Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Premier League. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Premier League. Tampilkan semua postingan

Arsene Wenger: Premier League Dibanjiri Ambisi

Barangkali pola dan tensi persaingan Premier League kali ini melebihi level Liga Champion. Pantas-pantas saja jika salah satu yang berkepentingan akhirnya angkat bicara. Dialah Arsene Wenger yang bilang mulai musim ini Liga Inggris sudah menjelma sebagai ‘Piala Dunia antar manajer.’
Share:

Premier League 2016/17: Medan Laga Manajer Terbaik

Apa yang paling menarik dari Barclay Premier League musim ini? Tentu banyak. Namun satu yang tak bisa dikesampingkan adalah kiprah para manajer klub, yang kehadiran serta jumlahnya membuat BPL bisa-bisa disebut sebagai kompetisi paling terbaik, paling kompetitif di dunia. Hanya gara-gara persaingan deretan pelatihnya.


Premier League 2016/17: Medan Laga Manajer Terbaik
Sebut saja barisan ahli taktik yang belum apa-apa telah mengisi seperempat lahan persaingan. Mulai si gaek Arsene Wenger (Arsenal), Josep Guardiola (Manchester City), Jose Mourinho (Manchester United), Antonio Conte (Chelsea), sampai Juergen Klopp (Liverpool). Lima manajer kelas tuna dari world class club. Perlu diperhatikan, tak satupun yang orang Inggris!

Belum lagi yang kelas kakap nan berpengalaman hebat. Di sini malah bakal lebih sesak pergerakannya lantaran dihuni tujuh orang, yaitu Claudio Ranieri (Leicester City), Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur), Slaven Bilic (West Ham United), Walter Mazzarri (Watford), Claude Puel (Southampton), David Moyes (Sunderland), serta Ronald Koeman (Everton).

Sudah 12 manajer bukan? Nah delapan sisanya bisa ditebak kelasnya. Kelas yang perlu mukjizat jika sampai juara. Jangan salah, mereka tetap bukan kelas kroco, sebut saja masih kelas pematangan. Sebut lima dulu: Mark Hughes (Stoke City), Alan Pardew (Crystal Palace), Francesco Guidolin (Swansea City), Aitor Karanka (Middlesbrough) dan Tony Pulis (West Bromwich Albion).

Barulah tiga sisanya benar-benar berkategori kelas masih belajar. Nama-namanya memang sulit membekas di hati. Eddie Howe (Bournemouth), Sean Dyche (Burnley), serta satu lagi siapapun yang jadi manajer anyar Hull City sepeninggal Steve Bruce. Konon Gianfranco Zola dan Roberto Martinez jadi kandidat paling serius dibanding Chris Coleman, Roy Keane, dan Mike Phelan.

Sudah terbayang tensi persaingan dan perseteruan mereka di berbagai lahan. Adu mulut di pinggir lapangan, sindiran di jumpa pers, sampai perang kata-kata di tabloid-tabloid. Kenapa bisa demikian, katakanlah, rentan bakal terjadi? Penyebabnya cuma satu: soal reputasi. Bentrok juga bisa merambah ke kuadran tetangga.

Walau setingkat di bawahnya namun Ranieri, Pochettino, Bilic, atau Koeman rentan konflik dengan kelas di atasnya. Begitu juga sosok Hughes, Pardew, dan Pulis yang gampang gahar bila merasa disepelekan. Secara umum, dari 20 manajer yang berkeliaran di belantara Premier League, lebih dari separonya dijejali reputasi, watak, karakter, sampai CV yang aduhai.

Pendek kata, begitu peluit keberangkatan musim ini ditiup, Sabtu 13 Agustus 2016, sosok dan kinerja manajer jadi perhatian awak media. Khayalak ramai juga mulai sadar bukan zamannya lagi melulu memberi atensi kepada bintang. Mesti disadari bahwa kenikmatan menonton bola yang diperagakan pemain berasal dari sentuhan, perubahan, dan taktik sang koreografer tim.

Namun kehebatan paradigma yang kian menghebat itu mesti dibayar mahal. Kini sebagian publik Inggris agaknya pantas masygul pada realita kompetisi ketika justru makin dibanggakan. Kenapa begitu? Tengok saja kuantitas dan kualitas manajer pribumi yang juga semakin terseok-seok. Vonis hampir pasti diketuk mengingat tidak mungkin Pardew, Howe, dan Dyche – ketiga pribumi itu – menjadi juara Premier League musim ini.

Intisari Kompetisi

Ironisnya, jumlah pelatih asal Inggris kalah jumlahnya dengan Italia yang diwakili Ranieri, Conte, Mazzarri, dan Guidolin. Hampir semua negara teras Eropa punya wakilnya di Liga Inggris. Wenger dan Puel (Prancis), Guardiola dan Karanka (Spanyol). Lalu ada Hughes dan Pulis (Wales), Mourinho (Portugal), Klopp (Jerman), Koeman (Belanda), Bilic (Kroasia), Moyes (Skotlandia); termasuk satu-satunya wakil Amerika Latin, Pochettino (Argentina).

Dugaan sementara adalah Premier League musim ini berisiko semakin tidak jelas lagi, lebih parah dibanding sebelumnya. Jika kemarin Ranieri yang bikin dunia tercengang, mungkin besok semakin banyak calonnya. Sikap mental nan empatik ala Ranieri barangkali jadi acuan pesaingnya untuk memperhatikan kembali ‘khittah’ dasar prinsip kepelatihan: disiplin dan tegas.

Sebuah fakta tak terbantahkan, tidak ada lagi kemapanan di Tanah Air leluhur sepak bola. Sikap underestimate ratusan tahun yang bertahan mematok klub-klub gurem tidak bisa juara, sekarang lumayan telah menggetarkan sukma siapapun yang merasa jagoan. Terima kasih pada Ranieri dan Leicester City-nya. Itu adalah inspirasi yang mahal bagi para manajer non-kelas tuna dan terus ke bawahnya lagi.

Porsi duel antar bos tim di Premier League kini semakin luas diperhatikan. Dengan lima manajer kelas tuna dan tujuh kelas kakap, media massa dijamin tidak akan pernah kehabisan cerita. Setiap saat publik mendapat sajian drama. Dari jadwal 2016/17 rilisan Juni silam (lihat boks), bentrok pertama manajer papan atas dilakoni Arsene Wenger vs Juergen Klopp di pekan perdana.

Publik dunia lebih menunggu bentrok kedua Jose Mourinho vs Pep Guardiola, kala si Biru datang ke Old Trafford, 10 September. Melihat tampang keduanya, ingatan orang pada El Clasico menyeruak. Mou akan melakoni ujian berat 15 dan 22 Oktober sebab harus datang ke rumah Klopp dan Conte berturut-turut! Sebaliknya Pep malah kedatangan Conte dan Wenger secara beruntun.

Secara singkat, 20 laga kelas super-berat manajer kelas tuna, menjadi intisari kompetisi Premier League yang sesungguhnya. Kelimanya punya karakteristik utama yang berbeda. Conte penyanjung disiplin, Mou si penggila keberanian, Klopp si penuntut komitmen, dan Pep pengidam gairah, serta Wenger yang penggila improvisasi. Dalam sisi prinsip, intensitas Conte dan Mou similar. Sementara Pep mirip dengan Wenger.

Dari kelima manajer ini, Conte dan Klopp diuntungkan oleh absennya Chelsea dan Liverpool di laga Eropa. Peluang mereka untuk mengikuti kiprah Ranieri sebagai England Champions musim lalu ada di sini. Sayangnya bersama Pep, Conte diduga bakal kesulitan ketika bersua dengan deretan manajer kuadran lain seperti Pochettino, Bilic, Moyes atau Koeman bahkan Pardew yang berpengalaman di Premier League.

Reputasi Bilic diramal lebih mencuat musim ini. Dengan stadion baru nan mewah, Olimpik, West Ham berpotensi meraih kejayaan dari sisi prestasi dan tentu saja bisnis. Tampil di arena berkapasitas 50.000 penonton memberikan warna lain dalam spirit permainan. Dan pemain macam Dimitri Payet atau Andy Carroll dikenal sering menghebat jika tampil di stadion lebih besar.

Fokus pada Wenger kali ini juga jauh lebih besar. Medio Oktober dia resmi 20 tahun berkuasa di Arsenal. Ranieri diduga kembali ke kuadrannya sebagai pelatih biasa. Statusnya sebagai juara tidak akan mengubah persepsi orang. Battle of the Bosses jelas semakin menyemarakkan Premier League 2016/17 dibanding Liga Eropa lainnya yang masih mengandalkan kebintangan pemain. (Arief Natakusumah)


“20 Heavyweights Match”



Jadwal
Duel Manajer        
Minggu 14 Agustus 2016
Arsene Wenger vs Juergen Klopp
Sabtu 10 September 2016
Jose Mourinho vs Pep Guardiola
Jumat 16 September 2016
Antonio Conte vs Juergen Klopp
Sabtu 24 September 2016
Arsene Wenger vs Antonio Conte
Sabtu 15 Oktober 2016
Juergen Klopp vs Jose Mourinho
Sabtu 22 Oktober 2016
Antonio Conte vs Jose Mourinho
Sabtu 19 November 2016
Jose Mourinho vs Arsene Wenger
Sabtu 3 Desember 2016
Pep Guardiola vs Antonio Conte
Sabtu 17 Desember 2016
Pep Guardiola vs Arsene Wenger
Sabtu 31 Desember 2016
Juergen Klopp vs Pep Guardiola
Sabtu 14 Januari 2017
Jose Mourinho vs Juergen Klopp
Rabu 1 Februari 2017
Juergen Klopp vs Antonio Conte
Sabtu 4 Februari 2017
Antonio Conte vs Arsene Wenger
Sabtu 25 Februari 2017
Pep Guardiola vs Jose Mourinho
Sabtu 4 Maret 2017
Juergen Klopp vs Arsene Wenger
Sabtu 18 Maret 2017
Pep Guardiola vs Juergen Klopp
Sabtu 1 April 2017
Arsene Wenger vs Pep Guardiola
Rabu 5 April 2017
Antonio Conte vs Pep Guardiola
Sabtu 15 April 2017
Jose Mourinho vs Antonio Conte
Sabtu 6 Mei 2017
Arsene Wenger vs Jose Mourinho

20 Manajer Premier League 2016/17 


Manajer
Klub
Usia
Negara
Durasi
Pola Main
Eddie Howe
Bournemouth    
38   
Inggris
3 Tahun 10 Bulan 
4-2-3-1  
Aitor Karanka     
Middlesbrough  
42   
Spanyol
2 Tahun 9 Bulan  
4-2-3-1  
Sean Dyche         
Burnley
45   
Inggris
3 Tahun 9 Bulan  
4-4-2    
Slaven Bilic       
West Ham United
47   
Kroasia
1 Tahun 2 Bulan  
4-2-3-1  
JΓΌrgen Klopp       
Liverpool
49   
Jerman
11 Bulan
4-2-3-1  
Mark Hughes        
Stoke City
52   
Wales
3 Tahun 3 Bulan  
4-2-3-1  
Alan Pardew        
Crystal Palace
55   
Inggris
1 Tahun 7 Bulan  
4-2-3-1  
Tony Pulis      
West Bromwich
58   
Wales
1 Tahun 8 Bulan  
4-2-3-1  
Francesco Guidolin
Swansea City
60   
Italia
8 Bulan
4-2-3-1  
Claudio Ranieri    
Leicester City
64   
Italia
1 Tahun 1 Bulan  
4-2-3-1  
ArsΓ¨ne Wenger      
Arsenal
66   
Prancis
19 Tahun 11 Bulan
4-2-3-1  
Pep Guardiola      
Manchester City
45   
Spanyol
3 Bulan
4-2-3-1  
Antonio Conte      
Chelsea
47   
Italia
2 Bulan
3-5-2    
Ronald Koeman      
Everton
53   
Belanda
2 Bulan
4-2-3-1  
JosΓ© Mourinho    
Manchester United 
53   
Portugal
2 Bulan
4-2-3-1  
Mike Phelan     
Hull City
53   
Inggris
1 Bulan
4-4-2    
David Moyes        
Sunderland
53   
Skotlandia
1 Bulan
4-2-3-1  
Claude Puel         
Southampton    
54   
Prancis
1 Bulan
4-1-3-2  
Walter Mazzarri    
Watford
54   
Italia
2 Bulan
3-5-2    
Mauricio Pochettino
Tottenham Hotspur
44
Argentina
2 Tahun 2 Bulan
4-2-3-1  


(foto: twitter.com)

Share:

Bursa Juara Premier League 2016/17: Menantang Harapan Menentang Peluang

Dongeng yang dilakoni Leicester City musim lalu berdampak luar biasa. Bukannya malah enak, deretan bandar taruhan di Inggris kali ini jauh lebih pusing dalam mematok angka-angka kemungkinan dan juga tentunya, nilai taruhan. Siapa yang paling favorit menjuarai Premier League 2016/17 jawabannya adalah tidak bisa ditebak!


Bursa Juara Premier League 2016/17: Menantang Harapan Menentang Peluang
Patokan bursa taruhan juara Premier League 2016/17. Lebih dinamis.
Bayangkan, hanya untuk memfavoritkan saja sudah repot, kewalahan, bahkan cenderung tidak percaya diri lagi untuk menentukan probabilitasnya. Contohnya Sky Bet. Pada 2015/16, mereka mematok Leicester berada di peringkat terakhir dengan probabilitas 5000/1. Artinya, dari 5.000 orang atau katakanlah satu kampung atau satu kelurahan, hanya seorang saja yang yakin The Foxes bisa meraih juara!

Namun kenyataannya terbalik sehabis-habisnya, pasukan Claudio Ranieri malah memecahkan ‘rekor dunia’ sebagai tim paling gurem yang sanggup jadi juara. Saking kapoknya, Sky Bet kini menyatakan bahwa Premier League 2016/17 merupakan musim yang paling belum bisa ditebak.

Sinyal itu bisa dilihat dari enam klub yang dielus-elus menjadi juara dengan probabilitas tipis. Empat dari sembilan orang (9/4) diyakini Sky Bet mematok Manchester City sebagai kandidat juara paling serius. Di belakang The City adalah sang tetangga Manchester United (3/1), lalu Chelsea (5/1), Arsenal (6/1), Liverpool (8/1), dan Tottenham Hotspur (10/1).

Keenam klub ini masuk dalam kategori utama, calon juara paling serius. Lha terus ke mana sang juara bertahan Leicester City? Sebagai pemilik anomali juara, klub yang dimiliki orang Thailand itu terlempar di segmen khusus sebagai ‘kuda hitam’ calon juara dengan angka 25/1. Sejujurnya kepercayaan pasar pada The Foxes naik drastis. Jika setahun lalu setiap 5.000 orang yakin mereka juara, kini tinggal 25 orang saja.

Atas peran barunya yang menantang harapan dan menentang peluang, bursa taruhan untuk Leicester itu juga mencerminankan posisi uniknya. Apa itu? Mereka dipatok sebagai klub yang paling ‘diharapkan’ terhindar dari degradasi di musim ini. Pasalnya setelah mereka, probabilitas untuk klub-klub lainnya bisa dibilang terjun bebas.

Gerombolan biru yang jadi kebanggaan kota berpenghuni 330 ribu jiwa memang fenomenal. Mereka sanggup mengubah fakta dan realita, secara keseluruhan. Dengan julukan baru sebagai musim yang paling terbuka sepanjang sejarah, dari satu sisi citra Premier League kian terangkat. Kini banyak orang, terutama yang tidak ‘tahu bola’ lebih berani berinvestasi di bursa taruhan.

Fenomena Leicester jelas amat langka. Melihat konsistensi yang diperlihatkan The Foxes sepanjang 2015/16 lalu, kita seperti terhenyak dan terhentak oleh kinerja positif manajer Claudio Ranieri dan stafnya. Mereka mengkreasi sebuah tim ulet dengan unit spesial. Mulai dari kiper Kasper Schmeichel, kapten Wes Morgan, jangkar dobel N’Golo Kante dan Danny Drinkwater, hingga tandem maut Riyad Mahrez dan Jamie Vardy.

Manajer Baru
Men in debuts: Josep Guardiola dan Antonio Conte.
Apakah para petaruh kini memburu posisi Hull City atau Burnley yang dipatok 5.000/1 di musim ini? Tentu tidak semudah itu. Walau dibantu oleh dongeng, namun logika umum dan aspek teknis tetap dipakai untuk menentukan kiah sukses sebuah tim di kompetisi. Dongeng Leicester bukan salah masyarakat atau pengamat, tetapi bandar taruhan. Untuk kasus Hull boleh jadi para bandar benar jika melihat pelatih tidak jelas dan bujet transfer mereka.

Kecenderungan orang untuk menjagokan underdog memang selalu ada. Hebatnya itu kebanyakan dilakukan bukan oleh pasar, bandar, atau pengamat, tetapi masyarakat awam. Mereka nothing to lose dengan sikapnya karena tidak harus menanggung kredibilitas atau reputasi. “Kami menawarkan Burnley 5.000/1, namun volume yang datang mengejutkan sebab dengan menaruh 10 pound, mereka juga berharap Burnley akan menjadi juara,” ucap seorang juru bicara Sky Bet.

“Pencapaian luar biasa Leicester yang dipatok 5 pound di musim lalu, kini telah mengubah tarif paling dasar dan volume taruhan di musim ini. Satu hal lagi yang menggembirakan, dan jadi harapan konsumen adalah kedatangan manajer baru,” tambah orang itu lagi. Seperti dipahami, pemain dan bintang baru selalu lahir dari bursa transfer. Seperti halnya taktik dan strategi, bursa transfer juga lahir dari keputusan manajer klub.

Pasar menyepakati klub yang paling dijagokan menjuarai Premier League musim ini adalah Manchester City. Sedikit di bawah mereka, Manchester United. Dua manajer baru, dua strategi baru, dan sejumlah bintang segar yang muncul dari jendela transfer. Bahkan tidak sedikit yang dibalik, United yang utama lantaran ‘menganggur’ di Liga Champion dan faktor ‘pengalaman’ Jose Mourinho.

Kedatangan Pep Guardiola tentu bakal mengubah permainan The City jauh lebih genit dan seksi dibanding zamannya Manuel Pellegrini. Darah segar juga berhamburan dari kubu Etihad melihat Ilkay Gundogan, Nolito, atau Leroy Sane. Begitu juga alasan United dijagokan. Ada Paul Pogba, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, sampai Eric Bailly. Jangan lupakan juga Chelsea dengan Antonio Conte-nya, seorang pelatih bermental juara, yang akan memulai debutnya di Premier League.

Meski jadi debutan di Premier League, namun karena diwarisi skuad hebat dan mendapat sangu lumayan gede dari Roman Abramovich untuk belanja pemain, sulit bagi orang atau pasar mencoretnya dari bursa juara. Hadirnya dua tenaga baru, N’Golo Kante dan Michy Batsuayi, makin melengkapi kekuatan.

Saking ingin buru-buru mengemas timnya lebih dini, seperti halnya United, The Blues juga harus panic buying. Walhasil kerugian yang didapat. Kante yang harga pasarannya 17 juta pound dibeli 30,43 juta pound. Batsuayi pasarannya cuma 12,75 juta pound namun mereka membayar 33,15 juta pound pada Olympique Marseille. Hanya Arsenal, Liverpool, dan Tottenham yang masih mengedepankan akal sehat kala mengarungi di bursa transfer.

Memang orang selalu menyukai kejutan. Namun perlu diingat, jika kejutannya terlalu besar, sangat besar, justru menyulitkan pikiran juga sebab terlalu berat dicerna akal sehat. Pendek kata, sekarang pasar lebih bergejolak dari musim lalu karena masyarakat lebih bergairah menanti harapan dan kejutan, dua motivasi terkuat dalam pencapaian dan kehidupan. Asal risiko dan konsekuensi bila tidak muncul juga siap ditanggung, bebas-bebas saja. (Arief Natakusumah)

(foto: skysports/espn)
Share:

Leicester City: Perebut Mimpi Orang Lain

Dalam pertemuannya di Amsterdam dengan Martin Keown, yang kini menjadi reporter The Daily Mail, pertengahan April ini, sebuah ucapan yang cukup menggugah emosi keluar dari mulut Dennis Bergkamp, yang mau tak mau semakin bikin nyolot kaum The Wenger's Haters. Simaklah kata sang legenda The Gunners yang patungnya berdiri megah di pekarangan Stadion Emirates tersebut.

Leicester City: Perebut Mimpi Orang Lain
Danny Drinkwater, Claudio Ranieri, dan Wes Morgan. Mimpi yang salah kamar.
"Kita sudah berada di atas United, City, dan Chelsea. Tapi tetap saja tidak bisa berada di puncak klasemen." Ucapan sederhana namun dalam, dan terasa lugu bila dicetuskan oleh orang yang tak paham dengan perjalanan Arsenal. Pendek kata, Arsene Wenger memang sudah keterlaluan! Akhirul kalam, hampir pasti audisi Premier League musim ini tinggal menyisakan The Foxes dan Spurs sebagai calon juara.

Oke, lupakan Arsenal dengan sosok utama yang selalu menjadi kendala terbesarnya untuk meraih juara itu. Mari simak sepak terjang klub yang bakal bikin super sensasi di tahun ini dalam sejarah Liga Inggris: Leicester City. Melihat komposisi klasemen sementara, Leicester cuma butuh mengumpulkan 81 poin untuk mencatatkan sejarah terindahnya sepanjang 132 tahun umurnya.

Sejak kalah 1-2 dari Arsenal di Emirates, 16 Februari, tim yang musim lalu menempati urutan 14 itu tidak pernah kalah hingga menjelang akhir April. Dari 8 laga berikutnya, mereka meraih 20 poin tambahan hasil 6 kali menang dan 2 kali seri! Tak berlebihan bila mereka sudah bisa mencium bau trofi meski malu-malu kucing mengatakannya. Empat laga sebelum mengakhiri petualangan terbaiknya di musim ini saja The Foxes sudah meraih tiket ke putaran grup Liga Champion 2016-17!

Siapa sangka, dengan gaya bermain ala klub-klub Championship (divisi satu) bahkan League One atau League Two, serta hanya diperkuat pemain kelas dua-tiga kecuali Riyad Mahrez, Leicester bisa menyeruduk puncak klasemen tak terkendali bak peserta panjat pinang yang melihat hadiah laptop di atas sana. Lebih istimewa lagi, para pemain kelas dua-tiga itu naik derajat seperti menjadi pemain kelas satu.

Leicester diperkuat deretan pemain buangan tapi berpengalaman di mana 19 klub Premier League lainnya pun rasanya ogah membelinya. Sebut saja Robert Huth, Danny Simpson, Marc Albrighton, Nathan Dyer, dan kiper tua Mark Schwarzer. Saking berisi banyak pemain yang telah mentok kemampuannya, Richie De Laet dan Paul Konchesky terpaksa harus disewakan ke klub divisi satu Championship.

Kelompok lainnya adalah pemain kelas dua yang kini tampil seperti pemain kelas satu, yang bisa disebut sebagai generasi pertama kejayaan tiada tara Foxes di musim ini. Sebut saja pemain jangkar Danny Drinkwater, bek Jeffrey Schlup, kiper utama Kasper Schmeichel, kapten Wes Morgan, serta striker Jamie Vardy. Hampir bisa dipercaya, inilah barisan tradisional yang menjadi fondasi kekuatan sesungguhnya Leicester City.

Mimpi Morgan

Faksi terakhir dari super grup racikan manajer Claudio Ranieri adalah empat pemain asingnya di diri Shinji Okazaki (Jepang), Leonardo Ulloa (Argentina), Christian Fuchs (Austria), N'Golo Kante (Prancis) dan Riyad Mahrez (Aljazair). Menariknya lagi, satu pemain yang sebenarnya berstatus first-class yakni Gokhan Inler (Swiss) selalu tidak sempat diturunkan karena saking takutnya Ranieri kehilangan arah permainan.

Pola klasik Foxes jelas beraura Italia, contro tiempo dan L'uomo contro uomo. Contro tiempo artinya mereka selalu menghitung waktu yang tepat untuk menyerang dan tahu bagaimana mesti bertahan. Sedangkan L'uomo contro uomo bermakna teknis belaka. Jangan harap pemain lawan akan mudah memasuki garis pertahanan inti mereka, atau bisa membongkar pagar berlapis yang sekilas meningatkan orang pada catenaccio.

Disebut sangat aneh atau jadi anomali luar biasa, mimpi besar Leicester sedikit lagi akan menjadi kenyataan. Mau dibilang apa, inilah sepak bola. Jangankan dunia atau kita yang terkejut, Morgan sang kapten Foxes juga mengaku heran. "Kemungkinan besar kami meraih mimpi itu, mimpi yang seharusnya bukan milik kami. Memang masih harus terus diusahakan, tapi ini sangat, sangat mungkin," kilah Morgan.

Dia mengaku merasakan keanehan luar biasa selama berkecimpung di sepak bola. Sebab 12 bulan lalu keseharian latihan mereka hanya diisi dengan bagaimana cara menghindari degradasi. Ketika kecil Morgan pernah punya impian main di kompetisi terbaik di dunia, menjadi juara dan dia yang mengangkat trofi. "Ini sangat luar biasa, kok tiba-tiba saja semuanya itu tinggal sedikit lagi terjadi."

Bayangkan apa yang akan ditulis oleh media ketika seonggok nama yang 'mustahil' merebut trofi Premier League, sanggup memutarbalikkan akal sehat orang banyak. "Saya tidak bisa membohongi perasaan, kami punya kans untuk meraihnya!" tutur pemain gempal berusia 32 tahun itu lagi. Leicester juara Premier League? Mabukkah Anda? Hah, benar? Wow, sangat luar biasa kalau begitu!

(foto: telegraph)

Share:

Penurunan Kualitas Serangan Arsenal

Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi, apapun itu termasuk soal mazhab sepak bola yang dianutnya. Dia tidak pernah takut mengungkapkan semua yang ada di benaknya tentang kehidupan, tentang permainan. Keyakinannya adalah tiada martabat tertinggi di permainan terindah itu selain tampil menyerang, menyerang, dan menyerang.
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Perhatikan kualitas yang dimiliki Arsenal pada musim ini.
Sejak itu kata Forward pun dijadikan jargon lain klub bersanding dengan Victoria Concordia Crescit. Sejarah telah menuliskan dialah penggusur gaya traktor warisan George Graham, - boring boring Arsenal - tatkala resmi memasuki pintu gerbang Highbury. Ia peletak dasar seni permainan menyerang, memodernkan klub tanpa harus menghilangkan identitas atau tradisinya.

"Tak seorang pun yang dikontrak di klub ini tanpa persetujuan saya!" inilah kalimat kedua yang diucapkan Le Professeur di hadapan para direktur dan pemilik klub yang terletak di wilayah Holloway, London Utara, pada hari Senin 30 September 1996. Ucapan ini merupakan sinyal awal dia akan membangun konsep permainan.

Titah Wenger yang pertama, ketika itu pada David Dein dan Ken Friar (wakil presiden dan direktur klub): "Sekarang saya menginginkan transfer pemain baru. Saya tidak mau buang-buang waktu berdebat soal keuangan klub dan gaji mereka. Saya akan memberi saran siapa yang kita harus pilih, pemain yang tepat untuk waktu yang tepat".

"Saya memiliki kekuatan teknis atas pemain-pemain baru tapi tidak berkecimpung dalam penyelesaian soal keuangan klub. Yang paling penting dari itu semua adalah tidak satupun pemain yang terlibat dengan Arsenal tanpa persetujuan saya. Ini hal sakral," imbuhnya tegas. Uniknya, hal ini terjadi sebelum dia dipilih resmi menjadi manajer Arsenal.

Saat mengepak koper-kopernya di Nagoya untuk siap-siap terbang ke London, Wenger telah meng-order pada Arsenal untuk segera mengamankan dan menciduk Remy Garde dan Patrick Vieira, yang ironisnya adalah dua pemain bertahan. Hanya dalam hitungan hari, Dein pun mengumumkan Arsenal telah mengontrak kedua pemain yang sama sekali tak dikenal pers Inggris itu dengan biaya 4 juta pound.

Orang bertanya-tanya, apa maksud semua ini? Bukankah Arsenal memiliki Five Companions untuk pelapis gawang David Seaman - Tony Adams, Steve Bould, Martin Keown, Lee Dixon, Nigel Winterburn - yang sangat berkilau? Betul. Walau diisi Paul Merson, Ray Parlour dan David Platt, lini tengah Arsenal kadang kala menjadi sansak di hadapan tim-kuat kuat karena tidak punya jangkar.
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Tanpa pertahanan mumpuni, konsep Arsenal Way gagal melulu.
Permainan Arsenal seperti poker. Kadang hebat, tak jarang pula loyo. Duet Dennis Bergkamp dan Ian Wright keseringan tidak mendapat suplai karena lini tengah yang gampang bolong. Efek lebih seram terjadi pada Adams, Bould, atau Keown yang kerap bergantian cedera akibat menerima tekanan bertubi-tubi. Lini tengah Arsenal tidak pernah stabil untuk konsep permainan menyerang.

Itulah kenapa Vieira didatangkan Wenger, dengan Garde menjadi pelapisnya termasuk untuk cadangan tiga bek tengah. Seperti diduga, korban pun berjatuhan. Merson dan Platt tersingkir. Ini adalah proses awal transisi permainan pragmatis warisan Graham menuju ofensif murni. Setelah enam bulan menjalani musim pertamanya, 1996/97, Wenger menjalankan bab kedua misinya.

Di bursa transfer musim dingin, Wenger kembali bikin melongo para direktur klub, juga fan, ketika mendatangkan Nicolas Anelka, 18 tahun, seorang Mike Tyson di sepak bola. Apa maksud dia memungut anak jalanan yang belum lama dibina Paris Saint-Germain itu? Dengan tubuh yang kuat tinggi dan cepat, Anelka difungsikan untuk menambah pergerakan dan rotasi di lini depan.

Sebelum era Wenger, Arsenal sebenarnya punya duet striker top pada sosok Ian Wright dan John Hartson. Wright bertipe finisher yang kelihaiannya bikin gol di dalam kotak penalti. Sedangkan Hartson difungsikan menjadi catu daya bagi Wright melalui berbagai flick-nya. Jelas terlihat gaya klasik Inggris yang menjiwai seluruh aspek serangan Arsenal.

Adapun tipikal Bergkamp adalah attacking-midfielder, playmaker, atau second-striker yang kinerjanya kerap tambal sulam dengan Merson. Selama ini tidak banyak yang melihat kelebihan Bergkamp selain Wenger. Dalam konsep sepak bola menyerang yang dibangunnya di Arsenal, satu-satunya puji syukur yang harus dipanjatkan Wenger ada di Arsenal adalah dia diwarisi Bergkamp!
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Duet penyerang Arsenal sebelum ada Thierry Henry.
Duet penyerang Arsenal lalu diisi oleh Anelka-Bergkamp. Lewat perubahan inkremental di tahun perdananya, Wenger mengakhiri musimnya dengan mencetak 62 gol, kemasukan 32 gol serta meraih 68 poin bersama Newcastle United dan Liverpool. Hanya kekalahan agregat gol saja yang membuat Arsenal berada di urutan 3 di bawah Manchester United (75 poin) dan Newcastle.

Emirates-Dein-Henry

Dari statistik terlihat jumlah kebobolan Arsenal paling sedikit di Premiership, hanya 32 gol. Namun level produktivitas gol mereka, 62 gol, kalah jauh dari Manchester United dan Newcastle yang melesakkan 76 dan 73 gol. Benang merah telah ditemukan, improvisasi penyerangan mutlak harus dilakukan pada musim berikutnya, terutama di lini sayap sebab kontribusinya rada minim.

Tersebutlah kisah bergabungnya Marc Overmars, Luis Boa Morte dan Christoper Wreh jadi laskar penyerangan di tapal batas permainan. Overmars di kiri, Boa Morte di kanan. Wenger juga menarik Emmanuel Petit dan Gilles Grimandi untuk memperkukuh sentrum permainan. Duet Vieira-Petit tercatat dalam sejarah sebagai pondasi awal perubahan formasi 3-5-2 menjadi 4-4-2.

Winterburn dan Dixon, yang mulai menua, kini bekerja ringan karena hanya lebih fokus di pertahanan sayap. Wenger juga mengurangi tembok pertahanan menjadi dua. Adams-Bould atau Adams-Keown atau Bould-Keown. Proses ini berjalan mulus karena akhirnya Wenger membawa Arsenal menjuarai liga dengan keseimbangan permainan yang lebih baik.

Mereka meraih 23 kemenangan, 9 kali seri dan hanya enam kali kalah. Produktivitas gol 68 dan kebobolan 33 gol. Kemapanan skuad 1997/98 ini mencapai puncaknya setelah sukses meraih titel Piala FA. Bayangkan, cukup dua musim Wenger telah merenggut gelar ganda di Inggris. Dia puas karena telah menemukan blue-print konsep permainan Arsenal di masa depan.

Proses ketiga masuk tahun 2000-an sudah bukan transisi lagi, tapi menuju kemapanan. Di era ini tinggal Vieira, Parlour dan Bergkamp yang memanggul roh permainan. Sementara Adams, Keown, Bould, sampai David Seaman telah berakhir masanya. Skenario Wenger sesuai rencana. Arsenal kini berada di bawah kendalinya. Pikiran dia terus menerawang jauh ke masa depan.
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Arsenal The Invincibles. Sulit diulangi dalam 100 tahun.
Masuknya Nkwanko Kanu, Fredrik Ljungberg, Davor Suker, Robert Pires, Sol Campbell, Lauren Etame Mayer, Sylvain Wiltord, Kolo Toure, Ashley Cole, Gilberto Silva, Jens Lehmann, dan tentu Thierry Henry, mengukuhkan Arsenal sebagai salah satu klub terkuat di Inggris yang mencapai puncaknya di musim 2003/04 dengan mencatatkan diri menjadi The Invincibles.

Konsep permainan menyerang yang diinginkan Wenger, The Arsenal Way, dilahirkan tidak sempurna lantaran di sisi lain, Wenger bukan lagi cuma mengkreasi skuad akan tetapi stadion. Kegagalan mendatangkan Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, sampai Didier Drogba disebabkan oleh isu kebijakan uang ketat setelah Arsenal membangun stadion Emirates pada 2004. Duet Cesc Fabregas dan Robin van Persie menjadi harapan konsep permainan Arsenal di masa depan.

Perpindahan tuas dari Vieira ke Fabregas sangat radikal sebab Wenger kembali bereksperimen untuk mengakali sumber daya yang ada sesuai terbatasnya bujet transfer. Kenapa ia berharap banyak pada mereka? Tidak lain karena Wenger membentuk keduanya sejak awal.

Namun Wenger harus membayar mahal sebab dia mesti menunda idealismenya tentang sepak bola atraktif. Publik menilai ia hanya mencari akal agar keuangan klub tidak terganggu. Di saat proses transformasi sedang berlangsung hangat, tiba-tiba bom waktu meledak di ruangan komisaris. David Dein diusir sebagai eksekutif klub oleh para pemegang saham pada 2007.

Faktor Emirates dan Dein sangat mempengaruhi kebijakan permainan Wenger, yang mulai mengenalkan pola agresif 4-3-3 sejalan dengan merekahnya Theo Walcott, Jack Wilshere, dan Aaron Ramsey. Walcott adalah warisan terakhir Dein di Arsenal. Konsentrasi Dein dianggap mulai buyar sebab dia keblinger tidak menjaring tandem Walcott di Southampton: Gareth Bale!

Bahkan kepergian Henry dan Ljungberg di 2007 dianggap sebagai dua faktor lainnya yang ikut meruntuhkan pola permainan Arsenal. Carlos Vela, Alexander Hleb, Thomas Rosicky, Emmanuel Adebayor, Nicklas Bendtner, dan Eduardo Da Silva sempat dicoba jadi andalan baru. Keenamnya bertipe menyerang. Namun di sisi lain, Arsenal tidak membeli 'bintang' untuk lini pertahanannya.
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Sanggup mengalahkan Barcelona dengan gaya menyerang.
Periode 2008-2010 merupakan era keemasan permainan ofensif sekaligus produktivitas gol The Gunners. Lewat kharismanya, Wenger masih bisa menarik Samir Nasri dan Andrey Arshavin, dari Marseille dan Zenit yang semakin menguatkan konsep The Arsenal Way. Bahkan di era inilah untuk pertama kalinya Arsenal mengalahkan Barcelona di pentas Liga Champion.

Keasyikan mengidamkan sepak bola agresif, ia mulai melupakan pentingnya pertahanan sebagai basis utama permainan menyerang. Musuh-musuh Arsenal kesenangan karena Wenger sudah tidak butuh lagi pada standar pemain seperti Vieira atau Gilberto. Walhasil di era ini, hasil menyakitkan diterima Arsenal karena berkali-kali gagal juara meski produktivitasnya luar biasa.

Pepatah Cina

Poros Fabregas-Nasri-Arshavin-Rosicky-Walcott-Van Persie sangat menakutkan lawan. Plus duet Wilshere-Ramsey sebagai suksesor. Namun jangkar elegan (dua titik terpenting dalam sepak bola) yang cuma dipanggul pemain sekelas Mathieu Flamini, Alex Song, atau Denilson, membuat mimpi-mimpi Arsenal musnah dengan cepat. Kegagalan demi kegagalan membuat pemain frustrasi. Tapi Wenger seperti tak mau tahu.

Sesudah Lehmann dan Gilberto pensiun bareng pada 2008, Arsenal telah kehilangan leader sejati yang tidak pernah ada gantinya hingga sekarang. Walau bukan yang terbaik, William Gallas sempat dipaksakan jadi penerus. Sayangnya selain sentimental dan temperamental, eks bek Chelsea ini bukan produk binaan Arsenal. Gara-gara Gallas pula, Kolo Toure jadi hengkang dengan membawa sakit hati.

Usai Gallas, giliran Fabregas yang tampil jadi pimpinan di lapangan. Orang yang memahami permainan pasti mengerti fungsi kapten sebagai sumber inspirasi dan stabilitas permainan. Dari sinilah konsentrasi serangan bisa terbangun dengan sempurna seperti halnya Vieira dulu. Terbukti pula Fabregas berat menjalaninya. Rasa frustrasi semakin memuncak.

Wenger memang menjamin posisi mereka, namun tidak pada kebutuhan mereka: titel juara. Akibatnya dalam enam musim beruntun terjadi eksodus besar-besaran. Flamini dan Hleb (2008), Adebayor dan Kolo Toure (2009), Gallas, Sol Campbell, Senderos (2010), Gael Clichy, Fabregas, Nasri, Emmanuel Eboue (2011), Van Persie dan Song (2012) hingga Arshavin dan Gervinho (2013).
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Lini tengah Arsenal selalu berkualitas.
Sekarang apa yang diandalkan Wenger agar panji sepak bola menyerang di Arsenal selalu berkibar? Apakah dia sudah bangga dengan kehebatan menu racikannya yang hanya hebat untuk melahirkan peluang demi peluang? Bagaimana cara dia menjaga Mesut Oezil, Alexis Sanchez, Santi Cazorla, atau Jack Wilshere jangan sampai frustrasi lagi?

Sungguh sepak bola mengontrol dan membuka peluang sebanyak mungkin sedang dijalani di Arsenal. Sayangnya kualitas penyerang tenah Arsenal tertinggi hanya di diri Olivier Giroud. Bukan Luis Suarez atau Edinson Cavani. Perhatikan pula di musim ini di mana Francis Coquelin didapuk jadi gelandang bertipe 'tukang angkut air' bahkan bertanggung-jawab juga pada bola-bola udara.

Konsep permainan Arsenal sekarang sebenarnya tak jauh dari sebelumnya. Ditujukan bukan menjadi juara, kecuali untuk meraih posisi empat besar. Penciptaan banyak peluang itu tandanya. Dari 10 peluang, 1-2 gol yang tercipta. Sementara di pertahanan justru kebalikannya. Lawan bisa mencetak 1-2 gol dari 4-5 kali upaya penyerangan. Kekalahan 2-3 dari Stoke City jadi contoh sahih.

Yang sudah kelotokan menonton bola pasti paham, ada sesuatu yang terlihat bagaimana sebuah tim atau seorang manajer bisa mencapai impian tertingginya. Lalu apa yang terjadi di sana? Kelemahan terbesar permainan ala Wenger mempertahankan keadaan saat skor ketat. Keunggulan bisa berbalik. Begitu juga sulit mengejar ketertinggalan skor permainan.

Pada umumnya, ketika sebuah tim tertinggal satu gol, apapun dilakukan untuk menebusnya. Entah itu tembakan jarak jauh, bahkan keberuntungan untuk mencari penalti dengan menerobos penuh resiko pada kerumunan bek lawan di kotak penalti. Seperti yang dilakukan Wayne Rooney saat menghadapi Swansea. Pola penyerangan Arsenal selalu merasa situasi dalam status ideal.

Ketika unggul, untuk beberapa saat biasanya kesebelasan cerdas lebih banyak mengontrol bola ketimbang bikin serangan baru. Secara psikologis ini menguntungkan sebab tim tertinggal pasti akan melakukan serangan balasan untuk menebus skor. Keputusan Wenger yang sering telat bahkan tidak memainkan Walcott atau Rosicky juga bikin orang geregetan.

Penonton bisa melihat hanya pada diri Walcott dan Rosicky terdapat self belief untuk mengubah keadaan. Pergerakan dan motivasi mereka lain dari yang ada. Keduanya pula yang suka melakukan tembakan jarak jauh bagaimanapun sulitnya. Statistik mengatakan rasio tembakan jarak jauh Arsenal untuk menjadi gol cukup mengkhawatirkan 19: 1,8 gol.
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Kehadiran Alexis Sanchez mengubah gaya Arsenal Way.
Sering terlihat Alexis Sanchez atau Mesut Oezil kelamaan berputar-putar menembus barisan pertahanan lawan yang mirip bus sedang parkir. Sanchez barangkali berani melanggar perintah Wenger yang mengharamkan menendang langsung ke gawang (shot on target). Tapi Oezil atau Kieran Gibbs? Perhatikan cara Aaron Ramsey, Alexis atau Rosicky mencetak gol. Kebanyakan bukan dari gaya khas Arsenal.

Ada pepatah Cina yang mengatakan "Jangan pernah mengatasi masalah dengan mata Anda, tetapi dengan semangat Anda." Ungkapan ini mungkin patut dimaknai dalam-dalam oleh Wenger. The Arsenal Way mulai hidup ketika ada Jack Wilshere. Ini satu-satunya pemain Arsenal yang punya sentuhan magis ala Maradona. Lawan sangat sulit membaca gerakan pemain yang satu ini.

Merosotnya gol Arsenal belakangan ini juga karena absennya Wilshere dan Ramsey serta belum optimalnya kontribusi Walcott yang memang jarang diberi kesempatan main sejak awal. Untuk memainkan sepak bola menyerang, dituntut kepekaan terhadap sesama rekan. Wenger harus memahami pola pikir pemainnya kepada siapa mereka lebih klik di lapangan.

Ingat-ingat bagaimana dulu Bergkamp selalu tahu kemana dan apa maunya Henry. Pires sangat paham efek dari gerakan Henry. Ljungberg yang berani mati sehingga menjadi rebounder terbaik di Inggris. Ah, sudahlah, itu masa silam. Harus diterima memang sulit di masa sekarang mencari sesuatu yang bermutu dan bermakna seperti di masa lalu.

Produktif Tanpa Hasil

Tampaknya terlalu sulit untuk tidak mengakui Arsenal sebagai salah satu kesebelasan paling agresif di Inggris juga di Eropa. Statistik di tiga musim terakhir menjadi cerminan Arsene Wenger, sebagai juru taktik, sangat mencintai permainan menyerang. Meski bukan yang terbaik, namun di Premier League rata-rata tim Merah-Putih mencetak 71 gol atau hampir dua gol di setiap laga.

Sementara untuk total gol di seluruh kompetisi, The Gunners sanggup membuat rata-rata gol di atas 100. Musim lalu dan juga sebelumnya merupakan era terbaik agresivitas Arsenal. Di 2013-14, Arsenal mencetak total 105 gol di semua ajang resmi (Liga, Piala Liga, Piala FA dan Liga Champion). Hal sama pada 2012-13 di mana torehan gol mencapai 106.

Catatan kurang menggembirakan, yang menguak kelemahan terbesar Arsenal, tak pelak lagi ada di pertahanan yang bertanggung-jawab atas rata-rata 42 gol di setiap musim Premier League (2011/12, 2012/13, 2013/14). Di ajang cups, sektor ini juga menerima rata-rata 63 gol lawan untuk semua kompetisi di tiga musim  (2011-2014).
Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Starting XI Arsenal The Invincibles 2003-04.
Sebagai bandingan, ketika menjuarai Premier League terakhir kali di 2003/04, total gol memasukkan Arsenal mencapai 124 gol di empat ajang. Namun uniknya, total gol memasukkan di pentas liga hanya 73 gol alias masih kalah sebiji gol dari pencapaian di 2011/12. Jumlah gol kemasukan bisa mencerminkan berapa banyak kekalahan.

Jika pada 2011-2014 rasio kebobolan Arsenal rata-rata 42 gol di liga, maka di musim 2003/04 mereka hanya kebobolan 26 gol! Mengapa bisa terjadi? Jawabannya, mereka tidak terkalahkan sama sekali! Namun impian publik Gooner untuk mengulangi kejayaan Invincibles 2004, mahakarya Arsenal dan Arsene Wenger, praktis sirna sejak mereka pindah markas, dari Highbury ke Emirates pada 2006.

Pasca era ini, untuk membayar hutang stadion megahnya sebesar 260 juta pound (total pembangunan 390 juta pound, dana sendiri 130 juta pound), Wenger menerapkan kebijakan baru penggunaan pemain muda yang dididik sejak di akademi sebagai improvisasi sekaligus transformasi karakter permainan Arsenal untuk masa depan. Ia lihai membongkar skuad setiap musim demi membidik produktivitas gol, namun sudah 11 musim titel liga bagi Arsenal selalu jauh dari realita. Pertanyaan sepele, apa penyebabnya? Nah jawabannya yang panjang kali lebar.


FENOMENA GOL ARSENAL DI EMPAT MUSIM


2011-12           Gol 
πŸ‘‰Premier League 74-49
πŸ‘‰Liga Champion 10-10
πŸ‘‰Piala FA                 4-4
πŸ‘‰Piala Liga         5-3
πŸ”ΊTotal         93-66

catatan menarikDihantam Manchester United 2-8. Menang atas Blackburn 7-1. Mengalahkan Chelsea 5-3 di Stamford Bridge. Menang 5-2 atas Spurs.

2012-13        Gol
πŸ‘‰Premier League 72-37
πŸ‘‰Liga Champion 13-11
πŸ‘‰Piala FA                 6-5
πŸ‘‰Piala Liga         14-7
πŸ”ΊTotal         105-60

catatan menarikMenghantam Southampton 6-1. Menang atas Spurs 5-2. Mengalahkan Newcastle 7-3. Mengalahkan West Ham 5-1. Mengalahkan Reading 5-2 di liga dan 7-5 di Piala Liga. Menang atas Coventry 6-1 di Piala Liga.

2013-14        Gol
πŸ‘‰Premier League 68-41
πŸ‘‰Liga Champion 14-8
πŸ‘‰Piala FA                 20-7
πŸ‘‰Piala Liga         4-7
πŸ”ΊTotal         106-63

catatan menarikSelama 20 pekan peringkat 1 (4-16) dan (18-24), peringkat 2 (25-27), peringkat 3 (28-29), peringkat 4 (30-38). Kalah dari Manchester City 3-6. Kalah dari Liverpool 1-5. Dihantam Chelsea 0-6. Kalah dari Everton 0-3.

2014-15           Gol
πŸ‘‰Premier League 51-29*
πŸ‘‰Liga Champion 17-11*
πŸ‘‰Piala FA                 7-2*
πŸ‘‰Piala Liga         1-2
πŸ”ΊTotal         76-42*

*hingga 1 Maret 2015

catatan menarikMenang 5-0 atas Aston Villa, Kalah 1-3 dari Monaco di Liga Champion pada babak 16 besar di Emirates. Sanggup melakukan 'ugly-win' (Crystal Palace 2-1 dan Everton 2-0).

(foto: skysports/fourfourtwo/grandoldteam)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini