Ia masih saja seperti dulu. Berwajah dingin, tenang, tapi penampilannya di lapangan amat garang. Begitu kontras. Ketika Ajax berlaga lawan NAC Breda, awal Februari lalu, ia terkena kartu kuning. Ya, karena kegarangannya itu. Akibatnya Rijkaard ditarik keluar oleh pelatih Ajax Louis van Gaal.
Namun itu hanya kesalahan kecil dari sumbangan besarnya bagi dunia sepak bola. Biar bagaimana pun Rijkaard masih menjadi kunci harmonisasi tim. Katakanlah buat klubnya, Ajax Amsterdam, karena ia sudah mengundurkan diri dari tim nasional Belanda.
“Saya tak ingin bermain lagi dengan pola yang sama untuk beberapa tahun. Itu menakutkan saya. Ini alasan saya meninggalkan Milan yang memberikan segalanya buat saya,” demikian ucapan terakhir Rijkaard ketika meninggalkan Milan di akhir musim 1992/93 lalu. Tak salah jika orang lebih gampang mengingat dirinya lewat karakter atau jati dirinya ketimbang prestasi yang dicapainya. Maka tak salah pers Eropa menjulukinya ‘Si Angsa’. Apa maknanya?
Angsa adalah hewan yang tujuan hidupnya banyak bergantung pada komunitasnya. Jenis unggas yang dapat terbang ini selalu memperhatikan harmonisasi kelompoknya saat terbang bersama. Apapun dilakukannya, termasuk berkorban, demi keselarasan atau keserasian perjalanan kelompoknya. Saat dia lelah, maka yang lain siap menggantikannya.
Agak ironis memang pemain bernama asli Franklin Rijkaard itu mesti ‘berkorban’ dengan menarik diri demi kelangsungan timnya. Padahal sebagai pemain, dia merupakan gelandang yang tekniknya paling komplet di dunia. Kekuatan kaki kiri dan kanannya sama baik. Sundulannya amat keras dan selalu terukur. Kongkritnya, mantap dalam bertahan dan piawai dalam menyerang.
Visinya terhadap permainan juga tajam. Kehadirannya amat dibutuhkan dan berpengaruh serta menentukan kesuksesan sebuah tim. Benarkah demikian? Tak pelak lagi, ia berandil besar mengangkat kebesaran Milan dan sebagai kartu as tim nasional Belanda. Setelah Piala Dunia 1994 lalu ia menyatakan mundur dari legiun Oranje. “Saya tak akan bermain lagi di tim nasional. Ini keputusan terakhir dan saya tak ingin menjilat ludah lagi,” janjinya.
Usai Piala Dunia 1990, ketika kena hukuman FIFA berupa larangan bermain sebanyak 26 kali pertandingan karena meludahi striker Jerman Rudi Voeller, Rijkaard sebenarnya sudah menyatakan mundur dari tim nasional. Namun jiwanya terusik kembali ketika mendapat panggilan dari pelatih Dick Advocaat untuk membela Belanda di Piala Dunia 1994.
Dilahirkan di Amsterdam, 30 September 1962 dari seorang ibu asli Belanda dan ayah berdarah Suriname, Rijkaard adalah pesepak bola penuh bakat warisan darah sang ayah yang bermain sebagai bek di sebuah klub di Suriname dan di Belanda setelah hijrah ke sana.
Tentang Persahabatan
Di usia 7 tahun sang anak dimasukkan ke klub setempat yang bernama SC Amsterdam. Ketika Rijkaard remaja, sang ayah mendirikan klub Blau-Wit di Tanah Air barunya ini. Tak lama ia pun masuk di klub itu. Keputusan Rijkaard selanjutnya adalah ia ingin hidup dari sepak bola. Ketika Rijkaard pindah ke klub lebih besar, DWS Amsterdam, kisah pertemuannya dengan seseorang yang kelak jadi sahabatnya, yang siap bahu membahu memberi keharuman negara, pun terjadi. Dia adalah Ruud Gullit. Persahabatan itu terus bertahan hingga 20 tahun, melintasi ruang dan waktu, sehingga ketika Gullit pindah ke AC Milan, tak lama Rijkaard pun mengikutinya.
“Saat remaja dulu kami sudah saling menumpahkan masalah bersama, berdiskusi tentang apa saja. Sayang sekali, saat dewasa kami mempunyai masalah sendiri-sendiri,” kenang Rijkaard. Juli 1978 adalah saat yang paling menentukan bagi karier Rijkaard. Leo Beenhakker, pelatih kepala Ajax, merekrutnya untuk menjadi suksesor gelandang asal Denmark, Soren Lerby.
Di mata Beenhakker, Rijkaard dianggap sebagai orang yang paling pas untuk menggantikan gelandang kunci De Amsterdammers itu kelak. Kepergian ini memisahkan pertemanannya dengan Gullit. Tak lama kemudian Gullit pun pindah ke Haarlem. Mereka punya dunia sendiri-sendiri.
Sementara di tangan Beenhakker, permainan Rijkaard semakin terasah. Di usia 19 tahun, Rijkaard dipanggil pelatih nasional Cornelus Bernardus ‘Kees’ Rijvers untuk memulai debut di tim nasional Belanda, walaupun mendapat reaksi dari KNVB yang menganggapnya masih terlalu muda. Di saat bersamaan, Rijvers juga kesengsem dengan Wim Kieft, Willy Janssen, dan Gullit si sahabat Rijkaard!
Namun Rijvers tetap bersikeras dengan pendiriannya. Rijkaard langsung diturunkan sejak menit pertama saat menghadapi Swiss pada laga persahabatan di Stadion Hardtum, Zuerich, 1 September 1981. Seolah ditakdirkan selalu harus berdekatan, setelah berpisah selama tiga tahun tidak bermain bersama, di awal babak kedua Rijvers menggantikan Rijkaard dengan Gullit!
Namun penggantian itu dibayar mahal. Gullit membuat satu pelanggaran di luar kotak penalti gawang Hans van Breukelen. Satu tendangan geledek kaki kiri yang dilakukan Lucien Favre mengubah skor menjadi 1-0 buat tuan rumah. Dalam ujicoba ini Belanda kalah 1-2 tapi Rijvers puas bisa menurunkan keempat pemain debutannya.
Era pertama di Ajax, andil Rijkaard cukup signifikan. Pemain berbintang Libra ini ikut menorehkan tinta emas untuk Lancieri saat menjuarai Liga Belanda 1981/82, 1982/83, dan 1984/85. Juga tiga kali Piala Belanda, sekali Piala Winner.
Namun masa gemilangnya itu tak berlangsung lama sebab dia berseteru dengan dewa sepak bola negeri keju, Johan Cruijff! Sejak Desember 1985, setelah Cruijff ganti menakhodai De Amsterdammers, nama Rijkaard seolah-olah menjadi pesakitan.
Kejadian ini bermula perbedaan opini diantara mereka tatkala Ajax bertarung dengan PSV Eindhoven. Saking seriusnya, keduanya saling tarik urat leher di depan khalayak ramai. “Saya tak butuh pemain yang sulit diatur!” bentak Cruijff. Dicaci begitu, tanpa diduga Rijkaard membuka kaus dan membanting kostum Ajax di depan sang mentor! “Saya juga tak mau main lagi kalua pelatihnya masih bermulut besar,” balasnya.
Tentang Kecintaan
Seperti diduga banyak orang, Rijkaard pun tak mendapat tempat lagi di Ajax, dan ini berlangsung selama dua tahun. Akhirnya Rijkaard hengkang dari Ajax untuk bergabung dengan Sporting Lisbon yang menyatakan hasratnya memakai jasa Si Angsa.
Ada kesan proses kepindahannya ke Portugal dipersulit sehingga melebihi waktu deadline transfer, khususnya untuk pendaftaran namanya untuk mengikuti kompetisi Liga Portugal. Rijkaard bisa bergabung dengan Sporting namun tidak bisa dimainkan di liga.
Sporting punya cara agar Rijkaard bisa berguna. Mereka meminjamkannya ke Real Zaragoza di Spanyol. Melihat kekisruhan personal yang menerpa sahabatnya, Ruud Gullit turun tangan. Dengan sekuat tenaga Gullit berusaha mempengaruhi alias merayu manajer kesohor Arrigo Sacchi agar menarik temannya itu ke AC Milan.
Akhirnya di musim panas 1988, Rijkaard bergabung dengan Gullit dan Marco van Basten di Milan. Sporting ketiban untung sebab dapat uang transfer Rp 11 milyar tanpa memainkannya. Kehadiran Rijkaard di Milan ini tercatat menjadi salah satu lintasan emas Rossoneri di blantika Serie A dan Eropa yang dikenal dengan sebutan The Dream Team. Trio Belanda (Van Basten-Gullit-Rijkaard) sukses memberi Milan scudetto pada 1987/88, 1991/92, dan 1992/93.
Yang lebih signifikan lagi, Rijkaard juga turut memberi kejayaan Milan menjuarai enam titel internasional dua musim beruntun, berupa Piala Champion, Piala Super Eropa dan juara dunia antarklub dua musim berturut-turut, 1988/89 dan 1989/90!
Waktu terus berjalan. Selama 14 tahun sejarah mencatat, Rijkaard-Gullit bahu membahu bertahan di tim nasional Belanda, atau enam tahun di bawah masa persahabatan mereka. Setelah keduanya mundur dari tim nasional dan berpisah dari Milan, hubungan mereka tetap akrab. Rijkaard telah kembali ke Ajax, sedangkan Gullit kini membela Sampdoria.
Akankah mereka bersatu lagi dalam sebuah klub? “Saya ingin mengakhiri karier di Ajax, tidak di tempat lain mana pun,” kata Rijkaard. Yang menarik adalah kesempatan Rijkaard untuk bertemu bekas klubnya, Milan, di final Piala Champion terbuka lebar sebab kedua klub hingga kini telah lolos ke babak perempatfinal. Menarik menunggu kiprah Rijkaard untuk merajut impiannya terdekatnya itu. Di perempatfinal pertama (1/3) Ajax akan menghadapi Hajduk Split (Kroasia), sementara Milan akan menghadapi Benfica. Laga keduanya akan digelar pada 15 Maret.
Jika keduanya lolos ke semifinal lalu sukses mengatasi lawan-lawannya, maka pertemuan Ajax vs Milan di final akan terjadi. Andai skenario ini mulus, cerita tentang Rijkaard akan berkibar lagi ke permukaan.
Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, begitu juga rupanya sosok Rijkaard dan kesuksesan perjalanan kariernya. Milan lebih beruntung daripada Ajax, klub yang paling dicintai Rijkaard, karena mereka lebih sabar dan berani ambil risiko terhadapnya.
(foto: sportsignings.com/anp-archief.nl/yourzone.beinsports.fr)
Namun itu hanya kesalahan kecil dari sumbangan besarnya bagi dunia sepak bola. Biar bagaimana pun Rijkaard masih menjadi kunci harmonisasi tim. Katakanlah buat klubnya, Ajax Amsterdam, karena ia sudah mengundurkan diri dari tim nasional Belanda.
“Saya tak ingin bermain lagi dengan pola yang sama untuk beberapa tahun. Itu menakutkan saya. Ini alasan saya meninggalkan Milan yang memberikan segalanya buat saya,” demikian ucapan terakhir Rijkaard ketika meninggalkan Milan di akhir musim 1992/93 lalu. Tak salah jika orang lebih gampang mengingat dirinya lewat karakter atau jati dirinya ketimbang prestasi yang dicapainya. Maka tak salah pers Eropa menjulukinya ‘Si Angsa’. Apa maknanya?
Angsa adalah hewan yang tujuan hidupnya banyak bergantung pada komunitasnya. Jenis unggas yang dapat terbang ini selalu memperhatikan harmonisasi kelompoknya saat terbang bersama. Apapun dilakukannya, termasuk berkorban, demi keselarasan atau keserasian perjalanan kelompoknya. Saat dia lelah, maka yang lain siap menggantikannya.
Agak ironis memang pemain bernama asli Franklin Rijkaard itu mesti ‘berkorban’ dengan menarik diri demi kelangsungan timnya. Padahal sebagai pemain, dia merupakan gelandang yang tekniknya paling komplet di dunia. Kekuatan kaki kiri dan kanannya sama baik. Sundulannya amat keras dan selalu terukur. Kongkritnya, mantap dalam bertahan dan piawai dalam menyerang.
Visinya terhadap permainan juga tajam. Kehadirannya amat dibutuhkan dan berpengaruh serta menentukan kesuksesan sebuah tim. Benarkah demikian? Tak pelak lagi, ia berandil besar mengangkat kebesaran Milan dan sebagai kartu as tim nasional Belanda. Setelah Piala Dunia 1994 lalu ia menyatakan mundur dari legiun Oranje. “Saya tak akan bermain lagi di tim nasional. Ini keputusan terakhir dan saya tak ingin menjilat ludah lagi,” janjinya.
Usai Piala Dunia 1990, ketika kena hukuman FIFA berupa larangan bermain sebanyak 26 kali pertandingan karena meludahi striker Jerman Rudi Voeller, Rijkaard sebenarnya sudah menyatakan mundur dari tim nasional. Namun jiwanya terusik kembali ketika mendapat panggilan dari pelatih Dick Advocaat untuk membela Belanda di Piala Dunia 1994.
Dilahirkan di Amsterdam, 30 September 1962 dari seorang ibu asli Belanda dan ayah berdarah Suriname, Rijkaard adalah pesepak bola penuh bakat warisan darah sang ayah yang bermain sebagai bek di sebuah klub di Suriname dan di Belanda setelah hijrah ke sana.
Di usia 7 tahun sang anak dimasukkan ke klub setempat yang bernama SC Amsterdam. Ketika Rijkaard remaja, sang ayah mendirikan klub Blau-Wit di Tanah Air barunya ini. Tak lama ia pun masuk di klub itu. Keputusan Rijkaard selanjutnya adalah ia ingin hidup dari sepak bola. Ketika Rijkaard pindah ke klub lebih besar, DWS Amsterdam, kisah pertemuannya dengan seseorang yang kelak jadi sahabatnya, yang siap bahu membahu memberi keharuman negara, pun terjadi. Dia adalah Ruud Gullit. Persahabatan itu terus bertahan hingga 20 tahun, melintasi ruang dan waktu, sehingga ketika Gullit pindah ke AC Milan, tak lama Rijkaard pun mengikutinya.
“Saat remaja dulu kami sudah saling menumpahkan masalah bersama, berdiskusi tentang apa saja. Sayang sekali, saat dewasa kami mempunyai masalah sendiri-sendiri,” kenang Rijkaard. Juli 1978 adalah saat yang paling menentukan bagi karier Rijkaard. Leo Beenhakker, pelatih kepala Ajax, merekrutnya untuk menjadi suksesor gelandang asal Denmark, Soren Lerby.
Di mata Beenhakker, Rijkaard dianggap sebagai orang yang paling pas untuk menggantikan gelandang kunci De Amsterdammers itu kelak. Kepergian ini memisahkan pertemanannya dengan Gullit. Tak lama kemudian Gullit pun pindah ke Haarlem. Mereka punya dunia sendiri-sendiri.
Sementara di tangan Beenhakker, permainan Rijkaard semakin terasah. Di usia 19 tahun, Rijkaard dipanggil pelatih nasional Cornelus Bernardus ‘Kees’ Rijvers untuk memulai debut di tim nasional Belanda, walaupun mendapat reaksi dari KNVB yang menganggapnya masih terlalu muda. Di saat bersamaan, Rijvers juga kesengsem dengan Wim Kieft, Willy Janssen, dan Gullit si sahabat Rijkaard!
Namun Rijvers tetap bersikeras dengan pendiriannya. Rijkaard langsung diturunkan sejak menit pertama saat menghadapi Swiss pada laga persahabatan di Stadion Hardtum, Zuerich, 1 September 1981. Seolah ditakdirkan selalu harus berdekatan, setelah berpisah selama tiga tahun tidak bermain bersama, di awal babak kedua Rijvers menggantikan Rijkaard dengan Gullit!
Namun penggantian itu dibayar mahal. Gullit membuat satu pelanggaran di luar kotak penalti gawang Hans van Breukelen. Satu tendangan geledek kaki kiri yang dilakukan Lucien Favre mengubah skor menjadi 1-0 buat tuan rumah. Dalam ujicoba ini Belanda kalah 1-2 tapi Rijvers puas bisa menurunkan keempat pemain debutannya.
Era pertama di Ajax, andil Rijkaard cukup signifikan. Pemain berbintang Libra ini ikut menorehkan tinta emas untuk Lancieri saat menjuarai Liga Belanda 1981/82, 1982/83, dan 1984/85. Juga tiga kali Piala Belanda, sekali Piala Winner.
Namun masa gemilangnya itu tak berlangsung lama sebab dia berseteru dengan dewa sepak bola negeri keju, Johan Cruijff! Sejak Desember 1985, setelah Cruijff ganti menakhodai De Amsterdammers, nama Rijkaard seolah-olah menjadi pesakitan.
Kejadian ini bermula perbedaan opini diantara mereka tatkala Ajax bertarung dengan PSV Eindhoven. Saking seriusnya, keduanya saling tarik urat leher di depan khalayak ramai. “Saya tak butuh pemain yang sulit diatur!” bentak Cruijff. Dicaci begitu, tanpa diduga Rijkaard membuka kaus dan membanting kostum Ajax di depan sang mentor! “Saya juga tak mau main lagi kalua pelatihnya masih bermulut besar,” balasnya.
Tentang Kecintaan
Seperti diduga banyak orang, Rijkaard pun tak mendapat tempat lagi di Ajax, dan ini berlangsung selama dua tahun. Akhirnya Rijkaard hengkang dari Ajax untuk bergabung dengan Sporting Lisbon yang menyatakan hasratnya memakai jasa Si Angsa.
Ada kesan proses kepindahannya ke Portugal dipersulit sehingga melebihi waktu deadline transfer, khususnya untuk pendaftaran namanya untuk mengikuti kompetisi Liga Portugal. Rijkaard bisa bergabung dengan Sporting namun tidak bisa dimainkan di liga.
Sporting punya cara agar Rijkaard bisa berguna. Mereka meminjamkannya ke Real Zaragoza di Spanyol. Melihat kekisruhan personal yang menerpa sahabatnya, Ruud Gullit turun tangan. Dengan sekuat tenaga Gullit berusaha mempengaruhi alias merayu manajer kesohor Arrigo Sacchi agar menarik temannya itu ke AC Milan.
Akhirnya di musim panas 1988, Rijkaard bergabung dengan Gullit dan Marco van Basten di Milan. Sporting ketiban untung sebab dapat uang transfer Rp 11 milyar tanpa memainkannya. Kehadiran Rijkaard di Milan ini tercatat menjadi salah satu lintasan emas Rossoneri di blantika Serie A dan Eropa yang dikenal dengan sebutan The Dream Team. Trio Belanda (Van Basten-Gullit-Rijkaard) sukses memberi Milan scudetto pada 1987/88, 1991/92, dan 1992/93.
Yang lebih signifikan lagi, Rijkaard juga turut memberi kejayaan Milan menjuarai enam titel internasional dua musim beruntun, berupa Piala Champion, Piala Super Eropa dan juara dunia antarklub dua musim berturut-turut, 1988/89 dan 1989/90!
Waktu terus berjalan. Selama 14 tahun sejarah mencatat, Rijkaard-Gullit bahu membahu bertahan di tim nasional Belanda, atau enam tahun di bawah masa persahabatan mereka. Setelah keduanya mundur dari tim nasional dan berpisah dari Milan, hubungan mereka tetap akrab. Rijkaard telah kembali ke Ajax, sedangkan Gullit kini membela Sampdoria.
Akankah mereka bersatu lagi dalam sebuah klub? “Saya ingin mengakhiri karier di Ajax, tidak di tempat lain mana pun,” kata Rijkaard. Yang menarik adalah kesempatan Rijkaard untuk bertemu bekas klubnya, Milan, di final Piala Champion terbuka lebar sebab kedua klub hingga kini telah lolos ke babak perempatfinal. Menarik menunggu kiprah Rijkaard untuk merajut impiannya terdekatnya itu. Di perempatfinal pertama (1/3) Ajax akan menghadapi Hajduk Split (Kroasia), sementara Milan akan menghadapi Benfica. Laga keduanya akan digelar pada 15 Maret.
Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, begitu juga rupanya sosok Rijkaard dan kesuksesan perjalanan kariernya. Milan lebih beruntung daripada Ajax, klub yang paling dicintai Rijkaard, karena mereka lebih sabar dan berani ambil risiko terhadapnya.