Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Serie A. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Serie A. Tampilkan semua postingan

Max Allegri: Bakal Juarai Serie A 2015-16

Italia menyambut Serie A musim 2015/16. Belum lagi dimulai, perang urat syaraf sudah bertebaran di mana-mana. Iyalah kalau yang ikutan perang itu klub-klub kandidat juara. Belakangan, ada juga yang tidak. Klubnya bisa dibilang mustahil menjadi scudetto, tapi ocehan sang pemilik begitu menggugah perasaan.
Max Allegri: Bakal Juarai Serie A 2015-16
Langsung juara di musim pertamanya bersama Juventus.
Yang dibidik aneh, yang membidik bikin kita melongo. Apa hubungan Maurizio Zamparini mengobok-obok reputasi Max Allegri? Maurizio Zamparini merupakan pemilik Palermo yang sikap kontroversialnya sejajar dengan Silvio Berlusconi (Milan) atau Aurelio De Laurentiis (Napoli). Ocehannya sering bikin kuping panas dan mati kutu orang.

Seorang Massimiliano Allegri yang barusan meraih titel pribadi menjadi kampiun Serie A 2014/15 pun tak luput direndahkan bos Palermo itu. Tapi boleh percaya atau tidak, inilah justru tanda-tanda dia akan sukses lagi. Zamparini dikenal punya kharisma luar biasa mengingat dia cuma memiliki Palermo, bukan Milan atau Napoli. Tipikal hujatan pebisnis 74 tahun kesannya sentimental pribadi bahkan rasis.

Saat masih di Inter, Jose Mourinho pun mengaku tobat meladeni lelaki kelotokan ini setelah disindir begini: “Orang (Mourinho) ini cuma datang dari negeri 10 juta pelatih lalu dia sedang berusaha menjadi pelatih yang baik di negeri 60 juta pelatih.”

Portugal berpenduduk 10 juta dan hampir semuanya menggilai sepak bola. Populasi Italia lebih dari 60 juta dan seluruhnya memahami sepak bola. Awalnya tujuan Don Mauri seperti itu tak lain untuk melucuti mental pelatih lawan sebelum atau sesudah mereka bermain di Renzo Barbera. Sulit cari alasan kenapa pria ikal yang mulai memiliki klub berjuluk Rosanera sejak 2002 ini suka sekali menyemprot pelatih lawan juga pelatihnya sendiri.

Terhadap seseorang intuisi Zamparini dikenal amat tajam, setajam dia menemukan dan menempa lalu menjual mahal deretan pemain berikut ini: Andrea Barzagli, Fabio Grosso, Luca Toni, Fabrizio Miccoli, Javier Pastore, Fabio Simplicio, Salvatore Sirigu, Amauri Carvalho, Edinson Cavani, Abel Hernandez, dan yang terakhir adalah... Paulo Dybala, yang kini menjadi anak asuh Allegri di Juve. Sisi buruknya, Zamparini telah belasan kali menghardik allenatore di Palermo sebelum memecatnya.

Uniknya, tanpa banyak yang menyadari, kicauan Zamparini menyimpan misteri. Biasanya deretan pelatih yang disindir atau dimusuhinya bukannya menukik kariernya tapi malah tambah sukses! Mourinho salah satunya. Nah, apakah kilasan peristiwa silam, dengan meminjam daya intuitif bin spiritual dari Zamparini bisa dipakai untuk mengeker sukses Allegri musim ini? Sinyal justru diletupkan Zamparini pada saat Juve dan Allegri lagi berbulan madu dengan mesra.

Pada saat mereka sedang menikmati kedigdayaan 2015 sebagai Il Vincitore Triplo berupa Scudetto, Coppa Italia, dan SuperCoppa Italiana. Apa kata Zamparini? “Siapa juara 2015/16? Saya tempatkan Roma dulu, baru Juventus. Catat, bukan Juve baru Roma! Mau tahu alasannya? Karena Roma punya pelatih lebih bagus. Ada sosok Antonio Conte pada diri Rudy Garcia. Allegri? Aha, justru dialah satu-satunya titik kelemahan Juve terbesar,” tukas Zamparini santai.
Tanpa rendah hati dan mau belajar, mustahil Max Allegri merasakan ini.
Rupanya di mata dia tak ada kelebihan sama sekali dari seorang master bernama Allegri Il Vincitore. Mau dibilang psikopat atau gendeng, ungkapan Zamparini sekali lagi perlu dipandang dengan beda kaca mata. Ingat, apa yang dicuatkannya biasanya sesuatu yang “benar”. Inter juga pernah berasyik-mahsyuk dengan kekuasaan ketika dipimpin Mourinho Il Vincitore. Namun apakah ucapan sentimen atau intuisi Zamparini tentang sikap Mourinho juga salah?

Jadi, apakah Allegri bakal gagal musim ini dan Juventus kehilangan gelar? Dimohon Anda jangan terburu-buru memastikannya sebelum membaca beberapa genggam kisah berikut. Namanya memang tidak sesuai dengan nuansa musik, allegro – kesenangan atau kegembiraan – tapi, begitulah Allegri yang kita tahu apa adanya. Selalu paradoks. Perhatikan wajahnya yang sayu, dan kalau Anda berkenan, perhatikan pula kisah suksesnya yang cenderung mendayu-dayu.

Episode 1, Maret 2013. Di depan jurnalista, seseorang pendatang baru di Serie A bernama Giorgio Squinzi bikin heboh seusai bersua Berlusconi dalam satu kesempatan. “Saya ingat beliau mengeluh soal Allegri yang tidak becus apa-apa karena sering menyia-nyiakan Stephan El Shaarawy. Di mata saya, kans terbaik Allegri itu jika dia menangani skuad buangan, bukan skuad harapan,” kata bos klub Sassuolo yang juga seorang Milanisti ini.

Episode dua, Desember 2013. Berlusconi kembali mempermalukan Allegri di depan umat, sekaligus mengiyakan Zamparini bahwa Italia itu negeri dengan 60 juta pelatih bola. “Seperti biasanya, tim ini lebih butuh perhatian dan perawatan dari saya. Tahun lalu tahun bencana, saya yang membenahi mental tim. Taktik Allegri sulit dipahami. Bagaimana bek lamban Cristian Zapata diduetkan dengan Phillipe Mexes yang demotivasi?” ucap Don Silvio sengit.

“Latihan fisik tim amat payah dan gaya permainannya menyedihkan. Kita juga belum lupa atas kepergian Andrea Pirlo di akhir 2010/11. Dia pergi karena tidak tahan setelah dipaksa main oleh Allegri sebagai gelandang biasa, padahal satu Italia pun tahu: takdir Pirlo adalah dirigen, direktur permainan,” lanjut bos dari segala bos di Rossoneri itu yang tampak masih geram dan dendam walau sang pemain kesayangannya itu telah dua tahun tiada dari Milanello.

Ambisi Pribadi
Mimik resah Antonio Conte di depan Max Allegri sewaktu di Juventus.
Selang dua minggu setelah pidato raja, saat itu Allegri pun resign. Awal musim 2014/15 ucapan Berlusconi bertuah mirip Zamparini. Pirlo ketiban sial karena dadakan Allegri dicokok ke Juve. Sejarah terulang, Pirlo mulai dinomor-duakan. Ketika akhirnya ia merasakan bulan madu Allegri dan klubnya makin membara, Pirlo Il Corifeo langsung mundur dari panggung Juve dan arena Serie A untuk memulai hidup baru di Amerika Serikat. Gara-gara Allegri lagi?

Sudah tipikal Italiano suka membahas detil pribadi orang, bukan apa yang dihasilkannya untuk kemashalatan publik. Banyak contoh dalam hidup, orang seperti Allegri ini tetap punya rejeki dan nasib baik walau datangnya lelet dan bikin empot-empotan orang. Sikapnya ke Pirlo, serapahan Berlusconi, atau kesan negatif Squinzi terbukti justru jadi ‘bekal’ utama berprestasi luar biasa di 2015. Bagaimana di 2016, manakala Zamparini dengan ceplas-ceplos menyatakan sikapnya?

Orang yang di tubuhnya mengalir adrenalin cepat menggelegak biasanya memang sebal pada Allegri. Gayanya yang alon-alon tidak ketulungan, apalagi di laga-laga perdana atau sebulan pertama. Panasnya selalu belakangan, padahal dia bukan Jerman. Tapi itu dulu. Berlusconi saja yang sial. Waktu debut di Rossoneri, Allegri hanya menuai lima poin dari 5 laga, artinya semua pertarungannya seri. Tampaknya suratan nasib Allegri harus selalu ditendang pantatnya.

Setelah banyak dikecam, baru Allegri bikin kejutan. Selang tiga bulan berikut, Milan hanya sekali kalah dan sekali seri. Begitu juga di musim keduanya. Lima poin dari empat laga. Tiga bulan berikutnya, cuma dua kali kalah dan sekali seri. Kebiasaan Allegri adalah mulai hangat saat salju mulai turun, alias di sekitar Desember. Nah bisa Anda maklumi jika dia bikin banyak mulut orang menganga lantaran musim lalu di lima laga awalnya Juve sanggup meraup 15 poin. Wow!

Apakah Allegri telah menemukan formula baru? Atau, lantaran duet Andrea Agnelli dan Pavel Nedved sering menepuk-nepuk bahunya? Pastinya Allegri punya motivasi baru, dan amat jelas pula, Agnelli-Nedved yang kalah tua darinya, punya treatment atau cara berbeda dengan Berlusconi. Ini agaknya lebih kepada hal-hal non-teknis. Boleh jadi Allegri langsung merasa nyaman di Juve sehingga dengan mudahnya dia berkreasi dan bekerja.

Karena secara taktik, sejumlah pakar di Italia mematok Allegri sebagai ahli siasat yang bagus. Dibanding substitusinya, Allegri ada di tengah-tengah. Dia jelas bukan kelas Marcello Lippi yang tetap tenang dan selalu yakin mencapai tujuan walau diberi Fiat 500. Tapi lelaki kurus itu juga bukan tipe Ciro Ferrara, allenatore Juve terparah, yang kalau bisa ingin punya Ferrari 488 Spider, dengan cadangannya Lamborghini Aventador LP 750.

Barangkali Allegri minimal kelasnya Alfa Romeo, atau katakanlah Maserati. Di beberapa segi dia malah lebih gampang bermanuver. Di pekan padat merayap misalnya, Allegri menunjukkan kekayaan variasi taktiknya. Lolosnya Juventus ke final Liga Champion musim lalu, setelah ngik-ngikan di penyisihan grup, merupakan bukti nyata permainan Allegri dipenuhi menu dan manuver yang kerap mengecoh pelatih-pelatih top Eropa lainnya.

Dari pentas Serie A musim ini tampaknya Allegri tidak perlu terlalu kuatir ke Liga Champion musim depan. Hampir pasti satu tiket telah digapai. Yang seru dua sisanya yang akan melahirkan rebutan ‘tangkap ayam’ antara Roma, Fiorentina, Inter, Napoli, Lazio dan mungkin eks klubnya, Milan. Namun mengenang perjalanan Capello atau Ancelotti, agaknya begitu juga Allegri. Tanpa harus menyelidikinya pun orang tahu bahwa ambisi dia adalah Eropa, Liga Champion!

Pola kerja dan peluang Allegri di musim 2015/16 tergantung dari target klub. Yang pasti kini saatnya Juve menguasai tatanan global, bukan lagi lokal atau regional. Dan satu-satunya cara paling smart meraihnya adalah dengan menjuarai Liga Champion. Titik. Jadi, hampir pasti target pribadi Allegri musim ini adalah, [1] Liga Champion, [2] Serie A. Jika skenario ini benar adanya, maka Allegri akan jauh lebih letih dibanding musim lalu.

Usai menang dramatis 3-2 atas Olympiacos yang meloloskan Bianconeri dari babak grup, tak dinyana dia berkicau via Twitter untuk menunjukkan perjuangan beratnya dengan menulis “#fiuuu” yang bermakna ‘fuuuh!’ atau phew dalam bahasa Inggris, alias ungkapan lega. Liga Champion musim lalu kelak menjadi modal berharga yang dapat mendekati impian pribadinya ke depan. Final di Berlin, Mei silam sudah dekat, tapi tetap belum cukup karena faktor jam terbang.

Apakah ucapan Zamparini akan jadi kenyataan? Titel Serie A bakal lepas ke tangan orang lain sebab obsesi Allegri dan Juve ada di Liga Champion? Catat, jika jadi kenyataan hal ini bukan karena Allegri tak becus menahan gelarnya akan tetapi lebih kepada prioritas dan konsentrasi. Pengenalan dan pemaknaan Allegri terhadap pesaing di Eropa terbilang minor sebab dia hanya seorang jago kandang, seluruh darma baktinya habis di dalam negeri.

Pragmatis Tulen

Pria kelahiran 11 Agustus 1967 ini bukan petualang sejati seperti Fabio Capello dan Carlo Ancelotti, bahkan mendekati Claudio Ranieri pun tidak. Tapi dia selalu terobsesi seperti mereka. Itu hasrat terdalamnya. Untuk dapat melanglang buana dia tahu syaratnya, CV-nya harus diisi dengan rekor Eropa. Gara-gara jam terbangnya di Eropa yang belum mumpuni itulah yang jadi sebab Milan di eranya tidak berkutik di ajang Eropa, ya termasuk dengan Juve musim kemarin.
Max Allegri: Bakal Juarai Serie A 2015-16
Andrea Agnelli dan Pavel Nedved, pengontrol pekerjaan Max Allegri.
Ambisi pribadi Allegri tidak setinggi Capello dan Ancelotti. Sejarah masa muda tidak bisa dibohongi. Saat aktif, Allegri hanya gelandang gurem dan satu-satunya klub top yang dibelanya hanya Napoli, itu pun cuma tujuh kali main. Sebelum dan sesudahnya, klub yang memakai tenaga Allegri bermerek aneh-aneh: Cuoiopelli, Pavia, Pistoiese atau Aglianese. Bandingkan dengan karier Capello (Roma, Juve, Milan) dan Ancelotti (Roma, Milan).

Tempat terbaik untuk Allegri tetap di Serie A, dan dia pun masih merasa haus. Situasi bisa berbahaya andai Agnelli dan juga Allegri terlalu menekan dirinya habis-habisan. Musim depan dapur serangan Juve hanya mengandalkan Paul Pogba, Claudio Marchisio serta debutan Sami Khedira setelah Pirlo dan Arturo Vidal pergi. Sepintas melihat komposisi gelandangnya sekarang, Juve sulit bersaing di Eropa. Satu catatan penting, Khedira sangat rentan cedera.

Organ terpenting buat Allegri bukan perut kelaparan seperti yang jadi prinsip Conte akan tetapi kecerdasan otak. Ini kunci sukses Allegri sesungguhnya. Allegri tahu, dalam sepak bola ada ratusan cara untuk sukses. Usai memberi scudetto pada Juve musim lalu, Allegri tercatat dalam buku besar calcio sebagai salah satu dari enam legenda pelatih yang memberi titel di dua klub berbeda. Dalam satu sisi saja dia sudah mengalahkan Mister Conte, sang pujaan Juventini.

Apakah Allegri akan sukses, sanggup mempertahankan titel Serie A di musim depan? Jawabannya ya mengingat probabilitas dia jauh lebih besar melihat reputasinya, pengalamannya, kedalaman skuadnya, kepercayaan para pemain, manajemen hingga gelombang dukungan dari Juventini. Faktor tifosi yang kini mendukungnya jadi titik balik motivasi Allegri yang terpenting. Masih terngiang dalam ingatan apa yang didapat Allegri setelah resmi menggantikan Conte.

Juli 2014, hari pertama Allegri muncul di markas latihan Vinovo amat nista dan terasa gila. Mobilnya digebrak, ditendang, diludahi serta dilempari telur oleh suporter fanatik Juve. Mereka ini masih sangat dendam dengan Milan dan Allegri, dua pihak yang dianggap sebagai biang keladi yang menyebabkan Juventus didegradasi paksa ke Serie B di musim 2006/07 gara-gara skandal Calciopoli. Namun 10 bulan kemudian, situasi berbalik 180 derajat. Allegri tampaknya dimaafkan.

Pesta juara berlangsung semalam suntuk hingga subuh. Beberapa pemain masih berkutat dengan mabuk tatkala dengan sempoyongan mereka berterima kasih pada Allegri. Dunia seperti runtuh setelah Conte pergi, namun realita yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bahkan Agnelli masih tidak percaya sampai-sampai mengirim ucapan ke Twitter. “Terima kasih Max untuk membawa tim ini sejak 15 Juli 2014 dan memimpin mereka menjadi juara!”
Format baru Juventus di tangan Max Allegri.
Scudetto 2014/15 disebut-sebut sebagai kemenangan sejati Allegri. Seluruh pengurus dan pemain pasrah dan putus asa setelah ditinggal Conte secara mendadak. Allegri datang di saat tepat. Tiada yang bisa mencegah atau merecoki. Dia leluasa berekspresi dan bereksperimen, termasuk menukar-nukar skema 3-5-2 ala Conte dengan 4-3-1-2 kesukaannya. Ini salah satu kelebihan Allegri yang kemudian dipahami Juventus: pragmatis.

Dari ratusan cara untuk sukses di sepak bola, yang terpenting bukan soal keinginan atau pandangan tetapi tujuannya. Allegri juga memegang teguh prinsip sepak bola Italia: Kalau tidak bisa menang setidaknya jangan kalah, namun dengan aplikasi yang jauh lebih rumit ketimbang cara Conte. Berlusconi selalu dianggap ayah oleh Allegri sehingga dia tabu membantahnya. Beda dengan Agnelli junior dan Nedved yang menganggap dirinya sebagai abang tertua.

Perekrutan Daniele Rugani (bek), Khedira (gelandang) serta trio penyerang Dybala, Simone Zaza dan Mario Mandzukic merupakan murni keinginan Allegri yang makin menunjukkan pola 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 akan berkumandang di musim depan. Skema ini menuntut peranan seorang trequartista. Marchisio, Roberto Pereyra atau Kingsley Coman. Berbekal pengalaman vital saat mengalahkan Olympiacos, Allegri yakin pasukannya kini telah paham bedanya dengan 3-5-2.

“Kita selalu mulai dengan anggapan. Saya pikir sepak bola soal kesenangan belaka, tetapi Anda butuh tujuan, yakni kemenangan sebab hanya inilah yang akan dicatat sejarah dan diingat orang,” kata Allegri seolah-olah mengirim pesan buat orang semacam Zamparini atau Berlusconi. “Mourinho itu manajer yang luar biasa, tapi dalam sepak bola dia bisa saja tidak disukai. Begitu pun saya. Namun pada akhirnya yang terpenting adalah apa yang telah dicapainya.”

“Di sepak bola tidak ada kata sejati untuk terbaik atau terburuk sebab perbedaan budaya dan karakter, yang jauh lebih penting adalah bagaimana intensitas kita dalam bekerja dengan banyak aspek,” papar Allegri lagi. Semoga Zamparini memahami ucapan ini.

(foto: gazzettaworld/goal/provenquality/gazzetta)

Share:

Problem Berlusconi: Dosa Galliani dan Ambisi Thaechaubol

Bergerak adalah awal kesuksesan bisnis. Zaman semakin maju, dan waktu terasa cepat. Ini barangkali yang sekarang semua rasakan. Bergerak cepat, lebih proaktif, dan berani ambil resiko merupakan cara-cara agar tidak ditinggal zaman dan lawan. Meski bukan yang pertama, namun rencana pembelian 48% saham pribadi Silvio Berlusconi oleh Thai Prime Company Ltd pimpinan Bee Thaechaubol, amat lazim terjadi di era globalisasi.
Problem Berlusconi: Dosa Galliani dan Ambisi Thaechaubol
Silvio Berlusconi dan Bee Thaechaubol. Melepas saham 48%.
Di dalam buku The Commandments of the 21st Century Management, Matthew Kiernan bilang bahwa di abad 21, eranya kecepatan dan responsif, perubahan peta persaingan berjalan parsial dan harus toleran pada ambiguitas. Perjalanan berbeda di abad 20 yang lebih stabil dan gampang diprediksi, karena prosesnya selalu berpatokan pada ukuran, skala, dan kepastian.

Kini kepemimpinan bisa dilakukan setiap orang sebab tuntutan agar lebih luwes lebih signifikan hasilnya. Klub-klub tradisional Italia seperti Milan punya kepemimpinan dan hirarki dalam organisasinya. Namun kini kemenangan persaingan di masa depan bukan ditentukan oleh seberapa besar penguasaan pasar, tapi seberapa besar penciptaan pasar. Yang pasti, sepak bola juga harus menyisakan harta karun terakhirnya berupa 2V, vision dan values.

Internazionale sudah melakukannya dua tahun silam saat konglomerat Indonesia Erick Thohir membeli 70% saham leluhur Keluarga Moratti. Bahkan sebelum di era Calciopoli, Juve pernah membiarkan Al-Saadi Qaddafy meraup 7,5% sahamnya. Milan dilamar Thaechaubol seharga 1,1 milyar pound atau Rp 22,73 trilyun (dengan kurs Rp 20.663,95 per 12 Juni 2015) untuk saham sebesar 60%. Jika oke, Thaechaubol siap membayar uang muka untuk 20%.

CEO Milan Barbara Berlusconi dan GM Adriano Galliani kelimpungan mendengarnya. Jika bilang 'ya' Milan akan berpindah tangan seperti Inter. Seluruh jajaran manajemen dan hak marketing yang sekarang ini berjalan akan berganti. Thaechaubol pun akan jadi pemilik Milan yang baru. Dia cuma mempertahankan posisi Barbara dan Galliani setahun sebagai transisi. Sekali lagi, jika menerima tawaran ini, dipastikan Berlusconi akan kehilangan belahan jiwanya.

Berlusconi gamang. Uang teramat banyak untuk ditolak. Berhari-hari dia memikirkan sembari cari wangsit. Suatu hari Thaechaubol diundangnya ke Arcore untuk rapat intensif. Lantas Berlusconi berkisah sejarah Milan. Thaechaubol, pendiri Private Equity Group, tekun mendengarkan dan terkesima dengan argumentasi sang capo. Thaechaubol akhirnya sadar, AC Milan adalah Berlusconi itu sendiri. Barbara lega mendengarnya, terlebih lagi Galliani.

Namun walau bagaimana Thaechaubol dalam posisi di depan dibanding Berlusconi. Jika dilepas, barangkali Berlusconi akan gigit jari dan peluang untuk mengubah nasib Milan sirna. Jangan-jangan di musim berikut Rossoneri kembali ke Dark Ages seperti 1983 akan degradasi ke Serie B. Beberapa pekan kemudian komposisi deal itu berubah. Saham yang dilepas 48% tapi nilai nominalnya turun jauh menjadi 500-an juta euro atau lebih dari Rp 7,5 trilyun.

Dengan 52% saham di tangan, Berlusconi tetap menjadi pemilik Milan dan pengambil keputusan tertinggi. Semuanya tidak berubah kecuali profit Milan kini dibagi dua. Berlusconi berkilah, pelaminan dengan orang Thai ini jauh lebih baik ketimbang tawaran sekumpulan konsorsium milyuner Tiongkok yang didukung penuh pemerintah Cina. Sebelum Thaechaubol masuk, dia mendapat proposal mengejutkan bercap bintang merah Republik Rakyat Cina.

Barbara Berlusconi
Problem Berlusconi: Dosa Galliani dan Ambisi Thaechaubol
Barbara Berlusconi, Sinisa Mihajlovic, Silvio Berlusconi, dan Adriano Galliani.
Konsorsium yang namanya dirahasiakan itu punya tujuan yang penting yakni mempromosikan Serie A dan memberi peluang bagi Milan membuat akademi yang jadi pilot project untuk 200 juta anak-anak di Cina berusia di bawah 8 tahun. Awalnya Berlusconi melalui Fininvest, menyodorkan 75% sahamnya yang logikanya akan berbanding lurus dengan 1,5 milyar populasi manusia.

Menurut laporan La Gazzetta dello Sport, kelompok ini siap mengakuisisi 60% saham Milan yang ditukar dana segar 365 juta pound atau sekitar Rp Rp 7,5 trilyun, sama dengan tawaran Thaechaubol. Namun kubu Tiongkok meminta khusus agar Paolo Maldini dijadikan direktur teknik dan konsultan finansial top Italia, Victor Dana, menjadi CEO-nya. Orderan ini tentu saja berat bagi Berlusconi lantaran hubungan dirinya dengan Maldini rada dingin.

Di luar kontak eksternal, persoalan Milan sesungguhnya ada di dalam. Manajemen yang centang perenang. Don Silvio tidak menutup mata. Keputusan memutasi sahabatnya, Galliani, dari CEO menjadi GM lumayan mengejutkan. Galliani (71), kini di bawah kendali Barbara (30), yang diangkat sebagai CEO baru. Dosa Galliani terbesar adalah gagal mencari manajer baru seusai Max Allegri resign mendadak. Tassotti? Seedorf? Pippo, untuk Milan? Ayolah.

Namun problem terbesar justru dengan hengkangnya Ariedo Braida, direktur transfer terkenal di Italia, tepat di malam tahun baru 31 Desember 2013. Bagaimana kelihaian Braida di bursa transfer bisa melihat Sampdoria, yang memakai jasanya per 1 Juli 2014. Sampdoria kini berada tiga tingkat di atas Milan di klasemen akhir 2014/15 setelah menyediakan pemain yang tepat buat pelatih Sinisa Mihajlovic.

Tak heran Braida lalu digaet Barcelona untuk jabatan yang sama sejak 12 Februari 2015. Galliani seorang die-hard, namun saat mengambil keputusan, kapasitasnya tidak ada separonya bos besar. Dia amat akrab dengan tim, rajin menonton di stadion atau saat latihan. Berlusconi tahu betul tangan kanannya ini sangat setia, seorang negosiator ulung berjuluk seekor burung kondor yang akan menjamin pasokan pemain tepat untuk manajer baru Milan, Sinisa Mihajlovic!

Konon, Zlatan Ibrahimovic dan Jackson Martinez jadi buruan Galliani paling kakap. Tapi ini dinilai untuk menyelamatkan reputasinya. Beberapa grup Milanisti di Italia bermimpi Berlusconi segera mencampakkan Galliani. Mustahil. Gara-gara Galliani juga, seorang legenda macam Baresi tak berkembang di level manajemen. Bahkan Maldini jelas-jelas enggan masuk ke dalam lingkaran. Seedorf yang ogah jadi yes man akhirnya bentrok juga dengan Galliani.

Milanisti juga berharap agar skuad Milan dicuci gudang, terutama untuk pemain senior macam Michael Agazzi, Michaelangelo Albertazzi, Cristian Zaccardo, Michael Essien, Nigel De Jong dan Pablo Armero. Satu-satunya yang patut dipertahankan adalah Ignazio Abate. Menurut mereka kunci kehancuran Milan adalah lenyapnya fighting spirit yang jadi karakteristik abadi. Galliani dituding jadi biang keroknya. Oh sialnya dia. Itulah resiko jika jadi bemper big boss.

(foto: bangkokpost/straitstimes)

Share:

Prahara AC Milan: Teori Kursi Oblak

Siapa yang tak tahu AC Milan, klub retro-historia dalam pentas Serie A? Di eranya, Milan adalah Italia, dan Italia adalah Milan. Tapi, sekarang...hmm. Anda pasti kenal siapa Franco Baresi, Paolo Maldini, Billy Costacurta, Mauro Tassotti, Roberto Donadoni, Carlo Ancelotti dan seterusnya? Tapi kenapa sekarang hegemoni tim penuh impian itu berhenti mendadak?
Prahara AC Milan: Teori Kursi Oblak
Silvio Berlusconi (kanan) paling bertanggung jawab atas degradasinya prestasi Milan. 
Nama-nama di atas adalah ikon generasi pertama, tengah sampai akhir 1980-an, hanya setahun setelah Rossoneri dibeli Silvio Berlusconi sejak 1986. Tim super dilahirkan dari orang-orang berkemampuan super, dan manajemen yang super pula. Kepopuleran skuad Milan dikatrol lagi oleh trisula stranieri; Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard, plus superallenatore Arrigo Sacchi.

Hanya tim super yang bisa mengalahkan tim super, dan terbukti, Milan yang memenangi persaingan antar tim super Serie A di puncak kejayaan kompetisi terbaik di dunia, Napoli dengan Diego Maradona-nya, Juventus dengan Michel Platini, dan Inter dengan Lothar Matthaeus.

Milanisti sejati rada uring-uringan jika tokoh-tokoh berikutnya, di awal sampai tengah 1990-an dilupakan. Lahir nama-nama pribumi seperti Alberigo Evani, Marco Simone, Demetrio Albertini, Stefano Eranio, Gianluigi Lentini hingga Daniele Massaro; yang rupanya mulus-mulus saja bersinergi dengan para senior termasuk trio Belanda, ketika stik estafet Milan dicabut paksa oleh Don Silvio ke Fabio Capello.

Pada era inilah dominasi il Diavolo Rosso melesat seperti roket, mengawang-awang bak satelit yang mapan di jagat raya. Di saat bersamaan akar Milan sangat kokoh, menancap ke dasar paling dalam, menjalar ke sela-sela kehidupan masyarakat negeri calcio. Sementara itu ruang dan waktu juga berpihak kepada mereka. Terlebih lagi Napoli sontak lumpuh begitu Maradona dicekal gara-gara narkoba.

Inter kehabisan tenaga. Juve kerap kena macet. Fiorentina masih merangkak, Roma wara-wiri entah ke mana, sehingga praktis musuh serius Milan cuma deretan lunak bin jinak seperti Sampdoria, Parma, atau Lazio. Berlusconi memupuk bakat Capello dengan telaten. Buahnya amat manis, titel invicibles nan langka "juara liga tanpa kalah" di 1991/92 digapai. Masih belum cukup, kejayaan bersambung menjadi tripel scudetto 1992/93, serta 1993/94 sebelum akhirnya dipuncaki titel kelima Liga Champion di musim yang sama. Memang sungguh nikmat mengenang euforia.

Menanggung realita itu yang berat. Milan, klub yang dulu bakatnya sangat bernutrisi kini sedang berada di persimpangan nasib dan kasta. Zona pembatas antara miskin dan kaya, kuadran kiri dan kanan, atas atau bawah, kelas penggembira atau pelakon. Sejarah kelam suka mengintip di sepak bola. Ingat tragedi Parma? Amit-amit, jangan seperti itu ah! Tapi mesti diingat juga tak ada klub yang spontan ambruk kecuali dengan perlahan-lahan, dengan tanda-tanda. Milan mesti sabar, semoga cuma 2-3 tahun untuk memetik buah reformasi manajemen dan revolusi mental yang sebentar lagi katanya mau di-overhaul.

Kejayaan sepak bola memang ditentukan oleh momen atau era. Namun momen dan era mesti dikreasi dan dibentuk; bukan hanya ditunggu. Anda mesti paham betapa terjalnya merebut kembali lahan kala positioning kita telah direbut orang. Juve perlu 5 tahun untuk seperti sekarang ini. Bahkan mereka pernah berpuasa 8 tahun, akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, untuk menanti kejayaan yang dimulai oleh Marcello Lippi dan Alessandro Del Piero. Napoli malah 9 tahun untuk bangkit, ini pun belum sampai ke puncak juga. Inter, Roma, Lazio, Fiorentina, Sampdoria, Genoa juga mulai bangun dari tidur. 
Prahara AC Milan: Teori Kursi Oblak
Riccardo Montolivo dan Mario Balotelli. Mulai masuk siaga merah.
Nah, musim kemarin posisi mereka semuanya membawahi Milan, bahkan dua musim beruntun ini Torino selalu di atas Milan! Bicara improvisasi, prosesnya sangat jelas. Jika mereka berlari, maka Milan berjalan. Jika mereka berjalan, maka Milan diam di tempat. Tren penurunan jadi bukti sahih: 2010/11 juara, 2011/12 runner up, 2012/13 ketiga, 2013/14 kedelapan, dan 2014/15 sepuluh! 

Kemana perginya tradisi menang atau mental juara yang menjadi ciri khas Rossoneri? Julukan skuad Merah-Hitam sepertinya terpenggal otomatis menjadi merah untuk rapor atau status siaga mereka, dan hitam atas periode atau nasib mereka. Banyak yang harus dilihat untuk memahami kekacauan tiga tahun terakhir. Saling tuding cari biang kerok, siapa yang paling salah, tidak akan mengatasi persoalan. 

Pandanglah ke depan, pahamilah bahwa kegagalan dan kekecewaan adalah bahan bakar utama kesuksesan. Kalau pun ada yang bertanggung jawab atas degradasi prestasi Milan, cuma satu orangnya: Berlusconi. Dia pun cuma punya satu kesalahan sepele: tidak menyiapkan pengganti saat dirinya menapaki karier ke panggung politik yang menyita waktu dan perhatian.

Awal Prahara

Bukan rahasia lagi, semua yang terjadi di Milan, sampai detik ini, harus diputuskan dan direstui Berlusconi, pria bangkotan berumur 78 tahun. Hukum yang berlaku: Milan adalah Berlusconi, Berlusconi adalah Milan. Sayangnya usia tak bisa dibohongi. Sel-sel otaknya semakin menua, kemampuan menjadi terbatas meski wajahnya rajin di-facelift.

Adriano Galliani, sahabat yang dijadikan CEO tak bisa diandalkan karena sampai kapan pun tetap canggung untuk memutuskan sesuatu. Selepas era Ancelotti di 2009, penunjukkan manajer atau pelatih kepala di Milan kian ajaib sebab di luar tradisi nama besar.

Pertama, Leonardo Araujo, eks gelandang Milan 1997-2001, yang menukangi tim junior saja belum mantap namun mampu memikat Berlusconi sehingga sempat diparkir dulu sebagai direktur teknik. Dapat ditebak, Leonardo akhirnya mengecewakan pemilik dan publik lantaran cuma membawa Milan di peringkat ketiga. Isu yang beredar, selain lisensi kepelatihannya digugat UEFA, orang ini juga ternyata normatif.

Giliran Massimiliano Allegri, yang diciduk dari Cagliari pada 25 Juni 2010. Uniknya meski CV-nya belum mumpuni serta timnya mulai jadi 'panti jompo', dia sukses memberi scudetto terakhir Milan berkat perjuangan keras tridente Zlatan Ibrahimovic, Robinho, Alexandre Pato. Saat itu para pengamat sudah yakin, ini laskar Milan terakhir yang sulit bersaing lagi ke depan.

Dan benar, Allegri resign mendadak karena stres melihat menciutnya dana transfer. Masuknya Clarence Seedorf pada 16 Januari 2014, hanya dua pekan setelah Allegri cabut dan sepekan dipegang Tassotti, pastinya bikin para pesaing kesenangan. Meski mengerahkan daya cipta dan value-nya sampai jontor, namun gelandang Milan selama 10 tahun (2002-2012) ini tidak berdaya juga mengakali skuad uzur.

Di akhir musim 2013/14, Rossoneri terjerembab ke posisi delapan. Milanello terguncang, Milanisti meradang. Tiada ampun bagi Seedorf. Jimatnya ternyata tidak sakti lagi. Berlusconi mereplika lagi keputusan akal-akalan tatkala merestui Filippo Inzaghi sebagai suksesor. Seperti aksinya dulu sewaktu jadi striker yang kayak layangan putus dan sering sruntulan, begitu juga performa Milan di bawah kendali Pippo. Kejengkelan suporter fanatik kini naik ke ubun-ubun, sampai-sampai untuk pertama kalinya berani menggugat Berlusconi.

Problem Milan adalah persoalan klasik. Aura pemilik otoriter yang jenius bin hebat serta berstatus the only-man, tapi bakat atau wataknya sulit diwarisi oleh keturunannya, terutama Pier Silvio, putra pertama dari pernikahannya dengan Carla Dall'Oglio. Belakangan, Berlusconi menjadikan Barbara, putri ketiganya, sebagai CEO Milan. Untuk mencari lagi akar terdalam prahara Milan, sulit ditampik itu berasal dari ambisi pribadi Berlusconi sendiri yang awalnya memanfaatkan brand Milan untuk terjun ke dunia politik.

Penggambaran tentang mantan Perdana Menteri Italia selama tiga kali itu barangkali mirip Arsene Wenger di Arsenal, dan partai Forza Milan identik dengan Stadion Emirates. Kedua orang ini sendiri yang sama-sama memporak-porandakan dominasi dan kejayaan yang sudah mapan dengan pendirian Forza Milan atau Emirates, yang pasti akan menyeret semua sumber daya, waktu, perhatian sampai konsentrasi.

Apakah keduanya naif, sebab menganggap persaingan di dunia ini masih belum masuk tingkatan edan? Entahlah. Yang pasti, manakala impian atau visi yang berskala 9,5 sekalipun dikumandangkan tanpa menghitung segala skenario terburuk, maka cikal bakal nestapa cepat lambat bakal terhampar. Andai kedua orang ini konsisten dengan kekuatan bakatnya, mungkin cerita sukses lebih banyak dari gagalnya.

Faktanya, setiap Berlusconi menjadi PM Italia, hasil yang dicapai Milan malah mengecewakan. Forza Milan barangkali memang momentum terbaik. Dia telah mendapatkannya. Namun ketika mulai ketagihan, ini jelas awal keruntuhan. Berlusconi ambruk, Milan bakal tersuruk.

Kohesi antara kekuasaan, keserakahan, intrik sampai skandal selalu mencirikan dunia politik, dan ketika dipadukan oleh mengurus klub sekelas Rossoneri, tujuh kali juara Eropa, barangkali hasilnya cuma ada dua: Anda akan semaput, atau Anda akan ngaco. Dan Berlusconi jadi ngaco saat lebih mengakrabi Forza Milan daripada AC Milan, belahan jiwa yang sesungguhnya.

Hasilnya amburadul. Arus profit dua kerajaan bisnisnya, Finninvest dan Mediaset, ikut terganggu. Keuntungan klubnya juga menciut, sampai-sampai kesulitan membeli bintang top yang berharga mahal, atau untuk mengontrak manajer berkaliber kakap. Rumah tangga juga ikut berantakan. Pada 2010 Berlusconi bercerai dengan istri keduanya, Veronica Lario.

Kemunculan Taechaubol
Prahara AC Milan: Teori Kursi Oblak
Bee Taechaubol, pebisnis Thailand, diharapkan sebagai tonik penambah vitalitas buat AC Milan.
Layaknya kultur Italia yang mirip-mirip dengan di Indonesia, ketika bakti pada ibu dan hormat pada istri, atau salah satunya, sudah dilanggar seorang pria, maka bencana di ambang mata. Percaya atau tidak, ini juga terjadi pada Berlusconi. Bahkan akal sehatnya makin singit tatkala ia terbukti punya skandal memalukan dengan gadis di bawah umur.

Dasar Berlusconi, meski sudah hancur-hancuran, sekarang ini masih terus saja ngotot untuk menjadi PM keempat kalinya setelah tergusur pada 2011. Kakek kelahiran 29 September 1936 itu nyaris tidak punya energi lagi untuk Milan sebab waktu dan tenaganya sudah tersedot untuk mengatasi kasus demi kasus.

Mulai dari politik sampai bisnis. Keluarga sampai reputasi pribadinya yang membuat dia lebih sering datang ke pengadilan ketimbang ke Milanello, markas besar klubnya. Siapapun tahu, sebenarnya nama Berlusconi lebih indah di sepak bola, dari pada di bisnis atau politik.

Berlusconi lebih hebat dari beberapa manajer dan direktur transfer di Italia. Dia hanya meminjam tubuh Allegri ketika menjadikan Milan scudetto 2010/11. Saat berjaya menangani Milan, kunci sukses Capello paling awal adalah menuruti kemauan capo di cappi tutti (bos dari segala bos) itu.

Ariedo Braida, master transfer kelas kakap setelah Luciano Moggi, juga belajar dari Don Silvio sehingga lancar mendatangkan Van Basten, Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka, dan Thiago Silva - empat pilar sukses Milan di tiga era sebelumnya. Usai melihat Milan melakoni dua musim terakhir yang paling hitam di eranya, Berlusconi seperti tersadarkan.

Dia mengumpulkan keluarganya serta orang-orang terdekatnya di Arcore, vilanya yang terletak antara Monza dan Milano. Agendanya bisa ditebak, rencana pelepasan sebagian saham Milan kepada pebisnis Thailand, Bee Taechaubol. Di ujung rapat keluarga itu sang supremo tiba-tiba berwasiat. "Kalian boleh menjual apapun yang saya atau kamu miliki, kecuali dua hal yaitu rumah ini, dan AC Milan," ujar Berlusconi di depan anak-cucunya soal hasrat terpendamnya.

Munculnya Taechaubol, 39 tahun, seperti tonik penambah vitalitas untuk Milan yang sedang babak belur. Celakanya hal ini dirasakan oleh Milan pada dua folder terpenting sepak bola, yaitu pelatih berkualitas dan beberapa calon superstar. Masih disebut calon, sebab superstar yang asli biasanya butuh panggung Liga Champion atau Liga Europa untuk bersolek diri. Maaf, soalnya sekarang masuk tahun kedua anak-anak Milan tidak akan jalan-jalan ke Eropa.

Usai jumpa Taechaubol, giliran Sinisa Mihajlovic yang dibidik Berlusconi untuk dijadikan manajernya ke-14. Sayang Carlo Ancelotti menolak pinangannya lantaran ingin cuti setahun penuh setelah menjalani periode yang melelahkan di Real Madrid. Harapan buat Milan selalu ada bila Berlusconi memberikan atensinya.

Belakangan ia rajin menyambangi Milanello. Hal ini saja sesungguhnya sudah menggembirakan para Milanisti. Apakah dia sudah tobat? Semoga. Ibarat kursi oblak, empat kaki kursi di Milan adalah Berlusconi, manajer, dana transfer, dan terakhir stadion. Teori empat kaki kursi berlaku untuk semua klub Italia, yang bisa diterjemahkan sebagai presiden klub, manajer, pemain top, dan pabrik uang.

Tapi teori kursi oblak sekarang sedang diderita Milan. Juventus merupakan satu-satunya, dan pertama, yang baut-mur kaki kursinya kokoh dan mantap. Yang lain kebanyakan hanya mentok punya 2-3 kaki kursi yang sehat, bahkan ada yang bersandar atau duduk hanya dengan satu kaki kursi.

Berjalan tertatih-tatih masih lebih bagus daripada diam di tempat. Jika mulai bulan ini Berlusconi sudah mau turun gunung dan deal dengan Taechaubol dan pencarian manajer top berakhir indah, artinya Milan telah mereparasi tiga kaki kursinya, lumayan banget dibanding sebelumnya.

Kaki kursi terakhir adalah mesin uang untuk pengembangan infrastruktur. Kebutuhan pada stadion, untuk menggelontorkan pemasukan rutin jadi prioritas sesudah urusan manajemen dan konten permainan kelar. Tampaknya Milan mulai punya jarum dan benang untuk menjahit lagi sejarahnya yang sempat sobek.

(foto: nouvasocieta/casamilan)

Share:

Misteri Penalti dan Kekalahan Chievo 2-3

Internazionale Milano memang sudah lama tidak rela posisinya diambil Chievo Verona sebagai capoclassifica. Setelah empat pekan membayangi, pada tredicesima giornata, pekan ketigabelas, Ahad (2/12), Christian Vieri dkk. merengkuhnya kembali.
Misteri Penalti dan Kekalahan Chievo 2-3
Luigi Del Neri mendapat pelajaran mahal.
Bulan Desember, seperti yang sudah-sudah, selalu menjadi waktu penentuan para calon scudetto untuk memantapkan posisinya sebelum D'Inverno - jeda kompetisi di musim dingin. Momentum itu adalah ambruknya Chievo. Hebatnya kecuali Parma, semuanya sukses. Tapi, paling sukses ya Inter, yang menang tandang 4-2 atas tuan rumah Atalanta.

Inter, yang sempat tertinggal 1-2 hingga 60 menit dan tak lama menyamakan diri melalui rigore yang dilakukan Vieri, secara spektakuler menambah dua gol begitu pelatih Hector Cuper menarik Sergio Conceicao lalu memasukkan Alvaro Recoba. Lewat dua umpan bintang Uruguay ini pada Vieri dan Mohammed Kallon, pasukan Hitam-Biru itu pun berjaya.

Dengan komposisi baru format lama (4-4-2), Cuper menempatkan il capitano Javier Zanetti, Luigi Di Biagio, Oscar Cordoba, dan Vratislav Gresko melapis Francesco Toldo. Namun, dobrakan lini tengah Atalanta yang diotaki Ousmane Dabo (eks Inter) dan Cristiano Doni membuat Cristiano Zanetti, Francisco Farinos, Andres Guly, dan Conceicao keteteran.

"Kita bermain harus memakai otak. Kekalahan dari Udinese (di Piala Italia - Red.) adalah karena sikap beberapa pemain yang mencari hasil seri, padahal stamina yang dikeluarkan sama saja besarnya," jelas Cuper sebelum duel di kota Bergamo yang dijuluki Derby Lombardo, laga sesama penghuni wilayah (pegunungan) Lombardo itu.

Cuper memang cuma mengkritik para difensas-nya. Tapi mungkin juga para gelandangnya. "Mereka harus percaya pada saya. Contohlah Vieri, Ronaldo, Conceicao, dan Recoba yang mental kemenangannya tinggi. Sayang, jika mereka tak pernah mendapat umpan," seru Cuper, yang akhirnya terpaksa menaruh Recoba di tengah saat lawan Atalanta.

"Inilah (permainan) Inter sesungguhnya. Jika penyerangan lancar, maka problem kami di pertahanan selama ini akan tertutupi. Atalanta lawan yang tangguh, tapi kami menjawab kritikan tifosi kami dengan permainan menyerang dan penuh improvisasi. Saya selalu yakin Inter masih bisa lebih baik lagi," ucapnya lagi pada Datasport usai tanding.

Merasa Dicurangi

Sayang bergesernya capolista di pekan ini konkretnya diawali akibat ulah arbitri Graziano Cesari. Banyak yang setuju, Milan harusnya kalah 1-2 dari Chievo sebab dua gol kemenangan yang dibuat Filippo Inzaghi dan Andriy Shevchenko patut dipertanyakan. 

Begitu teganya Cesari memberi penalti hanya karena melihat Sheva didorong Eriberto? Dari segi permainan pun, Eugenio Corini cs. mampu meladeni berbagai aksi pemain Rossoneri. Kalaupun ada yang perlu dikritik untuk pasukan Luigi Del Neri, selama ini, paling cuma kekurang-matangan menjalankan strategi. Chievo terbiasa tampil spartan 90 menit tapi tanpa dibarengi pengaturan ritme. Walhasil mereka sepertinya tak pernah main tenang.

"Jika tak ada penalti itu hasilnya akan lain. Milan tertinggal dan tertekan. Kami makin nyaman bermain. Wasit terlalu memihak tuan rumah. Padahal dia seharusnya juga memberi dua penalti lagi, satu untuk kami (Martin Laursen yang tertangkap handsball). Tapi, inilah pelajaran mahal lagi, bagaimana bisa membuat gol saat tertekan," kata Del Neri.

Kalau Del Neri membuat pengakuan begitu, itu adalah urusan dalam negerinya. Tapi ada torehan fakta yang sungguh aneh tapi nyata. Tiga kekalahan Chievo selama ini selalu berakhir dengan skor 2-3. Ketiganya dalam partai tandang dan semuanya selalu diderita Chievo lewat hukuman penalti dari tiga wasit yang berbeda!

Dua kekalahan Chievo sebelumnya saat lawan Juventus (16/9) dan Verona (18/11). Saat lawan Juventus, saat skor 2-2, Chievo dihukum wasit Cosimo Bolognino dan penalti yang diambil Marcelo Salas di menit 82 membuat mereka kalah. Demikian juga pada derby dengan Verona. Salah satu kekalahan scudetti Serie B musim lalu ini diakibatkan oleh rigore Massimo Oddo di menit ke-40 pemberian arbitri Alfredo Trentalange.

"Ketenangan pemain menjadi masalah kami. Mereka harus tetap berusaha keras. Tertinggal bukannya kalah. Tiga kekalahan itu selalu kami awali dengan penampilan yang baik, tapi diakhiri dengan penampilan baik lawan," sebut Del Neri yang tak mau mengomentari kepemimpinan Cesari karena merasa cuma buang energi itu. Perjalanan memang masih jauh, Mister. Tapi jangan sampai empat kali kalah dengan cara, nasib, dan skor yang sama dong!

(foto: ilnumerodieci/rai)

Share:

Chievo Punya Ambisi Unik

Bisa jadi ini sebuah anti-teori terkini dalam sejarah Serie A di era milenium baru. Mau dibilang cuma kebetulan, terserah. Mau dianggap beruntung juga no problemo. Nyatanya tanpa tradisi dan khayalan, Chievo terus meluncur dan mantap menggenggam capolista, pimpinan klasemen, selama tiga pekan terakhir!
Chievo Punya Ambisi Unik
Kegembiraan tiga pekan dibuat oleh Chievo.
Berlaga di kandang sendiri, Stadio Mario Antonio Bentegodi di kota Verona, Scudetti Serie B 2000/01 itu sukses melindas Perugia 2-0 lewat gol penalti playmaker Eugenio Corini (27) dan sundulan sweeper Lorenzo D'Anna (77). Bentrok kedua tim dilaporkan berjalan sengit, keras menjurus brutal, dipenuhi protes dan hujan kartu. 

Tak heran jika arbitri Stefano Braschi dipaksa kerja keras termasuk sering adu urat leher dengan pemain kedua tim. Jalannya pertandingan tiba-tiba jadi keras cenderung main kayu memasuki menit ke-15 ketika Marco Di Loretto menghantam sayap kanan Chievo, Eriberto Da Silva. Oleh wasit terbaik Serie A Italia tersebut, bek Perugia itu kontan diganjar kartu kuning.

Setelah itu, dalam kurun waktu 15 menit ke depan, Braschi lagi-lagi merogoh kantongnya untuk memvonis D'Anna dan Simone Perrotta serta Salvatore Monaco (Perugia) dengan kartu kuning, serta espulsi buat gelandang Perugia asal Argentina, Claudio Martin Paris, karena menghajar dari belakang Federico Cossato di dalam kotak penalti. Suasana kian panas usai penalti Corini sukses menembus gawang Andrea Mazzantini.

Di menit ke-36 dan 38, Braschi kembali menghukum dua pemain tamu Davide Baiocco (kartu kuning) dan Monaco (kartu merah). Urusan kelihatannya bakal runyam sebab kedua pelatih mulai berteriak protes dari pinggir lapangan. Pelatih Perugia Serse Cosmi, yang dikenal sangat temperamental, langsung mencak-mencak melihat kartu merah untuk Monaco.

"Sulit mempercayai dua vonis Braschi dalam waktu berdekatan," ucap Cosmi, yang oleh beberapa wartawan lokal diacungi jempol karena taktiknya sukses membendung lawan walau timnya bersisa 9 pemain. "Anda 'kan bisa lihat, Cossato tak berpeluang mencetak gol. Jadi tak ada alasan Braschi memberi kartu merah Paris," tambahnya dalam jumpa pers usai pertandingan.

Ambisi Bertahan

Keputusan Braschi atau pendapat Cosmi justru dibenarkan oleh gelandang Chievo, Christian Manfredini. "Saya pikir Braschi tidak perlu memberi penalti serta mengusir Paris atau mengeluarkan Monaco," sebut Manfredini apa adanya. Sayang, tidak ada komentar dari Braschi karena memang wasit tidak diwajibkan menghadiri jumpa pers. Keunggulan kubu tuan rumah dipertegas ketika mereka menambah golnya di 10 menit terakhir.

Assist Manfredini dari sayap kiri disambut pas oleh sundulan D'Anna yang maju ke depan. Skor 2-0 tak berubah sampai 3 menit tambahan waktu di akhir babak kedua. Hasil itu disambut sukacita oleh allenatore Chievo, Luigi Del Neri. "Dengan sembilan pemain, Perugia justru bermain bagus. Kami jadi terlihat bodoh dan merasa dipermainkan. Tapi hasil ini secara objektif makin menyelamatkan kami dari zona degradasi. Itu yang terpenting," papar Del Neri rada hiperbola usai pertandingan.

Memang, meski faktanya memimpin klasemen sementara Serie A musim 2001-02, namun sejak semula Del Neri selalu mengatakan bahwa target Chievo musim ini cuma bertahan di Serie A alias jangan sampai kena degradasi ke Serie B. Ajaibnya, hal itu terus diamini oleh para pemainnya, termasuk bos Chievo. Luigi Campedelli, serta tifosi setia mereka.

Secara psikologis hal ini sangat positif. Gialloblu selalu bermain lepas tanpa beban atau tekanan. Bagaimana pekan ke depan? Setelah 11 pekan, ketangguhan Chievo kini tinggal diuji oleh tiga favorit Serie A musim ini, AC Milan (tandang) pada pekan ke-12, Inter (kandang, 16/12) dan Roma (tandang, 23/12). Milan, yang di dua duelnya ke depan akan main di San Siro, sukses membekuk tuan rumah Parma melalui gol emas Filippo Inzaghi. Demikian pula Roma yang menang 3-1 atas tuan rumah Bologna di Renato Dall'Ara.

"Obsesi kami tetap bertahan di Serie A, meski kesempatan untuk bersaing tetap terbuka. Namun. yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana bermain menyerang dan menyerang. Ini terlihat lebih realistis buat kami, terserah orang menganggap kami apa," ungkap Eriberto, gelandang asal Brasil yang pernah membela Bologna seolah menyepakati ucapan pelatihnya.

(foto: gazzetta)

Share:

Kisah D'Inverno: Emerson Menuju Roma

Gelandang nasional Brasil yang bermain di Bayer Leverkusen, Emerson Ferreira, ngebet ingin pindah ke Liga Italia. Adapun klub yang paling diincarnya adalah AS Roma. "Sepertinya sudah tidak bisa ditahan. Ia lebih memilih pindah di akhir musim ini," jelas Rudi Voeller, Direktur Olah Raga Leverkusen. Selasa lalu.

Voeller, mantan bomber nasional Jerman di awal era 1990-an, sepertinya 'mati kutu' menghadapi keinginan anak buahnya itu. Pasalnya klub yang dituju Emerson adalah klub yang melambungkan nama Voeller. Pihak Roma pun sudah bersiasat dan berbicara khusus dengan Voeller untuk menjegal keinginan Milan dan Parma. Meski nilai transfernya belum ditentukan. Roma bakal membayar pemain 23 tahun itu lebih mahal lantaran kontrak Emerson di Leverkusen baru usai pada 2002.

Kisah D'Inverno: Emerson Menuju RomaSpekulasi menyebutkan nilai kontrak gelandang bertahan itu sekitar 55 juta Deutsche Mark atau senilai 28,36 juta dolar. "Hanya Roma yang berpeluang. Untuk Milan dan Parma, nilainya akan lain," ucap Voeller dengan enteng. Emerson memang pantas jika bergabung ke Roma karena di sana ada dua rekannya, Dos Santos Aldair dan Evangelista Cafu. yang juga dikabarkan memberi masukan buat pelatih Fabio Capello dan Presiden Roma Franco Sensi. "Tapi saya ingin pergi sebagai seorang juara," ujar Emerson.


Situasi Di Inter

D'Inverno: Emerson Menuju RomaSementara itu Inter juga buru-buru membeli pemain masa depannya. Dia yang dibanderol 24 juta dolar adalah Cedric Orlando Seedort, yang masih 16 tahun! Pemain yang baru digaet dari Real Madrid junior ini ternyata adiknya Clarence Seedorf yang dijuluki Seedorf II. Cedric juga pemain nasional Belanda U-16 dan pernah bergabung di dua klub besar, mirip sang abang, Ajax Amsterdam dan Real Madrid.

Masih dari Inter, gaya bos Massimo Moratti, untuk melecut kemajuan anak buahnya patut dipuji. "Saya tetap yakin akan tim ini. Melawan klub kuat kami telah menampilkan level yang sama, bahkan kadang-kadang lebih bagus. Melawan Milan, kami seharusnya bisa menang jika Ronaldo tampil. Melawan Juventus kami bisa menahannya," kata Moratti, yang masih kecewa dengan posisi Inter di urutan keenam klasemen sementara.

Dengan analisis yang tajam, Don Moratti mengakui mundurnya laju Inter belakangan ini akibat cedera dua bintangnya, Christian Vieri dan Ronaldo. "Sejak Oktober semua berubah. Tapi saya suka lihat kemajuan Zamorano, Recoba," katanya bersyukur.

Mengenai pesaing kuat Inter menuju scudetto, Moratti mengakui bahwa Juventus-lah yang paling ditakutinya. Setelah itu, ia hanya menyebut tiga klub lainnya, Lazio, Parma, dan Roma. "Saya sangat terkesan pada Juventus. Saya tak habis pikir mereka tambah kuat di musim ini," kata Moratti.

PERNAK-PERNIK D'INVERNO



Klasemen Sementara Serie A

01. JUVENTUS
17
10
6
1
(22-8)
36
02. LAZIO
17
10
5
2
(33-16)
35
03. ROMA
17
9
5
3
(34-18)
32
04. PARMA
17
9
5
3
(29-18)
32
05. MILAN
17
8
7
2
(34-22)
31
06. INTER
17
8
2
6
(32-15)
29
07. BARI
17
6
5
6
(21-21)
23
08. BOLOGNA
17
6
5
6
(14-16)
23
09. LECCE
17
6
5
6
(17-24)
23
10. FIORENTINA
17
5
7
5
(18-20)
22
11. UDINESE
17
6
4
7
(25-25)
22
12. PERUGIA
17
6
2
9
(16-31)
20
13. REGGINA
17
3
8
6
(18-25)
17
14. TORINO
17
4
5
8
(14-21)
17
15. VERONA
17
4
4
9
(12-25)
16
16. VENEZIA
17
4
3
10
(13-23)
15
17. PIACENZA
17
2
5
10
(9-22)
11
18. CAGLIARI
17
1
7
9
(16-28)
10

Marcatori Serie A

12 GOL: Hernan CRESPO (Parma, 1 penalti).
11 GOL: Andrii SHEVCHENKO (Milan, 3).
9 GOL: Gabriel BATISTUTA (Fiorentina); Vincenzo MONTELLA (Roma, 2).
8 GOL: Christian VIERI (Inter); Filippo INZAGHI (Juventus, 1); Oliver BIERHOFF (Milan, 1); Mohammed KALLON (Reggina, 2); Marco DELVECCHIO (Roma).
7 GOL: Marcelo SALAS (Lazio); Cristiano LUCARELLI (Lecce); Roberto MUZZI (Udinese): Filippo MANIERO (Venezia).
6 GOL: Giuseppe SIGNORI (Bologna); Patrick MBOMA (Cagliari, 2); Francesco TOTTI (Roma, 3); Martins ADAILTON (Verona, 2).
5 GOL: Juan VERON (Lazio, 1); Marco DI VAIO (Parma); Marco FERRANTE (Torino, 3).
4 GOL: Yksel OSMANOVSKI (Bari); Kennet ANDERSSON (Bologna); Alvaro RECOBA, Ivan ZAMORANO (Inter); Alessandro DEL PIERO (Juventus, 4): George WEAH (Milan).
3 GOL: Duccio INNOCENTI, Daniel ANDERSSON (Bari, 2); Daniele BERRETTA, Luis OLIVEIRA (Cagliari); Alen BOKSIC, Dejan STANKOVIC, Sinisa MIHAJLOVIC, Simone INZAGHI (Lazio, 1,1); Luiz Nazario RONALDO (Inter, 1); Antonio CONTE (Juventus); Zvonimir B0BAN (Milan); Alain BOGHOSSIAN (Parma); Nicola AMORUSO, Renato OLIVE (Perugia); Davide DIONIGI, Arturo DI NAPOLI (Piacenza, 1,3); Stefano FIORE, Paolo POGGI (Udinese, 1); Fabian VALTOLINA (Venezia).
2 GOL: Hugo ENYINNAYA, Antonio CASSANO, Rachid NEQROUZ (Bari); Joerg HEINRICH, Enrico CHIESA (Fiorentina); Francesco MORIERO, Vladimir JUGOVIC, Grigorios GEORGATOS (Inter); Zinedine ZIDANE, Darko KOVACEVIC (Juventus); Giuseppe PANCARO (Lazio); Alessandro CONTICCHIO, David SESA (Lecce, 1); Nascimento LEONARDO (Milan); Fabio CANNAVARO, Ariel ORTEGA (Parma); Alessandro CALORI, Marco MATERAZZI (Perugia); Evangelista CAFU, Vincent CANDELA, Hidetoshi NAKATA (Roma/Perugia, 1); Andrea PIRLO, Roberto BARONIO (Reggina); Edoardo ARTISTICO (Torino); Martin JOERGENSEN, Andrea SOTTIL, Thomas LOCATELLI (Udinese); Maurizio GANZ (Venezia /Milan); Alfredo AGLIETTI (Verona).
GOL BUNUH DIRI: Alessandro CALORI (Perugia, 2); Klas INGESSON (Bologna); Daniele BERRETTA (Cagliari); Zinedine ZIDANE (Juventus): Sinisa MIHAJLOVIC (Lazio); Alain BOGHOSSIAN, Lilian THUHAM (Parma); Paulino Neves HILARIO, Lorenzo STOVINI (Perugia); Joseph Dayo OSHADOGAN (Reggina); Andre CRUZ (Torino); Andrea SOTTIL (Udinese); Fabian Alves BILICA (Venezia); Luigi APOLLONI (Verona).

Klasemen Sementara Serie B

01. VICENZA
19
10
4
5
(35-22)
34
02. ATALANTA
19
10
4
5
(27-17)
34
03. BRESCIA
19
8
8
3
(26-15)
32
04. NAPOLI
19
8
7
3
(25-19)
31
05. SAMPDORIA
19
7
8
4
(19-15)
29
06. COSENZA
19
6
9
4
(17-14)
27
07. SALERNITANA
19
6
8
5
(27-25)
26
08. RAVENNA
19
6
8
5
(20-19)
26
09. CHIEVO
19
7
5
7
(24-23)
26
10. ALZANO
19
7
5
7
(19-23)
26
11. TREVISO
19
7
4
8
(24-22)
25
12. TERNANA
19
5
9
5
(20-24)
24
13. CESENA
19
4
11
4
(23-20)
23
14. MONZA
19
4
11
4
(19-20)
23
15. GENOA
19
6
4
9
(19-19)
22
16. PESCARA
19
3
11
5
(22-24)
20
17. EMPOLI
19
5
5
9
(13-26)
20
18. PISTOIESE
19
6
5
8
(15-21)
19
19. SAVOIA
19
3
7
9
(15-28)
16
20. FERMANA
19
3
5
11
(16-29)
14

Marcatori Serie B

11 GOL: Nicola CACCIA (Atalanta, 1 penalti); Stefan SCHWOCH (Napoli, 1); David DI MICHELE (Salernitana, 2).
9 GOL: Cosimo FRANCIOSO (Genoa, 5); Stefano GHIRARDELLO (Savoia, 3); Gianni COMANDINI (Vicenza, 4).
GOL BUNUH DIRI: Massimiliano CAPPELLINI (Brescia); Enrico FRANCHI (Chievo); Ivan FRANCESCHINI (Genoa): Dario SMOJE (Monza); Gian Battista SCUCUGIA (Pistoiese); Drazen BOLIC (Salernitana); Sandro PORCHIA, Paolo SIROTTI (Savoia).


Hasil Perempatfinal I COPPA ITALIA

VENEZIA vs FIORENTINA 0-0

Waktu: Selasa (18/1)
Stadion: Pierluigi Penzo
Penonton: 1.277
Wasit: Pierpaolo Rossi dan Gianluca Paparesta
Sepak Pojok: 5 - 5
Injury Time: 0' - 3'
Kartu Kuning: Adani, Tarozzi, Batistuta
Pemasukan Tiket: 37.135.000 lira

VENEZIA (4-4-2): 1-Konsel 6; 24-Cardone 6, 5-Luppi 7, 3-Dal Canto 20-Orlandini 7 (10-Ganz 61'/6); 21-Berg 7,5, 8-Volpi 7,5, 7-Nanami 7 (16-Bianchi 83'/-), 26-Pedone 7; 9-Maniero 6,5 (Budan 56'/6), Valtolina 7,5.
Cadangan: 22-Casazza, 4-lachini. 15-Borgobello, 17-Coletto.
Pelatih: Luciano Spalletti
FIORENTINA (3-4-1-2): 1-Toldo 6; 4-Adani 5, 6-Firicano 5, 2-Repka 5; 16-Di Livio 5,5, 11-Rossitto 5, Tarozzi 6 (24-Amoroso 68'), 17-Heinrich 6,10-Rui Costa 6, 20-Chiesa 6 (Vakouftsis 68'), 9-Batistuta 6.
Cadangan: 12-Taglialatela, 7-Amor, 15-Okon, 23-Pierini.
Pelatih: Giovanni Trapattoni 6.

(foto: sport.ru/infinito.it)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini