juga sering dilakukan. Hasilnya prestasi mereka “bermain di kandang tanpa kerusuhan” tetap terjaga. “Hal ini sudah berlangsung sejak kami berada di divisi satu, utama, dan Liga Indonesia sekarang ini. Alhamdulillah, hal yang memalukan itu tidak pernah terjadi,” ucap Ali Sofyan Noor, Ketua Umum Persiba.

Memang, biar bagaimanapun, pengurus harus aktif, terutama melakukan pendekatan dengan pendukung serta pemain. Jangan hanya pemain saja yang diurus, seperti yang banyak dilakukan tim lain. “Sejak dulu kami sangat aktif menjalin kerjasama dengan para suporter, terutama melakukan pendekatan pada mereka, baik turun langsung ke lapangan maupun imbauan melalui media. Mengurus suporter itu lebih berat dibanding dengan mengurus pemain,” tambahnya.

Tidak Dendam

Untuk itu yang paling dijaga adalah kedekatan antara pengurus dan suporter supaya akrab. Kalau terjadi ketidakpuasan, tak jarang mereka mengajak dialog. Alhasil, pengurus hampir dikenali akrab oleh mereka. Inilah kuncinya.

Perlu diingat, Persiba juga punya fans club. Mereka yang merasa dekat dengan Persiba, orang mana pun akan merasakannya sendiri. Ini sudah berlangsung lama. Padahal kalau main di kandang lawan, Persiba biasanya selalu dimusuhi dan diteror oleh pendukung lawan. Namun, yang lebih istimewa, para pendukung Persiba tidak pernah mengenal balas dendam. Buat mereka siapapun yang bermain baik itulah yang didukung. Bisa-bisa tim tamu malah mendapat dukungan karena mainnya lebih bagus. Ini sudah pernah terjadi.

Meski begitu, sebagai syarat dari suatu pertandingan dan antisipasi lebih lanjut, petugas keamanan tetap diperlukan. “Tapi biasanya petugas keamanan yang bertugas hanya puluhan orang saja. Kami menempatkan dua orang di setiap sudut lapangan. Dan itu sudah cukup. Pokoknya, tim mana pun yang bermain di sini akan aman. Dan ini kami jamin,” lanjutnya. Maka, Persiba memang layak ditiru.

(foto: wiki/dekama94.wordpress.com)

Share:

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka Sendirian

Kenikmatan Dejan Gluscevic menghadirkan anak dan istrinya di Indonesia, tentu tidak ternilai. Apakah itu karena dia tinggal di Bandung, di Tanah Jawa? Bagaimana keadaan ekspatriat lapangan bola lainnya, terutama yang di luar Jawa? Enam pemain asing yang ditemui ternyata tidak semua membawa keluarganya. Ada banyak faktor.

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka Sendirian
Ada yang masih bujangan, ada pula yang merasa belum merasa kariernya belum settle di kancah sepak bola Indonesia, yang masih taraf semi profesional. Namun ada pula yang uniknya menganggap bakalan repot, atau ingin sendirian. Berikut komentar atau alasan-alasan mereka.

Alfonso Abel Campos (Angola, Gelora Dewata)

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka SendirianPenyerang asal Angola kelahiran 4 Mei 1967 ini paling terkenal dibandingkan dengan kedua rekannya. “Teman-teman di sini sudah cukup menghibur saya. Saya tak terlalu memaksakan keluarga saya harus berada di Bali. Kalau mereka disuruh datang ya saya terima. Jika tidak no problem,” ucapnya. Ia juga mengakui bahwa kedatangan keluarganya akan merepotkan dirinya, karena harus mengurusi mereka. “Belum lagi masalah visa,” tambah ayah dari dua anak ini. Baginya, cukup Jeremie dan Vata Matanu yang membuatnya bergairah di Gelora. “Dengan mereka saya bisa melupakan keluarga dan kekalahan,” timpal Campos jujur.

Jeremie Mboh Nyetam (Angola, Gelora Dewata)

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka Sendirian“Keluarga? Saya hanya mempunyai ayah, ibu, dan adik-adik,” jawabnya disusul dengan tertawa lepas. Merekalah yang memberi dukungan saya dari jauh. Kalau kangen sama mereka, saya tinggal angkat telepon,” ujar Jeremie yang di Bali tinggal bersama Campos.

Entah bercanda, niat atau serius, bahkan Jeremie ingin mencari jodoh di Bali. “Wanita di Bali cantik-cantik, saya ingin mendapatkannya meski sebagai teman dekat saja,” tambah pemain kelahiran 22 Agustus 1975 ini sambil mengumbar tawa.

Tidak kesepian? “Sama sekali tidak, karena suasana di klub amat familiar. Hiburan lain adalah memperhatikan sepak bola Eropa dan klub idola kami, Benfica,” ujar Jeremie sambil memperlihatkan majalah France Football.

Vata Matanu Garcia (Angola, Gelora Dewata)

Lelaki asli Angola yang akan berusia 30 tahun ini, pada 30 April nanti, baru bergabung dengan timnya saat menghafapi PKT Bontang, 15 Maret. Keterlambatannya diakibatkan oleh karena mengurusi visa kedua anaknya, Edson (8) dan Edmar (5) yang kini diboyongnya ke Bali. “Saya sempat tertahan empat hari di Paris,” katanya. Satu anaknya lagi masih bersama istrinya yang tinggal di Paris. Lho tidak diajak?

“Biar, kapan-kapan saja. Dua sudah cukup menghibur,” tutur Vata. Dan Vata juga yang dianggap obat pelipur lara saat timnya kalah. “Ada saja yang bikin kita jadi tertawa,” kata kapten tim Kadek Suwartama.

Iulian Pomuhaci (Rumania, PKT Bontang)

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka SendirianKehadiran sang istri, bagi penyerang bernomor punggung 10 ini tentu membuatnya tambah betah berada di kota yang berhadapan dengan Selat Makassar itu. “Ya, keberadaan Anca ikut membantu penampilan saya secara keseluruhan. Tapi yang lebih penting adalah dia sebagai pengisi hidup saya di sini. Apa jadinya saya tanpa dia di sini?” kata pria asal Rumania.

Di waktu senggang, bersama Minea dan Dana, pasangan ini juga sering berkumpul untuk sekadar bermain kartu atau ngrumpi. “Jika bosan, biasanya kami ke pantai atau berbelanja di Bontang Plaza,” ucap Pomuhaci, penyerang kelahiran 26 Juni 1968.

Iulian Minea (Rumania, PKT Bontang)

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka SendirianHampir senada dengan rekan senegaranya, striker kelahiran 6 Desember 1969 ini juga menyebutkan kehadiran istri menjadi salah satu sumber ketenangannya bermain di Bontang. “Memang enak bekerja dekat dengan keluarga. Kebetulan istri saya cocok dengan suasana di sini,” tutur Minea yang telah mencetak empat gol. Maka baginya tak ada lagi alasan untuk tidak tampil bagus bersama PKT. “Rasa rindu saya telah terobati dengan kehadiran Dana Silvia dan Bogdan,” lanjut Minea sambil menyebut nama sang istri dan anaknya itu.

Francisco Jose Soares (Brasil, PKT Bontang)

Kelakuan Pemain Asing: Yang Afrika Lebih Suka SendirianDia adalah pemain asing ketiga di klub kaya yang dimiliki BUMN ini. Dilahirkan 16 April 1970, pria Brasil ini mengaku masih bujangan. Gayanya yang enerjik, terbuka, dan ramah menandakan dia orang yang pandai bergaul dengan siapa saja, terlebih lagi dengan rekan-rekan setimnya.

Mungkin gara-gara pembawaannya yang periang, dia merasa tak begitu kesulitan mengatasi kesepian di negeri orang. Soares, yang punya stamina paling oke, mengisi hari-harinya dengan bepergian atau belanja selepas latihan atau bertanding. “Sejak berangkat ke sini saya sudah diberi tahu oleh Mr. Ionita (agen pemain asing), soal kondisi Bontang. Makanya saya sudah siap dengan yang namanya kesepian, rasa rindu, dan lain-lain. Jadi harus ada obatnya,” ucapnya terburu-buru karena akan diajak pergi oleh Minea dan Pomuhaci.

(foto-foto: arief natakusumah)

Share:

Ronny Patti Angkat Topi Buat Kalimantan

Dulu ketika masih SD, ketika sering diajak ayah ke Senayan, terus terang saya tidak begitu mengidolakannya sebab dia bukan pemain Persija Jakarta. Beliau adalah pemain PSM Ujungpandang. Ketika dia hijrah ke Jakarta dan sempat sebentar bergabung dengan Persija, saya mulai menyukainya. Terutama gaya permainannya yang tenang dan taktis dipadukannya dengan kelihaian membaca permainan dan mencetak gol.

Tubuhnya yang jangkung amat kentara saat berkeliaran di lini tengah, sangat pas untuk mengimbangi Iswadi Idris yang pendek dan selalu kelotokan. Koran-koran yang saya baca waktu itu sering mengulas persaingan kepemimpinan, ikon, posisi, dan peran antar Iswadi dan Ronny, bukan saja antara Persija dan PSM (Perserikatan), Jayakarta dan Warna Agung (Galatama), namun juga persaingan di tim nasional.

Kebetulan ayah saya menyukai kedua gelandang top yang waktu itu rasanya tidak ada yang mendekati masing-masing karakteristik permainannya. Yang satu tenang, cerdas karena selalu pakai otak. Satunya lagi selalu ngotot, penuh tenaga, dan berapi-api serta jago bikin gol. Saya pun jadi ikut terpengaruh. Waktu terus berlalu, puluhan tahun kemudian saya beruntung menemui Ronny Pattinasarani.

Bicaranya penuh logika dan masih lugas, menandakan kecerdasannya. Sikapnya yang terus terang dan simpatik membuatnya semakin berwibawa. Maka, tak heran jika Bang Ronny, panggilan akrab pendukung Persiba untuk Ronny Pattinasarani, amat dihormati oleh masyarakat sepak bola di Balikpapan. Pun di mata para pemainnya.

Memang secara implisit, nama besarnya sebagai salah satu pesepak bola terbaik yang pernah dimiliki Indonesia juga dipertaruhkan. Tak heran pikirannya selalu menerawang jauh memikirkan timnya demi tuntutan komunitas sepak bola di kota minyak itu. Namun, sekali lagi, tampak dia menghadapi itu semua dengan ciri khasnya: ketenangan.

Contohnya, setelah Persiba bermain imbang 0-0 melawan Gelora Dewata di Stadion Pertamina, Ahad lalu, dengan jitu ia menerapkan taktik mengefisienkan permainan mengingat stamina pemainnya cukup mengkhawatirkan. "Persiapan kami hanya enam hari, dan kemampuan anak-anak sebenarnya hanya satu babak," katanya terus terang.

Puji Penonton
Ronny Patti Angkat Topi Buat Kalimantan
Ronny Patti memberi briefing saat turun minum.
Saya menyaksikan sendiri di kamar ganti Persiba bagaimana dia mengatur strategi untuk permainan di babak kedua. Wajahnya serius dan matanya selalu menatap satu per satu pemainnya sembari menunjuk papan taktik yang digelar di hadapannya. Sadar pasukannya kalah fisik dan stamina, Ronny menginstruksikan harus bagaimana untuk membendung serangan Gelora dengan efisien dan efektif. Akhirnya keadaan genting itu dapat diatasinya.

Lepas dari yang sebenarnya mengecewakan itu, usai laga berakhir dia menyatakan rasa bersyukur terhadap para suporter tuan rumah. Kemampuan Persiba tampil dalam tempo tinggi banyak dibantu oleh mereka. Bagi pelatih, hal ini tentunya sudah menjadi salah satu modal untuk bekerja sukses. "Penonton di sini berbeda sekali dengan daerah lain. Anda bisa lihat sendiri. Pokoknya saya angkat topi dan salut buat mereka," puji Ronny yang didampingi dua asistennya, Junaidi dan M.Arsyad.

Penilaian Ronny tidak sembarangan, tentu berdasar pada pengalamannya yang sudah kenyang ke berbagai daerah dan luar negeri. "Pokoknya kita sebagai insan sepak bola harus menghargai penonton seperti di Balikpapan ini," lanjutnya. Baginya, suasana bagus telah didapatkan. Yang tinggal ditunggu adalah prestasi Persiba ke depan. Semoga sukses ke depan. Bukan begitu, Bang?

(foto: Arief Natakusumah)

Share:

Kalimantan Timur Patut Diacungi Jempol

Kalimantan Timur ternyata tidak hanya terkenal dengan minyak dan gasnya. Klub sepak bolanya pun tangguh. Lebih dari itu, adalah keberadaan penontonnya. Boleh di kata, merekalah penonton terbaik di Liga Indonesia sekarang ini. Sejak dulu mereka tidak pernah bikin keributan.

Kalimantan Timur Patut Diacungi Jempol

Salah satu tim di sana, Persiba Balikpapan umpamanya, tak pernah bikin kerusuhan sejak tahun 1988, tepatnya ketika mereka berkiprah di divisi utama. "Biasanya mereka hanya berkaok-kaok saja. Selama ini di Stadion Persiba tidak pernah ada kerusuhan. Jangankan itu, yang namanya lempar-melempar ke dalam lapangan saja tidak ada. Saya mengetahui benar karakter penonton dan tingkah suporter Persiba sejak masuk divisi satu PSSI tahun 1988," ujar Mulyono S, BBA, ketua panitia pertandingan yang juga pengurus teras Persiba.

Dua tim lainnya, Putra Samarinda dan Pupuk Kaltim (PKT) Bontang, yang semuanya dari provinsi paling makmur  di Kalimantan itu, membuktikan bahwa tanpa suporter fanatik yang berbau vandalisme, prestasi mereka toh tetap baik. Penonton di Jawa boleh bergolak, di Sumatra kadang memanas, namun tidak untuk mereka. Sampai detik ini, para penonton di sini tetap terjaga emosionalnya.

Bahkan ketika timnya menderita kekalahan misalnya. Seperti yang dialami oleh Putra Samarinda saat ditaklukkan tetangganya, Barito Putra, 0-1, Ahad lalu di Banjarmasin. Beberapa suporter setia mereka malahan menyambut dan mengelu-elukan kedatangan tim yang dimotori oleh Edi Harto, Jalil Jamaluddin, dan Hendri Susilo itu di Samarinda. Begitu pula apa yang dilakukan oleh pendukung setia Persiba Balikpapan. Tidak terlihat rasa ketidakpuasan yang berlebih pada mereka. Hasil seri melawan Gelora Dewata ternyata lebih disyukuri ketimbang dicerca.

"Boleh dibilang beruntung melatih tim yang pendukungnya tidak rewel," kata pelatih Persiba, Ronny Pattinasarani. "Jangankan Persiba yang kalah atau menang tetap kami cintai, tim lain pun kalau bermain bagus dan sportif bakal kami dukung," tambah Hartono, salah seorang suporter tim kota minyak itu.

Tampil sebagai underdog dalam Liga Indonesia juga membuat mereka makin memperoleh dukungan penontonnya. "Memang target kami hanya menghindari degradasi," tambah Drs. Ali Sofyan Noor, Ketua Umum Persiba. Di sisi lain, prestasi Persiba Balikpapan yang mengecewakan di Liga Indonesia tidak harus membuat suporternya merasa kecewa. Ini terbukti jika tampil di kandang sendiri, para pencinta tim kota minyak itu begitu garang. Tim papan atas wilayah Timur, Gelora Dewata, pun tak kuasa melumat mereka dalam pertandingan yang ternyata berjalan seimbang itu.

Namun jangan salah sangka. Garangnya penonton di sini dalam arti memberi dukungan, tidak dengan ulah atau tindakan. Berteriak atau mencemooh kan sah-sah saja saat menonton sepak bola sebatas tidak mengganggu pertandingan. Promosi dan upaya meyakinkan berbagai pihak lewat imbauan di media, juga sering dilakukan. Hasilnya prestasi mereka: bermain di kandang tanpa kerusuhan, tetap terjaga.

"Hal ini sudah berlangsung sejak kami berada di divisi satu, utama, dan Liga Indonesia sekarang ini. Alhamdulillah, hal yang memalukan itu tidak pernah terjadi," ucap Ali Sofyan Noor, Ketua Umum Persiba. Memang, biar bagaimanapun, pengurus harus aktif, terutama melakukan pendekatan dengan pendukung serta pemain. Jangan hanya pemain saja yang diurus, seperti yang banyak dilakukan tim lain.

Tidak Dendam

"Sejak dulu kami sangat aktif menjalin kerjasama dengan para suporter, terutama melakukan pendekatan pada mereka, baik turun langsung ke lapangan maupun imbauan melalui media. Mengurus suporter itu lebih berat dibanding dengan mengurusi pemain," tambahnya. Untuk itu yang paling dijaga adalah kedekatan antara pengurus dan suporter supaya akrab. Kalau terjadi ketidakpuasan, tak jarang mereka mengajak dialog. Alhasil, pengurus hampir dikenali akrab oleh mereka. Inilah kuncinya.

Perlu diingat, Persiba juga punya fans club. Mereka yang merasa dekat dengan Persiba, orang mana pun akan merasakannya sendiri. Ini sudah berlangsung lama. Padahal kalau main di kandang lawan, Persiba biasanya selalu dimusuhi dan diteror oleh pendukung lawan. Namun, yang lebih istimewa, para pendukung Persiba tidak pernah mengenal balas dendam. Buat mereka siapapun yang bermain baik itulah yang didukung. Bisa-bisa tim tamu malah mendapat dukungan karena mainnya lebih bagus. Ini sudah pernah terjadi.

Meski begitu, sebagai syarat dari suatu pertandingan dan antisipasi lebih lanjut, petugas keamanan tetap diperlukan. "Tapi biasanya petugas keamanan yang bertugas hanya puluhan orang saja. Kami menempatkan dua orang di setiap sudut lapangan. Dan itu sudah cukup. Pokoknya, tim mana pun yang bermain di sini akan aman. Dan ini kami jamin," lanjutnya. Maka, Persiba memang layak ditiru.

Dukungan serupa juga muncul dari daerah lain, misalnya di Samarinda. "Sikap fanatik yang berlebihan terhadap tim tertentu seperti di Jawa, tidak ada di sini. Setahu saya penonton Samarinda sopan terhadap tamu, apalagi terhadap Pusam," papar Wijaya, seorang pecandu sepak bola setempat.

Sementara itu suara dari Bontang hampir senada. Di kota yang terangkat berkat klub PKT itu nyaris tidak pernah ditemui gejolak penonton yang mendekati huru-hara. "Hal itu amat musykil terjadi. Penonton dating ke sini, ya untuk menikmati pertandingan. Itu saja yang selama ini terjadi," kata Thamrin Muis, manajer PKT Bontang, ketika ditemui di Stadion Mulawarman.

Kata orang, lain padang lain belalang. Dinamika kehidupan di tanah Jawa dan Kalimantan memang berbeda. Selain itu karakteristik penontonnya pun mengalami diferensiasi. Memang pada awalnya sepak bola tercipta dari kerusuhan. Tapi tidak berarti kita harus mentoleransi munculnya holiganisme sepak bola yang akan menggagalkan tekad Indonesia menuju pentas dunia.

(foto: tjandra)

Share:

Pusam Tak Mau Kusam

Putra Samarinda punya tekad meneruskan kementerengannya. Setelah tim-tim kuat dihantam, kini giliran PSIR Rembang akan ditelannya, Rabu depan. Ambisi itu wajar saja sebab Pusam sudah membuktikannya. Selain menumbangkan Gelora Dewata 1-0, tim Laskar Kuning itu pernah pula membekap jagoan tim Timur, Asyabaab Salim Grup (ASGS) 2-1.

Tim pertama ditumbangkannya di kandang sendiri, sedang ASGS rontok di Surabaya. Memang saat itu, tim yang dilatih oleh pelatih kondang Rusdi Bahalwan tersebut belum memperlihatkan tajinya seperti sekarang. Namun hal itu cukup mengingatkan ketangguhan Pusam yang dilatih oleh mantan kiper Niac Mitra era 1980-an, Hendrik Montolalu.

“Sebenarnya ketangguhan kami terletak pada semangat juang anak-anak dan dukungan penonton. Soal teknik, tak jauh berbeda. Tapi kemenangan bukan karena faktor teknik saja, kan?” tutur Hendrik, yang disegani oleh penonton Samarinda.

Begitu pula yang dirasakan oleh Mitra dan tim kejutan Persema, yang masing-masing dipukul 2-0 dan 1-0. Hanya Arema saja yang ‘selamat’ bermain di kandang angker, Stadion Segiri. Singgih Pitono dkk. berhasil meredam ambisi mereka lewat hasil seri 1-1. Petro Putra dan Persebaya, yang menggulung Pusam di kandang sendiri, boleh jadi akan menjadi korban berikut.

Pusam Tak Mau Kusam
Menurut pemilik klub Pusam, H. Harbiansyah Hanafiah, timnya selalu tampil impresif jika bermain di Samarinda. Mereka tidak ingin kusam tampil di depan para pendukung. “Sayangnya, jika tandang, kami tak punya suporter. Ini yang sedang kami pikirkan dengan mendirikan fans club,” ucap pria yang juga pengusaha lokal itu. Padahal jika dibanding Putra Mahakam di Galatama dulu, suporter Pusam jauh lebih banyak.

Ia menuturkan kiatnya agar para pemain sendiri selalu tampil ngotot. “Mereka saya ultimatum, pilih sepak bola atau kerja lain. Biar begini pemain Pusam itu sudah profesional semua,” tandas Pak Haji yang suka bermain golf itu sambil menyeringai.

Masih cari pemain lagi, Pak Haji? “Iya, tapi bukan pemain asing. Tidak menjamin kok. Pemain lokal pun kalau dibina secara baik dengan rangsangan yang cukup akan bagus. Untuk itu sepenuhnya kami percaya pada pelatih. Itu saja,” tambahnya. Benar juga Pak Haji, asal pelatihnya bagus dan mumpuni! 

(foto: arief natakusumah)

Share:

Iswadi Idris: Persija Almamater Saya

Suatu hari saat melakukan liputan pertandingan reguler Liga Indonesia di Stadion Menteng, saya dikejutkan oleh pemandangan tak biasa yang terlihat di antara berjubelnya penonton. Wajahnya tidak asing sejak saya masih anak-anak, karena dia adalah salah satu idola saya sewaktu kecil karena identik dengan Persija, kemudian Jayakarta, dan tentu PSSI, julukan beken tim nasional Indonesia.

Iswadi Idris: Persija Almamater Saya

"Persija sekarang beda banget dengan Persija yang dulu!" Ini kata Iswadi Idris (47), mantan pemainnya, bahkan salah satu legendanya, yang kini melatih klub asal Yogyakarta, Mataram Putra. Masih dengan gaya ceplas-ceplosnya yang khas, Iswadi memang dikenal blak-blakan dan bernada agak keras.

Dipergoki saat menonton pertandingan Persija vs Persiku Kudus di Stadion Menteng, Ahad Januari lalu, beberapa kali dia menggelengkan kepala setiap serangan Persija kandas. Kecewa, Bang Is? "Ah, nggak," tukasnya cepat. "Kesalnya sama saja dengan penonton lain kalau melihat serangan gagal."

Iswadi mengakui tidak bisa melupakan kenangan dan kecintaannya pada Persija, klub yang melambungkan namanya ke angkasa sepak bola nasional. "Ya, Persija kan almamater saya. Dari sini saya menjadi terkenal," kata gelandang sayap kiri yang identik dengan nomor 13 yang juga sering menjadi kapten Persija.

"Dulu neh kalau Persija maen, suporter nggak dikit kayak gini. Dulu Persija cuman satu, nggak seperti sekarang. Di Jakarta, orang mane aje jadi suporter Persija. Pokoknya nggak ade yang meragukan Persija deh!" tambah Iswadi makin semangat sambil mengepulkan asap rokoknya.

Menurut dia selain dukungan penonton, kehebatan Persija ada pada kualitas pemain dan permainannya. Wajar jadinya melihat Iswadi yang kebanyakan mendesah atau ngeplak kepala saat melihat anak-anak Jakarta sekarang yang banyak gagalnya saat membongkar gawang anak-anak Kudus.

Iswadi juga mengaku kaget melihat keadaan Stadion Menteng sekarang yang katanya babak belur di sana-sini. "Bagus masih ada rumputnya. Dari dulu semua pertandingan divisi Persija dilakukan di sini," jelas pria kelahiran Banda Aceh, 18 Maret 1948 ini.

Ada uneg-uneg lain yang ingin disampaikan Iswadi. Menurutnya wasit dan penonton masih jadi masalah. "Keduanya ancaman serius sukses tidaknya Liga Indonesia," tandasnya. "You harus tulis, wasit di sini harus banyak belajar lagi. Masak kita tidak boleh mengritik? Menurut saya Komisi Wasit PSSI itu tidak berfungsi," tambahnya masih dengan nada sengit. Siap deh, Bang Is!

(foto: tjandra/majalah olympic)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini