Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label NASIONAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NASIONAL. Tampilkan semua postingan

Big-Match Indonesia Muda vs Jayakarta: Siapa Tahu Ada Keajaiban, Kata Iswadi


Apakah akan terjadi keajaiban malam ini di Stadion Utama Senayan? Mungkinkah Jayakarta melalap Indonesia Muda lebih dari 10 gol dan dengan demikian tampil sebagai juara Galatama karena unggul selisih gol dari Warna Agung?

Iswadi Idris, kapten kesebelasan Jayakarta, sudah menjawabnya seusai akhir pertandingan dramatis melawan Warna Agung, Rabu malam lalu. Ditemui di kamar ganti, Iswadi hanya menggeleng. “Rasanya mustahil,” ujarnya.

Tetapi ketika berbicara di hadapan para pemainnya, pemain merangkap pelatih Jayakarta itu berpendapat lain. “Lupakanlah kekalahan melawan Warna Agung. Kita, semua kita, siapkan diri sebaik mungkin melawan Indonesia Muda nanti. Siapa tahu ada keajaiban,” katanya bersemangat.

“Keajaiban” memang bisa terjadi di gelanggang olah raga menjadi bertambah semarak. Tetapi bagi kita, penonton, kalau toh keajaiban itu terjadi, masih ada yang sama menarik ditunggu.

Tekad Jayakarta untuk mencetak gol kemenangan sebanyak mungkin, berarti mereka harus menyerang all out. Dengan demikian kita bisa harapkan untuk tidak lagi Jayakarta dengan daya serang yang begitu memukau ketika mereka menggulingkan Warna Agung 2-0 dalam putaran pertama kompetisi Maret tahun lalu.

Hanya pernah dua kali kalah, meski gagal menjadi juara, Jayakarta pantas untuk bertepuk dada sebagai kesebelasan dengan reputasi tersendiri. Kedudukan sementara dari clash-nya dengan Warna Agung selama musim 1979/80 pun masih 2:2, dua kali kalah dan dua kali menang.  Karena itu dari Jayakarta masih dituntut oleh para penggemarnya untuk membuktikan “kelasnya” malam nanti. Jayakarta boleh gagal menjuarai Galatama, tetapi be a good loser.
                                                                                 
Start Lambat

Lalu apa kabar dengan Indonesia Muda? Dibintangi pemain-pemain tenar seperti Hadi Ismanto, Dede Sulaiman, Junaedi Abdillah, dan kalau boleh ditambah, Suaeb Rizal, Wahyu Hidayat, dan Syamsul Suryono, klub asuhan pelatih Suwardi Arland ini – meski sering disebut-sebut sebagai salah satu favorit juara – justru amat sering memprihatinkan selama kompetisi.

Dimulai dengan ditahan 1-1 oleh Tidar Sakti di Magelang, IM kemudian dihadang draw lagi oleh Buana Putra dan Arseto, Bahkan lebih tragis lagi, dikalahkan Pardedetex cukup telak di akhir putaran pertama kompetisi. Dan setelah mengalami “debacle” dikalahkan Jaka Utama di Tanjungkarang, Januari 1980, peluang IM menjadi amat samar. Peluang itu kemudian benar-benar sirna ketika minggu lalu Jayakarta dikalahkan Warna Agung.

Tetapi malam ini, tetap ada sesuatu yang pantas untuk diraih IM. Kemenangan atas Jayakarta, berarti akan mengangkat posisi IM ke urutan kedua di bawah sang juara. Ini masih lebih terhormat dari urutan ketiga, sambil menghibur diri bahwa IM adalah satu dari tiga kesebelasan yang pernah mematahkan dominasi Warna Agung.

Dalam putaran pertama kompetisi, IM mengungguli Warna Agung 3-1. Kemenangan terbesar yang pernah dicatat suatu kesebelasan atas Warna Agung. Bahkan lebih kecil dari kekalahan 1-2 yang diderita IM dari Warna Agung di putaran kedua.

Hanya yang menjadi soal, apakah IM akan cukup “lancar” sejak menit pertama pertandingan untuk bisa mencetak kemenangan. Masalah inilah yang nyaris selalu mencemaskan setiap kali IM turun ke lapangan. Rekan saya, Sumohadi Marsis, secara tepat menamakan IM sebagai slow-starter. Entah karena diperkuat oleh begitu banyak pemain veteran, IM sangat sering terlambat hidup kerjasama regunya.

Big-Match Indonesia Muda vs Jayakarta: Siapa Tahu Ada Keajaiban, Kata Iswadi

Cukup sering IM harus lebih dulu diungguli sebelum balik memaksa kemenangan. Melawan Tunas Inti dan Perkesa 78, gol kemenangan itu bahkan baru bisa dicetak di menit-menit terakhir. Andaikata malam ini, IM lagi-lagi begitu terlambat bangkit, sulit mereka harapkan kejadian itu berulang lagi. Pertahanan Jayakarta sama sekali tidak sama dengan Tunas Inti dan Perkesa.

IM sebenarnya pernah membuktikan sebaliknya, menjadi sebuah tim yang agreif sejak awal babak pertama, sebagaimana penampilan mereka melawan Warna Agung, 12 Januari lalu. Atau juga ketika IM menggulung Perkesa 2-0 di putaran pertama kompetisi. IM yang demikianlah yang membuat pertandingan mereka melawan Warna Agung, Januari lalu, akan terus tercatat sebagai salah satu pertandingan paling menarik selama kompetisi. IM yang demikianlah yang juga kita harapkan malam ini.
                                                                        
Lini Belakang

Ketua IM, Dimas Wahab, pernah mengeluh. “Pertahanan kami sebenarnya tidak sejelek diperkirakan orang. Hanya karena pemain lapangan tengah yang kurang taktis membantu pertahanan sehingga kami sering kebobolan,” ujarnya.

Dari jumlah gol, jelas terlihat IM adalah tim yang sebetulnya punya daya dobrak kelas satu. Dalam mencetak gol, IM cukup berpacu dengan Warna Agung dan Niac Mitra. Tetapi karena organisasi pertahanan yang keropos, IM menjadi kesebelasan yang paling banyak kemasukan dari “5 Besar” Galatama.

Sinyalemen Dimas Wahab ada benarnya. Junaedi Abdillah dan Johny Fahamsyah yang sering menjadi pilihan pertama di sektor ini, lemah dalam intersepsi maupun tackling. “Penjelajah” Junius Seba terkadang mempesona tetapi lebih sering tidak konsisten. Dan yang paling mengecewakan adalah Suaeb Rizal dan Wahyu Hidayat.

Pernah bertahun-tahun menjadi “stopper” nasional kelas satu, Suaeb Rizal dikenal tidak saja sebagai perusak yang gigih tetapi juga pembangun serangan yang jeli. Tetapi kini ia nampaknya seperti “terlalu tua” dalam usianya yang ke-31. Serba ragu-ragu, tidak percaya diri, dan lamban.

Wahyu Hidayat ketika memperkuat Persija dan team nasional juga, pernah bermain gemilang sebagai back kiri maupun pemain lapangan tengah bertahan. Namun selama memperkuat IM, Wahyu begitu sering tampil seakan-akan pemain pemula. Makmun dari Angkasa masuk memperkuat IM media tahun lalu dan nampaknya memberi perbaikan di sektor back kanan.Tetapi duetnya bersama Wahyu, sering dibalik-balik oleh IM secara tidak beralasan.

Di jantung pertahanan, Matui yang “all-out” yang ideal. Edy Sabenan yang pernah dikagumi Wiel Coerver, sangat kegemukan. Sedangkan pemain muda Nus Lengkoan, meski berbakat, terlalu banyak yang masih harus dipoles. Saya pernah punya pilihan kwartet belakang IM: Makmun back kanan, Matui “stopper”, Wahyu Hidayat “free-back”, Johannes Auri back kiri. Pemain terakhir ini, terlepas dari segala kekurangannya dalam kelenturan (flexibility), masih yang terbaik dalam pengambilan posisi. Lini empat belakang ini, bila perlu, dibantu Suaeb Rizal sebagai ekstra-stopper.
                                                                                
Hadi Ismanto

Dimas Wahab juga pernah selangit memuji ujung tombak Hadi Ismanto. “Saya heran pemain seperti dia tidak dipilih Coerver dalam SEA Games,” tukasnya. Hadi Ismanto dalam form terbaiknya memang begitu mobil dan eksplosif. Ia juga cerdik dalam membentuk ruangan di kotak penalti atau menyerbu ke kotak penalti. Tetapi juga cukup sering Hadi Ismanto bergerak tak menentu, salah mengantisipasi manuver rekan yang lain.

Di daerah sayap, IM memiliki Dede Sulaiman dan Syamsul Suryono yang pernah menunjukkan diri sebagai yang terbaik di negeri ini. Tetapi sejak dikontrak IM, Mei tahun lalu, anehnya Dede Sulaiman amat jarang mempertontonkan dribbling dan akselerasinya yang mengesankan. Sedangkan Syamsul Suryono yang di awal debutnya sangat gigih dan taktis dalam melakukan “switch”, kini serba ragu-ragu mengambil putusan.

Tetapi saya masih ingin melihat lagi IM dalam kondisi puncaknya, 12 Januari lalu, di mana hanya karena kurang beruntung mereka dikalahkan Warna Agung 2-1. Ketika Wahyu Hidayat dan Junaedi Abdillah, bahkan juga Matui, begitu rajin mendukung serangan yang dibangun di kedua sayap.

Saya masih ingin melihat Junius Seba sebagai penjelajah yang tak mengenal menyerah. Saya masih ingin melihat Hadi Ismanto yang penuh inisiatif. Saya maish ingin melihat Dede Sulaiman dan Syamsul yang lincah serta tajam. Saya masih ingin melihat lagi Junaedi, bahkan juga Johny Fahamsyah, sebagai “pemukul” di mulut gawang lawan. Mengapa bukan malam ini?  (Valens Doy, Kompas Sabtu 19 Januari 1980)

Share:

Iswadi Idris: Kostum PSSI Telah Ditinggalkannya

Seorang pemain paling kontroversial telah mengundurkan diri dari percaturan sepak bola internasional. Iswadi Idris si “L’enfant terrible” telah menyatakan pengunduran dirinya 22 Mei 1980 lalu kepada PSSI dan organisasi pengatur sepak bola nasional itu menyetujuinya disertai ucapan terima kasih.

“Anda tahu kenapa ia melakukannya? Ia sudah memperoleh gantinya di sini,” kata Hari Suharto, seorang pembina sepak bola di Jakarta Selatan. Yang dimaksudkannya “di sini” adalah sebuah meja bilyar di restoran Hotel Tambora, Kebayoran Baru.

Iswadi tersenyum tanpa menoleh kepada pembicara. Hampir tiap pagi kadang-kadang sampai menjelang latihan sore, ia memang menenggelamkan kesibukannya menyodok bola-bola bundar kecil itu. Permainannya sudah memiliki kelas. Melawan pemain-pemain biasa ia selalu memberikan “voor” 20 sampai 30.

Senyuman Iswadi yang khas merupakan isyarat yang mengandung sejuta arti. Tapi siang itu senyumannya adalah untuk mengatakan “tidak”. Dan bukan sekedar menyatakan bahwa bilyat hanya sebagian dari beberapa kegemarannya – di samping catur, bridge, musik, dan membaca “apa saja”. “Sepak bola masih tetap merupakan jalan hidup saya. Saya hanya mengundurkan diri dari kesebelasan nasional. Saya masih tetap bermain dan melatih untuk Jayakarta,” katanya.

“Saya sudah terlalu lama bermain untuk kesebelasan nasional,” katanya untuk menjelaskan pengunduran dirinya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan terus menerus bersedia dipanggil PSSI sebenarnya saya melakukan monopoli. Hingga pemain-pemain muda merasa tertekan, seolah-olah kesempatan mereka saya tutupi.

Kuala Lumpur

“Saya tak mau kesan itu berlanjut. Tapi yang juga mendorong saya mundur adalah usia saya. Saya sudah 32 tahun sekarang. Saya rasa sudah waktunya untuk lebih memikirkan keluarga". 

"Satu hal lain yang bisa ditambahkan di belakang deretan alasan pengunduran dirinya itu adalah sejarah. “Saya pertama kali memperkuat PSSI untuk pertandingan internasional di Kuala Lumpur, dan di ibukota Malaysia itu pula saya ingin mengakhirinya”.

Iswadi Idris: Kostum PSSI Telah Ditinggalkannya

Tahun 1967, dalam umur 19 tahun, sebenarnya Iswadi sudah mulai mengenakan kostum PSSI ketika kesebelasan nasional dihadapkan dengan Uni Sovuet junior di Medan. Tapi penampilan pertamanya dalam pertandingan “full internasional” memang baru diperolehnya di Kuala Lumpur, setahun kemudian.

Saat itu permainannya sedang mulai menanjak, kebetulan bersamaan dengan tengah memuncaknya prestasi regu nasional. Di Kuala Lumpur dalam turnamen Merdeka Games itu, PSSI hanya menduduki urutan ke-4, tapi tak lama kemudian di Bangkok, mereka menjuarai turnamen King’s Cup.

Bagi Iswadi sendiri masa-masa itu amat mengesankannya, terutama dalam keberhasilannya menjadi pemain sayap kanan yang dikagumi baik oleh kawan maupun lebih-lebih lawan.

Pasangan bermainnya kala itu adalah Abdul Kadir di sayap kiri, Jakob Sihasale sebagai penyerang tengah dan Sutjipto Suntoro yang menjadi pengumpan serta penyerang-ekstra produktif dari posisinya di lapangan tengah.

Di lapangan tengah itu sendiri masih ada Basri Yusuf dan Surya Lesmana, sedangkan di deretan empat-belakang terdiri atas Yuswardi, Anwar Ujang, Mulyadi, dan Sunarto.

“Saya amat merasakan permainan kami waktu itu sangat kompak.Semua pemain saling mengerti gaya dan kehendak pemain lainnya, hingga kerjasama kami cocok sekali. Ibaratnya, sambil merem pun permainan jalan.”

Setahun kemudian, 1969, mereka kembali ke Kuala Lumpur, dan tidak lagi nomor empat, tapi juara. Sayang, piala yang mereka rebut di Bangkok tahun sebelumnya terlepas, dan harus puas menjadi runner-up.

“Sejak itu hingga awal 1972 pamor kesebelasan PSSI memang menurun. Bahkan dalam turnamen internasional di dalam negeri, Jakarta Anniversary Cup, kami tidak mampu menjadi juara.”

Tapi Iswadi bersama sebagian besar rekan-rekannya di PSSI, masih sempat menikmati hari-hari cerahnya dalam klub Pardedetex di Medan – klub yang dianggap sebagai perintis sepak bola bayaran a la Indonesia.

Iswadi sendiri beberapa kali ikut dipanggil PSSI. Ia baru muncul kembali pertengahan 1972 ketika PSSI disiapkan untuk turnamen Anni Cup. Dengan PSSI masih menggunakan sistem Komisi Teknik yang diketuai Sjarnubi Said, Iswadi cs muncul sebagai juara. Tak lama kemudian di Singapura mereka juga menjuarai turnamen Pesta Sukan, bahkan dalam suatu “All Indonesian Final” karena PSSI mengirimkan dua kesebelasan sekaligus.

Dalam masa “malaise” PSSI di gelanggang internasional sejak 1972 itu, Iswadi masih menikmati karir dengan jalannya sendiri. Selama dua tahun, 1974 dan 1975, ia dikontrak “dengan gaji cukup besar” oleh klub semi-prof di Sydney, Australia – Western Suburbs. Kembali dari sana ia pindah dari klub lamanya, Indonesia Muda, ke Jayakarta dan bersama Anjas Asmara cs mempertahankan gelar juara Divisi I Persija.

Masih dalam grafik naik turun PSSI yang belum juga mampu merebut sesuatu turnamen internasional, Iswadi juga keluar masuk pelatnas. Ia sempat membuat heboh ketika tahun 1977, Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono, menyuruhnya pulang ke Jakarta seusai pertandingan kedua dalam Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura, meski kemudian datang lagi dan bermain kembali dalam pertandingan terakhir melawan tuan rumah di mana Indonesia menang 4-0.

Kostum PSSI masih terus beberapa kali dikenakannya, sampai yang terakhir dalam Pra-Olimpiade 1980 di Kuala Lumpur bulan Maret lalu ketika ia bertekad untuk mengundurkan diri dari kegiatan internasional. “Saya mulai di Kuala Lumpur dan saya akhiri juga di Kuala Lumpur. Kebetulan ketika saya berangkat hari itu, 18 Maret, persis kelahiran saya.”

Joel Lambert

Selama 12 tahun ikut serta dalam percaturan sepak bola, tapi Iswadi tidak tahu berapa kali ia memperkuat regu nasional. Juga tak diingatnya berapa gol yang telah dicetaknya. 

Kenangannya lebih melekat kepada Joel Lambert, orang yang mula pertama membinanya melalui klub anak-anak gawang, MBFA, ketika ia masih 9 tahun. “Ia seorang pembina yang luar biasa. Dedikasinya sangat besar dan tanpa pamrih. Kehidupan pribadinya masih tetap sangat sederhana hingga sekarang, sampai setiap kali bertemu, saya malu. Merasa berdosa sebab saya belum juga mampu membantunya.”

Lambert, yang tahun 1973 dipilih para wartawan olah raga Jakarta sebagai Pembina Terbaik, memang dikenal sebagai penemu dan pencetak banyak pemain berbakat yang kemudian menjadi terkenal seperti juga Bob Hippy. Iswadi pun dalam masa itu ikut menjadi juara antar kesebelasan gawang di dalam asuhannya.

Tahun 1961, dalam umur 13 tahun, Iswadi mulai masuk IM yang tempat latihannya kebetulan tidak jauh dari rumahnya di Jl. Kramat Lima, Cikini. Pelatih pertamanya di situ juga masih hangat dalam kepalanya, yakni Murdono yang kini sudah almarhum.

Bahkan dalam klub IM itulah ia menjadi makin matang. Itu pula sebabnya ia suka menghabiskan waktunya di Tambora, tempat rendezvous bagi kebanyakan anggota IM. Tapi ia menjadi besar bukan tanpa dukungan bakat yang diturunkan orang tuanya.

Idris, yang sudah enam tahun meninggalkannya, pernah menjadi pemain sepak bola cukup baik. “Kawan mainnya waktu itu adalah ayah Tan Liong Houw,” kata Iswadi yang hanya mempunyai seorang adik, perempuan, dan kini pun menikah dengan seorang bekas pemain sepak bola.

Ny. Idris pada masa mudanya juga seorang atlit seperti saudara-saudaranya yang lain, meski tak sempat menjadi atlit besar pula. Iswadi yang lahir di Banda Aceh ketika ayahnya menjadi guru SMP di sana, seperti muncul untuk menjadi penerus bakat kedua orangtuanya dalam bentuk lebih lengkap.

Hasilnya kemudian memang terbukti. Tapi menjadi anak laki-laki tanpa saingan, dan besar di kalangan anak-anak Kramat yang keras, agaknya juga mempengaruhi karakter Iswadi. Ia menjadi seorang dewasa yang memiliki cukup kecerdasan – sempat mencapai tingkat III Fakultas Ekonomi extension UI – tapi juga seorang yang nakal, “l’enfant terrible”.

Sikap itu nampak dalam permainannya di lapangan. Dalam masa sesudah Sutjipto mengundurkan diri, ia ganti menjadi motor dalam kesebelasan nasional. Tapi sementara itu ia juga beberapa kali menjadi awal dari terjadinya insiden, bahkan meski ban kapten melingkari lengannya.

Apakah itu ada hubungannya dengan kostum nomor 13 yang menjadi favoritnya? Iswadi menggeleng. “Saya senang nomor itu untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan orang jelek, buat saya justru tidak.”

Tentang kenakalannya itu sendiri ia bilang. “Itu hanya luapan emosi saya di lapangan. Saya tak bisa melihat kawan saya dilukai lawan. Kalau saya membelanya dengan memukul lawan, itu juga karena terpaksa. Tapi selalu, sehabis memukul saya sadar bahwa perbuatan saya itu salah.”

Belakangan ia mulai kurang reaktif. Posisi yang ditempatinya, di barisan belakang, nampaknya mengurangi sikap agresifnya. Juga usianya yang mulai menua, dan keluarga dengan satu anak laki-laki yang ditanggungnya.

Tapi Iswadi masih terus dalam deretan pemain yang patut dipuji otak dan keterampilannya. Istri almarhum pelatih Tony Pogaknik bahkan pernah membuka kembali apa yang pernah dikatakan suaminya tentang Iswadi: bahwa ia sesungguhnya lebih berbakat untuk menjadi pemain belakang, posisi yang baru ditempatinya setelah hampir 10 tahun menjadi penyerang.

“Saya sadari hal itu, tapi saya tidak tahu kenapa. Mungkinkah hanya karena dulu saya mengagumi Tan Liong Houw?” Tapi kekagumannya terhadap Liong Houw hanya sekedar ikut-ikutan. “Saya hanya sekali atau dua kali melihatnya main. Sekarang kalau saya ketemu malah maunya berantem melulu”.

Pemain yang justru dikaguminya sungguh-sungguh adalah Gunther Netzer, pemain tengah Jerman Barat, yang tidak sempat memperkuat regu nasionalnya dalam Piala Dunia 1974. “Ia seorang dirigen. Beckenbauer hanya bermain di barisan belakang. Tapi Netzer, ia menjadi motor dari posisinya di lapanga tengah dengan keunggulannya membaca permainan lawan. Saya coba berpikir seperti Netzer”.

Masa Depan

Netzer kini menjadi general manager klub Hamburg SV, juara Jerman Barat tahun lalu yang kini gagal mempertahankannya. Iswadi masih main untuk Jayakarta sambil melatih. Apakah karirnya akan dilanjutkan seperti Netzer? “Saya belum tahu. Terus terang, sampai sekarang saya masih terus berpikir akan jadi apa nanti. Mungkin tetap di sepak bola, mungkin juga tidak. Tentu saja saya punya ambisi untuk menjadi pelatih nasional. Tapi saya lihat waktunya. Saya kan baru mulai”.

Baru mulai, tapi Iswadi memiliki modal cukup untuk menjadi pelatih yang baik tidak saja dengan pengalamannya sebagai pemain. Ia memiliki sertifikat pelatih dari Federasi Sepak Bola Australia. Tahun 1978 selama satu setengah bulan ia juga sempat menyaksikan dari dekat sistem latihan dalam tiga klub Divisi I Inggris, Derby County, Arsenal, dan Tottenham Hotspur.

Apapun karir yang akan diselaminya kelak, ia mempersembahkannya untuk kebahagiaan keluarganya. Menikah tahun 1972 dengan Esly Pardede yang dikenalnya ketika masih bermain untuk Pardedetex, Iswadi kini memiliki seorang junior berumur 4 tahun, Fanny Irwan. Mereka tinggal dalam sebuah rumah cukup mewah di daerah Rawamangun dengan sebuah Honda Civic di garasinya. “Semuanya hasil saya bermain di Sydney”.

Tapi bukan Sydney yang menjadi kenangan paling manis dalam karirnya meskipun di sana ia sempat terpilih sebagai salah satu pemain terbaik dalam kompetisi liga Australia. Kenangan paling manis buat Iswadi justru di Medan ketika Persija memenangkan turnamen Piala Marah Halim tahun 1977 – hanya tiga minggu setelah kegagalan PSSI di Singapura.

“Di Medan saya rasakan sekali betapa indahnya kemenangan, dan betapa sakitnya kekalahan. Saya begitu dicemoohkan di Singapura, bahkan dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Tapi di Medan saya buktikan bahwa semuanya itu bohong!” (Sumohadi Marsis, Kompas Sabtu 31 Mei 1980). 


Foto: Forza Persija.
Share:

PSSI Harimau: Namanya Galak, Bagaimana Permainannya?


Bekas pemain tim Pra Olimpiade 1976 -  minus Lukman Santoso, Nobon, Suhatman, Johannes Auri, Robby Binur, Waskito, dan Taufik Lubis yang bernaung di bawah panji PSSI Garuda - kini menyandang nama yang lebih galak: PSSI Harimau.

Diasuh oleh Drs F.H. Hutasoit dan Sinyo Aliandu, kebolehan PSSI Harimau bakal diuji di kaki pemain Stoke City, klub divisi satu Liga Inggris di Stadion Utama Senayan, pekan ini. Adakah PSSI Harimau akan bermain segalak namanya? 

Tampaknya tidak akan demikian. Meski di barisan PSSI Harimau masih tersisa nama beken seperti Iswadi Idris, Risdianto, Andi Lala, Junaidi Abdillah, Anjas Asmara, Suaeb Rizal, Oyong Lisa, dan Ronny Pasla.
PSSI Harimau: Namanya Galak, Bagaimana Permainannya?
Si boncel Iswadi Idris.
Tapi tanpa kehadiran Lukman Santoso, Johannes Auri, Suhatman, dan Waskito, ketimpangan dalam gerak dan kerjasama tim jelas tak terhindarkan. Titik lemah yang nyata kelihatan dalam masalah penunjukkan pemain pada posisi bek kiri. Karena setelah tempat itu ditinggalkan oleh Johannes Auri, belum tampak pemain pengganti yang tepat untuk dibebani tugas tersebut.

Sakit Panas

Melihat keadaan yang rumit itu, Hutasoit seolah dihadapkan pada jalan bersimpang yang ruwet. Di satu pihak, ia dituntut untuk mempertahankan reputasi yang telah dibangun tim Pra Olimpiade dalam pertandingan final, Februari lalu. Di lain pihak, ia terbentur pada persoalan pengisian tempat yang ditinggalkan sebagian pemain.

Kendati di Jakarta masih ada Rahman Halim dan Tinus Heipon yang biasa bertugas di kawasan pertahanan sebelah kiri, namun penempatan mereka itu sulit untuk dapat diharapkan mengimbangi kebolehan Johannes Auri. Membandingkan kedua nama calon pengganti Johannes Auri, pengasuh PSSI Harimau, Hutasoit cenderung untuk memasang Tinus Heipon.

Repotnya, sampai akhir pekan silam, Tinus Heipon masih terserang sakit panas. Kalau pun ia sampai turun, sukar untuk mengharapkan dirinya bermain dalam bentuk yang prima. Di rusuk pertahanan kanan, persoalannya tidak begitu gawat. Sekalipun Sutan Harhara dalam final Pra Olimpiade tak sempat turun karena cedera, kini kebisaannya seolah minta diuji.

Sementara duo banteng yang lain, Suaeb Rizal dan Oyong Lisa pun tak perlu diragukan kelihaiannya. Di lini penghubung, permasalahan yang merisaukan Hutasoit agaknya berkisar dengan belum pulihnya keadaan Junaidi Abdillah. Tapi untuk mengemban tugas itu masih ada Anjas Asmara dan Sofyan Hadi. Sementara di barisan penyerang trio Andi Lala-Risdianto-Iswadi cukup memberi jaminan dalam merobek penjagaan lawan. Dibandingkan dengan ketrampilan ujung tombak PSSI Garuda: Hadi Ismanto-Deddy Sutendi-Waskito. Eksperimen untuk menuntut banyak dari PSSI Harimau terasa agak naif.

Karena pembentukan mereka seakan dipaksakan, guna memenuhi keinginan pimpinan PSSI yang sadar akan kemampuan PSSI Garuda yang masih kepalang tanggung. Sehingga pemain sisa Pra Olimpiade itu buru-buru dibenahi. Dua tim yang berbaju nasional memang telah lahir. Tapi mungkinkah dituntut suatu prestasi yang terbaik dari kedua kesebelasan yang timpang itu? Itulah soalnya.

Seandainya pengurus PSSI berlapang dada melanjutkan keutuhan bekas tim Pra Olimpiade dalam satu bendera, keadaannya jelas akan lain. Sebab bagaimanapun kesebelasan Pra Olimpiade - tentu saja yang utuh - masih mempunyai potensi untuk bisa menjadi tim nasional yang kuat.

Penggalangan banyak tim memang suatu ide yang baik. Tapi dalam keadaan sekarang menuntut kekuatan beberapa tim itu dalam taraf yang sama baiknya sebagai kesebelasan nasional, silakan eksperimen sampai tua. Sepanjang sejarah olah raga dunia saat ini, belum ada satu negara pun yang memiliki dua atau tiga kesebelasan nasional yang terkuat.

Lihat saja Brasil atau Jerman Barat yang memegang supremasi persepak-bolaan dunia saat lalu dan sekarang, tak pernah tampil dengan kesebelasan nasional terkuat yang lebih dari satu. Sebaliknya, dua atau tiga kesebelasan nasional yang sama lemahnya memang gampang dihadirkan. (Tempo 26 Juni 1976)


(foto: twicsy/com/ekosaputro29.mywapblog.com)



Share:

Liga Indonesia 2015: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?

Di Inggris, tidak akan pernah ada ceritanya Arsenal dan Tottenham, Liverpool dan Everton, atau Manchester United dan Manchester City menjadi tuan rumah di pekan yang sama. Itu adalah enam klub dari tiga kota besar di Inggris yang punya basis massa terkuat di mana gesekan pendukungnya amat sensitif dan berisiko tinggi.
Liga Indonesia: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?
Semuanya telah diatur dengan rapi oleh operator liga, The Premier League. Padahal tuntutan khalayak media massa, televisi, pemasang iklan, hingga klub-klub, jadwal tersebut harus secepat mungkin supaya mereka bisa mengatur aktivitas bisnisnya ke depan. Bahkan mereka terbiasa menyusun jadwal sah sebelum hasil playoff di divisi tertentu selesai.

Harus diakui, dalam mengkompilasi finalisasi agenda pertandingan, sang operator jadwal terpaksa memakai beberapa persyaratan khusus (golden rules) antara lain: setiap klub tidak boleh main tiga kali beruntun di kandang atau tandang, setiap lima partai harus berisi tiga laga kandang dan dua laga tandang; atau bisa juga sebaliknya. Tujuannya agar pendapatan reguler klub-klub dari tiket masuk bisa dipastikan sehingga menjamin cash-flow dari sisi finansial mereka. Juga menolong lapangan dan rumput mereka supaya tidak cepat rusak, serta membantu para suporter tidak terlalu sering berpergian.

Aturan lebih spesifik lagi diberlakukan untuk laga-laga derbi. Klub macam Arsenal dan Tottenham, atau Everton dan Liverpool - di mana stadion mereka hanya berjarak sekitar 4-5 km - dan juga beberapa klub lainnya, bisa melakukan deal saling pengertian, misalnya siapa dulu yang akan menjadi tuan rumah, menyangkut dengan kepentingan lingkungan sekitar.

Liga Indonesia
Liga Indonesia: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?
Belakangan di Indonesia kesadaran betapa ruwetnya bikin jadwal mulai dipahami. Pekerjaan membuat jadwal kompetisi sepak bola dapat diibaratkan mengelola restoran. Mengetahui animo para tetamu yang tak kunjung henti, telpon yang terus berdering, atau tumpukan daftar pesanan makin meninggi, maka sang koki sudah pasti akan menyuruh aneka juru masaknya untuk menyiapkan berbagai menu baru.

Jangan sampai tamu menunggu lama! Begitu pun tugas fixture-maker itu. Mereka tahu, urusan jadwal melebar ke mana-mana, berdampak dahsyat dan signifikan. Beragam kepentingan bercokol di dalamnya. bukan saja buat klub namun juga televisi, agensi pemasang iklan, pemerintah daerah, kepolisian, seluruh vendor klub, perusahaan aparel, media-media, jurnalis, pemilik klub, manajer, para pemain, penonton, sampai pedagang makanan-minuman. Pendek kata, kita semua!

Yang terjadi di Indonesia jangan ditanya lagi. Sebagai pengelola kompetisi yang tertinggi di Tanah Air, pelayanan PT Liga Indonesia masih sangat mengecewakan banyak pihak. Di musim 2014, kasus paling menonjol yang berkenaan dengan jadwal adalah penundaan laga secara tiba-tiba, bahkan yang sekelas big-match sekalipun. Masih ingat penundan Persija vs Persib gara-gara pemilihan legislatif, April 2014?

Mulai dari pemain, pelatih, wasit, sponsor, pemasang iklan, stasiun TV, sampai penonton atau pendukung klub semua dirugikan. Milyaran uang melayang percuma, dan ini tidak sekali-duakali terjadi, namun berkali-kali. Jika tidak ditunda, pergeseran jam kick-off juga bisa muncul secara tiba-tiba. Bayangkan jika jadwalnya molor, atau parahnya lagi salah hitung sat membuatnya sehingga di tengah jalan kompetisi jadi awut-awutan tidak karuan. Banyak partai tunda. Banyak pemain cedera. Banyak kerusuhan antar suporter. Persiapan timnas amburadul. 
Liga Indonesia: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?
Ujung-ujungnya, ini yang parah, pengeluaran maupun pendapatan klub juga bisa kolaps. Padahal kasus ini tidak bakal terjadi apabila PT. Liga Indonesia punya persiapan prima ketika membuat jadwal liga dengan penuh perhitungan, ketelitian, kesabaran. Selain itu dalam menyusun jadwal, seseorang atau tim tidak saja butuh memahami sepak bola nasional, tapi juga kedalaman, pengetahuan serta wawasan luas sepak bola global dan regional.

AFC selalu punya kalender resmi, begitu juga FIFA. Ada waktunya laga itu jadi panggungnya AFC, misalnya Liga Champion Asia atau Piala AFC. FIFA pun telah menginstruksikan pemain tim nasional di seluruh dunia dalam waktu tertentu di tiga-empat bulan (Maret, Juni, September, November), harus kopi darat berlatih dan menggelar laganya.

Di Indonesia, variabel untuk membuat jadwal sangat kompleks. Selain hari libur nasional, yang paling spesial adalah bulan puasa (Ramadhan), serta waktu-waktu khusus di daerah semisal festival, HUT daerah, acara kesenian dan masih banyak lagi. Melihat kasus yang terjadi selama 2014, boleh jadi PTLI mengabaikan keterkaitan satu sama lainnya. Padahal melihat isi kalender di musim 2015 jauh lebih kompleks lagi.

Membuat jadwal liga tidak sembarangan karena sebisa mungkin harus berpikir komprehensif. Mau tidak mau, PTLI harus berbenah agar tidak mengecewakan banyak pihak lagi. Sukses tidaknya Liga Super Indonesia 2015, sebagai era baru kompetisi profesional di Indonesia, bisa dilihat dari kredibilitas dalam menyusun jadwal kompetisinya.

(foto: paddypower/electronicpricex.blogspot/klubpersipura.blogspot)

Share:

Moralitas Macan Kemayoran

"Saya lahir di sepak bola. Ayah saya pesepak bola yang sangat bagus, seperti kebanyakan orang Italia yang selalu bergairah pada permainan cerdas ini. Sepak bola mengajarkan kita cara hidup bersama, cara berbagi jika anda lebih baik dari orang lain. Sepak bola adalah pendidikan luar biasa seumur hidup." (Michel Platini).
Moralitas Macan Kemayoran
Tidak selamanya sepak bola itu harus selalu menjadi sebuah permainan, tontonan, atau bahkan ajang bisnis. Banyak hal dan kegiatan lain untuk menunjukkan betapa bisa mulianya sepak bola dari sisi lain, terutama untuk kegiatan sosial yang rata-rata belum banyak digali lebih dalam oleh kebanyakan klub sepak bola terutama di Indonesia. Mulailah menjadi pionirnya.

Suatu malam di musim dingin yang menusuk, di Hotel Claridges, London, digelar satu pesta yang jarang terjadi terutama untuk mengetahui tujuannya dan siapa pencetusnya. Sebuah acara penggalangan dana bagi anak-anak yatim piatu yang melibatkan SOS Children - lembaga amal terbesar di dunia yang khusus mengurusi anak-anak miskin dan serba-kekurangan.

Keunikan mulai terasa kala di beberapa sudut hotel five stars bergaya art deco itu. Banyak logo sponsor dan juga emblem Arsenal. Arsenal? Ya, Arsenal - salah satu klub top di ibukota. Kesan makin tampak lagi sebab latar belakang backdrobe-nya di panggung bertuliskan The Arsenal SOS Children's Villages Charity Ball.

Klub berjuluk The Gunners itu memang lazim terlibat dalam kegiatan sosial atau amal, terutama setelah pindah ke Stadion Emirates pada 2006. Mereka sering berkunjung ke rumah sakit, menyantuni penyandang cacat, panti jompo, dan berbagai program charity lain. Namun khusus pada tanggal 5 Desember 2010 itu sedikit berbeda kalau Anda tahu siapa kreatornya.

Sepintas acara ini lebih dekat kepada glamor karena pemain yang hadir mengenakan black tie. Hajatan sosial ini seperti pesta WAG's (istri atau pasangan pesepak bola) atau fashion shows. Beberapa selebritis lokal hadir. Ada pagelaran fesyen, musik yang dipandu DJ Pete Tong, lagu dari The Noisettes, dan lawakan Jack Whitehall serta acara lelang oleh presenter James Corden.

Hajatan itu dipelopori oleh ABC Club, yang didirikan Bouchra Elbali. Nama ABC diambil dari inisial Aimee, Bouchra, Carla. Siapa mereka, ini yang seru. Aimee van Ommen (24) adalah kekasih Thomas Vermaelen. Carla Dona Garcia (24) pacarnya Cesc Fabregas. Sedangkan Bouchra Elbali (27) adalah istri Robin van Persie.

Seperti kerjasama ketiga pemain itu di lapangan, begitu juga ternyata para pasangannya, kompak lahir batin di luar lapangan. Lebih dari itu, mereka ternyata no ordinary people lantaran out for everything they can get to help the world's poor. Sikap mereka amat mulia sebab peduli dengan kemiskinan anak-anak dan dunia yatim piatu terutama di Afrika.

"Kesenangan saat membeli tas mahal hanya beberapa detik saja, tapi saat memberi sebagian yang didapat untuk mereka yang tidak beruntung bisa selamanya," tutur Bouchra, muslimah Belanda berdarah Maroko yang juga sarjana akuntansi dan komunikasi. Inspirasi munculnya ABC Club dan malam amal itu datang dari keluarga Bouchra. 

Sementara Aimee bersyukur bisa terlibat di SOS Children dan merasa beruntung diajak Bouchra. Sikap sederhana terpancar di wajah perempuan Belgia ini. "Perasaan terbaik seseorang adalah ketika dia memberi, dan itu sangat penting saat kita dilimpahi kelebihan," ucap anak dokter spesialis jantung tersebut.

Paparan Carla tentang kepedulian terhadap sesama lebih dalam dan ilmiah. Maklumlah dia sarjana psikologi. "Menolong sesama adalah dampak positif dari sepak bola. Jika Cesc bisa melakukannya, kenapa saya tidak? Kita harus melakukan sesuatu. Tadinya ide saya melelang barang-barang kami, tapi Bouchra punya ide yang lebih hebat," ungkap karyawati pemasaran ini.

Peduli Persija

Moralitas Macan KemayoranItu di London, ibukota Inggris, di mana ada banyak klub top selain Arsenal seperti Chelsea, Tottenham Hotspur, West Ham United, Queens Park Rangers dan Crystal Palace. Bagaimana di ibukota Indonesia tercinta? Bayangkan jika Persija Jakarta melakukan hal yang sama. Sebagai satu-satunya klub legendaris kebanggaan warga ibukota, dampaknya pasti jauh lebih nendang lagi.

Ide bisa dari siapa saja yang mengaku sebagai pemangku kepentingan Macan Kemayoran. Pengurus, manajemen, pelatih, pemain, sampai Jakmania-nya. Banyak sponsor yang pasti mau bekerjasama. Ada banyak kegiatan sosial yang bisa dibantu, mulai dari anak asuh, bea siswa bagi yang tidak mampu, sampai mengunjungi sekolah-sekolah, rumah sakit atau rumah ibadah.

Dengan reputasi menjulang sebagai klub ibukota yang disegani, pasti banyak pihak yang ingin membantu Persija. Dengan kepercayaan diri yang kuat, melalui gerakan #Gue Peduli Persija harus cerdas mengelola kepentingan bisnis dan sosialnya. Penggalangan dana publik ditujukan untuk kedua aspek itu. Jika dilakukan dengan tepat, hampir pasti dampak signifikan akan terasa.

Setiap 10 persen saja dari sumbangan setiap warga Jakarta misalnya seribu perak setiap pekan, sudah diniatkan sejak awal untuk berbagai acara sosial dan program charity. Begitu juga beberapa persen dari keuntungan pemasukan tiket, iklan, hak siar, sponsorship, marketing, ada baiknya bisa dirasakan kembali oleh orang-orang atau golongan yang tidak mampu.

Tidak perlu melek-melek mencontoh kepercayaan diri Arsenal ketika menggelar hajatan sosial, namun berbekal reputasi dan kredibilitas yang menggunung di Tanah Air, Persija pasti sanggup mendapatkan tujuannya. Semakin banyak punya pemain berstatus bintang, kontribusi juga semakin semakin besar yang berarti besar pula kesempatan untuk mewujudkannya.

Memasuki 2015, kemandirian menjadi kata kunci Persija. Mereka tidak harus melupakan membangun kualitas sumber daya-nya. Tidak ada anak-anak ibukota, bahkan di negeri ini yang tidak mau bermain untuk Persija. Di dalam bukunya yang berjudul Fever Pitch, Nick Hornby mengemukakan sepak bola merupakan metafora kehidupan, karena hidup selalu punya tujuan.

Mulai 2015 Persija mencanangkan tahun prestasi dan mandiri dengan mengutamakan isu moralitas. Perjalanan panjang selalu dimulai dari langkah pertama, dan melalui gerakan #Gue Peduli Persija, bisa meraih sukses sampai semua stakeholder merasakan yang pernah dikatakan Albert Camus: "Apa pun yang saya ketahui soal moralitas, saya berutang pada sepak bola."

(foto: persija.co.id)

Share:

Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

Walaupun di musim 2014 gagal memenuhi target yang dicanangkan, namun reputasi Macan Kemayoran sebagai salah satu kesebelasan terpandang di Tanah Air tidak pernah tergoyahkan. Dan, ini selalu terjadi dari musim ke musim.

Berkat sejarahnya yang gilang gemilang, bahkan Persija menjadi klub paling sukses di pentas sepak bola Indonesia sepanjang sejarah. Klub ini sukses merebut 11 kali juara. Sembilan kali era kolonial sampai amatir, sekali juara bersama 1975 (bersama PSMS Medan), dan sekali di era baru kompetisi profesional pada 2001. Berkat sejarahnya pula, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

Dilahirkan dengan nama Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), pada 28 November 1928, sungguh, Persija menjadi sejarah sepak bola Indonesia itu sendiri. Seperti diketahui, pendirian Persija sangat terkait dengan lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928. Jadi sebulan pas, organisasi terkuat di lapangan hijau itu berdiri. Sehingga pada era 1930-an di VIJ, klub yang menjadi cikal bakal, Persija memiliki pengurus top di diri Muhammad Husni Thamrin (MH Thamrin), seorang Betawi tulen yang kelak di kemudian hari menjadi pahlawan Jakarta dan pahlawan nasional pra kemerdekaan.

Ke-Jakarta-an MH.Thamrin ini bisa dibuktikan dengan dipakainya nama jalan paling prestisius, nomor satu di Ibukota dan di Indonesia, Jl.MH.Thamrin. Beliau tidak sendirian, sebab Persija juga diurus para teknokrat Dr A. Halim, Dr. Moewardi, Dr Koesoemah Atmadja, Mr Abdulwahab, Mr. Basri. Nama-nama seperti Roeljaman, Moh. Saridi, Soetarno, A. Gani, Djaimin, Soemarno, Soetjipto, Soetedjo, Iskandar, Oentoeng, atau Moestari, sangat dikenal orang Jakarta saat itu. Mereka berkontribusi mengerek reputasi Persija di Tanah Jawa. Inilah skuad legendaris Persija yang merebut gelar juara nasional pada 1930-an.

Kebanyakan mereka datang dari klub-klub lokal yang menjadi sumber pemain Persija seperti Sinar Betawi, Jong Krakatau, Tjahaja Kwitang, STER, Setia, Malay Club, Keroekoenan, atau Andalas. Secara historis, wilayah-wilayah Petojo, Kramat, Tanah Tinggi, Tanah Abang, hingga Mesteer atau Jatinegara adalah basis utama klub kebanggaan Jakarta sejak awal.

Persija=Tim Nasional

Nama-nama Fredy Timisela, Kweet Kiat Sek, Fatah Hidayat, dan Thio Him Tjiang mulai bermunculan. Ada lagi Hong Sing, Van der Vin, Djamiaat Dalhar, Kwee Tek Liong, Van den Berg, Van der Vin, Pietersen. Juga Chris Ong, Giok Po, dan Tan Liong Houw. Disambung Soetjipto Soentoro, Sinyo Aliandoe, Yudi Hadiyanto, Fam Tek Fong, Reni Salaki, Tahir Yusuf, Supardi - yang dikenal semua orang Jakarta di era 1960-an.
Belakang: Suaeb Rizal(2), Sutan Harhara (3), Ronny Paslah (4), Oyong Liza (5).
Depan: Sofyan Hadi (1), Andi Lala (3), dan Iswadi Idris (4)
Era keemasan Persija pada 1970-an ditandai dengan tempat lahirnya legenda sepak bola dan pemain nasional. Sebut saja Iswadi Idris, Risdianto, Sofyan Hadi, Anjas Asmara, Sutan Harhara. Masih ada Andi Lala, Oyong Liza, Simson Rumapasal, Johannes Auri, Sudarno, Suaeb Rizal, Ronny Paslah dan lain-lain. Pada dekade ini, reputasi Persija juga membubung tinggi, ditakuti dan disegani lawan. Bukan saja di dalam negeri namun oleh klub-klub top Eropa!

Deretan laga internasional melawan OFK Beograd, Dukla Praha, atau Ajax Amsterdam, menjadi saksi betapa tingginya reputasi Persija kala itu. Dominasi merambah ke tim nasional di mana mayoritas pemain Persija merupakan pemain nasional. Apalagi warna jersey utama Persija persis sama dengan kostum tim nasional, yakni merah.

Lalu era 1980-an pada diri Rully Nere, Ronni Pattinasarani, Junaidi Abdillah, Dede Sulaiman, Memasuki dekade 1990-an, reputasi Persija mulai mendapat banyak pesaing di pentas sepak bola nasional. Nama-nama Berti Tutuarima, Tony Tanamal, Darmadi bersaudara (Didik dan Adityo), Marzuki Nyak Mad, Tias Tono Taufik, Patar Tambunan, sampai Rahmad Darmawan mengisi album berikut.

Bang Yos, seorang pecinta Persija yang kebetulan menjadi Gubernur DKI sempat menaikkan pamor klub legendaris di akhir 1990-an sampai awal 2000-an. Lewat usaha gigih dan dana yang tidak sedikit, akhirnya setelah 22 tahun berpuasa gelar, Persija meraih impiannya saat merebut gelar ke-11, titel terakhirnya pada 2001.

Dalam perjalanannya, nama Persija terus melanglang buana lewat nama-nama Widodo Cahyono Putro, Kurniawan Dwi Yulianto, Miro Baldo Bento, Rochy Putiray, Deddy Umarella, Nuralim. Juga eranya Emmanuel De Porras, Imran Nahumaruri, Ali Sunan, Khair Rifo, Ponaryo Astaman, Luciano Leandro, Bambang Pamungkas, atau Ismet Sofyan.

Kini di dekade kedua era milenium, di mana sepak bola dipaksa profesional total, tantangan Persija tentu tidak mudah. Dan ini menjadi tantangan serius untuk mengembalikan reputasi, kedigdayaan, dan dominasinya seperti harapan jutaan warga Jakarta dan para pendukung fanatiknya. Selamat ulang tahun, Persija! Tanah Betawi selalu merindukan kejayaanmu. 

(foto: majalah olah raga Olympic)

Share:

Panasnya Derby Jawa

Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik. Sepak bola adalah olah raga impor yang jadi komoditas penting penguasa lokal dan pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya kaum boemiputera dilarang ikutan dalam kegiatan sepak bola mengingat voetbal langsung diplot sebagai perbedaan kelas dan status manusia di Indonesia.

Panasnya Derby Jawa

Masa-masa sebelum kemerdekaan adalah momen terpenting bagi perkembangan sepak bola. Perekonomian yang mulai membaik di akhir 1920-an, masuknya teknologi (listrik dan telpon) serta transportasi (mobil dan kereta api), kian mempopulerkan permainan ini. Kontribusi besar media massa yang mulai progresif juga mempengaruhi lahirnya 'budaya bola' di Tanah Air. Berkenaan dengan itu, masih dalam rangka ulang tahun PSSI ke-77, berikut ini diangkat kisah semacam perang kultural di sepak bola yang saya beri judul khusus Derby Jawa, seperti yang diceritakan Sugiarta Sriwibawa dalam buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI.

                                                        *******

BEGITU bunyi sirene tanda buka puasa meraung-raung dari menara Taman Sriwedari, penduduk Solo dan sekitarnya tampak sibuk dan bergairah. Habis makan lantas dandan, berkunjung ke pasar malam adalah tujuan berikut, atau menonton bola. Tapi kebanyakan bumiputera menyaksikan keduanya itu dalam satu malam, yang biasanya dilanjutkan dengan makan sahur.

Konon sejak zaman Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) mengadakan pasar malam pada sepuluh malam terakhir bulan puasa. Dan panitia pasar malam menambah semarak saat-saat menjelang Lebaran itu dengan pertandingan sepak bola malam hari. Di era 1930-an ini, sepak bola adalah hiburan yang paling digemari rakyat yang secara massal tidak tertandingi.

Di Stadion Sriwedari sengaja didirikan menara-menara lampu secara permanen, sehingga menjadi atraksi luar biasa waktu itu yang mampu melebihi kemeriahan di Batavia. Pembiayaan ini dimungkinkan mengingat prestasi Persis Solo waktu itu pantas dibanggakan karena berkali-kali menjadi juara PSSI.

Yang menggembirakan, kegiatan ini dari secara bisnis pun menguntungkan. Sumber penghasilan terbesar datang dari pengunjung pasar malam yang semangat berbelanja apa saja mulai dari makanan sampai suvenir. Pemasukan ekstra tentu dari karcis masuk ke stadion.

Penghasilan uang dari pertandingan bola bisa lebih besar lagi apabila yang menjadi lawan kesebelasan tuan rumah adalah tim tetangga, yang menjadi musuh bebuyutan mereka: PSIM Yogyakarta. Sudah jadi heboh tanah Jawa jika Persis bertemu PSIM, maka Stadion Sriwedari pasti dibanjiri penonton, bukan saja dari Solo dan Yogya tapi juga kota-kota di Jawa Tengah, bahkan dari Jawa Timur.

Orang-orang Yogya mengalir ke Solo bukan saja dengan kereta api NIS atau SS, tapi juga dengan bis, taksi bahkan andong dan sepeda, menempuh jarak 62 km pergi-pulang! Yang memakai kereta, pasti mengenal istilah laatse trein, kereta api terakhir, sebab seusai pertandingan para suporter PSIM langsung buru-buru kabur ke stadion supaya tak tertinggal kereta penghabisan.

Penonton Gelap

KARCIS bola yang termurah masih seharga 15 sen, kira-kira sama dengan harga tiga liter beras. Meskipun penonton berjubel-jubel di sekitar loket, tapi tak tampak atau teriakan calo karcis model sekarang: "karcis lebih, karcis lebih!" Sebab kalau ada, polisi pasti akan bertindak cepat tanpa ampun terhadap para tukang catut.

Meski begitu, penonton yang menyelundup tak kurang banyaknya. Waktu itu Stadion Sriwedari masih berpagar papan kayu yang ditempeli berbagai gambar reklame atau iklan. Sebagai penyangga dinding papan itu, dibuat tanggul tanah berumput mengitari stadion.

Nah, di celah-celah antara tanggul dan pagar papan itulah orang-orang yang nggak punya duit tapi punya nafsu kuat nonton bola, secara naluriah akan menerobos dengan cara mengendap-endap, bertiarap. Bagi yang bertubuh gemuk terpaksa dia harus menggangsir gundukan tanah atau tanggul itu.

Untungnya polisi jarang menangkap para penyelundup alias penggangsir atawa penonton gelap, kecuali hanya mencegahnya sambil mengayun-ayunkan kenut atau tongkat karet. Pernah seorang yang perutnya buncit mengalami nasib sial. Ia tak bisa menggerakan tubuhnya, macet lantaran pinggangnya terjepit papan reklame.

Polisi datang. Tapi yang terjadi malah di luar dugaan. Pak polisi justru terbahak-bahak melihat adegan itu. Sejenak kemudian, orang-orang yang juga melihat itu menahan nafas sembari bertanya-tanya dalam hati, mengapa tiba-tiba polisi itu pasang kuda-kuda. Rupanya dengan dengkulnya, polisi itu menyepak keras-keras pantat si gendut.

Dan, kreek, kreek, papan reklame dari kayu jati nan tebal itu berderak. Tubuh si gendut mulai terbebas dari jepitan. Akhirnya dengan sekali tendangan kuat dari pak polisi, badan si penggangsir itu terjerembab ke dalam stadion!

Sambil memegang pantatnya, tanpa menengok lagi, ia terseok-seok menyelinap ke arah belakang gawang Persis Solo, tempat paling favorit penonton tuan rumah lantaran semuanya ingin menyaksikan dari dekat gerak-gerik Raden Maladi, kiper nasional pertama PSSI yang juga penjaga gawang andalan Persis Solo.

Aksi Petaruh
Panasnya Derby Jawa

KEMBALI ke pertandingan. Duel Surakarta kontra Yogyakarta waktu itu merupakan laga terpanas di Tanah Jawa. Ini sebuah pertarungan klasik di olah raga yang boleh disebut-sebut sebagai perang saudara (derby) di Jawa paling ditunggu-tunggu. Setelah berkali-kali berlangsung, terbukti jika laga diadakan di Solo, maka Persis akan unggul. Begitu juga jika pertempuran digelar di Stadion Kridosono, maka PSIM lebih sering menangnya.

Menjelang dimulai, banyak atraksi yang dihadirkan penonton. Di depan pintu masuk untuk pemain, tampak orang-orang bergerombol ingin melihat kedatangan pasukan kedua kesebelasan. Satu per satu para pemain Persis datang. Hampir semuanya naik sepeda! Mereka tiba sudah memakai uniform lengkap termasuk sepatu bolanya, biasanya hanya talinya saja yang belum diikat kuat-kuat.

Para skuad Persis mengenakan seragam kebanggaan tuan rumah berwarna merah hati, yang terbuat dari kain laken, dengan handuk putih kecil ditaruh di kerah. Di antara kerumunan orang-orang itu sering terdapat para petaruh dan mata-mata petaruh. Mereka ingin secepat mungkin melihat pemain-pemain siapa saja yang bakal turun ke lapangan.

Umpamanya jika Maladi absen, maka para petaruh tidak berani memberikan voor yang tinggi. Persis Solo tanpa Maladi dianggap Persis tweede atau Persis kelas dua. Menjelang jam 19.30, waktu kick-off, para petaruh masuk ke stadion. Markasnya terletak di sebelah timur laut. Mereka terdiri dari botoh-botoh Jawa, Cina dan encik peranakan Arab. Bahasa sandi yang dipakai biasanya bahasa Jawa ngoko diselang-selingi kromo.

Di tengah-tengah tribun, pada mimbar kehormatan, para pembesar dan pengurus bond mengenakan pakaian resmi kain dan ikat kepala. Ini busana resmi priyayi dan pegawai zaman itu yang juga sering dipakai guru-guru, saat pak raden bepergian naik kereta api ke Batavia, pergi ke dokter, mengunjungi ke pasar malam atau menonton wayang orang.

Begitu peluit pertama melengking, hampir semua penonton berdiri. Satu per satu pemain yang memasuki lapangan diperhatikan seksama dan mereka sebut namanya. "Persis komplit!" jerit mereka saling mendahului setelah melihat sebelas pemain yang masuk lapangan. Situasi semakin seperti sudah mendapatkan kemenangan mana kala mereka juga mengetahui barisan starting line-up PSIM. "PSIM tidak komplit!" celetuk seorang penonton bersarung pelekat.

"Kartawa tidak ikut," sambungnya.

"Takut," tukas penonton lain yang bersisiran belah tengah.

Kartawa, kiri luar PSIM, rupanya menjadi sosok tidak populer saat itu bagi wong Solo. Bahasa keren-nya, dia telah di-persona non-grata-kan oleh pendukung Persis lantaran 'membelot' ke kubu Yogya. Kartawa sebenarnya orang Klaten, yang masuk Karesidenan Surakarta, tapi justru membela PSIM.

Para pendukung fanatik Persis masih ingat bagaimana pada derby sebelumnya, Kartawa telah mematahkan hati mereka. Ia mencetak gol kemenangan lewat tendangan penalti yang memang menjadi spesialisnya. Gaya Kartawa mengeksekusi penalti terbilang unik, bahkan untuk zaman sekarang. Sebelum menendang setelah bola diletakkan di titik putih, dia membelakangi bola termasuk penjaga gawangnya. Begitu priit, Kartawa segera membalikkan badannya dan langsung menendang bola.

Waktu itu, Yahman, kiper Persis yang jangkung sebelum munculnya Maladi, sampai tak sempat bereaksi karena masih terbingung-bingung melihat aksi orisinal Kartawa nan unik. Teknik ala Kartawa ini memang dimaksudkan agar arah sepakannya tidak terbaca kiper.

"Alaah, cuma Kartawa seorang diri saja kok ditakutkan," ucap seorang penonton berbaju surjan sambil terbatuk-batuk.

"Memasukkan gol dengan penalti kok tidak tahu malu," timpal temannya yang mengenakan setelan piyama bergaris-garis layaknya seperti hendak tidur.

Ada semacam kode etik pada sepak bola zaman itu, yang barangkali hanya berlaku di kalangan orang Jawa: bikin gol dari tendangan 12 langkah dianggap kurang patut, agak memalukan. Saking gampangnya, demikian pendapat kebanyakan orang. Maka di beberapa pemain yang di dirinya masih tertanam budaya ewuh pakeweuh, saat melakukan eksekusi penalti, dengan sengaja dia akan menendang bola kuat-kuat ke kiri atau kanan gawang. Atau kalau tidak, menyepak pelan ke arah kiper! Owalaa!

Badut Lapangan
Panasnya Derby Jawa

NAMUN malam itu, keberuntungan dari titik penalti justru diraih tuan rumah. Padahal Persis sudah banyak bikin gol ke gawang PSIM. Pemain yang 'nekad' mengambil eksekusi malam itu adalah si Gareng, seorang priyayi yang bernama asli Raden Mas Sumarno. Ia seolah tak perduli, cuek saja oleh cibiran ala Jawa soal tendangan penalti. Justru sebaliknya, Gareng berniat memberi hiburan khusus bagi penonton Sriwedari malam itu.

Cara Gareng mengeksekusi penalti cukup membuat sebagian penonton jadi cekikikan. Bola yang ditendangnya pelan tapi dipuntir. Kiper menubruk ke kanan, tapi bolanya menggeleser ke kiri. Di benak Gareng mungkin ada sedikit kesan me-revans atas aksi Kartawa sebelumnya. Namun, tetap ada komentar sinis.

"Tendangan penalti kok dipamer-pamerkan," lagi-lagi kata pria berbaju surjan.

Gareng, si penyerang tengah Persis ini sebenarnya tak pantas menjadi striker lantaran badannya yang tinggi besar. Gerak-geriknya juga rada lamban. Namun ia punya keunggulan lain. "Jago goreng bola", istilah beken untuk giring bola saat itu. Juga operannya berkelas tinggi, konon seperti yang dilakukan penyerang nasional Thee San Liong pada awal lima puluhan. Yang perlu diingat lagi, kala itu kesebelasan yang tak punya 'tukang goreng bola' tidak akan ditonton orang!

Potongan Gareng berkebalikan dengan striker utama PSIM, Jawad. Inilah potongan penyerang berkelas sampai ke tulang belulangnya. Keras, cepat, bandel dan punya tendangan menggeledek. Walaupun formatnya rada beda, tapi dialah pemain yang paling mirip dengan Ramang, striker nasional legendaris asal PSM Makassar. Jawad dijuluki orang 'Ramang sebelum perang'.

Malam itu Persis menampilkan showman jempolan, yakni Yazid. Kebetulan dia adalah kakak kandung Gesang, pencipta dan penyanyi lagu Bengawan Solo. Ia badut lapangan yang tak ada duanya. Ulahnya, gerak-gerik dengan atau tanpa bolanya selalu mengecoh lawan.

Yazid juga piawai menggoreng bola. Kadang ia menggoreng bola sambil mengikat tali kolornya yang kedodoran. Usai menerima umpan, dia sengaja memelorotkan celananya lantas dipeganginya dengan kedua tangan sambil kabur menggiring bola!

Larinya memang tidak secepat dua winger beken Persebaya, Stalder atau Manuputty, tapi umpan-umpan Yazid yang pulen dan perang urat syarafnya yang meneror mental lawan, merupakan kenangan tersendiri bagi pendukung Persis bahkan dalam sejarah sepak bola Indonesia sebelum perang kemerdekaan. Di kubu PSIM pun berkumpul pemain-pemain dengan penguasaan bola yang halus dan berkelas tinggi seperti Gilig, Wajis atau Naruchman.

Kehebatan Sidhi

TETAPI Persis punya pemain sayap kanan yang tak bisa disebut ortodoks, yaitu Arman. Ia bisa mengambil bola dari belakang, switch ke tengah, menyerang dari segala penjuru, tik-tak, dan bergerak terus, meski senjata utamanya melarikan bola sepanjang garis.

Persis pun punya seorang tukang babat yang selalu tegas dalam bertindak, yaitu Kingkong. Nama sebenarnya Sumaryo, yang kemudian hari menjadi perwira tinggi kepolisian di Semarang. Gaya permainannya seperti Sonny Sandra di tahun enam puluhan.

Tapi bintang di antara semua bintang Persis zaman itu ialah Sidhi, centerhalf dan all-rounder yang akhirnya menjadi kapten nasional Indonesia di awal tahun limapuluhan. Ia bukan saja anggun tapi juga 'menari', sehingga mendapat sebutan Si Serimpi. Ia mengembara ke mana-mana, turun naik dan long-passing-nya yang terukur mampu membuat counter-attack yang mengejutkan.

Tekling-nya tajam seperti gunting. Gamesmanship-nya sering memberikan kepuasan penonton dengan keterampilan individual: menyetop bola lambung tanpa mental sedikitpun, sehingga bola itu mati bagaikan burung kena pulut di ujung bambu! Pokoknya banyak gerakan akrobatik yang sering ditampilkannya.

Setelah penyerahan kedaulatan RI, permainannya lebih zakelijk (saklek, kaku) akibat penanganan coach nasional Choo Seng Quee, yang menggeser tempatnya ke belakang sebagai spil dan stopper. Tapi long-passing-nya ke depan yang akurat tetap memberikan andil bagi lini depan. Dilihat dari segi teknis permainannya, dan last but not least yang tanpa cacat suap, Sidhi pantas dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbesar Indonesia.

Di zaman pendudukan Jepang, Persis masih sering tampil di Sriwedari menghadapi Jakarta, Surabaya atau Purwakarta. Di tim yang belakangan ini ada pemain top bernama Isaak Pattiwael yang dijuluki 'Macan Purwakarta'. Hebatnya dia salah satu anggota tim nasional Dutch Indies yang tampil pada Piala Dunia 1938 di Prancis!

Saat melawat ke Solo, Persija Jakarta diperkuat oleh Mahmul, kiper gemuk tapi lengket tangkapannya. Lalu bek cekatan Ruslan dan trio tangguh Sanger, Abidin dan Teck Eng, serta kanan luar Iskandar. Lewat andil mereka, Persis terpaksa main dengan hasil seri 2-2. Mahmul, Ruslan, Abidin, dan Pattiwael pada zaman revolusi hijrah ke Klaten.

Namun mereka tidak bergabung ke Persis, melainkan ke PSIK Klaten lantaran ditawari bekerja di pabrik sepatu Gayamprit. Boleh jadi, kepindahan ini seperti sebuah kisah transfer pemain tempo doeloe. Sebelum hijrah ke Klaten, Mahmul, Ruslan, dan Abidin adalah anggota kesebelasan Bata Jakarta. Saat itu perusahaan sepatu milik Belanda ini boyongan sambil membawa peralatan pabrik ke Jawa Tengah.

(foto: photobucket/fbcdn.net/youtube)

Share:

Perasaan Kurniawan Pun Kecewa dan Gembira

Banyak penonton yang kecewa melihat penampilan tim PSSI Pra-Olimpiade ketika melawan Hong Kong, Selasa lalu, di Stadion Utama Senayan. Serangan gencar ke gawang Hong Kong gagal diselesaikan dengan baik oleh penyerang-penyerang kita. Tim anak muda kita cuma menang 1-0.

Perasaan Kurniawan Pun Kecewa dan GembiraTapi ada yang merasa lebih kecewa lagi, yaitu bintang kita, pencetak satu-satunya gol ke gawang Hong Kong, Kurniawan Dwi Yulianto. "Asep Dayat terlalu banyak menggiring bola. Indriyanto diturunkan terlambat!" kata Ade, panggilan Kurniawan. "Saya ndak tahu, kenapa teman-teman main gugup dan tergesa-gesa. Padahal kita bisa menang besar," lanjutnya lagi tanpa mau menganalisis lebih dalam. Melihat penampilan Indonesia melawan Hong Kong, lagi-lagi kelemahan yang paling mencolok adalah penyelesaian akhir. "Bahkan waktu lawan Korea, serangan kita monoton," ujar pengamat bola Andi Darussalam.


Namun lepas dari rasa kecewa, kita kini boleh bangga punya Kurniawan. Golnya ke gawang Hong Kong merupakan kecerdikannya melihat posisi kiper lawan. Ketepatan dan kecepatan tendangan jarak jauhnya membuahkan gol. "Ia berjanji akan mencetak gol ke gawang Hong Kong. Katanya sebagai hadiah ulang tahun kakaknya," ujar Budi Riyanto SH, ayah Kurniawan. Kakak yang dimaksud adalah Dian Ekariani yang tidak bisa datang ke Jakarta karena harus mengikuti ujian di sekolahnya.

Berat Tersendat

Maka dengan hanya menang 1-0 atas Hong Kong dan sebelumnya kalah dari Korea Selatan 1-2, ambisi kita untuk lolos ke Olimpiade Atlanta 1996 makin berat tersendat. Apalagi Korea yang sebelum menang atas Indonesia, menang pula atas Hong Kong dengan angka mencolok 5-0. 

Terlebih lagi, dua pertandingan sisa yang dihadapi tim Ginseng akan berlangsung di kandang mereka sendiri, 19 Agustus melawan Hong Kong, dan 22 Agustus kontra Indonesia. Kurniawan cs sendiri bakal bertanding di Hong Kong pada 26 Agustus 1995.

Artinya, jika di Seoul nanti Korea mengalahkan Hong Kong, maka mereka hanya membutuhkan hasil imbang dari Indonesia. Kalau saja itu tercapai, Korea akan melaju ke putaran kedua bersama tujuh juara grup zona Asia kualifikasi Olimpiade 1996 lainnya.

Walau demikian, kita tetap harus optimistis mencuri kesempatan sekecil apa pun. Caranya, ya harus menang dalam dua pertandingan sisa itu. Maka memanfaatkan waktu menuju bulan Agustus adalah yang terbaik. Waktu mesti diisi dengan latihan untuk menutupi kekurangan, misalnya kekompakan bermain, dan menyusun penyerangan.

Sayangnya, di saat latihan akan dimulai lagi pada 6 Juni di Tavarone, Italia, dan dua pemain inti yang diduga akan telat bergabung, yaitu Kurniawan dan Anang Ma'ruf. Apakah para penanggungjawab tim nasional kita memang masih kurang lihai dalam memilih skala prioritas untuk si pemain?

Perlu ada jawaban kongkrit, apakah tim Pra Olimpiade yang dilatih oleh Tord Grip (Swedia) cermat mengambil keputusan melihat jadwal dan kesempatan yang didapat para pemain. Kedua pemain tampaknya tidak ada waktu untuk beristirahat. Di saat pemain-pemain lain pulang mudik, begitu usai mengalahkan Hong Kong, mereka justru mesti pergi lagi Rabu siang. Kurni balik ke Swiss untuk memperkuat FC Luzern, sedangkan Anang diminta manajer Sven-Goran Eriksson mengikuti tur Sampdoria ke Asia Timur.

Satu kabar yang cukup menggembirakan datang dari Kurniawan sebab kontraknya dengan Luzern dilanjutkan. "Ya, ceritanya memang begitu. Kontrak saya diperpanjang setahun. Tapi saya belum bertemu presiden FC Luzern," tukas Kurniawan singkat ketika ditemui di kamar 824 Hotel Kartika Chandra, Jakarta.

Uniknya, pihak Luzern ternyata sudah menghubungi Budi Riyanto dengan telepon. Dalam konteks ini, jelas, di mata klub Swiss itu sang ayah bisa dianggap sebagai agen Kurniawan. "Bahkan mereka mengirim faks pemberitahuan ke Kurniawan di hotel. Setahu saya, dia akan dibayar sekitar Rp 10 juta sebulan. Kontraknya akan segera ditandatangani setelah Kurniawan sampai di Swiss," papar Budi di sela-sela melepas anaknya di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu siang.

Bagaimana perasaan Kurniawan mengetahui perpanjangan kontraknya? "Jelas gembira, tapi saya sebenarnya masih kangen, ingin pulang ke Magelang. Ingin kumpul dengan keluarga barang sebentar. Tapi bagaimana lagi?" kata anak muda kelahiran Magelang, 13 Juli 1976 ini.

Bintang Tamu

Sementara itu, Anang akan menjadi pemain tamu Sampdoria yang melakukan tur ke Hong Kong, Cina, dan Korea Selatan. Kiprah Anang menapaktilasi Kurniawan tahun lalu ketika didaulat menjadi bintang tamu Il Samp saat tur di Indonesia. "Senang, Mas, dapat bermain satu tim dengan pemain tenar macam Ruud Gullit dan David Platt. Mudah-mudahan saya bisa bermain lagi dalam tur Sampdoria nanti," kata jejaka kelahiran Surabaya 18 Mei 1976 yang dikenal pemalu itu.

Anak sulung pasangan Miskan dan Murti ini amat mengidamkan kesempatan merumput bersama Sampdoria bisa membuka peluangnya bermain di Eropa. "Kalau ada kesempatan sekalian saja main di Eropa, tak perlu balik dulu ke Indonesia," kata mantan kapten Persebaya junior yang dari raut mukanya tampak amat berharap.

Satu kabar khusus lagi datang dari Aples Tecuari. Menurut Romano Matte, pelatih tim nasional PSSI SEA Games, ia telah memasukkan stopper klub Pelita Jaya itu ke dalam persiapan timnya menghadapi pesta olah raga negara-negara ASEAN, Desember mendatang. "Sebenarnya ada dua atau tiga pemain, tapi nantilah lihat perkembangan," tukas pria Italia ini. Selalu ada hikmah di balik kekalahan. Selamat buat Kurniawan, Anang, dan Aples atas kesempatan yang kalian dapat. Siapa lagi menyusul?

(foto: stefan)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini