Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah. Ini jelas jauh panggang dari api, alias melenceng berat dari ekspektasi. Si biang kerok pun harus dicari. Benarkah ini gara-gara ketidak-becusan si pelatih baru yang ditugaskan meneruskan kiprah Rafael Benitez? Begitu menuai hasil buruk, orang ini seketika jadi antagonis.
Untuk mengurai harapan baru berbekal start buruk Partenopei era Benitez, mau tak mau mesti membahas sosok mastermind-nya yang teranyar, karena perubahan terbesar Napoli ada di sektor pelatih. Maurizio Sarri namanya. Sebagai orang asli Napoli, keberadaan Sarri di klub yang berjuluk il Vesuvio ini mendapat dua keuntungan langsung. Pertama, sang pemilik, Aurelio De Laurentiis (ADL), tak perlu capek-capek memotivasi atau cerewet mewanti-wanti. Kedua, tifosi risih mengajari Sarri soal sikap karakter atau sikap mental khas Campania karena semua itu sudah ada dalam jiwa raganya.
Sarri, yang dilahirkan pada 10 Januari 1959, adalah anak seseorang yang sama sekali tidak punya DNA keturunan pemain bola. Ayahnya hanya buruh kasar di pabrik, miskin pula, sehingga suatu hari pada 1962 ia mesti membawa keluarganya ke Figline Valdarno, Italia tengah, demi kehidupan yang lebih baik. Meski tinggal jauh, keluarga ini merasa dekat dengan kampung halaman bila mengingat klub idola.
"Sejak lahir saya sudah Napoli, seperti halnya budaya Italia di mana orang akan membela klub kota kelahirannya sampai mati," kata Sarri seolah-olah menegakkan loyalitasnya. Dia pun terobsesi seperti kebanyakan anak lelaki Neapolitan, sebagai Surdato 'nnammurato (serdadu cinta), yang salah satu jalan terbaiknya dengan jadi bagian dari Napoli, entah itu pemain, pelatih atau pengurus klub.
Sarri memang tidak dibesarkan di Napoli, tapi soal kesetiaan jangan diragukan. Apapun soal Napoli, dia masih ingat secara mendetil hingga 50 tahunan ke belakang. "Saya adalah satu-satunya bocah di kota Figline Valdarno yang menjadi tifosi Napoli. Anak-anak lain pasti pendukung Juve, Inter, atau Milan, atau setidaknya klub lokal di daerah itu, Fiorentina," kenangnya bangga.
Lantaran babe-nya bukan pemain bola, sejak bocah sampai remaja Sarri sempat tidak pede, apalagi dapat dukungan keluarga untuk jadi pemain bola. Ayahnya ingin dia jadi pebisnis. Akan tetapi hasratnya pada calcio tak pernah padam, seolah menghantuinya setiap detik. Apa mau dikata, karier Sarri sebagai pesepak bola pun hanya kelas tarkam, kampus, atau level kantoran.
Sejak kuliah di fakultas ekonomi hingga kelulusannya, dia selalu bergelut dengan sepak bola. Ya jadi pemain, ya jadi pelatih di kampusnya. Apapun. Begitu juga waktu kerja di bank. Ia jadi 'pemain nasional' di kantornya. Di luar itu, Sarri muda lihai memanfaatkan kesempatan termasuk menyambi, bekerja paruh waktu, untuk melatih tim anak-anak dan remaja di awal tahun 1990-an.
Kecintaannya pada sepak bola terus dibuktikannya. Selama 10 tahun dia tekun menyemai bibit-bibit unggul. Terlahir ke dunia tanpa titisan ayah pemain bola justru jadi pemicu dan pemacu Sarri untuk fokus memuaskan dirinya. Lagi pula Sarri tahu diri, ini mungkin jalan terbaik baginya mengingat di satu sisi dia menjadi tiang keluarga dan harapan ayahnya.
Sarri berpindah sesuka-sukanya melatih klub-klub remaja, pokoknya yang seiring sejalan dengan penempatan di kantor cabang mana dia bekerja. Setahun di Stia, dua tahun di Faellese, dan tiga tahun di Cavriglia (1993-96). Lantas di Antella (1996-98), Valdema (1998-99), dan Tegoleto (1999-2000), klub terakhir di mana pandangan hidup Sarri akan berubah selama-lamanya.
Di luar sepak bola, masuk di usia 30 tahun-an itu kehidupan keluarga Sarri sudah amat berkecukupan. Dia sukses mengubah kuadran garis ekonomi leluhurnya. Ayahnya amat bangga punya anak lelaki yang jadi sarjana ekonomi, bekerja di bank, sering keliling Eropa pula. Tapi ini tidak lama. Nah masuk di umur kepala empat, baru kegamangan melandanya tiap hari layaknya kaum pria di umur 40-an.
Ada kebosanan kelamaan jadi bankir meski kariernya sukses. Ada tuntutan hidup, tapi di sisi lain ada pula hasrat terdalamnya. Suatu ketika dari relung hatinya keluar jawaban. Setelah berkonsultasi dengan anak-bininya, Sarri bertekad untuk resign. Rupanya ia melihat sedikit celah untuk menekuni calcio secara serius. Mulai di usia 41 tahun itu, Sarri ingin total di sepak bola.
Mister 33
Oleh sebab itu pada Juni 2000 dia mengajukan diri melatih Sansovino, satu klub di Serie Eccelenza, kasta keenam dalam hirarki sepak bola Italia. Ini cukup mengejutkan sebab Sarri tak punya CV blas sama sekali sebagai pelatih. Walaupun untuk divisi rendah, namun peraturan menjadi pelatih di Italia tetap terbilang ketat. "Jalan saya awalnya memang dibantu keberuntungan," akunya.
Namun tentu tiada hasil tanpa usaha. Rupanya ada sebuah kalimat sakti dari Sarri yang kelak akan mengubah skenario hidupnya, selain membuat klub itu penasaran atau merasa tertantang. Apa bunyi kalimat sakti itu? "Saya bilang pada mereka, saya akan langsung berhenti jadi pelatih jika tidak membawa klub itu menjadi juara Eccelenza," kata Sarri bangga mengenang aksi spekulasinya.
Sarri patut dipuji. Bukan soal Sansovino-nya, tetapi caranya agar berkecimpung resmi di blantika calcio atau namanya bisa teregistrasi di FIGC. "Akhirnya saya sadar untuk fokus dan meraih banyak akses juga agar jerih payah atau pencapaian kita bisa tercatat, maka secara ekslusif harus menjadi pelatih," ucap Sarri yang di rumah kerjaannya membaca berita bisnis dan mengutak-atik angka-angka.
Derit pintu itu kian melebarkan celah. Sansovino tak pernah memecatnya karena selama tiga musim menangani klub provinsi Arezzo itu, Sarri sanggup memanggulnya hingga naik dua kasta ke Serie C2. Pada 2003, sukses Sarri jadi buah bibir seantero Toscana. Jika Sansovino ke C2, Sarri malah ke Serie C1 setelah salah satu klubnya, Sangiovannese, mengaku kesengsem dengannya.
Karier Sarri terus menjulang. Setelah dua tahun di Serie C1, pria yang berpotongan lebih mirip pak guru ini naik pangkat lagi ke Serie B karena salah satu klub terkenal, Pescara, gantian meminangnya pada 2005. Curriculum Vitae Sarri pun terus bertambah secara signifikan. Reputasinya kian mengkilap. Mulai dari Pescara inilah Sarri tidak pernah lagi turun kasta dari Serie B.
Durasi lima tahun (2006-2011), pria paruh baya yang termasuk ahli hisap, alias perokok berat, seperti ketagihan ber-wara-wiri di kasta kedua calcio. Mulai Arezzo, Avellino, Verona, Perugia, Grosseto, Alessandria, Sorrento, sampai menclok di Empoli, Juni 2012. Kelak di klub yang cuma berjarak 26 km dengan Fiorentina ini, lamat-lamat semerbaknya nama Sarri mulai terendus.
Selama 25 tahun menjadi allenatore, atau 15 tahun terakhir secara profesional (mulai Serie C), ia dikenal orang sebagai workaholic, perfeksionis, dan preventif dalam rumusan kepelatihannya. Saat di Sansovino, demi impian masa depannya, Sarri sanggup bekerja 13 jam setiap hari. Di sini pula ia dijuluki Mister 33 sebab dia punya 33 konsep mengantisipasi situasi bola-bola mati.
"Tapi akhirnya cuma 4 atau 5 yang digunakan," jelas si pengganti Antonio Conte di Arezzo, karena dipecat, mulai 2006/07. Semusim di sini, Sarri bikin dua catatan hebat yaitu menahan Juventus - yang diperkuat Gianluigi Buffon, Alex Del Piero, dan David Trezeguet - dengan skor 2-2 di Delle Alpi sewaktu Bianconeri berkompetisi di Serie B buah hukuman atas kasus Calciopoli.
Satu lagi pencapaian terbaiknya di Arezzo tatkala mempermalukan Milan dengan kemenangan 1-0 dan 2-0 di perempatfinal Coppa Italia. Setelah hinggap ke sana ke mari selama empat tahun lebih di enam klub, pada Juni 2012 tanpa diduga Sarri menjadi manajer Empoli, klub Serie B yang lumayan punya nama. Pucuk dicinta ulam tiba. Di sinilah Sarri mendapatkan kegairahan baru.
Jika gairah bertemu tempat yang cocok, maka hasilnya bisa mengejutkan. Inilah yang dirasakan Sarri di Carlo Castellani, markas Empoli. Baru semusim, dia nyaris meloloskan Empoli ke Serie A, setelah menempati urutan empat di Serie B. Namun sayang Empoli dikalahkan Livorno dalam playoff. Pengalaman menyakitkan ini justru bermanfaat besar karena dia memperbaiki kekurangannya.
Di musim kedua, 2013/14, apa yang dicita-citakan Sarri selama puluhan tahun tercapai. Dia menjadi pelatih di Serie A! Empoli, yang menjadi runner-up Serie B, setelah enam tahun lolos lagi ke puncak piramida calcio. Ia menikmati pengalaman barunya di musim 2014/15. Tahun pertamanya di Serie A Sarri mendapat dua pelajaran mahal yang membuatnya kian yakin sepak bola itu seperti ilmu ekonomi.
Pertama, segala sesuatunya dimulai dengan kekuatan finansial, terutama untuk biaya mercato dan pengembangan infrastruktur lainnya. Kedua, tidak ada tempat untuk kesalahan yang paling kecil pun. Empoli kewalahan, kecuali potensi pemain mudanya. Sarri memandangnya sebagai investasi. Ia mengenang, "Saya selalu yakin, pemain muda bakal berkembang setelah banyak melakukan kesalahan."
Janji Napoli
Sarri memilah 38 laga menjadi beberapa bagian. Ada yang jadi prioritas, pengalaman, eksperimen atau tindakan spekulatif. Dari sini dia bisa mematok tujuan Empoli pada musim pertama di Serie A. Berapa batas poin yang aman untuk bertahan telah didapat. Tujuan itu tercapai, Empoli bertahan di Serie A meski harus diarungi dengan penuh duri dan onak untuk menempati posisi ke-15.
Namun dua kemenangan kandang, 2-1 atas Lazio, dan 4-2 atas Napoli, membuka mata banyak pengamat betapa potensialnya si pelatih Empoli. Sarri dinilai punya permainan dinamis, mengalir, dan efektif yang jadi dambaan klub-klub Serie A. Pernyataan itu dimaknai betul oleh Mister De Laurentiis, yang menonton langsung kekalahan klubnya di tangan Sarri.
Setelah tiga kemenangan beruntun demi target ke zona Liga Champion, skuad Rafa Benitez malah dibantai Empoli 2-4 di Carlo Castellani, akhir April. Bayangkan, impian Napoli ke Liga Champion justru dihambat oleh seorang putra Napoli sendiri. Bukannya sebal, entah kenapa seketika itu juga ADL malahan mencap jidat Sarri sebagai calon pelatih Napoli berikutnya!
ADL terkesima dengan cara Sarri mengatur Massimo Maccarone dan Manuel Pucciarelli mengobrak-abrik timnya yang jauh lebih berpengalaman. Bagaimana mungkin kuartet Marek Hamsik, Gokhan Inler, David Lopez, dan Walter Gargano bisa ditekuk oleh tiga gelandang Empoli sehingga di babak pertama Napoli tertinggal 0-3. Melihat timnya dipermalukan, ADL justru 'jatuh cinta' pada pelatih lawan.
Don Aurelio percaya pada Sarri karena visinya. Untuk itu dia rela membayar Sarri 1,5 juta euro setahun demi menghapus obsesinya pada Unay Emery yang kini di Sevilla. Meski demikian ADL tetap pasang target kencang. "Kita bisa kalah 5 atau 6 laga, dan keputusan saya ini tidak akan berubah," kata ADL. Maksudnya? Artinya Sarri akan dipecat jika Napoli kalah di atas enam kali. Ini klausul terselubung.
Sarri tahu ekspektasi pemilik dan pemirsa di Napoli seribu persen di atas Empoli. Maka demi keamanan bersama, ADL dan Sarri sepakat bekerjasama semusim dulu dengan opsi perpanjangan jika Napoli lolos ke Liga Champion. Tapi posisi tawar Sarri pada ADL rada bagus sebab dia diizinkan menggamit Mirko Valdifiori dan Elseid Hysaj, dua pemain kesayangannya di Empoli.
Di Napoli Sarri langsung dapat pelajaran berharga dari aspek psikologis melihat kiprah Valdifiori dan Hysaj yang malah melempem. Sulit dipungkiri, Sarri telah mengatasnamakan perasaan mereka seperti dirinya. Tensi bermain di Napoli jauh berbeda. Apalagi Valdifiori merasa, kedatangannya memakan korban dengan dijualnya Inler, salah satu idola tifosi, ke Leicester City.
Valdifiori, dibeli 6,5 juta euro, sebenarnya pemain bagus yang bertugas sebagai jangkar atau kopling di lini tengah. Maret lalu dia bahkan memulai debut di tim nasional. Namun tubuhnya yang kecil (176 cm) serta usia yang mulai senja (29 tahun) sering jadi kendalanya dalam berkolaborasi dengan Lorenzo Insigne (Italia), Dries Mertens (Belgia) atau Jose Callejon (Spanyol) yang dikenal amat eksplosif.
Penekanan pada tempo tinggi, mengalir, dan bernaluri menyerang selalu jadi obsesi Sarri sejak di Empoli. Namun ironisnya di Napoli hal ini baru jalan begitu Marek Hamsik yang melakoni peran regista, sang konduktor. Kecepatan passing dan pergerakan jadi kelemahan Valdifiori. Jorginho atau David Lopez dan Allan Loureiro tampaknya lebih klop dan sepadan dengan Hamsik.
Perekrutan Valdifiori disesali. Yang digaet harusnya Riccardo Saponara, rekan dia di Empoli, atau Roberto Soriano (Sampdoria). Kesalahan awal Sarri berikutnya ada di pertahanan. Ia seperti bingung untuk menentukan siapa yang menjadi tandem Raul Albiol, Kalidou Koulibaly atau Vlad Chiriches. Juga soal mendahulukan Hysaj dibanding Faouzi Ghoulam sebagai bek kiri.
Kalau di Napoli ia suka bereksperimen, itu karena falsafah permainan yang cenderung ingin sempurna seperti sedang menganalisis harga saham. Prinsip calcio terkadang mirip dengan akuntansi di mana keseimbangan jadi prioritas utama. Sarri teliti bin detil soal mengantisipasi lawan demi lawan karena terbiasa jadi analis bank. Laptop-nya berisi statistik lengkap dan daftar SWOT seluruh pesaingnya.
Ditentang Maradona
Mengidentifikasi pola-pola kelemahan lawan menjadi obsesinya. Menurutnya itu adalah cara termudah untuk memenangi persaingan. Awalnya Sarri mengidolai skema populer 4-2-3-1, yang dipahami dengan baik oleh anak-anak Napoli dua tahun terakhir karena Rafael Benitez juga memakainya. Namun satu penemuan di Empoli mengubah segalanya. Kini dia fanatik dengan pola 4-3-1-2 atau 4-3-3.
Cetakan inilah yang sekarang digunakan Napoli. Artinya dalam 6 tahun terakhir saja para pemain Napoli telah tiga kali ganti pola. Formasi 3-5-2 (Walter Mazzarri), 4-2-3-1 (Benitez), dan 4-3-3 (Sarri). Alasan Sarri memakai 4-3-3 karena dia percaya inilah pola yang terbaik untuk mengontrol permainan serta mengorganisasi garis pertahanan yang selalu menjadi fokus perhatiannya.
"Gayanya berbeda dengan Benitez. Benitez memakai mentalitas Inggris dengan memakai ketenangan menghadapi berbagai situasi. Tapi Sarri selalu mengharapkan peran maksimal di setiap situasi dan memanfaatkan kesempatan sekecil apapun," kata bek kanan Christian Maggio (33), salah satu veteran yang bermain di tiga rezim selain Hamsik, Insigne dan Juan Zuniga.
Sarri sadar reputasinya bakal meroket begitu menangani Napoli. Oleh sebab itu dia punya cara untuk memanfaatkannya. Pers di Italia kembali menyorot kiprahnya seusai Napoli bikin 10 gol tanpa bobol hanya dalam waktu tiga hari. Melumat Brugge 5-0 di Liga Europa, lalu menelan Lazio 5-0 di pekan keempat Serie A, pertengahan September, yang membuat malu Diego Maradona.
"Sarri adalah Sacchi baru," begitu salah satunya, untuk menggambarkan metode permainannya enerjiknya yang menggairahkan, persis seperti debut Arrigo Sacchi di Milan akhir 1980-an. Sebelum dua kemenangan itu, Sarri bagai 'babak belur' dihajar ucapan pedas. Salah satunya justru dari Maradona, sang mahadewa Napoli, yang sebelumnya murka melihat Napoli ditahan Empoli 2-2.
Sebelum mukanya merah Maradona berujar: "Kondisi Napoli mengingatkan musim pertama saya, berjuang untuk keluar dari degradasi. Sekarang terulang lagi. Saya tak melihat sedikitpun ada aura menang di wajah Sarri. Napoli bikin kesalahan fatal mengganti Benitez." Kritik ini sulit ditanggapi karena selain ada faktanya yang ngomong juga dewa. Tapi buat Sarri jauh lebih sulit lagi bila didiamkan.
"El Diego adalah idola Napoli selamanya. Saya harap dia akan mengubah opininya di bulan-bulan ke depan. Buat saya, dia kenal nama saya saja saya merasa tersanjung," kata Sarri bernada agak polos kalau tidak disebut jujur dan rendah hati. "Empat bulan lalu Napoli kebobolan empat gol dan kalah, sekarang cuma dua gol dan seri. Buat saya, ini langkah maju," jawab Sarri yang tampak terbiasa menyeimbangkan situasi seperti seorang ekonom.
Opini Maradona beda 180 derajat dengan Giovanni Trapattoni. Manajer veteran ini mengaku mengikuti kiprah Sarri. "Benitez memang lebih populer, tapi Sarri paling cocok untuk Napoli. Kenapa? Karena dia bisa bekerja dengan situasi penuh konflik tanpa harus kehilangan kualitas permainan dan sanggup meraih hasil," kata Il Trap, si gaek yang telah berusia 74 tahun.
Dukungan lain juga datang dari Claudio Prandelli, yang selalu mengagumi Napoli. "Napoli harus paham bahwa perubahan tidak selamanya menyakitkan. Ada metode baru, sistem baru dan ide-ide baru. Sarri butuh waktu, sesederhana itu. Saat dipilih ia bilang jangan terburu-buru dengan saya. Sabarlah. Awas kritik negatif bisa menjadi bumerang," pesan mantan pelatih tim nasional.
Atas prahara bulan pertamanya di Napoli, Sarri tak pernah menanggapi serius saking fokusnya dengan besok dan besok. "Saya ini kan pelatih proyek. Pemain Napoli mudah panik, itu yang bikin jadi sulit fokus untuk mendominasi permainan. Mengubah sistem bisa cepat, tapi mengubah ide jauh lebih sulit," ucap Sarri yang di Empoli sukses mengkreasi 16 dari 56 total golnya dari bola-bola mati.
"Siapapun yang menyewa saya, beginilah karakteristik asli saya," lanjutnya lagi. Ditanya wartawan apakah ia tidak marah sewaktu melatih Empoli hanya dibayar 300 ribu euro setahun, gaji pelatih terkecil di Serie A, dia menjawab, "Kok marah? Anda ini bagaimana, saya itu beruntung sekali. Mereka membayar saya untuk sesuatu yang bebas saya lakukan setelah bekerja."
Hidup Tidak Bebas
Inilah drama pertama untuk Maurizio Sarri. Sesuai tradisi calcio: faksi-faksi tifosi pun secara bergiliran menyambangi markas latihan Castel Vortuno setiap pagi dalam beberapa hari untuk mengomel sepuasnya atas kekacauan start Napoli. Melihat rombongan itu para pemain cuek saja, paling cuma waswas. Perasaan mengatakan harusnya malah berterima kasih, sebab pertanda mereka masih dicintai, diawasi dan dipedulikan. "Suara mereka adalah bahan bakar permainan Napoli," kata kapten Marek Hamsik. "Kami mendengarnya tanpa syarat."
Aktivitas rutin: tiba di parkiran mobil, pemanasan, gelar strategi, berlatih, mandi lalu ke parkiran lagi untuk pulang ke rumah, terpaksa ditambah modulnya: bertatap muka dengan tifosi. Begitulah cara orang-orang Pompeii modern itu mengelola San Napoli dan San Paolo, yang disimbolkan oleh dua ikon: kapten dan pelatih.
Keduanya inilah yang biasanya dicecar tifosi dengan pertanyaan bernada vibrato dan legato, yang ditabukan para jurnalista. Walau bikin suasana jadi tegang, namun melihat kejujuran aspirasi mereka itu, haram hukumnya bagi klub di Italia termasuk Napoli untuk tidak menggubrisnya. Serie A adalah harga diri sekaligus identitas.
Mereka pantas resah karena melihat dengan mata kepala sendiri proses hilangnya 7 poin di tiga giornata pertama yang terbilang tak wajar. Ini belum lawan tim kelas kakap. Sejak kalah 1-2 dari Sassuolo, lalu imbang 2-2 dengan Sampdoria dan Empoli, Napoli langsung didera krisis. Padahal belum.
Napoli baru krisis saat tifosi San Paolo apatis. Sarri mengaku pantas disalahkan soal hasil buruk Napoli. Namun dia merasa tidak pantas disalahkan soal mercato. Misalnya kegagalan transfer Roberto Soriano (Sampdoria) dan masuknya teenager berusia 20 tahun bernama Nathaniel Chalobah (Chelsea).
"Saya tidak mau menjawab pertanyaan kalian karena saya tidak tahu apa-apa soal (kedatangan) Chalobah. Tapi jika klub sudah memilihnya, maka seharusnya dia punya kualitas. Tugas saya cuma melatih siapa (pemain) pun yang dimasukan ke folder saya," begitu Sarri beralasan. Memang jangan salahkan dia.
Kembalikan sang waktu ke tanggal 11 Juni 2015 ketika nama Maurizio Sarri tiba-tiba muncul mengejutkan setelah ditahbiskan sebagai manajer baru. Tidak ada isu yang menggema, kasak-kusuk, atau spekulasi berlebihan sebelumnya; baik dari analisis pengamat, investigasi pers maupun dari bibir masyarakat Campania.
Jangan lagi dunia, warga Napoli yang setiap hari dapat mencium atau merasakan denyut nadi Azzurri Brigade saja merasa kecolongan dan terkejut. Dengan rekor tak mengesankan - 37% menang, 34% seri, 29% kalah untuk 25 tahun kariernya di 18 klub beraneka ragam - sosok Sarri pantas menjadi trending topic di seantero kota.
Hikmah terbaik untuk Sarri adalah ketika dia merasa lagi 'ditempa' sebagai calon panglima cinta di Napoli. Sebenarnya banyak pihak yang mengharapkan Sarri sukses melihat fakta primordial. Setelah Vincenzo Montefusco, 17 tahun silam, inilah pertama kali lagi Napoli punya pelatih yang asli putra daerah.
Target besar yang ditaruh di pundak Sarri adalah meloloskan Napoli ke Liga Champion 2016/17. Bagaimana dengan scudetto? Jika uang Anda cuma cukup untuk nonton tapi kemudian dapat kenalan cewek yang akhirnya menjadi pacar Anda, itu namanya karunia. Begitu kira-kira kans scudetto di mata Napoli.
Mengisi pos Benitez sontak mempercepat adrenalin pria 56 tahun itu. Ada rasa hormat dan bangga yang menumpuk di hatinya. Setelah melatih Napoli, hidup Sarri tidak bebas lagi. Setiap gerak-geriknya jadi atensi dan buah bibir warga di pasar, di warung kopi, di teras rumah, atau ruang rapat di kantor. Tidak bisa dihindari.
(foto: sports.yahoo/api.nuzzel/vesuviolive/gazzettaworld/napolimagazine/newstalk)
Memandang Teluk Napoli yang terkenal indah dengan latar belakang Gunung Vesuvius. |
Sarri, yang dilahirkan pada 10 Januari 1959, adalah anak seseorang yang sama sekali tidak punya DNA keturunan pemain bola. Ayahnya hanya buruh kasar di pabrik, miskin pula, sehingga suatu hari pada 1962 ia mesti membawa keluarganya ke Figline Valdarno, Italia tengah, demi kehidupan yang lebih baik. Meski tinggal jauh, keluarga ini merasa dekat dengan kampung halaman bila mengingat klub idola.
"Sejak lahir saya sudah Napoli, seperti halnya budaya Italia di mana orang akan membela klub kota kelahirannya sampai mati," kata Sarri seolah-olah menegakkan loyalitasnya. Dia pun terobsesi seperti kebanyakan anak lelaki Neapolitan, sebagai Surdato 'nnammurato (serdadu cinta), yang salah satu jalan terbaiknya dengan jadi bagian dari Napoli, entah itu pemain, pelatih atau pengurus klub.
Sarri memang tidak dibesarkan di Napoli, tapi soal kesetiaan jangan diragukan. Apapun soal Napoli, dia masih ingat secara mendetil hingga 50 tahunan ke belakang. "Saya adalah satu-satunya bocah di kota Figline Valdarno yang menjadi tifosi Napoli. Anak-anak lain pasti pendukung Juve, Inter, atau Milan, atau setidaknya klub lokal di daerah itu, Fiorentina," kenangnya bangga.
Lantaran babe-nya bukan pemain bola, sejak bocah sampai remaja Sarri sempat tidak pede, apalagi dapat dukungan keluarga untuk jadi pemain bola. Ayahnya ingin dia jadi pebisnis. Akan tetapi hasratnya pada calcio tak pernah padam, seolah menghantuinya setiap detik. Apa mau dikata, karier Sarri sebagai pesepak bola pun hanya kelas tarkam, kampus, atau level kantoran.
Sejak kuliah di fakultas ekonomi hingga kelulusannya, dia selalu bergelut dengan sepak bola. Ya jadi pemain, ya jadi pelatih di kampusnya. Apapun. Begitu juga waktu kerja di bank. Ia jadi 'pemain nasional' di kantornya. Di luar itu, Sarri muda lihai memanfaatkan kesempatan termasuk menyambi, bekerja paruh waktu, untuk melatih tim anak-anak dan remaja di awal tahun 1990-an.
Kecintaannya pada sepak bola terus dibuktikannya. Selama 10 tahun dia tekun menyemai bibit-bibit unggul. Terlahir ke dunia tanpa titisan ayah pemain bola justru jadi pemicu dan pemacu Sarri untuk fokus memuaskan dirinya. Lagi pula Sarri tahu diri, ini mungkin jalan terbaik baginya mengingat di satu sisi dia menjadi tiang keluarga dan harapan ayahnya.
Sarri berpindah sesuka-sukanya melatih klub-klub remaja, pokoknya yang seiring sejalan dengan penempatan di kantor cabang mana dia bekerja. Setahun di Stia, dua tahun di Faellese, dan tiga tahun di Cavriglia (1993-96). Lantas di Antella (1996-98), Valdema (1998-99), dan Tegoleto (1999-2000), klub terakhir di mana pandangan hidup Sarri akan berubah selama-lamanya.
Di luar sepak bola, masuk di usia 30 tahun-an itu kehidupan keluarga Sarri sudah amat berkecukupan. Dia sukses mengubah kuadran garis ekonomi leluhurnya. Ayahnya amat bangga punya anak lelaki yang jadi sarjana ekonomi, bekerja di bank, sering keliling Eropa pula. Tapi ini tidak lama. Nah masuk di umur kepala empat, baru kegamangan melandanya tiap hari layaknya kaum pria di umur 40-an.
Karena bosan, banting stir tidak tanggung-tanggung. |
Mister 33
Oleh sebab itu pada Juni 2000 dia mengajukan diri melatih Sansovino, satu klub di Serie Eccelenza, kasta keenam dalam hirarki sepak bola Italia. Ini cukup mengejutkan sebab Sarri tak punya CV blas sama sekali sebagai pelatih. Walaupun untuk divisi rendah, namun peraturan menjadi pelatih di Italia tetap terbilang ketat. "Jalan saya awalnya memang dibantu keberuntungan," akunya.
Namun tentu tiada hasil tanpa usaha. Rupanya ada sebuah kalimat sakti dari Sarri yang kelak akan mengubah skenario hidupnya, selain membuat klub itu penasaran atau merasa tertantang. Apa bunyi kalimat sakti itu? "Saya bilang pada mereka, saya akan langsung berhenti jadi pelatih jika tidak membawa klub itu menjadi juara Eccelenza," kata Sarri bangga mengenang aksi spekulasinya.
Sarri patut dipuji. Bukan soal Sansovino-nya, tetapi caranya agar berkecimpung resmi di blantika calcio atau namanya bisa teregistrasi di FIGC. "Akhirnya saya sadar untuk fokus dan meraih banyak akses juga agar jerih payah atau pencapaian kita bisa tercatat, maka secara ekslusif harus menjadi pelatih," ucap Sarri yang di rumah kerjaannya membaca berita bisnis dan mengutak-atik angka-angka.
Derit pintu itu kian melebarkan celah. Sansovino tak pernah memecatnya karena selama tiga musim menangani klub provinsi Arezzo itu, Sarri sanggup memanggulnya hingga naik dua kasta ke Serie C2. Pada 2003, sukses Sarri jadi buah bibir seantero Toscana. Jika Sansovino ke C2, Sarri malah ke Serie C1 setelah salah satu klubnya, Sangiovannese, mengaku kesengsem dengannya.
Karier Sarri terus menjulang. Setelah dua tahun di Serie C1, pria yang berpotongan lebih mirip pak guru ini naik pangkat lagi ke Serie B karena salah satu klub terkenal, Pescara, gantian meminangnya pada 2005. Curriculum Vitae Sarri pun terus bertambah secara signifikan. Reputasinya kian mengkilap. Mulai dari Pescara inilah Sarri tidak pernah lagi turun kasta dari Serie B.
Durasi lima tahun (2006-2011), pria paruh baya yang termasuk ahli hisap, alias perokok berat, seperti ketagihan ber-wara-wiri di kasta kedua calcio. Mulai Arezzo, Avellino, Verona, Perugia, Grosseto, Alessandria, Sorrento, sampai menclok di Empoli, Juni 2012. Kelak di klub yang cuma berjarak 26 km dengan Fiorentina ini, lamat-lamat semerbaknya nama Sarri mulai terendus.
Selama 25 tahun menjadi allenatore, atau 15 tahun terakhir secara profesional (mulai Serie C), ia dikenal orang sebagai workaholic, perfeksionis, dan preventif dalam rumusan kepelatihannya. Saat di Sansovino, demi impian masa depannya, Sarri sanggup bekerja 13 jam setiap hari. Di sini pula ia dijuluki Mister 33 sebab dia punya 33 konsep mengantisipasi situasi bola-bola mati.
"Tapi akhirnya cuma 4 atau 5 yang digunakan," jelas si pengganti Antonio Conte di Arezzo, karena dipecat, mulai 2006/07. Semusim di sini, Sarri bikin dua catatan hebat yaitu menahan Juventus - yang diperkuat Gianluigi Buffon, Alex Del Piero, dan David Trezeguet - dengan skor 2-2 di Delle Alpi sewaktu Bianconeri berkompetisi di Serie B buah hukuman atas kasus Calciopoli.
Satu lagi pencapaian terbaiknya di Arezzo tatkala mempermalukan Milan dengan kemenangan 1-0 dan 2-0 di perempatfinal Coppa Italia. Setelah hinggap ke sana ke mari selama empat tahun lebih di enam klub, pada Juni 2012 tanpa diduga Sarri menjadi manajer Empoli, klub Serie B yang lumayan punya nama. Pucuk dicinta ulam tiba. Di sinilah Sarri mendapatkan kegairahan baru.
Sesama putra asli Napoli. Aurelio De Laurentiis dan Maurizio Sarri. |
Di musim kedua, 2013/14, apa yang dicita-citakan Sarri selama puluhan tahun tercapai. Dia menjadi pelatih di Serie A! Empoli, yang menjadi runner-up Serie B, setelah enam tahun lolos lagi ke puncak piramida calcio. Ia menikmati pengalaman barunya di musim 2014/15. Tahun pertamanya di Serie A Sarri mendapat dua pelajaran mahal yang membuatnya kian yakin sepak bola itu seperti ilmu ekonomi.
Pertama, segala sesuatunya dimulai dengan kekuatan finansial, terutama untuk biaya mercato dan pengembangan infrastruktur lainnya. Kedua, tidak ada tempat untuk kesalahan yang paling kecil pun. Empoli kewalahan, kecuali potensi pemain mudanya. Sarri memandangnya sebagai investasi. Ia mengenang, "Saya selalu yakin, pemain muda bakal berkembang setelah banyak melakukan kesalahan."
Janji Napoli
Sarri memilah 38 laga menjadi beberapa bagian. Ada yang jadi prioritas, pengalaman, eksperimen atau tindakan spekulatif. Dari sini dia bisa mematok tujuan Empoli pada musim pertama di Serie A. Berapa batas poin yang aman untuk bertahan telah didapat. Tujuan itu tercapai, Empoli bertahan di Serie A meski harus diarungi dengan penuh duri dan onak untuk menempati posisi ke-15.
Namun dua kemenangan kandang, 2-1 atas Lazio, dan 4-2 atas Napoli, membuka mata banyak pengamat betapa potensialnya si pelatih Empoli. Sarri dinilai punya permainan dinamis, mengalir, dan efektif yang jadi dambaan klub-klub Serie A. Pernyataan itu dimaknai betul oleh Mister De Laurentiis, yang menonton langsung kekalahan klubnya di tangan Sarri.
Setelah tiga kemenangan beruntun demi target ke zona Liga Champion, skuad Rafa Benitez malah dibantai Empoli 2-4 di Carlo Castellani, akhir April. Bayangkan, impian Napoli ke Liga Champion justru dihambat oleh seorang putra Napoli sendiri. Bukannya sebal, entah kenapa seketika itu juga ADL malahan mencap jidat Sarri sebagai calon pelatih Napoli berikutnya!
ADL terkesima dengan cara Sarri mengatur Massimo Maccarone dan Manuel Pucciarelli mengobrak-abrik timnya yang jauh lebih berpengalaman. Bagaimana mungkin kuartet Marek Hamsik, Gokhan Inler, David Lopez, dan Walter Gargano bisa ditekuk oleh tiga gelandang Empoli sehingga di babak pertama Napoli tertinggal 0-3. Melihat timnya dipermalukan, ADL justru 'jatuh cinta' pada pelatih lawan.
Punya banyak konsep dan detil di sepak bola. |
Sarri tahu ekspektasi pemilik dan pemirsa di Napoli seribu persen di atas Empoli. Maka demi keamanan bersama, ADL dan Sarri sepakat bekerjasama semusim dulu dengan opsi perpanjangan jika Napoli lolos ke Liga Champion. Tapi posisi tawar Sarri pada ADL rada bagus sebab dia diizinkan menggamit Mirko Valdifiori dan Elseid Hysaj, dua pemain kesayangannya di Empoli.
Di Napoli Sarri langsung dapat pelajaran berharga dari aspek psikologis melihat kiprah Valdifiori dan Hysaj yang malah melempem. Sulit dipungkiri, Sarri telah mengatasnamakan perasaan mereka seperti dirinya. Tensi bermain di Napoli jauh berbeda. Apalagi Valdifiori merasa, kedatangannya memakan korban dengan dijualnya Inler, salah satu idola tifosi, ke Leicester City.
Valdifiori, dibeli 6,5 juta euro, sebenarnya pemain bagus yang bertugas sebagai jangkar atau kopling di lini tengah. Maret lalu dia bahkan memulai debut di tim nasional. Namun tubuhnya yang kecil (176 cm) serta usia yang mulai senja (29 tahun) sering jadi kendalanya dalam berkolaborasi dengan Lorenzo Insigne (Italia), Dries Mertens (Belgia) atau Jose Callejon (Spanyol) yang dikenal amat eksplosif.
Penekanan pada tempo tinggi, mengalir, dan bernaluri menyerang selalu jadi obsesi Sarri sejak di Empoli. Namun ironisnya di Napoli hal ini baru jalan begitu Marek Hamsik yang melakoni peran regista, sang konduktor. Kecepatan passing dan pergerakan jadi kelemahan Valdifiori. Jorginho atau David Lopez dan Allan Loureiro tampaknya lebih klop dan sepadan dengan Hamsik.
Perekrutan Valdifiori disesali. Yang digaet harusnya Riccardo Saponara, rekan dia di Empoli, atau Roberto Soriano (Sampdoria). Kesalahan awal Sarri berikutnya ada di pertahanan. Ia seperti bingung untuk menentukan siapa yang menjadi tandem Raul Albiol, Kalidou Koulibaly atau Vlad Chiriches. Juga soal mendahulukan Hysaj dibanding Faouzi Ghoulam sebagai bek kiri.
Kalau di Napoli ia suka bereksperimen, itu karena falsafah permainan yang cenderung ingin sempurna seperti sedang menganalisis harga saham. Prinsip calcio terkadang mirip dengan akuntansi di mana keseimbangan jadi prioritas utama. Sarri teliti bin detil soal mengantisipasi lawan demi lawan karena terbiasa jadi analis bank. Laptop-nya berisi statistik lengkap dan daftar SWOT seluruh pesaingnya.
Ditentang Maradona
Mengidentifikasi pola-pola kelemahan lawan menjadi obsesinya. Menurutnya itu adalah cara termudah untuk memenangi persaingan. Awalnya Sarri mengidolai skema populer 4-2-3-1, yang dipahami dengan baik oleh anak-anak Napoli dua tahun terakhir karena Rafael Benitez juga memakainya. Namun satu penemuan di Empoli mengubah segalanya. Kini dia fanatik dengan pola 4-3-1-2 atau 4-3-3.
Cetakan inilah yang sekarang digunakan Napoli. Artinya dalam 6 tahun terakhir saja para pemain Napoli telah tiga kali ganti pola. Formasi 3-5-2 (Walter Mazzarri), 4-2-3-1 (Benitez), dan 4-3-3 (Sarri). Alasan Sarri memakai 4-3-3 karena dia percaya inilah pola yang terbaik untuk mengontrol permainan serta mengorganisasi garis pertahanan yang selalu menjadi fokus perhatiannya.
"Gayanya berbeda dengan Benitez. Benitez memakai mentalitas Inggris dengan memakai ketenangan menghadapi berbagai situasi. Tapi Sarri selalu mengharapkan peran maksimal di setiap situasi dan memanfaatkan kesempatan sekecil apapun," kata bek kanan Christian Maggio (33), salah satu veteran yang bermain di tiga rezim selain Hamsik, Insigne dan Juan Zuniga.
Sarri sadar reputasinya bakal meroket begitu menangani Napoli. Oleh sebab itu dia punya cara untuk memanfaatkannya. Pers di Italia kembali menyorot kiprahnya seusai Napoli bikin 10 gol tanpa bobol hanya dalam waktu tiga hari. Melumat Brugge 5-0 di Liga Europa, lalu menelan Lazio 5-0 di pekan keempat Serie A, pertengahan September, yang membuat malu Diego Maradona.
"Sarri adalah Sacchi baru," begitu salah satunya, untuk menggambarkan metode permainannya enerjiknya yang menggairahkan, persis seperti debut Arrigo Sacchi di Milan akhir 1980-an. Sebelum dua kemenangan itu, Sarri bagai 'babak belur' dihajar ucapan pedas. Salah satunya justru dari Maradona, sang mahadewa Napoli, yang sebelumnya murka melihat Napoli ditahan Empoli 2-2.
Sebelum mukanya merah Maradona berujar: "Kondisi Napoli mengingatkan musim pertama saya, berjuang untuk keluar dari degradasi. Sekarang terulang lagi. Saya tak melihat sedikitpun ada aura menang di wajah Sarri. Napoli bikin kesalahan fatal mengganti Benitez." Kritik ini sulit ditanggapi karena selain ada faktanya yang ngomong juga dewa. Tapi buat Sarri jauh lebih sulit lagi bila didiamkan.
Pemandangan yang sulit diubah Maurzio Sarri sampaim kapanpun. |
Opini Maradona beda 180 derajat dengan Giovanni Trapattoni. Manajer veteran ini mengaku mengikuti kiprah Sarri. "Benitez memang lebih populer, tapi Sarri paling cocok untuk Napoli. Kenapa? Karena dia bisa bekerja dengan situasi penuh konflik tanpa harus kehilangan kualitas permainan dan sanggup meraih hasil," kata Il Trap, si gaek yang telah berusia 74 tahun.
Dukungan lain juga datang dari Claudio Prandelli, yang selalu mengagumi Napoli. "Napoli harus paham bahwa perubahan tidak selamanya menyakitkan. Ada metode baru, sistem baru dan ide-ide baru. Sarri butuh waktu, sesederhana itu. Saat dipilih ia bilang jangan terburu-buru dengan saya. Sabarlah. Awas kritik negatif bisa menjadi bumerang," pesan mantan pelatih tim nasional.
Atas prahara bulan pertamanya di Napoli, Sarri tak pernah menanggapi serius saking fokusnya dengan besok dan besok. "Saya ini kan pelatih proyek. Pemain Napoli mudah panik, itu yang bikin jadi sulit fokus untuk mendominasi permainan. Mengubah sistem bisa cepat, tapi mengubah ide jauh lebih sulit," ucap Sarri yang di Empoli sukses mengkreasi 16 dari 56 total golnya dari bola-bola mati.
"Siapapun yang menyewa saya, beginilah karakteristik asli saya," lanjutnya lagi. Ditanya wartawan apakah ia tidak marah sewaktu melatih Empoli hanya dibayar 300 ribu euro setahun, gaji pelatih terkecil di Serie A, dia menjawab, "Kok marah? Anda ini bagaimana, saya itu beruntung sekali. Mereka membayar saya untuk sesuatu yang bebas saya lakukan setelah bekerja."
Hidup Tidak Bebas
Inilah drama pertama untuk Maurizio Sarri. Sesuai tradisi calcio: faksi-faksi tifosi pun secara bergiliran menyambangi markas latihan Castel Vortuno setiap pagi dalam beberapa hari untuk mengomel sepuasnya atas kekacauan start Napoli. Melihat rombongan itu para pemain cuek saja, paling cuma waswas. Perasaan mengatakan harusnya malah berterima kasih, sebab pertanda mereka masih dicintai, diawasi dan dipedulikan. "Suara mereka adalah bahan bakar permainan Napoli," kata kapten Marek Hamsik. "Kami mendengarnya tanpa syarat."
Aktivitas rutin: tiba di parkiran mobil, pemanasan, gelar strategi, berlatih, mandi lalu ke parkiran lagi untuk pulang ke rumah, terpaksa ditambah modulnya: bertatap muka dengan tifosi. Begitulah cara orang-orang Pompeii modern itu mengelola San Napoli dan San Paolo, yang disimbolkan oleh dua ikon: kapten dan pelatih.
Keduanya inilah yang biasanya dicecar tifosi dengan pertanyaan bernada vibrato dan legato, yang ditabukan para jurnalista. Walau bikin suasana jadi tegang, namun melihat kejujuran aspirasi mereka itu, haram hukumnya bagi klub di Italia termasuk Napoli untuk tidak menggubrisnya. Serie A adalah harga diri sekaligus identitas.
Punya strategi hebat dan corak keindahan dalam permainan. |
Napoli baru krisis saat tifosi San Paolo apatis. Sarri mengaku pantas disalahkan soal hasil buruk Napoli. Namun dia merasa tidak pantas disalahkan soal mercato. Misalnya kegagalan transfer Roberto Soriano (Sampdoria) dan masuknya teenager berusia 20 tahun bernama Nathaniel Chalobah (Chelsea).
"Saya tidak mau menjawab pertanyaan kalian karena saya tidak tahu apa-apa soal (kedatangan) Chalobah. Tapi jika klub sudah memilihnya, maka seharusnya dia punya kualitas. Tugas saya cuma melatih siapa (pemain) pun yang dimasukan ke folder saya," begitu Sarri beralasan. Memang jangan salahkan dia.
Kembalikan sang waktu ke tanggal 11 Juni 2015 ketika nama Maurizio Sarri tiba-tiba muncul mengejutkan setelah ditahbiskan sebagai manajer baru. Tidak ada isu yang menggema, kasak-kusuk, atau spekulasi berlebihan sebelumnya; baik dari analisis pengamat, investigasi pers maupun dari bibir masyarakat Campania.
Jangan lagi dunia, warga Napoli yang setiap hari dapat mencium atau merasakan denyut nadi Azzurri Brigade saja merasa kecolongan dan terkejut. Dengan rekor tak mengesankan - 37% menang, 34% seri, 29% kalah untuk 25 tahun kariernya di 18 klub beraneka ragam - sosok Sarri pantas menjadi trending topic di seantero kota.
Hikmah terbaik untuk Sarri adalah ketika dia merasa lagi 'ditempa' sebagai calon panglima cinta di Napoli. Sebenarnya banyak pihak yang mengharapkan Sarri sukses melihat fakta primordial. Setelah Vincenzo Montefusco, 17 tahun silam, inilah pertama kali lagi Napoli punya pelatih yang asli putra daerah.
Target besar yang ditaruh di pundak Sarri adalah meloloskan Napoli ke Liga Champion 2016/17. Bagaimana dengan scudetto? Jika uang Anda cuma cukup untuk nonton tapi kemudian dapat kenalan cewek yang akhirnya menjadi pacar Anda, itu namanya karunia. Begitu kira-kira kans scudetto di mata Napoli.
Mengisi pos Benitez sontak mempercepat adrenalin pria 56 tahun itu. Ada rasa hormat dan bangga yang menumpuk di hatinya. Setelah melatih Napoli, hidup Sarri tidak bebas lagi. Setiap gerak-geriknya jadi atensi dan buah bibir warga di pasar, di warung kopi, di teras rumah, atau ruang rapat di kantor. Tidak bisa dihindari.
(foto: sports.yahoo/api.nuzzel/vesuviolive/gazzettaworld/napolimagazine/newstalk)