Jika sepak bola ingin maju, seriuslah dalam pembinaan, terutama di usia dini. Kalimat ini dilontarkan oleh Joe Royle, orang yang baru saja sukses mengantarkan Everton menjuarai Piala FA 1994/95 di Pondok Aren, Tangerang, Minggu (4/6) lalu. Ada apa seorang legenda sepak bola dari Everton mau datang jauh-jauh ke Pondok Aren?
Sedang mencari rumahkah dia di daerah di Ciputat? Oh tentu tidak. Ada misi yang harus diemban untuk pembinaan sepak bola usia dini. Royle yang datang ke Jakarta atas undangan British International School Jakarta (BISJ) mengakui belum sehebat Terry Venables atau Sir Bobby Robson dalam menilai perkembangan sepak bola dunia. Namun dia cukup 'bertenaga' kalau bicara soal pembinaan sepak bola usia muda.
"Kekuatan sepak bola dunia sedang mengalami transisi. Anda lihat bagaimana perubahan yang sedang terjadi di Eropa dalam satu tahun belakangan ini. Saya yakin mereka yang berhasil itu menerapkan pembinaan usia dini dengan benar," kata Royle yang mengenakan t-shirt biru khas Everton.
Yang dilakukan BISJ menurutnya adalah prototipe pembinaan khas berjenjang yang ada di Inggris secara persis. Ada usia pembinaan 6-8 tahun, 8-10 tahun, 10-12 tahun, 12-15 tahun, serta 15 tahun ke atas. Di usia 15 tahun ke atas, pembinaan dipilih dan dipilah lagi hingga usia 16-19 tahun sebelum dikategorikan pemain jadi.
"Pada kategori 15 tahun ke atas jangan dianggap remeh, karena di saat itulah ditentukan jadi tidaknya seorang pemain di masa depan berdasarkan bakat, dan kemampuan. Ini periode yang paling menentukan dalam pembinaan aspek karakter seseorang. Jadi harus sangat serius," papar mantan striker yang enam kali membela tim nasional Inggris sepanjang 1971-1977 tersebut.
Di belahan dunia lain, selain dua mazhab sepak bola terkuat, Eropa dan Amerika Latin, dia mengaku menjatuhkan perhatian pada Afrika, yang menurutnya dari segi mutu sudah menyamai dua golongan elite sebelumnya. "Lihat Afrika, mereka mempunyai bakat yang luar biasa. Kelemahan mereka hanya ada dalam pengorganisasian pembinaan. Apa jalan pemecahan buat mereka? Harus mau belajar, mendatangkan pelatih Eropa misalnya," tambah lelaki kelahiran 8 April 1949.
Legenda Everton
"Tim Afrika favorit saya adalah Nigeria, dan beruntung kami (Everton) memiliki Daniel Amokachi," ujar Royle setengah bangga menyebut pemain yang dua golnya mengubur impian Tottenham Hotspur di semifinal Piala FA. Wajah Royle mendadak menjadi serius tatkala disodorkan pertanyaan tentang sepak bola Asia.
"Secara umum Asia Barat dan Timur yang baru punya prestasi bagus karena mereka terbukti pernah ikut Piala Dunia. Kekuatan Jepang sekarang juga mengagumkan. Tim sematang Inggris saja susah payah untuk mengalahkannya," katanya sambil menyitir hasil kemenangan Inggris 2-1 di Piala Umbro, belum lama ini.
Nama Joe Royle di blantika sepak bola Inggris cukup terpandang. Bukan saja dia mantan pemain nasional tapi juga berkat karyanya di Everton sebagai pemain, juga pelatih. Saat Everton memecat Mike Walker, dia diwariskan pekerjaan penuh risiko itu, sejak akhir 1994. Panggilan hati tampaknya jadi alasan kuat kenapa dia memutuskan angkat kaki dari Oldham Athletic menuju Goodison Park. Tanggung jawab moral jadi dasar keputusan Royle. Merasa dibesarkan klub, dia ingin membalas budi dengan berkontribusi lewat usaha kongkrit. Di sisi lain, reputasi Everton tentu saja sangat melambung dibanding Oldham. Berani menghadapi tantangan lebih tinggi sudah menggambarkan seperti apa sosok pria yang masih tinggi tegap tersebut.
Di balik risiko ambruknya prestasi Everton di Liga Primer, namun masih tersembunyi sinar kesuksesan yang kelak bisa menjulangkan namanya. "Yang saya benahi pertama kali adalah fighting spirit pemain, Saya tahu betul karakter klub ini. Makanya kami dijuluki sang jagoan," kata legenda hidup Everton pencetak 102 gol dari 232 kali sepanjang 1964-1974 ini.
Royle benar. Rumus itu dibuktikannya, dan hanya kurang dari setahun, sebuah titel dipersembahkan kepada Everton dari ajang Piala FA. Obsesi berikutnya tentu ada di Liga Primer. The Toffees terakhir kali menjuarai liga pada musim 1986/87. Sanggupkah Joseph Royle mengejahwantahkannya?
Latar belakang manajemennya akan jadi penentu. Berbekal 474 kali main di liga dengan total 152 gol, termasuk di Manchester City, Bristol City, dan Norwich City, Royle memutuskan menukangi Oldham Athletic pada Juli 1982, beberapa bukan setelah gantung sepatu.
Tidak ada prestasi istimewa diraihnya selama di Oldham selama 9 musim. Namun di akhir musim 1990/91 sesuatu yang luar biasa mendatanginya. Untuk pertama kalinya, Royle mengantarkan Oldham promosi ke Liga Primer. Sayangnya Oldham hanya bertahan satu musim saja.
Pada 1992/93, mereka kembali ke divisi satu. Di akhir 1993/94, untuk kedua kalinya Royle membawa Oldham promosi lagi ke Liga Primer sekaligus menjadikan Latics sebagai semifinalis Piala FA di musim ini sebelum dihajar Manchester United dalam sebuah laga play-off.
Namun lagi-lagi, sebelum musim 1994/95 berakhir, yang akhirnya membawa klub yang berasal di pinggiran kota Manchester tersebut kembali terjerembab ke kelas asalnya, dia meninggalkan Oldham untuk bergabung ke Everton, sesuai panggilan jiwanya, yang baru saja memecat Mike Walker. Dendam Royle pada Red Devils sewaktu menyingkirkan Oldham, langsung dibayar di Everton.
Di musim pertamanya itu, The People's Club mengalahkan Manchester United 1-0 di final Piala FA lewat gol tunggal Paul Rideout di menit 30. Selama menjadi pemain, karier Royle terbilang lumayan meski naik turun. Pernah membela tim nasional adalah pengalaman yang menjadi CV-nya tinggi. Enam kali di Three Lions serta 10 kali di tim nasional junior. Semasa aktifnya, Royle juga pernah main di semua kejuaraan antarklub Eropa.
Mohon Maaf
Bahkan di Piala Champion 1970/71 dia menyumbangkan empat gol untuk Everton. Royle juga merumput bersama Everton di Piala Winner 1966/67. Namun di Piala UEFA 1976/77, kostumnya telah berganti sebab dia kali ini bermain untuk Manchester City. Saat itu Royle berkesempatan menghadapi Juventus yang kemudian jadi juara.
Raut muka Royle mulai kusam serta tidak bahagia ketika saya tanyakan soal sepak bola Indonesia. "Saya mohon maaf sebelumnya, karena tidak mengetahui sedikit pun sepak bola negara Anda. Namun saya sempat diberitahu bahwa ada pemain Anda yang berkiprah di FC Luzern, Swiss. Saya rasa itu menjadi awal yang bagus," ungkap ayah tiga anak yang semuanya lelaki itu apa adanya.
Namun dia tampak berbinar dan menjadi berbalik semangat saat penulis menanyakan Everton. Menurutnya dalam waktu dekat pihaknya paling tidak akan mengontrak beberapa pemain muda yang sedang ngetop misalnya Stan Collymore (Nottingham Forest) atau Les Ferdinand (Queens Park Rangers) di pentas bursa transfer untuk menghadapi musim 1995/96.
Rencana itu, kata Royle, selain untuk menghadapi ajang Piala Winner 1995/96 sekaligus buat memperbaiki lini penyerangan agar di musim depan prestasi Everton bisa meningkat. "Ya tepat sekali. Collymore menjadi incaran utama kami," katanya rada kaget namun tetap menjawab pertanyaan penulis soal isu hangat Collymore yang memang sedang naik daun di Premier League musim lalu itu.
Bahkan dia sekalian membeberkan hal yang cukup mengejutkan. "Dan Everton telah menawar seharga 7 juta pound," tandas Joseph Royle, pria kelahiran asli Merseyside di wilayah Norris Green, Liverpool. Dihitung-hitung, tujuh juta pound berarti sekitar Rp 24 miliar.
Dalam pengakuan lainnya, Royle bilang Everton mungkin tidak akan membeli pemain asing lain yang dirasa sudah cukup dimiliki. Ada eks Arsenal, Anders Limpar (Swedia), sejumlah pemain asal Irlandia, Skotlandia, Wales, serta Amokachi sendiri. "Pasalnya itu akan menyulitkan kami juga berkompetisi di Piala Winner karena UEFA hanya mengizinkan tiga pemain asing," tandas Royel.
Secara implisit, dia mengaku lebih ingin Everton merekrut pemain binaan dari akademi sendiri. Suami dari Janet Royle, dan ayah dari Lee (24), Darren (21), dan Mark (14) ini dikenal sebagai pelat yang selalu dekat dengan para pemainnya. Penampilannya simpatik, necis pula. Saat turun bertanding, di pinggir lapangan dia tidak pernah berteriak atau memaki pemainnya.
Maka wajar jika seluruh pemain Everton menghormatinya, setengah memuji setinggi langit. "Dia dekat dengan kami dan semua orang di Everton," aku Neville Southall, kiper legendaris Everton, suatu kali. Duncan Ferguson, calon bintang masa depan The Toffess juga berujar positif. "Saya mau bergabung dengan Everton karena saya kenal wataknya," kata Ferguson, pemain termahal di Everton musim ini.
Anders Limpar, yang bergabung dari The Gunners sebelumnya, juga menorehkan kesannya. "Kami selalu tertekan dengan (Mike) Walker. Namun kehadiran Royle telah mengembalikan kegairahan. Dia juga membangun mentalitas kami," kata gelandang internasional Swedia yang baru saja diperpanjang kontraknya oleh Royle untuk dua tahun ke depan.
Omong-omong, apa target Everton di Piala Winner musim 1995/96 nanti, begitu penulis memberikan pertanyaan terakhir kepadanya saat mengobrol di Pondok Aren. "Juara! Kami harus mempunyai keyakinan dalam segala hal," sergahnya cepat dengan mimik serius. Wah, mantap, Sir!
(foto: arief natakusumah)
Sedang mencari rumahkah dia di daerah di Ciputat? Oh tentu tidak. Ada misi yang harus diemban untuk pembinaan sepak bola usia dini. Royle yang datang ke Jakarta atas undangan British International School Jakarta (BISJ) mengakui belum sehebat Terry Venables atau Sir Bobby Robson dalam menilai perkembangan sepak bola dunia. Namun dia cukup 'bertenaga' kalau bicara soal pembinaan sepak bola usia muda.
"Kekuatan sepak bola dunia sedang mengalami transisi. Anda lihat bagaimana perubahan yang sedang terjadi di Eropa dalam satu tahun belakangan ini. Saya yakin mereka yang berhasil itu menerapkan pembinaan usia dini dengan benar," kata Royle yang mengenakan t-shirt biru khas Everton.
Yang dilakukan BISJ menurutnya adalah prototipe pembinaan khas berjenjang yang ada di Inggris secara persis. Ada usia pembinaan 6-8 tahun, 8-10 tahun, 10-12 tahun, 12-15 tahun, serta 15 tahun ke atas. Di usia 15 tahun ke atas, pembinaan dipilih dan dipilah lagi hingga usia 16-19 tahun sebelum dikategorikan pemain jadi.
"Pada kategori 15 tahun ke atas jangan dianggap remeh, karena di saat itulah ditentukan jadi tidaknya seorang pemain di masa depan berdasarkan bakat, dan kemampuan. Ini periode yang paling menentukan dalam pembinaan aspek karakter seseorang. Jadi harus sangat serius," papar mantan striker yang enam kali membela tim nasional Inggris sepanjang 1971-1977 tersebut.
Di belahan dunia lain, selain dua mazhab sepak bola terkuat, Eropa dan Amerika Latin, dia mengaku menjatuhkan perhatian pada Afrika, yang menurutnya dari segi mutu sudah menyamai dua golongan elite sebelumnya. "Lihat Afrika, mereka mempunyai bakat yang luar biasa. Kelemahan mereka hanya ada dalam pengorganisasian pembinaan. Apa jalan pemecahan buat mereka? Harus mau belajar, mendatangkan pelatih Eropa misalnya," tambah lelaki kelahiran 8 April 1949.
Legenda Everton
"Tim Afrika favorit saya adalah Nigeria, dan beruntung kami (Everton) memiliki Daniel Amokachi," ujar Royle setengah bangga menyebut pemain yang dua golnya mengubur impian Tottenham Hotspur di semifinal Piala FA. Wajah Royle mendadak menjadi serius tatkala disodorkan pertanyaan tentang sepak bola Asia.
"Secara umum Asia Barat dan Timur yang baru punya prestasi bagus karena mereka terbukti pernah ikut Piala Dunia. Kekuatan Jepang sekarang juga mengagumkan. Tim sematang Inggris saja susah payah untuk mengalahkannya," katanya sambil menyitir hasil kemenangan Inggris 2-1 di Piala Umbro, belum lama ini.
Nama Joe Royle di blantika sepak bola Inggris cukup terpandang. Bukan saja dia mantan pemain nasional tapi juga berkat karyanya di Everton sebagai pemain, juga pelatih. Saat Everton memecat Mike Walker, dia diwariskan pekerjaan penuh risiko itu, sejak akhir 1994. Panggilan hati tampaknya jadi alasan kuat kenapa dia memutuskan angkat kaki dari Oldham Athletic menuju Goodison Park. Tanggung jawab moral jadi dasar keputusan Royle. Merasa dibesarkan klub, dia ingin membalas budi dengan berkontribusi lewat usaha kongkrit. Di sisi lain, reputasi Everton tentu saja sangat melambung dibanding Oldham. Berani menghadapi tantangan lebih tinggi sudah menggambarkan seperti apa sosok pria yang masih tinggi tegap tersebut.
Di balik risiko ambruknya prestasi Everton di Liga Primer, namun masih tersembunyi sinar kesuksesan yang kelak bisa menjulangkan namanya. "Yang saya benahi pertama kali adalah fighting spirit pemain, Saya tahu betul karakter klub ini. Makanya kami dijuluki sang jagoan," kata legenda hidup Everton pencetak 102 gol dari 232 kali sepanjang 1964-1974 ini.
Royle benar. Rumus itu dibuktikannya, dan hanya kurang dari setahun, sebuah titel dipersembahkan kepada Everton dari ajang Piala FA. Obsesi berikutnya tentu ada di Liga Primer. The Toffees terakhir kali menjuarai liga pada musim 1986/87. Sanggupkah Joseph Royle mengejahwantahkannya?
Latar belakang manajemennya akan jadi penentu. Berbekal 474 kali main di liga dengan total 152 gol, termasuk di Manchester City, Bristol City, dan Norwich City, Royle memutuskan menukangi Oldham Athletic pada Juli 1982, beberapa bukan setelah gantung sepatu.
Tidak ada prestasi istimewa diraihnya selama di Oldham selama 9 musim. Namun di akhir musim 1990/91 sesuatu yang luar biasa mendatanginya. Untuk pertama kalinya, Royle mengantarkan Oldham promosi ke Liga Primer. Sayangnya Oldham hanya bertahan satu musim saja.
Pada 1992/93, mereka kembali ke divisi satu. Di akhir 1993/94, untuk kedua kalinya Royle membawa Oldham promosi lagi ke Liga Primer sekaligus menjadikan Latics sebagai semifinalis Piala FA di musim ini sebelum dihajar Manchester United dalam sebuah laga play-off.
Namun lagi-lagi, sebelum musim 1994/95 berakhir, yang akhirnya membawa klub yang berasal di pinggiran kota Manchester tersebut kembali terjerembab ke kelas asalnya, dia meninggalkan Oldham untuk bergabung ke Everton, sesuai panggilan jiwanya, yang baru saja memecat Mike Walker. Dendam Royle pada Red Devils sewaktu menyingkirkan Oldham, langsung dibayar di Everton.
Di musim pertamanya itu, The People's Club mengalahkan Manchester United 1-0 di final Piala FA lewat gol tunggal Paul Rideout di menit 30. Selama menjadi pemain, karier Royle terbilang lumayan meski naik turun. Pernah membela tim nasional adalah pengalaman yang menjadi CV-nya tinggi. Enam kali di Three Lions serta 10 kali di tim nasional junior. Semasa aktifnya, Royle juga pernah main di semua kejuaraan antarklub Eropa.
Mohon Maaf
Bahkan di Piala Champion 1970/71 dia menyumbangkan empat gol untuk Everton. Royle juga merumput bersama Everton di Piala Winner 1966/67. Namun di Piala UEFA 1976/77, kostumnya telah berganti sebab dia kali ini bermain untuk Manchester City. Saat itu Royle berkesempatan menghadapi Juventus yang kemudian jadi juara.
Raut muka Royle mulai kusam serta tidak bahagia ketika saya tanyakan soal sepak bola Indonesia. "Saya mohon maaf sebelumnya, karena tidak mengetahui sedikit pun sepak bola negara Anda. Namun saya sempat diberitahu bahwa ada pemain Anda yang berkiprah di FC Luzern, Swiss. Saya rasa itu menjadi awal yang bagus," ungkap ayah tiga anak yang semuanya lelaki itu apa adanya.
Namun dia tampak berbinar dan menjadi berbalik semangat saat penulis menanyakan Everton. Menurutnya dalam waktu dekat pihaknya paling tidak akan mengontrak beberapa pemain muda yang sedang ngetop misalnya Stan Collymore (Nottingham Forest) atau Les Ferdinand (Queens Park Rangers) di pentas bursa transfer untuk menghadapi musim 1995/96.
Rencana itu, kata Royle, selain untuk menghadapi ajang Piala Winner 1995/96 sekaligus buat memperbaiki lini penyerangan agar di musim depan prestasi Everton bisa meningkat. "Ya tepat sekali. Collymore menjadi incaran utama kami," katanya rada kaget namun tetap menjawab pertanyaan penulis soal isu hangat Collymore yang memang sedang naik daun di Premier League musim lalu itu.
Bahkan dia sekalian membeberkan hal yang cukup mengejutkan. "Dan Everton telah menawar seharga 7 juta pound," tandas Joseph Royle, pria kelahiran asli Merseyside di wilayah Norris Green, Liverpool. Dihitung-hitung, tujuh juta pound berarti sekitar Rp 24 miliar.
Dalam pengakuan lainnya, Royle bilang Everton mungkin tidak akan membeli pemain asing lain yang dirasa sudah cukup dimiliki. Ada eks Arsenal, Anders Limpar (Swedia), sejumlah pemain asal Irlandia, Skotlandia, Wales, serta Amokachi sendiri. "Pasalnya itu akan menyulitkan kami juga berkompetisi di Piala Winner karena UEFA hanya mengizinkan tiga pemain asing," tandas Royel.
Secara implisit, dia mengaku lebih ingin Everton merekrut pemain binaan dari akademi sendiri. Suami dari Janet Royle, dan ayah dari Lee (24), Darren (21), dan Mark (14) ini dikenal sebagai pelat yang selalu dekat dengan para pemainnya. Penampilannya simpatik, necis pula. Saat turun bertanding, di pinggir lapangan dia tidak pernah berteriak atau memaki pemainnya.
Maka wajar jika seluruh pemain Everton menghormatinya, setengah memuji setinggi langit. "Dia dekat dengan kami dan semua orang di Everton," aku Neville Southall, kiper legendaris Everton, suatu kali. Duncan Ferguson, calon bintang masa depan The Toffess juga berujar positif. "Saya mau bergabung dengan Everton karena saya kenal wataknya," kata Ferguson, pemain termahal di Everton musim ini.
Anders Limpar, yang bergabung dari The Gunners sebelumnya, juga menorehkan kesannya. "Kami selalu tertekan dengan (Mike) Walker. Namun kehadiran Royle telah mengembalikan kegairahan. Dia juga membangun mentalitas kami," kata gelandang internasional Swedia yang baru saja diperpanjang kontraknya oleh Royle untuk dua tahun ke depan.
Omong-omong, apa target Everton di Piala Winner musim 1995/96 nanti, begitu penulis memberikan pertanyaan terakhir kepadanya saat mengobrol di Pondok Aren. "Juara! Kami harus mempunyai keyakinan dalam segala hal," sergahnya cepat dengan mimik serius. Wah, mantap, Sir!
(foto: arief natakusumah)