Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Indonesia Pertama Di Kompetisi Eropa

Bagaimana kabar Kurniawan Dwi Yulianto yang sekarang ini bermain di FC Luzern, salah satu klub anggota divisi satu Swiss? Sejak pindah dari markas PSSI Primavera di Tavarone, Italia, 4 Januari lalu, kini secara resmi Kurniawan menjadi satu-satunya pemain Indonesia yang merumput di Liga Eropa sekaligus pesepak bola pertama Indonesia yang dibayar secara profesional di benua biru.

Indonesia Pertama Di Kompetisi Eropa

Ketika dihubungi langsung via telpon di kamar 118 Hotel Waldstaetten, Weggis, Swiss, Kurni baru saja bangun dari tidurnya. "Habis di sini dingin sekali, Mas. Jadi kalau nggak ada yang dikerjakan maunya tidur terus," akunya dengan nada riang. Ia menambahkan bahkan suhu di luar yang rata-rata -5 derajat Celcius yang membuat enggan ke mana-mana sehabis latihan. 

Akibat udara dingin ia sempat terkena pilek saat pertama kali menjejakkan kaki di negeri arloji tersebut. "Waktu itu suhu lagi gila-gilaan sampai -13 derajat. Ini jauh sekali dengan Tavarone 6-7 derajat," tambahnya. "Saya amat bersyukur bisa diterima di sini, tidak ada masalah berarti kecuali Bahasa Jerman yang elek," gurau Kurni sambil mengatakan bahwa ia sedang memandang Danau Vierwald Stetter dari kamar hotelnya.

Kehadiran Kurniawan di negeri terindah di Eropa itu ternyata mendapat sambutan yang cukup hangat dari penggemar sepak bola di Swiss umumnya dan suporter fanatik Luzern khususnya. "Jika kamu dapat bermain baik di sini, mereka akan menganggap kamu seorang pujaan. Kamu akan dibela mati-matian oleh mereka," kata Kurni mengulangi ucapan Romano Simioni, ketua klub, kepadanya.

Ya, rasa penasaran mereka terhadap pemain Asia pertama yang bermain di klub itu langsung sirna begitu Kurniawan tiba. Beberapa suporter bahkan menyambut dan mengelu-elukannya. Begitu pula beberapa media yang mengekspos lumayan besar saat ia tiba.

Telpon Pacar

Salah satunya dari surat kabar utama di kota itu Luzern Neue Nachrichten yang memberi judul pada headline halaman olah raganya: Ein Aussert Frostig Empfang fur Yulianto Kurniawan. Artinya 'Sambutan yang luar biasa dan menyegarkan bagi Kurniawan.'

Menurut kontrak yang telah ditandatangani Oktober 1994, Kurni akan bermain hingga Juni 1995 dengan gaji 2.000 franc atau sekitar 3,4 juta rupiah per bulan, ditambah bonus 1.000 franc setiap Luzern menang. Kok sedikit ya? Betul, tapi semua bisa dipahami, termasuk oleh Kurni sendiri bahwa bukan soal uangnya kecuali pengalaman dan kesempatan.

"Saya hanya ingin mencetak gol minimal bermain baik selama babak playoff yang dimulai pertengahan Februari," ungkap remaja 18 tahun kelahiran 17 Juli 1976 itu. Untuk jangka panjang, Kurni menyimpan obsesi besar yaitu ingin bermain di Sampdoria yang merupakan klub idolanya. "Saya ingin sekali bermain di Samp. Doakan ya Mas," harapnya.

Di klub barunya sendiri ia diterima dengan baik-baik oleh seluruh rekannya. Masalah bahasa tak menjadi soal karena diantara mereka paham pula dengan bahasa Italia. Malahan gara-gara bisa bahasa Italia ia langsung akrab dengan Olivier Camendzind, 22 tahun, salah satu striker Luzern.

"Setiap mau latihan Olivier selalu menjemput saya dengan mobilnya," cerita Kurniawan yang di Swiss disapa Yulianto ini. Selain itu beberapa mahasiswa Sekolah Perhotelan International Hotel Management Institute yang berada di hotel dia tempati juga menjadi teman berarti baginya.

"Ayah selama ini baru sekali menelepon ke sini," katanya. Pacar? "Ya neleponnya gantian, dua minggu sekali," tambahnya. Kurniawan banyak bertanya tentang sepak bola nasional pada saya, antara lain kondisi Liga Indonesia. "Semarak ya Mas? Soalnya di sini sempat ditayangkan cuplikannya ketika Roger Milla mencetak dua gol," tanyanya ingin tahu.

Di Luzern Kurniawan bukan satu-satunya pemain asing. Sedikitnya di sini ada empat orang, Agent Sawu (Zimbabwe, 24 tahun), Semir Tuce (Yugoslavia, 30), Rene van Eck (Belanda, 28) dan Brian Bertelsen (Denmark, 31). "Mereka juga baik dan berusaha akrab dengan saya. Yang paling sering ditanyakan adalah hal-hal waktu saya di Italia dan sepak bola di Indonesia," paparnya.

Lawan Rudi Voeller

FC Luzern merupakan salah satu klub yang cukup punya nama di Liga Swiss. Mereka adalah juara liga pada 1989 dan Piala Swiss 1962 dan 1992. Sekarang ini di klub tersebut terdapat dua pemain nasional Swiss, Thomas Wyss dan Martin Ruedal. "Mereka tidak sombong dan selalu mendukung saya di dalam dan di luar lapangan. Misalnya Wyss yang menanyakan kenapa Indonesia tak bisa hadir di Piala Dunia. Kalah dari Arab atau Korea?" cerita Kurni.

Belum sebulan di Luzern ia sudah mendapat pengalaman yang berharga ketika klubnya itu diundang turnamen di stadion tertutup di Friedrich Schasen, Kaiserslautern, 15 Januari lalu. Turnamen yang dibagi dua grup itu diikuti delapan tim. Luzern berada di Grup A bersama tuan rumah Kaiserslautern, Karlsruhe dan TSV 1860 Muenchen. Di Grup B ditempati VfB Stuttgart, Neuchatel Xamax, Nuernberg, dan Freiburg.

"Meski mainnya lima lawan lima dan waktunya 2 x 10 menit tapi penontonnya banyak," seru Kurniawan. "Saya juga bertarung antara lain dengan Andreas Brehme, Stefan Kuntz, Thomas Haessler dan Rudi Voeller."

Namun hasil yang dicapai Luzern tidak memuaskan karena kalah 1-2 dari tuan rumah, 2-6 dari Karlsruhe dan menang sekali 3-2 atas TSV. "Sayang saya belum mencetak gol tapi berkat umpan-umpan saya, Camendzind bisa mencetak gol. Pertandingan itu disiarkan ke beberapa negara Eropa," ujar Kurni lagi bangga. Menurut rencana Kurniawan akan ikut dalam tur Luzern ke Afrika, tepatnya ke Kepulauan Mauritius mulai minggu depan. Semoga saja Kurniawan menjadi duta sepak bola Indonesia yang baik. Amin.

(foto: hardimen koto)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini