Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Nostalgia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nostalgia. Tampilkan semua postingan

Big-Match Indonesia Muda vs Jayakarta: Siapa Tahu Ada Keajaiban, Kata Iswadi


Apakah akan terjadi keajaiban malam ini di Stadion Utama Senayan? Mungkinkah Jayakarta melalap Indonesia Muda lebih dari 10 gol dan dengan demikian tampil sebagai juara Galatama karena unggul selisih gol dari Warna Agung?

Iswadi Idris, kapten kesebelasan Jayakarta, sudah menjawabnya seusai akhir pertandingan dramatis melawan Warna Agung, Rabu malam lalu. Ditemui di kamar ganti, Iswadi hanya menggeleng. “Rasanya mustahil,” ujarnya.

Tetapi ketika berbicara di hadapan para pemainnya, pemain merangkap pelatih Jayakarta itu berpendapat lain. “Lupakanlah kekalahan melawan Warna Agung. Kita, semua kita, siapkan diri sebaik mungkin melawan Indonesia Muda nanti. Siapa tahu ada keajaiban,” katanya bersemangat.

“Keajaiban” memang bisa terjadi di gelanggang olah raga menjadi bertambah semarak. Tetapi bagi kita, penonton, kalau toh keajaiban itu terjadi, masih ada yang sama menarik ditunggu.

Tekad Jayakarta untuk mencetak gol kemenangan sebanyak mungkin, berarti mereka harus menyerang all out. Dengan demikian kita bisa harapkan untuk tidak lagi Jayakarta dengan daya serang yang begitu memukau ketika mereka menggulingkan Warna Agung 2-0 dalam putaran pertama kompetisi Maret tahun lalu.

Hanya pernah dua kali kalah, meski gagal menjadi juara, Jayakarta pantas untuk bertepuk dada sebagai kesebelasan dengan reputasi tersendiri. Kedudukan sementara dari clash-nya dengan Warna Agung selama musim 1979/80 pun masih 2:2, dua kali kalah dan dua kali menang.  Karena itu dari Jayakarta masih dituntut oleh para penggemarnya untuk membuktikan “kelasnya” malam nanti. Jayakarta boleh gagal menjuarai Galatama, tetapi be a good loser.
                                                                                 
Start Lambat

Lalu apa kabar dengan Indonesia Muda? Dibintangi pemain-pemain tenar seperti Hadi Ismanto, Dede Sulaiman, Junaedi Abdillah, dan kalau boleh ditambah, Suaeb Rizal, Wahyu Hidayat, dan Syamsul Suryono, klub asuhan pelatih Suwardi Arland ini – meski sering disebut-sebut sebagai salah satu favorit juara – justru amat sering memprihatinkan selama kompetisi.

Dimulai dengan ditahan 1-1 oleh Tidar Sakti di Magelang, IM kemudian dihadang draw lagi oleh Buana Putra dan Arseto, Bahkan lebih tragis lagi, dikalahkan Pardedetex cukup telak di akhir putaran pertama kompetisi. Dan setelah mengalami “debacle” dikalahkan Jaka Utama di Tanjungkarang, Januari 1980, peluang IM menjadi amat samar. Peluang itu kemudian benar-benar sirna ketika minggu lalu Jayakarta dikalahkan Warna Agung.

Tetapi malam ini, tetap ada sesuatu yang pantas untuk diraih IM. Kemenangan atas Jayakarta, berarti akan mengangkat posisi IM ke urutan kedua di bawah sang juara. Ini masih lebih terhormat dari urutan ketiga, sambil menghibur diri bahwa IM adalah satu dari tiga kesebelasan yang pernah mematahkan dominasi Warna Agung.

Dalam putaran pertama kompetisi, IM mengungguli Warna Agung 3-1. Kemenangan terbesar yang pernah dicatat suatu kesebelasan atas Warna Agung. Bahkan lebih kecil dari kekalahan 1-2 yang diderita IM dari Warna Agung di putaran kedua.

Hanya yang menjadi soal, apakah IM akan cukup “lancar” sejak menit pertama pertandingan untuk bisa mencetak kemenangan. Masalah inilah yang nyaris selalu mencemaskan setiap kali IM turun ke lapangan. Rekan saya, Sumohadi Marsis, secara tepat menamakan IM sebagai slow-starter. Entah karena diperkuat oleh begitu banyak pemain veteran, IM sangat sering terlambat hidup kerjasama regunya.

Big-Match Indonesia Muda vs Jayakarta: Siapa Tahu Ada Keajaiban, Kata Iswadi

Cukup sering IM harus lebih dulu diungguli sebelum balik memaksa kemenangan. Melawan Tunas Inti dan Perkesa 78, gol kemenangan itu bahkan baru bisa dicetak di menit-menit terakhir. Andaikata malam ini, IM lagi-lagi begitu terlambat bangkit, sulit mereka harapkan kejadian itu berulang lagi. Pertahanan Jayakarta sama sekali tidak sama dengan Tunas Inti dan Perkesa.

IM sebenarnya pernah membuktikan sebaliknya, menjadi sebuah tim yang agreif sejak awal babak pertama, sebagaimana penampilan mereka melawan Warna Agung, 12 Januari lalu. Atau juga ketika IM menggulung Perkesa 2-0 di putaran pertama kompetisi. IM yang demikianlah yang membuat pertandingan mereka melawan Warna Agung, Januari lalu, akan terus tercatat sebagai salah satu pertandingan paling menarik selama kompetisi. IM yang demikianlah yang juga kita harapkan malam ini.
                                                                        
Lini Belakang

Ketua IM, Dimas Wahab, pernah mengeluh. “Pertahanan kami sebenarnya tidak sejelek diperkirakan orang. Hanya karena pemain lapangan tengah yang kurang taktis membantu pertahanan sehingga kami sering kebobolan,” ujarnya.

Dari jumlah gol, jelas terlihat IM adalah tim yang sebetulnya punya daya dobrak kelas satu. Dalam mencetak gol, IM cukup berpacu dengan Warna Agung dan Niac Mitra. Tetapi karena organisasi pertahanan yang keropos, IM menjadi kesebelasan yang paling banyak kemasukan dari “5 Besar” Galatama.

Sinyalemen Dimas Wahab ada benarnya. Junaedi Abdillah dan Johny Fahamsyah yang sering menjadi pilihan pertama di sektor ini, lemah dalam intersepsi maupun tackling. “Penjelajah” Junius Seba terkadang mempesona tetapi lebih sering tidak konsisten. Dan yang paling mengecewakan adalah Suaeb Rizal dan Wahyu Hidayat.

Pernah bertahun-tahun menjadi “stopper” nasional kelas satu, Suaeb Rizal dikenal tidak saja sebagai perusak yang gigih tetapi juga pembangun serangan yang jeli. Tetapi kini ia nampaknya seperti “terlalu tua” dalam usianya yang ke-31. Serba ragu-ragu, tidak percaya diri, dan lamban.

Wahyu Hidayat ketika memperkuat Persija dan team nasional juga, pernah bermain gemilang sebagai back kiri maupun pemain lapangan tengah bertahan. Namun selama memperkuat IM, Wahyu begitu sering tampil seakan-akan pemain pemula. Makmun dari Angkasa masuk memperkuat IM media tahun lalu dan nampaknya memberi perbaikan di sektor back kanan.Tetapi duetnya bersama Wahyu, sering dibalik-balik oleh IM secara tidak beralasan.

Di jantung pertahanan, Matui yang “all-out” yang ideal. Edy Sabenan yang pernah dikagumi Wiel Coerver, sangat kegemukan. Sedangkan pemain muda Nus Lengkoan, meski berbakat, terlalu banyak yang masih harus dipoles. Saya pernah punya pilihan kwartet belakang IM: Makmun back kanan, Matui “stopper”, Wahyu Hidayat “free-back”, Johannes Auri back kiri. Pemain terakhir ini, terlepas dari segala kekurangannya dalam kelenturan (flexibility), masih yang terbaik dalam pengambilan posisi. Lini empat belakang ini, bila perlu, dibantu Suaeb Rizal sebagai ekstra-stopper.
                                                                                
Hadi Ismanto

Dimas Wahab juga pernah selangit memuji ujung tombak Hadi Ismanto. “Saya heran pemain seperti dia tidak dipilih Coerver dalam SEA Games,” tukasnya. Hadi Ismanto dalam form terbaiknya memang begitu mobil dan eksplosif. Ia juga cerdik dalam membentuk ruangan di kotak penalti atau menyerbu ke kotak penalti. Tetapi juga cukup sering Hadi Ismanto bergerak tak menentu, salah mengantisipasi manuver rekan yang lain.

Di daerah sayap, IM memiliki Dede Sulaiman dan Syamsul Suryono yang pernah menunjukkan diri sebagai yang terbaik di negeri ini. Tetapi sejak dikontrak IM, Mei tahun lalu, anehnya Dede Sulaiman amat jarang mempertontonkan dribbling dan akselerasinya yang mengesankan. Sedangkan Syamsul Suryono yang di awal debutnya sangat gigih dan taktis dalam melakukan “switch”, kini serba ragu-ragu mengambil putusan.

Tetapi saya masih ingin melihat lagi IM dalam kondisi puncaknya, 12 Januari lalu, di mana hanya karena kurang beruntung mereka dikalahkan Warna Agung 2-1. Ketika Wahyu Hidayat dan Junaedi Abdillah, bahkan juga Matui, begitu rajin mendukung serangan yang dibangun di kedua sayap.

Saya masih ingin melihat Junius Seba sebagai penjelajah yang tak mengenal menyerah. Saya masih ingin melihat Hadi Ismanto yang penuh inisiatif. Saya maish ingin melihat Dede Sulaiman dan Syamsul yang lincah serta tajam. Saya masih ingin melihat lagi Junaedi, bahkan juga Johny Fahamsyah, sebagai “pemukul” di mulut gawang lawan. Mengapa bukan malam ini?  (Valens Doy, Kompas Sabtu 19 Januari 1980)

Share:

Iswadi Idris: Kostum PSSI Telah Ditinggalkannya

Seorang pemain paling kontroversial telah mengundurkan diri dari percaturan sepak bola internasional. Iswadi Idris si “L’enfant terrible” telah menyatakan pengunduran dirinya 22 Mei 1980 lalu kepada PSSI dan organisasi pengatur sepak bola nasional itu menyetujuinya disertai ucapan terima kasih.

“Anda tahu kenapa ia melakukannya? Ia sudah memperoleh gantinya di sini,” kata Hari Suharto, seorang pembina sepak bola di Jakarta Selatan. Yang dimaksudkannya “di sini” adalah sebuah meja bilyar di restoran Hotel Tambora, Kebayoran Baru.

Iswadi tersenyum tanpa menoleh kepada pembicara. Hampir tiap pagi kadang-kadang sampai menjelang latihan sore, ia memang menenggelamkan kesibukannya menyodok bola-bola bundar kecil itu. Permainannya sudah memiliki kelas. Melawan pemain-pemain biasa ia selalu memberikan “voor” 20 sampai 30.

Senyuman Iswadi yang khas merupakan isyarat yang mengandung sejuta arti. Tapi siang itu senyumannya adalah untuk mengatakan “tidak”. Dan bukan sekedar menyatakan bahwa bilyat hanya sebagian dari beberapa kegemarannya – di samping catur, bridge, musik, dan membaca “apa saja”. “Sepak bola masih tetap merupakan jalan hidup saya. Saya hanya mengundurkan diri dari kesebelasan nasional. Saya masih tetap bermain dan melatih untuk Jayakarta,” katanya.

“Saya sudah terlalu lama bermain untuk kesebelasan nasional,” katanya untuk menjelaskan pengunduran dirinya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan terus menerus bersedia dipanggil PSSI sebenarnya saya melakukan monopoli. Hingga pemain-pemain muda merasa tertekan, seolah-olah kesempatan mereka saya tutupi.

Kuala Lumpur

“Saya tak mau kesan itu berlanjut. Tapi yang juga mendorong saya mundur adalah usia saya. Saya sudah 32 tahun sekarang. Saya rasa sudah waktunya untuk lebih memikirkan keluarga". 

"Satu hal lain yang bisa ditambahkan di belakang deretan alasan pengunduran dirinya itu adalah sejarah. “Saya pertama kali memperkuat PSSI untuk pertandingan internasional di Kuala Lumpur, dan di ibukota Malaysia itu pula saya ingin mengakhirinya”.

Iswadi Idris: Kostum PSSI Telah Ditinggalkannya

Tahun 1967, dalam umur 19 tahun, sebenarnya Iswadi sudah mulai mengenakan kostum PSSI ketika kesebelasan nasional dihadapkan dengan Uni Sovuet junior di Medan. Tapi penampilan pertamanya dalam pertandingan “full internasional” memang baru diperolehnya di Kuala Lumpur, setahun kemudian.

Saat itu permainannya sedang mulai menanjak, kebetulan bersamaan dengan tengah memuncaknya prestasi regu nasional. Di Kuala Lumpur dalam turnamen Merdeka Games itu, PSSI hanya menduduki urutan ke-4, tapi tak lama kemudian di Bangkok, mereka menjuarai turnamen King’s Cup.

Bagi Iswadi sendiri masa-masa itu amat mengesankannya, terutama dalam keberhasilannya menjadi pemain sayap kanan yang dikagumi baik oleh kawan maupun lebih-lebih lawan.

Pasangan bermainnya kala itu adalah Abdul Kadir di sayap kiri, Jakob Sihasale sebagai penyerang tengah dan Sutjipto Suntoro yang menjadi pengumpan serta penyerang-ekstra produktif dari posisinya di lapangan tengah.

Di lapangan tengah itu sendiri masih ada Basri Yusuf dan Surya Lesmana, sedangkan di deretan empat-belakang terdiri atas Yuswardi, Anwar Ujang, Mulyadi, dan Sunarto.

“Saya amat merasakan permainan kami waktu itu sangat kompak.Semua pemain saling mengerti gaya dan kehendak pemain lainnya, hingga kerjasama kami cocok sekali. Ibaratnya, sambil merem pun permainan jalan.”

Setahun kemudian, 1969, mereka kembali ke Kuala Lumpur, dan tidak lagi nomor empat, tapi juara. Sayang, piala yang mereka rebut di Bangkok tahun sebelumnya terlepas, dan harus puas menjadi runner-up.

“Sejak itu hingga awal 1972 pamor kesebelasan PSSI memang menurun. Bahkan dalam turnamen internasional di dalam negeri, Jakarta Anniversary Cup, kami tidak mampu menjadi juara.”

Tapi Iswadi bersama sebagian besar rekan-rekannya di PSSI, masih sempat menikmati hari-hari cerahnya dalam klub Pardedetex di Medan – klub yang dianggap sebagai perintis sepak bola bayaran a la Indonesia.

Iswadi sendiri beberapa kali ikut dipanggil PSSI. Ia baru muncul kembali pertengahan 1972 ketika PSSI disiapkan untuk turnamen Anni Cup. Dengan PSSI masih menggunakan sistem Komisi Teknik yang diketuai Sjarnubi Said, Iswadi cs muncul sebagai juara. Tak lama kemudian di Singapura mereka juga menjuarai turnamen Pesta Sukan, bahkan dalam suatu “All Indonesian Final” karena PSSI mengirimkan dua kesebelasan sekaligus.

Dalam masa “malaise” PSSI di gelanggang internasional sejak 1972 itu, Iswadi masih menikmati karir dengan jalannya sendiri. Selama dua tahun, 1974 dan 1975, ia dikontrak “dengan gaji cukup besar” oleh klub semi-prof di Sydney, Australia – Western Suburbs. Kembali dari sana ia pindah dari klub lamanya, Indonesia Muda, ke Jayakarta dan bersama Anjas Asmara cs mempertahankan gelar juara Divisi I Persija.

Masih dalam grafik naik turun PSSI yang belum juga mampu merebut sesuatu turnamen internasional, Iswadi juga keluar masuk pelatnas. Ia sempat membuat heboh ketika tahun 1977, Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono, menyuruhnya pulang ke Jakarta seusai pertandingan kedua dalam Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura, meski kemudian datang lagi dan bermain kembali dalam pertandingan terakhir melawan tuan rumah di mana Indonesia menang 4-0.

Kostum PSSI masih terus beberapa kali dikenakannya, sampai yang terakhir dalam Pra-Olimpiade 1980 di Kuala Lumpur bulan Maret lalu ketika ia bertekad untuk mengundurkan diri dari kegiatan internasional. “Saya mulai di Kuala Lumpur dan saya akhiri juga di Kuala Lumpur. Kebetulan ketika saya berangkat hari itu, 18 Maret, persis kelahiran saya.”

Joel Lambert

Selama 12 tahun ikut serta dalam percaturan sepak bola, tapi Iswadi tidak tahu berapa kali ia memperkuat regu nasional. Juga tak diingatnya berapa gol yang telah dicetaknya. 

Kenangannya lebih melekat kepada Joel Lambert, orang yang mula pertama membinanya melalui klub anak-anak gawang, MBFA, ketika ia masih 9 tahun. “Ia seorang pembina yang luar biasa. Dedikasinya sangat besar dan tanpa pamrih. Kehidupan pribadinya masih tetap sangat sederhana hingga sekarang, sampai setiap kali bertemu, saya malu. Merasa berdosa sebab saya belum juga mampu membantunya.”

Lambert, yang tahun 1973 dipilih para wartawan olah raga Jakarta sebagai Pembina Terbaik, memang dikenal sebagai penemu dan pencetak banyak pemain berbakat yang kemudian menjadi terkenal seperti juga Bob Hippy. Iswadi pun dalam masa itu ikut menjadi juara antar kesebelasan gawang di dalam asuhannya.

Tahun 1961, dalam umur 13 tahun, Iswadi mulai masuk IM yang tempat latihannya kebetulan tidak jauh dari rumahnya di Jl. Kramat Lima, Cikini. Pelatih pertamanya di situ juga masih hangat dalam kepalanya, yakni Murdono yang kini sudah almarhum.

Bahkan dalam klub IM itulah ia menjadi makin matang. Itu pula sebabnya ia suka menghabiskan waktunya di Tambora, tempat rendezvous bagi kebanyakan anggota IM. Tapi ia menjadi besar bukan tanpa dukungan bakat yang diturunkan orang tuanya.

Idris, yang sudah enam tahun meninggalkannya, pernah menjadi pemain sepak bola cukup baik. “Kawan mainnya waktu itu adalah ayah Tan Liong Houw,” kata Iswadi yang hanya mempunyai seorang adik, perempuan, dan kini pun menikah dengan seorang bekas pemain sepak bola.

Ny. Idris pada masa mudanya juga seorang atlit seperti saudara-saudaranya yang lain, meski tak sempat menjadi atlit besar pula. Iswadi yang lahir di Banda Aceh ketika ayahnya menjadi guru SMP di sana, seperti muncul untuk menjadi penerus bakat kedua orangtuanya dalam bentuk lebih lengkap.

Hasilnya kemudian memang terbukti. Tapi menjadi anak laki-laki tanpa saingan, dan besar di kalangan anak-anak Kramat yang keras, agaknya juga mempengaruhi karakter Iswadi. Ia menjadi seorang dewasa yang memiliki cukup kecerdasan – sempat mencapai tingkat III Fakultas Ekonomi extension UI – tapi juga seorang yang nakal, “l’enfant terrible”.

Sikap itu nampak dalam permainannya di lapangan. Dalam masa sesudah Sutjipto mengundurkan diri, ia ganti menjadi motor dalam kesebelasan nasional. Tapi sementara itu ia juga beberapa kali menjadi awal dari terjadinya insiden, bahkan meski ban kapten melingkari lengannya.

Apakah itu ada hubungannya dengan kostum nomor 13 yang menjadi favoritnya? Iswadi menggeleng. “Saya senang nomor itu untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan orang jelek, buat saya justru tidak.”

Tentang kenakalannya itu sendiri ia bilang. “Itu hanya luapan emosi saya di lapangan. Saya tak bisa melihat kawan saya dilukai lawan. Kalau saya membelanya dengan memukul lawan, itu juga karena terpaksa. Tapi selalu, sehabis memukul saya sadar bahwa perbuatan saya itu salah.”

Belakangan ia mulai kurang reaktif. Posisi yang ditempatinya, di barisan belakang, nampaknya mengurangi sikap agresifnya. Juga usianya yang mulai menua, dan keluarga dengan satu anak laki-laki yang ditanggungnya.

Tapi Iswadi masih terus dalam deretan pemain yang patut dipuji otak dan keterampilannya. Istri almarhum pelatih Tony Pogaknik bahkan pernah membuka kembali apa yang pernah dikatakan suaminya tentang Iswadi: bahwa ia sesungguhnya lebih berbakat untuk menjadi pemain belakang, posisi yang baru ditempatinya setelah hampir 10 tahun menjadi penyerang.

“Saya sadari hal itu, tapi saya tidak tahu kenapa. Mungkinkah hanya karena dulu saya mengagumi Tan Liong Houw?” Tapi kekagumannya terhadap Liong Houw hanya sekedar ikut-ikutan. “Saya hanya sekali atau dua kali melihatnya main. Sekarang kalau saya ketemu malah maunya berantem melulu”.

Pemain yang justru dikaguminya sungguh-sungguh adalah Gunther Netzer, pemain tengah Jerman Barat, yang tidak sempat memperkuat regu nasionalnya dalam Piala Dunia 1974. “Ia seorang dirigen. Beckenbauer hanya bermain di barisan belakang. Tapi Netzer, ia menjadi motor dari posisinya di lapanga tengah dengan keunggulannya membaca permainan lawan. Saya coba berpikir seperti Netzer”.

Masa Depan

Netzer kini menjadi general manager klub Hamburg SV, juara Jerman Barat tahun lalu yang kini gagal mempertahankannya. Iswadi masih main untuk Jayakarta sambil melatih. Apakah karirnya akan dilanjutkan seperti Netzer? “Saya belum tahu. Terus terang, sampai sekarang saya masih terus berpikir akan jadi apa nanti. Mungkin tetap di sepak bola, mungkin juga tidak. Tentu saja saya punya ambisi untuk menjadi pelatih nasional. Tapi saya lihat waktunya. Saya kan baru mulai”.

Baru mulai, tapi Iswadi memiliki modal cukup untuk menjadi pelatih yang baik tidak saja dengan pengalamannya sebagai pemain. Ia memiliki sertifikat pelatih dari Federasi Sepak Bola Australia. Tahun 1978 selama satu setengah bulan ia juga sempat menyaksikan dari dekat sistem latihan dalam tiga klub Divisi I Inggris, Derby County, Arsenal, dan Tottenham Hotspur.

Apapun karir yang akan diselaminya kelak, ia mempersembahkannya untuk kebahagiaan keluarganya. Menikah tahun 1972 dengan Esly Pardede yang dikenalnya ketika masih bermain untuk Pardedetex, Iswadi kini memiliki seorang junior berumur 4 tahun, Fanny Irwan. Mereka tinggal dalam sebuah rumah cukup mewah di daerah Rawamangun dengan sebuah Honda Civic di garasinya. “Semuanya hasil saya bermain di Sydney”.

Tapi bukan Sydney yang menjadi kenangan paling manis dalam karirnya meskipun di sana ia sempat terpilih sebagai salah satu pemain terbaik dalam kompetisi liga Australia. Kenangan paling manis buat Iswadi justru di Medan ketika Persija memenangkan turnamen Piala Marah Halim tahun 1977 – hanya tiga minggu setelah kegagalan PSSI di Singapura.

“Di Medan saya rasakan sekali betapa indahnya kemenangan, dan betapa sakitnya kekalahan. Saya begitu dicemoohkan di Singapura, bahkan dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Tapi di Medan saya buktikan bahwa semuanya itu bohong!” (Sumohadi Marsis, Kompas Sabtu 31 Mei 1980). 


Foto: Forza Persija.
Share:

PSSI Harimau: Namanya Galak, Bagaimana Permainannya?


Bekas pemain tim Pra Olimpiade 1976 -  minus Lukman Santoso, Nobon, Suhatman, Johannes Auri, Robby Binur, Waskito, dan Taufik Lubis yang bernaung di bawah panji PSSI Garuda - kini menyandang nama yang lebih galak: PSSI Harimau.

Diasuh oleh Drs F.H. Hutasoit dan Sinyo Aliandu, kebolehan PSSI Harimau bakal diuji di kaki pemain Stoke City, klub divisi satu Liga Inggris di Stadion Utama Senayan, pekan ini. Adakah PSSI Harimau akan bermain segalak namanya? 

Tampaknya tidak akan demikian. Meski di barisan PSSI Harimau masih tersisa nama beken seperti Iswadi Idris, Risdianto, Andi Lala, Junaidi Abdillah, Anjas Asmara, Suaeb Rizal, Oyong Lisa, dan Ronny Pasla.
PSSI Harimau: Namanya Galak, Bagaimana Permainannya?
Si boncel Iswadi Idris.
Tapi tanpa kehadiran Lukman Santoso, Johannes Auri, Suhatman, dan Waskito, ketimpangan dalam gerak dan kerjasama tim jelas tak terhindarkan. Titik lemah yang nyata kelihatan dalam masalah penunjukkan pemain pada posisi bek kiri. Karena setelah tempat itu ditinggalkan oleh Johannes Auri, belum tampak pemain pengganti yang tepat untuk dibebani tugas tersebut.

Sakit Panas

Melihat keadaan yang rumit itu, Hutasoit seolah dihadapkan pada jalan bersimpang yang ruwet. Di satu pihak, ia dituntut untuk mempertahankan reputasi yang telah dibangun tim Pra Olimpiade dalam pertandingan final, Februari lalu. Di lain pihak, ia terbentur pada persoalan pengisian tempat yang ditinggalkan sebagian pemain.

Kendati di Jakarta masih ada Rahman Halim dan Tinus Heipon yang biasa bertugas di kawasan pertahanan sebelah kiri, namun penempatan mereka itu sulit untuk dapat diharapkan mengimbangi kebolehan Johannes Auri. Membandingkan kedua nama calon pengganti Johannes Auri, pengasuh PSSI Harimau, Hutasoit cenderung untuk memasang Tinus Heipon.

Repotnya, sampai akhir pekan silam, Tinus Heipon masih terserang sakit panas. Kalau pun ia sampai turun, sukar untuk mengharapkan dirinya bermain dalam bentuk yang prima. Di rusuk pertahanan kanan, persoalannya tidak begitu gawat. Sekalipun Sutan Harhara dalam final Pra Olimpiade tak sempat turun karena cedera, kini kebisaannya seolah minta diuji.

Sementara duo banteng yang lain, Suaeb Rizal dan Oyong Lisa pun tak perlu diragukan kelihaiannya. Di lini penghubung, permasalahan yang merisaukan Hutasoit agaknya berkisar dengan belum pulihnya keadaan Junaidi Abdillah. Tapi untuk mengemban tugas itu masih ada Anjas Asmara dan Sofyan Hadi. Sementara di barisan penyerang trio Andi Lala-Risdianto-Iswadi cukup memberi jaminan dalam merobek penjagaan lawan. Dibandingkan dengan ketrampilan ujung tombak PSSI Garuda: Hadi Ismanto-Deddy Sutendi-Waskito. Eksperimen untuk menuntut banyak dari PSSI Harimau terasa agak naif.

Karena pembentukan mereka seakan dipaksakan, guna memenuhi keinginan pimpinan PSSI yang sadar akan kemampuan PSSI Garuda yang masih kepalang tanggung. Sehingga pemain sisa Pra Olimpiade itu buru-buru dibenahi. Dua tim yang berbaju nasional memang telah lahir. Tapi mungkinkah dituntut suatu prestasi yang terbaik dari kedua kesebelasan yang timpang itu? Itulah soalnya.

Seandainya pengurus PSSI berlapang dada melanjutkan keutuhan bekas tim Pra Olimpiade dalam satu bendera, keadaannya jelas akan lain. Sebab bagaimanapun kesebelasan Pra Olimpiade - tentu saja yang utuh - masih mempunyai potensi untuk bisa menjadi tim nasional yang kuat.

Penggalangan banyak tim memang suatu ide yang baik. Tapi dalam keadaan sekarang menuntut kekuatan beberapa tim itu dalam taraf yang sama baiknya sebagai kesebelasan nasional, silakan eksperimen sampai tua. Sepanjang sejarah olah raga dunia saat ini, belum ada satu negara pun yang memiliki dua atau tiga kesebelasan nasional yang terkuat.

Lihat saja Brasil atau Jerman Barat yang memegang supremasi persepak-bolaan dunia saat lalu dan sekarang, tak pernah tampil dengan kesebelasan nasional terkuat yang lebih dari satu. Sebaliknya, dua atau tiga kesebelasan nasional yang sama lemahnya memang gampang dihadirkan. (Tempo 26 Juni 1976)


(foto: twicsy/com/ekosaputro29.mywapblog.com)



Share:

Panasnya Derby Jawa

Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik. Sepak bola adalah olah raga impor yang jadi komoditas penting penguasa lokal dan pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya kaum boemiputera dilarang ikutan dalam kegiatan sepak bola mengingat voetbal langsung diplot sebagai perbedaan kelas dan status manusia di Indonesia.

Panasnya Derby Jawa

Masa-masa sebelum kemerdekaan adalah momen terpenting bagi perkembangan sepak bola. Perekonomian yang mulai membaik di akhir 1920-an, masuknya teknologi (listrik dan telpon) serta transportasi (mobil dan kereta api), kian mempopulerkan permainan ini. Kontribusi besar media massa yang mulai progresif juga mempengaruhi lahirnya 'budaya bola' di Tanah Air. Berkenaan dengan itu, masih dalam rangka ulang tahun PSSI ke-77, berikut ini diangkat kisah semacam perang kultural di sepak bola yang saya beri judul khusus Derby Jawa, seperti yang diceritakan Sugiarta Sriwibawa dalam buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI.

                                                        *******

BEGITU bunyi sirene tanda buka puasa meraung-raung dari menara Taman Sriwedari, penduduk Solo dan sekitarnya tampak sibuk dan bergairah. Habis makan lantas dandan, berkunjung ke pasar malam adalah tujuan berikut, atau menonton bola. Tapi kebanyakan bumiputera menyaksikan keduanya itu dalam satu malam, yang biasanya dilanjutkan dengan makan sahur.

Konon sejak zaman Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) mengadakan pasar malam pada sepuluh malam terakhir bulan puasa. Dan panitia pasar malam menambah semarak saat-saat menjelang Lebaran itu dengan pertandingan sepak bola malam hari. Di era 1930-an ini, sepak bola adalah hiburan yang paling digemari rakyat yang secara massal tidak tertandingi.

Di Stadion Sriwedari sengaja didirikan menara-menara lampu secara permanen, sehingga menjadi atraksi luar biasa waktu itu yang mampu melebihi kemeriahan di Batavia. Pembiayaan ini dimungkinkan mengingat prestasi Persis Solo waktu itu pantas dibanggakan karena berkali-kali menjadi juara PSSI.

Yang menggembirakan, kegiatan ini dari secara bisnis pun menguntungkan. Sumber penghasilan terbesar datang dari pengunjung pasar malam yang semangat berbelanja apa saja mulai dari makanan sampai suvenir. Pemasukan ekstra tentu dari karcis masuk ke stadion.

Penghasilan uang dari pertandingan bola bisa lebih besar lagi apabila yang menjadi lawan kesebelasan tuan rumah adalah tim tetangga, yang menjadi musuh bebuyutan mereka: PSIM Yogyakarta. Sudah jadi heboh tanah Jawa jika Persis bertemu PSIM, maka Stadion Sriwedari pasti dibanjiri penonton, bukan saja dari Solo dan Yogya tapi juga kota-kota di Jawa Tengah, bahkan dari Jawa Timur.

Orang-orang Yogya mengalir ke Solo bukan saja dengan kereta api NIS atau SS, tapi juga dengan bis, taksi bahkan andong dan sepeda, menempuh jarak 62 km pergi-pulang! Yang memakai kereta, pasti mengenal istilah laatse trein, kereta api terakhir, sebab seusai pertandingan para suporter PSIM langsung buru-buru kabur ke stadion supaya tak tertinggal kereta penghabisan.

Penonton Gelap

KARCIS bola yang termurah masih seharga 15 sen, kira-kira sama dengan harga tiga liter beras. Meskipun penonton berjubel-jubel di sekitar loket, tapi tak tampak atau teriakan calo karcis model sekarang: "karcis lebih, karcis lebih!" Sebab kalau ada, polisi pasti akan bertindak cepat tanpa ampun terhadap para tukang catut.

Meski begitu, penonton yang menyelundup tak kurang banyaknya. Waktu itu Stadion Sriwedari masih berpagar papan kayu yang ditempeli berbagai gambar reklame atau iklan. Sebagai penyangga dinding papan itu, dibuat tanggul tanah berumput mengitari stadion.

Nah, di celah-celah antara tanggul dan pagar papan itulah orang-orang yang nggak punya duit tapi punya nafsu kuat nonton bola, secara naluriah akan menerobos dengan cara mengendap-endap, bertiarap. Bagi yang bertubuh gemuk terpaksa dia harus menggangsir gundukan tanah atau tanggul itu.

Untungnya polisi jarang menangkap para penyelundup alias penggangsir atawa penonton gelap, kecuali hanya mencegahnya sambil mengayun-ayunkan kenut atau tongkat karet. Pernah seorang yang perutnya buncit mengalami nasib sial. Ia tak bisa menggerakan tubuhnya, macet lantaran pinggangnya terjepit papan reklame.

Polisi datang. Tapi yang terjadi malah di luar dugaan. Pak polisi justru terbahak-bahak melihat adegan itu. Sejenak kemudian, orang-orang yang juga melihat itu menahan nafas sembari bertanya-tanya dalam hati, mengapa tiba-tiba polisi itu pasang kuda-kuda. Rupanya dengan dengkulnya, polisi itu menyepak keras-keras pantat si gendut.

Dan, kreek, kreek, papan reklame dari kayu jati nan tebal itu berderak. Tubuh si gendut mulai terbebas dari jepitan. Akhirnya dengan sekali tendangan kuat dari pak polisi, badan si penggangsir itu terjerembab ke dalam stadion!

Sambil memegang pantatnya, tanpa menengok lagi, ia terseok-seok menyelinap ke arah belakang gawang Persis Solo, tempat paling favorit penonton tuan rumah lantaran semuanya ingin menyaksikan dari dekat gerak-gerik Raden Maladi, kiper nasional pertama PSSI yang juga penjaga gawang andalan Persis Solo.

Aksi Petaruh
Panasnya Derby Jawa

KEMBALI ke pertandingan. Duel Surakarta kontra Yogyakarta waktu itu merupakan laga terpanas di Tanah Jawa. Ini sebuah pertarungan klasik di olah raga yang boleh disebut-sebut sebagai perang saudara (derby) di Jawa paling ditunggu-tunggu. Setelah berkali-kali berlangsung, terbukti jika laga diadakan di Solo, maka Persis akan unggul. Begitu juga jika pertempuran digelar di Stadion Kridosono, maka PSIM lebih sering menangnya.

Menjelang dimulai, banyak atraksi yang dihadirkan penonton. Di depan pintu masuk untuk pemain, tampak orang-orang bergerombol ingin melihat kedatangan pasukan kedua kesebelasan. Satu per satu para pemain Persis datang. Hampir semuanya naik sepeda! Mereka tiba sudah memakai uniform lengkap termasuk sepatu bolanya, biasanya hanya talinya saja yang belum diikat kuat-kuat.

Para skuad Persis mengenakan seragam kebanggaan tuan rumah berwarna merah hati, yang terbuat dari kain laken, dengan handuk putih kecil ditaruh di kerah. Di antara kerumunan orang-orang itu sering terdapat para petaruh dan mata-mata petaruh. Mereka ingin secepat mungkin melihat pemain-pemain siapa saja yang bakal turun ke lapangan.

Umpamanya jika Maladi absen, maka para petaruh tidak berani memberikan voor yang tinggi. Persis Solo tanpa Maladi dianggap Persis tweede atau Persis kelas dua. Menjelang jam 19.30, waktu kick-off, para petaruh masuk ke stadion. Markasnya terletak di sebelah timur laut. Mereka terdiri dari botoh-botoh Jawa, Cina dan encik peranakan Arab. Bahasa sandi yang dipakai biasanya bahasa Jawa ngoko diselang-selingi kromo.

Di tengah-tengah tribun, pada mimbar kehormatan, para pembesar dan pengurus bond mengenakan pakaian resmi kain dan ikat kepala. Ini busana resmi priyayi dan pegawai zaman itu yang juga sering dipakai guru-guru, saat pak raden bepergian naik kereta api ke Batavia, pergi ke dokter, mengunjungi ke pasar malam atau menonton wayang orang.

Begitu peluit pertama melengking, hampir semua penonton berdiri. Satu per satu pemain yang memasuki lapangan diperhatikan seksama dan mereka sebut namanya. "Persis komplit!" jerit mereka saling mendahului setelah melihat sebelas pemain yang masuk lapangan. Situasi semakin seperti sudah mendapatkan kemenangan mana kala mereka juga mengetahui barisan starting line-up PSIM. "PSIM tidak komplit!" celetuk seorang penonton bersarung pelekat.

"Kartawa tidak ikut," sambungnya.

"Takut," tukas penonton lain yang bersisiran belah tengah.

Kartawa, kiri luar PSIM, rupanya menjadi sosok tidak populer saat itu bagi wong Solo. Bahasa keren-nya, dia telah di-persona non-grata-kan oleh pendukung Persis lantaran 'membelot' ke kubu Yogya. Kartawa sebenarnya orang Klaten, yang masuk Karesidenan Surakarta, tapi justru membela PSIM.

Para pendukung fanatik Persis masih ingat bagaimana pada derby sebelumnya, Kartawa telah mematahkan hati mereka. Ia mencetak gol kemenangan lewat tendangan penalti yang memang menjadi spesialisnya. Gaya Kartawa mengeksekusi penalti terbilang unik, bahkan untuk zaman sekarang. Sebelum menendang setelah bola diletakkan di titik putih, dia membelakangi bola termasuk penjaga gawangnya. Begitu priit, Kartawa segera membalikkan badannya dan langsung menendang bola.

Waktu itu, Yahman, kiper Persis yang jangkung sebelum munculnya Maladi, sampai tak sempat bereaksi karena masih terbingung-bingung melihat aksi orisinal Kartawa nan unik. Teknik ala Kartawa ini memang dimaksudkan agar arah sepakannya tidak terbaca kiper.

"Alaah, cuma Kartawa seorang diri saja kok ditakutkan," ucap seorang penonton berbaju surjan sambil terbatuk-batuk.

"Memasukkan gol dengan penalti kok tidak tahu malu," timpal temannya yang mengenakan setelan piyama bergaris-garis layaknya seperti hendak tidur.

Ada semacam kode etik pada sepak bola zaman itu, yang barangkali hanya berlaku di kalangan orang Jawa: bikin gol dari tendangan 12 langkah dianggap kurang patut, agak memalukan. Saking gampangnya, demikian pendapat kebanyakan orang. Maka di beberapa pemain yang di dirinya masih tertanam budaya ewuh pakeweuh, saat melakukan eksekusi penalti, dengan sengaja dia akan menendang bola kuat-kuat ke kiri atau kanan gawang. Atau kalau tidak, menyepak pelan ke arah kiper! Owalaa!

Badut Lapangan
Panasnya Derby Jawa

NAMUN malam itu, keberuntungan dari titik penalti justru diraih tuan rumah. Padahal Persis sudah banyak bikin gol ke gawang PSIM. Pemain yang 'nekad' mengambil eksekusi malam itu adalah si Gareng, seorang priyayi yang bernama asli Raden Mas Sumarno. Ia seolah tak perduli, cuek saja oleh cibiran ala Jawa soal tendangan penalti. Justru sebaliknya, Gareng berniat memberi hiburan khusus bagi penonton Sriwedari malam itu.

Cara Gareng mengeksekusi penalti cukup membuat sebagian penonton jadi cekikikan. Bola yang ditendangnya pelan tapi dipuntir. Kiper menubruk ke kanan, tapi bolanya menggeleser ke kiri. Di benak Gareng mungkin ada sedikit kesan me-revans atas aksi Kartawa sebelumnya. Namun, tetap ada komentar sinis.

"Tendangan penalti kok dipamer-pamerkan," lagi-lagi kata pria berbaju surjan.

Gareng, si penyerang tengah Persis ini sebenarnya tak pantas menjadi striker lantaran badannya yang tinggi besar. Gerak-geriknya juga rada lamban. Namun ia punya keunggulan lain. "Jago goreng bola", istilah beken untuk giring bola saat itu. Juga operannya berkelas tinggi, konon seperti yang dilakukan penyerang nasional Thee San Liong pada awal lima puluhan. Yang perlu diingat lagi, kala itu kesebelasan yang tak punya 'tukang goreng bola' tidak akan ditonton orang!

Potongan Gareng berkebalikan dengan striker utama PSIM, Jawad. Inilah potongan penyerang berkelas sampai ke tulang belulangnya. Keras, cepat, bandel dan punya tendangan menggeledek. Walaupun formatnya rada beda, tapi dialah pemain yang paling mirip dengan Ramang, striker nasional legendaris asal PSM Makassar. Jawad dijuluki orang 'Ramang sebelum perang'.

Malam itu Persis menampilkan showman jempolan, yakni Yazid. Kebetulan dia adalah kakak kandung Gesang, pencipta dan penyanyi lagu Bengawan Solo. Ia badut lapangan yang tak ada duanya. Ulahnya, gerak-gerik dengan atau tanpa bolanya selalu mengecoh lawan.

Yazid juga piawai menggoreng bola. Kadang ia menggoreng bola sambil mengikat tali kolornya yang kedodoran. Usai menerima umpan, dia sengaja memelorotkan celananya lantas dipeganginya dengan kedua tangan sambil kabur menggiring bola!

Larinya memang tidak secepat dua winger beken Persebaya, Stalder atau Manuputty, tapi umpan-umpan Yazid yang pulen dan perang urat syarafnya yang meneror mental lawan, merupakan kenangan tersendiri bagi pendukung Persis bahkan dalam sejarah sepak bola Indonesia sebelum perang kemerdekaan. Di kubu PSIM pun berkumpul pemain-pemain dengan penguasaan bola yang halus dan berkelas tinggi seperti Gilig, Wajis atau Naruchman.

Kehebatan Sidhi

TETAPI Persis punya pemain sayap kanan yang tak bisa disebut ortodoks, yaitu Arman. Ia bisa mengambil bola dari belakang, switch ke tengah, menyerang dari segala penjuru, tik-tak, dan bergerak terus, meski senjata utamanya melarikan bola sepanjang garis.

Persis pun punya seorang tukang babat yang selalu tegas dalam bertindak, yaitu Kingkong. Nama sebenarnya Sumaryo, yang kemudian hari menjadi perwira tinggi kepolisian di Semarang. Gaya permainannya seperti Sonny Sandra di tahun enam puluhan.

Tapi bintang di antara semua bintang Persis zaman itu ialah Sidhi, centerhalf dan all-rounder yang akhirnya menjadi kapten nasional Indonesia di awal tahun limapuluhan. Ia bukan saja anggun tapi juga 'menari', sehingga mendapat sebutan Si Serimpi. Ia mengembara ke mana-mana, turun naik dan long-passing-nya yang terukur mampu membuat counter-attack yang mengejutkan.

Tekling-nya tajam seperti gunting. Gamesmanship-nya sering memberikan kepuasan penonton dengan keterampilan individual: menyetop bola lambung tanpa mental sedikitpun, sehingga bola itu mati bagaikan burung kena pulut di ujung bambu! Pokoknya banyak gerakan akrobatik yang sering ditampilkannya.

Setelah penyerahan kedaulatan RI, permainannya lebih zakelijk (saklek, kaku) akibat penanganan coach nasional Choo Seng Quee, yang menggeser tempatnya ke belakang sebagai spil dan stopper. Tapi long-passing-nya ke depan yang akurat tetap memberikan andil bagi lini depan. Dilihat dari segi teknis permainannya, dan last but not least yang tanpa cacat suap, Sidhi pantas dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbesar Indonesia.

Di zaman pendudukan Jepang, Persis masih sering tampil di Sriwedari menghadapi Jakarta, Surabaya atau Purwakarta. Di tim yang belakangan ini ada pemain top bernama Isaak Pattiwael yang dijuluki 'Macan Purwakarta'. Hebatnya dia salah satu anggota tim nasional Dutch Indies yang tampil pada Piala Dunia 1938 di Prancis!

Saat melawat ke Solo, Persija Jakarta diperkuat oleh Mahmul, kiper gemuk tapi lengket tangkapannya. Lalu bek cekatan Ruslan dan trio tangguh Sanger, Abidin dan Teck Eng, serta kanan luar Iskandar. Lewat andil mereka, Persis terpaksa main dengan hasil seri 2-2. Mahmul, Ruslan, Abidin, dan Pattiwael pada zaman revolusi hijrah ke Klaten.

Namun mereka tidak bergabung ke Persis, melainkan ke PSIK Klaten lantaran ditawari bekerja di pabrik sepatu Gayamprit. Boleh jadi, kepindahan ini seperti sebuah kisah transfer pemain tempo doeloe. Sebelum hijrah ke Klaten, Mahmul, Ruslan, dan Abidin adalah anggota kesebelasan Bata Jakarta. Saat itu perusahaan sepatu milik Belanda ini boyongan sambil membawa peralatan pabrik ke Jawa Tengah.

(foto: photobucket/fbcdn.net/youtube)

Share:

Tan Liong Hou: Terbanyak Membela Tim Nasional

Membuka-buka sejarah sepak bola nasional, siapa tak kenal Tan Liong Hou? Pada waktu itu kebanyakan seantero publik tahu, pemain yang kini bernama 'pribumi' Latief Haris Tanoto itu dikenal sebagai jagonya bola-bola mati, spesialis tendangan penalti, dan tentu sebagai kapten nasional Indonesia pasca kemerdekaan. 
Tan Liong Hou: Terbanyak Membela Tim Nasional
Tan Liong Hou ketika bertukar vandel dengan Edwin Dutton, kapten Malaysia di Stadion Ikada, Jakarta 20 April 1960.
Namun yang membanggakan, barangkali, dan ini diakuinya sendiri, adalah dia sebagai pemegang rekor pemain terlama atau terbanyak membela tim nasional PSSI. Dia pula yang bersama Ramang, Maulwi Saelan dan kawan-kawan bahu membahu membuat sejarah internasional tertinggi Indonesia hingga sekarang: menahan Uni Soviet 0-0 di perdelapanfinal Olimpiade Melbourne 1956. 

Dalam sepak terjangnya di tim nasional sepanjang 1950-1962, Tanoto sudah bermain lebih dari 100 kali (berdasarkan ingatan dan bukti-bukti lain). Memang tidak ada catatan resmi, dan ini jelas sebagai kebodohan dan tanggung-jawab PSSI, namun keyakinan merebak mengingat dalam sejarah, nama LH Tanoto sangat terkenal dan membumi. 

Salah satu ukurannya adalah, saat itu frekwensi pertandingan yang dilakukan PSSI sangat banyak di mana mayoritas pemain nasional diisi oleh yang itu-itu saja. Paling hanya di satu-dua posisi saja yang diubah. "Kalau di angkatan saya, saya jamin rekor itu memang milik saya. Saya pernah dapat informasi sampai sekarang rekor itu belum terpecahkan atau belum ada yang menyamaunya," katanya bangga.

Ayah tiga putra dan satu putri ini mengawali karier sepak bola di usia 17 tahun pada sebuah klub di Jakarta, Chuang Hua. Bakat sepak bolanya diwariskan oleh ayahnya. Hanya dalam setahun berikutnya, Tan Liong Hou sudah membela bond ibukota yang disegani, Persija Jakarta. Perjalanan karier internasionalnya di tim nasional diawali ketika dia ikut pada Asian Games pertama di New Delhi pada 1951. 

Asian Games I

Sejak itu Tanoto selalu menjadi langganan bermain di tim nasional dengan menempati posisi sayap kiri atau gelandang kiti. Posisi ini memang dilakoninya dengan kecintaan sejak berada di Persija. Dengan keterampilan dan kehebatannya itu, tak heran dia selalu dipanggil tim nasional untuk Asian Games berikutnya, Manila 1954, Tokyo 1958, dan yang terakhir, Jakarta 1962. 

"Setelah juara Merdeka Games 1961, sebenarnya saya ingin berhenti bermain. Tapi pelatih Tony Pogacnik memaksa saya untuk terus," cerita pria kelahiran Surabaya 26 Juli 1930. "Kamu masih bisa main dan harus pimpin adik-adik kamu," begitu ucapan pelatih asal Yugoslavia kepada kapten kebanggaannya ini. 

Ketika ditanya apa yang menjadi spesialisasi selama 12 tahun membela tim nasional Indonesia, dengan sigap dia menjawab: tendangan penalti! "Sayalah algojo tendangan penalti untuk PSSI, dan 99 persen pasti masuk," ucap suami dari Hilda Lannawati itu penuh semangat diiringi deraian tawa senang dan bangga.

Rasa tanggung-jawab terhadap profesi serta pengabdian kepada bangsa adalah kunci utama langgengnya LH Tanoto berkecimpung di tim nasional. "Jangan lupa juga, mental, tekad kuat dan disiplin harus dimiliki setiap pemain nasional," kilah peraih Satya Lencana Emas dari pemerintah Indonesia.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bakat sepak bola LH Tanoto kemudian diterusi oleh seluruh tiga anak lelakinya, Wahyu, Budi, dan Haryanto. Wahyu dan Budi Tanoto dikenal publik malang melintang sebagai pemain yang lumayan bagus di beberapa klub, antara lain Tunas Inti, dalam Kompetisi Galatama. Menurut Tanoto, anaknya yang bungsu justru bermain bola di sebuah klub di Amerika Serikat. Di hari tuanya, kini Tan Liong Hou alias Latif Haris Tanoto menghabisi waktunya dengan aktif di kegiatan sosial. 

(foto: koleksi pribadi LH Tanoto)

Share:

Persaingan Terselubung Iswadi vs Ronny

Tahun 1977, salah satu klub sepak bola terkaya di dunia asal Amerika Serikat, Cosmos New York, mencoba impian yang hebat. Dengan senjata dollar, mereka berambisi menggabungkan tiga superstars dunia; Pele, Franz Beckenbauer, dan Johan Cruijff di dalam satu kesebelasan. Bayangkan.

Tetapi impian ini tidak pernah terwujud. Dengan keangkuhan burung merak, Cruijff menampik tawaran Cosmos. Uniknya, mahabintang asal Belanda itu malah memilih bergabung dengan klub AS lain, pesaing Cosmos, yaitu Los Angeles Aztecs. Walau tawaran bayarannya lebih rendah, Cruijff tidak peduli. Tampak, dia memang hanya ingin mencuat sendirian, agar tidak ada yang menandingi.

Kisah persaingan antarbintang sepak bola seperti ini sudah menjadi cerita klasik. Tahun 1958 misalnya, Didi, bintang Brasil, ditransfer ke Real Madrid, Spanyol. Didi adalah pemain kenamaan yang bersama Zito menjadi duet penghubung tim Samba tatkala meraih titel juara dunia pada Piala Dunia 1958 di Swedia. Saat itu dia dianggap sebagai gelandang terbaik sejagat.

Tetapi di Real Madrid sudah dulu ada Alfredo Di Stefano, pemain hebat dari Argentina, yang juga adalah seorang gelandang termahsyur. Di Stefano tak ingin disaingi oleh Didi dan memboikotnya. Jika mendapat bola, Di Stefano tak pernah mengumpannya ke Didi.

Kesal dan kecewa, tahun 1960 Didi putuskan kontrak dengan Real Madrid dan kembali ke negeri asalnya dengan dendam berkobar. Ia bertekad mengalahkan Di Stefano jika pemain tersebut memperkuat Spanyol ke Piala Dunia 1962 di Chile. Sayang, Di Stefano yang sudah ganti kewarganegaraan, tidak jadi memperkuat Spanyol. Alasannya karena cedera. Brasil keluar sebagai juara dunia di Chile, namun dendam Didi tak terbalas.

Tahun 1974 ketika memimpin Belanda ke kejuaraan dunia, pelatih Rinus Michels juga direpotkan dengan pertengkaran Cruijff dan Johan Neeskens yang masing-masing merasa diri lebih serba bisa dari yang lain. Menjelang Piala Dunia 1982, pelatih Jupp Derwal dari Jerman Barat juga dibuat pening oleh persaingan Karl Heinz Rummenigge (dan didukung oleh Paul Breitner) dengan Bernd Schuster.

Iswadi dan Ronny

Di Tanah Air, sekurang-kurangnya sejak tahun 1979, terasa persaingan seperti itu terjadi pada dua pemain nasional terbesar kita yang terakhir, Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.

Persaingan ini demikian terselubung sehingga hampir tak pernah terungkap di media massa. Baru setelah Ronny tidak dipanggil untuk tim nasional SEA Games 1983 di Singapura, persaingan mereka terungkap. Apalagi setelah tim nasional yang dilatih Iswadi itu digunduli 0-5 oleh Muangthai. Tetapi sebulan kemudian, Juli, keduanya konon melakukan gencatan senjata ketika bersua di pusara almarhum Jakob Sihasale.

Sesungguhnya persaingan Iswadi vs Ronny sudah berakar sejak tahun 1974 ketika Persija Jakarta dan PSM Ujungpandang berhadapan di Stadion Utama Senayan dalam final Piala Presiden. Keduanya kapten kesebelasan. Ronny yang waktu itu masih memperkuat PSM, memenangkan persaingan tersebut, PSM juara.

Tetapi kebolehan Ronny waktu itu belum jadi jaminan untuk masuk tim nasional. Apalagi karena kegemarannya merokok. Ronny bentrok dengan Ketua Umum PSSI waktu itu, Bardosono, dan tidak direkrut. Cerita Iswadi lain lagi. Setelah kembali dari bermain di Liga Australia selama dua tahun, Iswadi langsung membela tim nasional Pra-Olimpiade 1976. Ketika itu lini tengah tim nasional didominasi oleh pemain Persija. Ronny tidak dipanggil.

Persaingan Terselubung Iswadi vs Ronny
Iswadi dan Ronny berlatih adu penalti bersama pada 1979.
Ronny baru bermain sama-sama dengan Iswadi dalam tim nasional ke Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura dan SEA Games 1979 di Jakarta. Di Singapura, ditangani pelatih Tony Poganik. Lalu di Jakarta oleh Wiel Coerver. Tampaknya hanya kedua pelatih besar itu saja yang mampu dan berani menggabungkan Iswadi dan Ronny dalam satu tim.

Hasilnya, walaupun tidak merebut gelar juara di kedua arena itu, saat-saat tersebut merupakan tahun-tahun terakhir kesebelasan Indonesia ditakuti di luar negeri.

Masa Surut

Lalu datanglah masa-masa surut, tahun-tahun di mana Iswadi dan Ronny sebetulnya bisa bersatu menjadi tulang punggung tim nasional, tetapi tidak pernah lagi ada pelatih yang mampu mempersatukan mereka. Bahkan timbul kesan lahirnya persaingan diam-diam antara kedua pemain tersebut.

Awal tahun 1980, Iswadi dipanggil memperkuat tim nasional ke Pra-Olimpiade di Kuala Lumpur di mana tim nasional untuk pertama kalinya kalah dari Brunei 2-3. Ronny Pattinasarani tidak dipanggil. Padahal ketika itu, dengan Iswadi bermain dalam sebagai ekstra free-back, Ronny dapat memainkan peranan besar sebagai penghubung yang mengalirkan serangan balik.

Dengan kemampuannya yang berkembang sebagai pemimpin pertahanan sejak dipercayakan oleh Coerver sebagai libero tahun 1979. Ronny juga bisa memainkan peranan sebagai tabir depan pertahanan.

Ronny kemudian membuktikan PSSI keliru tidak memanggil dia, ketika dalam final Galatama, Mei 1980, ia memimpin Warna Agung menjadi juara, dengan menundukkan Jayakarta yang dipimpin rival utamanya, Iswadi Idris. Andaikata Iswadi dan Ronny waktu itu sama-sama memperkuat tim nasional, sangat besar kemungkinan kali itu tim nasional lolos ke Olimpiade, walaupun kemudian tidak ke Moskwa karena memboikot.

Menghadapi Pra-Piala Dunia 1981, Ronny dipanggil dan ia segera membuktikan diri sebagai play-maker yang menonjol. Tetapi Ronny ketika itu sudah 31 tahun. Andaikata lebih awal mendapat kepercayaan, ia bisa memberi lebih banyak bagi tim nasional. Indonesia memang tersisih, bahkan menelan kekalahan pahit 0-5 dari Selandia Baru di Auckland, dan bermain 3-3 melawan Fiji di Jakarta. Tetapi itu banyak disebabkan oleh kesalahan dalam penerapan strategi di lapangan.

Ronny kemudian memimpin tim nasional ke SEA Games 1981 di Manila dan apling tidak meraih perunggu dan menang 2-0 atas Singapura yang diperkuat Fandi Ahmad. Andaikata waktu itu Iswadi belum mengundurkan diri, tim nasional akan jauh lebih tangguh dan prestasi yang diraih pun lebih baik. Sayangnya ketika itu Ronny Pattinasarani tidak mendesak pelatih Bernd Fischer memanggil Iswadi.

SEA Games 1983

Setelah tampil sebagai pelatih yang paling berhasil dalam kompetisi Galatama, Iswadi dipercayakan menangani tim nasional SEA Games 1983. Tetapi Iswadi tidak merekrut Ronny Pattinasarani yang seharusnya masih pantas masuk tim nasional. Hasilnya kita sudah tahu, perunggu pun kita tidak dapat.

Kini, baik Iswadi maupun Ronny Pattinasarani, menjadi orang luar dari tim nasional. Dipanggil bermain juga tidak, sebagai pelatih juga tidak. Dan ketika pukulan kekalahan beruntun di Singapura dari India dan Singapura, orang berbicara tentang tidak adanya permain bertipe pemimpin dalam tim kita, yang mampu mengangkat tim di lapangan.

Pada saat-saat seperti ini suka atau tidak, orang akan berpaling ke pemain seperti Iswadi dan Ronny yang mempunyai kualitas demikian. Bahkan kini, masing-masing dalam usia 35 dan 33 tahun, pemain mana pun dalam 22 anggota tim Pra-Olimpiade masih terus menyegani Iswadi dan Ronny jika berhadapan di lapangan. Pemain seperti Iswadi dan Ronny entah kapan lagi baru lahir. 


(Catatan Valens Doy, foto: kompas)

Share:

Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Kuncinya Membakar Semangat Juang Pemain

Kemenangan Niac Mitra atas klub kenamaan dari Inggris, Arsenal, membuktikan bahwa mutu persepakbolaan kita kini tidaklah serendah yang diperkirakan kebanyakan orang.
Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Kuncinya Membakar Semangat Juang Pemain
Walau aneh posenya dan awut-awutan, namun foto bareng ini tetap bersejarah.
Erwin Baharuddin, Ketua KONI DKI Jaya yang juga salah satu penasihat dalam kepengurusan PSSI, mengemukakan pandangannya itu kepada Kompas, Jumat malam lalu di Jakarta.

Menurut Erwin, sejauh ini masyarakat cenderung menilai rendah mutu sepak bola Indonesia karena kekalahan-kekalahan yang diderita tim nasional. Terakhir penilaian itu diarahkan dengan kritik-kritik keras akibat kegagalan tim nasional dalam SEA Games XII Singapura.

“Jadi sebenarnya yang lebih sering gagal adalah tim nasional kita. Sedang mutu sepak bola kita sendiri tetap cukup baik seperti dibuktikan dengan kemenangan Niac Mitra atas Arsenal itu,” ujarnya.

Dari kemenangan Niac itu Erwin juga melihat sejumlah pemain ternyata memiliki semangat juang dan bermain lebih baik dalam klub dibanding dalam tim nasional. “Inilah yang sekarang perlu kita kaji kenapa sampai demikian,” tambahnya.

Niac mengalahkan Arsenal 2-0, Kamis lalu, dengan gol dari Joko Malis dan penyerang asal Singapura Fandi Ahmad. Kemenangan itu sekaligus menghentikan pesta gol Arsenal yang sebelumnya menundukkan PSMS Plus 3-0 dan PSSI Selection 5-0.

Acub Zainal, tokoh utama Niac di samping bos A. Wenas, sependapat dengan Erwin bahwa kemenangan klubnya membuktikan kelirunya penilaian rendah terhadap sepak bola Indonesia. Acub yang semula menduga Niac Paling-paling hanya mampu menahan seri atau menang tipis, menilai kunci kemenangan atas Arsenal ada pada strategi pelatih dan kemampuan pimpinan membakar semangat juang para pemainnya.

Diakuinya pula, peranan Fandi amat menentukan. Ia tidak hanya membuka skor yang menciptakan tambahan semangat bagi seluruh tim tapi juga menjadi motor permainan.

Karena itu ia tetap menyayangkan sikap PSSI yang melalui Ketua Umum Syarnoebi Said melarang pemain asing ambil bagian dalam kompetisi Galatama mendatang. “Tapi apa boleh buat, Syarnoebi yang pegang tongkat komando,” kata bekas Pangdam dan Gubernur Irian Jaya itu.

Ditambahkannya, Niac memang akhirnya harus menyusun kekuatan baru jika Fandi dan juga kiper David Lee yang seasal dari Singapura harus pergi. Tapi menurutnya lebih sulit menggalang publik yang terasa sekali begitu menyayangi Fandi dan David. (sm/ry)



(Kompas, Sabtu 18 Juni 1983).  Foto: Ferdi Wenas.



Share:

Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

Fandi Ahmad, penyerang impor dari Singapura yang bersama kiper David Lee mengucapkan sayonara seusai pertandingan, membuka skor pada menit ke-37. Lima menit menjelang usai, Joko Malis menciptakan gol kedua yang membuat lawannya tak mungkin lagi menghindarkan kekalahannya.

Ini merupakan kekalahan pertama dan juga terpahit dari tiga pertandingan perlawatan Arsenal di Indonesia. Dalam dua pertandingan sebelumnya mereka mengalahkan PSMS Plus 3-0 di Medan dan menggulingkan PSSI Selection 5-0 di Stadion Utama Senayan.

Bos Niac, Wenas begitu gembiranya oleh kemenangan itu hingga karangan bunga yang semula akan diberikan kepada kesebelasan tamu dialihkan kepada Fandi Ahmad dan kawan-kawannya. Dan di tengah tepukan suka cita penonton, para pemain berlari-lari mengelilingi lapangan dengan wajah ceria dan kebanggaan.

Sulit Tidur

Sementara itu para pemain Arsenal keluar dari lapangan dengan wajah murung yang mencerminkan jelas sekali kekecewaan dan penyesalan mereka. Di kamar pakaian, Pat Jennings dan kawan-kawannya melepas pakaian dengan disertai hentakan-hentakan yang setiap kali terus diiringi perasaan kecewa.

Manajer Terry Neill mencoba menenangkan mereka dan minta agar tidak terlampau larut dengan kesedihan. Tapi sesaat kemudian kepada Kompas ia sendiri tak bisa menutupi perasaan galaunya. “Sangat mengecewakan dan membuat kami (akan) sulit tidur,” katanya.

Pernyataannya amat beralasan. Sebab mereka mengharapkan pertandingan ini akan memberikan kemenangan dan sekaligus kenangan terakhir dalam perlawatan pertamanya ke Indonesia ini sebelum bertolak ke Bali untuk sepenuhnya menikmati liburan.
Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?
Kegembiraan Fandi Ahmad usai mencetak gol pertama ke gawang Arsenal.
Namun demikian Neill tidak menganggap sebagai kekalahan terburuk dalam sejarah klub di bagian utara London yang telah berusia satu abad itu. “Kami tidak main buruk, Anda lihat sendiri, kami mestinya paling sedikit mencetak enam gol,” katanya.

Ia akui kegagalan mereka mencetak gol karena ketatnya pertahanan Niac. Dan meski kiper David Lee tak dinilainya bagus karena sering memperlambat permainan, ia menilai Niac memang pantas memenangkan pertandingan ini. “Inilah memang tim terbaik yang kami hadapi dalam perlawatan ini,” tambahnya. 

Dikatakannya pula, udara yang sangat panas, lapangan yang buruk, dan kepemimpinan jelek wasit Hatta Ruslan serta para hakim garis merupakan faktor lain yang menggagalkan kemenangan Arsenal. “Tapi mungkin Anda menganggapnya alasan tim yang kalah. Saya sendiri sebenarnya tak suka mengungkapkannya. Dan saya akui, kesalahan kami adalah tidak bisa mencetak gol,” tuturnya. 

Dua pemain internasional, back kiri Kenny Sansom dan gelandang Graham Rix, mengungkapkan alasan yang sama. Tapi secara terbuka mereka mengakui kepantasan Niac tampil sebagai pemenang. “Kedua pemain pencetak gol dan gelandang yang jangkung itu (maksudnya Rudy Kelces), bermain sangat bagus,” kata keduanya di kamar pakaian.

Gelandang internasional lainnya, Alan Sunderland, menolak untuk memberi keterangan, termasuk tentang kartu merah yang diberikan wasit terhadapnya. Ia memang jelas salah dengan menendang secara kasar center-back Tommy Latuperissa, sepuluh menit setelah memperoleh kartu kuning karena menendang Joko Malis.

Dalam pertandingan melawan PSSI Selection, Sunderland juga terkena kartu kuning. Tapi pengusiran terhadapnya pada menit ke-60 itu sekaligus merupakan awal dari kehancuran total Arsenal. Lima menit kemudian Joko Malis mencetak gol kedua dan tiga menit kemudian Syamsul Arifin yang menggantikan Hamid Asnan nyaris pula mencetak gol tambahan.

Tapi kelemahan Arsenal sudah mulai menonjol sejak menit ke-30 dengan gerebekannya yang tidak menghasilkan peluang bagus dari Sunderland, Rix, dan pemain sayap Brian McDermott. Terakhir Tommy Latuperissa menyelamatkannya dari bawah gawang setelah kiper David Lee dibuat tak berdaya oleh umpan tarik McDermott yang disambar penyerang berkulit hitam, Paul Davis.

Sebaliknya, Fandi, Joko, Rudy Kelces dan kawan-kawan, makin dapat menikmati keunggulan mereka dalam kecepatan dan kerjasama umpan-umpan pendek. Dan setelah dua kali gagal pada menit ke-37, Fandi menaklukkan kiper kaliber dunia, Pat Jennings, dengan tembakan menyilang kaki kirinya, memanfaatkan umpan pendek Hamid ke depan kotak penalti. 

Joko yang bermain amat bergairah dan sempat pula membantu pertahanan, sebenarnya sudah harus mencetak gol pada menit ke-47. Ia sudah meninggalkan semua pemain lawan dan menggiring bola sendirian ke dalam kotak penalti, tetapi tembakannya terlalu lemah hingga Pat Jennings masih sempat menjatuhkan badan untuk menahannya.

Setelah itu Fandi kembali membuat peluang bagus, sementara Arsenal juga masih juga bisa menuerang dan dua kali nyaris membuahkan gol kalau tak diselamatkan Tommy dan Yance Lilipaly dari bawah gawang. Tapi akhirnya Sunderland terkena kartu merah dan hampir menimbulkan perkelahian, dan gol Joko di menit ke-85 justru menjadi buahnya. 

Ini berawal dari serbuan Fandi yang kemudian mendorong bola ke depan. Joko menusuk cepat sementara lawan memasang perangkap off-side dengan sia-sia, dan dengan tembakan silang dari sisi kanan kotak penalti, kiper Jennings kembali dibuat tak berdaya.

Kepemimpinan wasit dan dukungan hakim garis sebenarnya tak hanya merugikan Arsenal. Pada pertengahan babak kedua wasit mustinya memberikan penalti untuk keuntungan Niac ketika Stewart Robson memegang bola dengan tangannya di depan gawang Jennings.

Niac Mitra: David Lee; Budi Aswin, Wayan Diana, Tommy Latuperissa, Yudi Suryata; Joko Malis, Rudy Kelces, Rae Bawa/Yusuf Male, Hamid Asnan/Syamsul Arifin; Fandi Ahmad, Dullah Rahim/Yance Lilipaly.


Arsenal: Pat Jennings; Colin Hill/Stewart Robson, David O'Leary, Chris Whyte/Lee Chapman, Kenny Sansom; Brian Talbott, Alan Sunderland, Graham Rix, Brian McDermott; Paul Davis, Raphael Meade/Terry Lee.





(Kompas, Jumat 17 Juni 1983). Foto: Ferdy Wenas. 

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini