Suatu hari di April 2016, Ranieri tersenyum mengenang petualangan pertamanya di Inggris. Ditemui seorang wartawan La Repubblica yang khusus datang ke kantornya, dia lantas bertanya simpel dengan gaya Italia: bertanya kepada lawan bicaranya dan menjawabnya sekaligus. “Di mata Anda apakah karier saya seperti itu buruk? Saya rasa tidak,” kata Ranieri yang mau tak mau membuat lawan bicaranya dipaksa mengangguk.
Memang butuh waktu untuk mengatakan Ranieri tidak lagi terkutuk, yang selama ini publik di negaranya mencapnya serba tanggung, si nomor dua, atau apalah. “Mari kita bicara kondisi di Italia,” ajaknya lagi. “Apakah tim yang saya latih menjadi lebih baik sepeninggal saya? Saya kira tidak.” Seperti kebanyakan manajer andal, Ranieri juga mematok target poin di setiap musim, dan dia merasa kebanyakan sukses diraihnya.
Kecerdasan Ranieri adalah tak bicara target secara gamblang kecuali dengan angka. Namun di sisi lain, rahasia keluguan terbesarnya jadi terkuak. Ketika Leicester terus mendekati titel pertama liga dalam 132 tahun sejarahnya, dia tetap mengelak bicara soal ambisi jadi juara. Yang justru diungkap: sasaran meraih 79 angka! Kelicikannya adalah hal itu diungkapkan ketika timnya sudah mencapai kepala tujuh!
“Ketika kami meraih 79 poin baru saya puas sebab itu berarti satu poin lebih banyak dari pencapaian di paruh pertama. Ingin sekali rasanya jumlah laga ditambah supaya kami bisa melampaui 79 poin,” katanya yang pasti mengajak orang ingin bertanya lebih lanjut. Dan Ranieri sudah menyiapkan jawabannya. “Ya, ini selalu jadi falsafah saya.” Boleh jadi hal itu disebabkan oleh pengalaman pahit masa lalunya.
“Saya memang tidak suka bilang ‘kami ingin juara’. Sejak lama saya sudah bilang ingin 79 poin, sebab itu hanya satu hentakan kecil. Sampai sekarang pun saya tak mau memikirkannya. Jika meraih Liga Champion, kami harus berusaha dan terus berusaha sekuat mungkin, dan inilah mentalitas saya,” ucapnya sebelum ditahan West Ham 2-2 yang membuat poin Leicester menjadi 72 poin dengan empat laga sisa.
Seperti halnya kebanyakan orang Italia yang memandang laga sepak bola sebagai uji nyali dan kehidupan sesungguhnya, Ranieri juga begitu. Di matanya tidak ada yang mudah di sepak bola. Pengalaman hidup dan jam terbang di atas lapangan hijau telah mengajarkannya. Terlebih-lebih di Premier League. “Tidak ada lawan yang mudah di sana, minggu besok, minggu besok, minggu besoknya lagi,” jelasnya lagi.
Di mata Ranieri, musuh harus dihadapi dengan gaya dan ciri khas permainan. Ia tidak membedakannya. Ini adalah strategi dasar Leicester City musim ini, meski tetap ada bedanya dalam penerjemahan teknis. Semisal melawan tim yang lebih kuat, tim-tim papan atas, biasanya dia menginstruksikan anak buahnya agar lebih sabar. Menunggu ruang dan waktu yang paling tepat untuk melakukan serangan balik.
Taktik ini terbukti berhasil sepanjang Desember-Januari silam ketika mereka melabrak Everton 3-2, Chelsea 2-1, Tottenham Hotspur 1-0, Liverpool 2-0, dan Manchester City 3-1. Pada paruh kedua kompetisi, pelajaran kesabaran level kakap makin dicangkokkan oleh Ranieri. Ketika itu gaya Italiano Leicester kentara sekali, yaitu cukup menang tipis lantaran kelewat terobsesi menjaga konsistensi permainan.
Setelah menderita kekalahan ketiga, 1-2, pas pada hari Valentine, Ranieri kian serius mengencangkan sabuk pertahanan lewat kekuatan stamina dan kekukuhan semangat. Walhasil Leicester tak pernah lagi hingga kini. Dan ingat, dalam strategi sepak bola orang Italia lazim dikenal saklek, zakelijk istilah Belanda. “Di Inggris semua berat. Swansea, Everton, Chelsea atau Manchester United, sama saja,” sebutnya.
Tidak seperti manajer lain yang suka mengadaptasi bentuk permainan lawan, Ranieri justru tidak. Taktik dia yang sangat ajeg, acapkali sering merepotkan pesaingnya. Dia lebih suka menerima saja tekanan dari pemain atau pelatih lawan karena ada gunanya. “Saya suka tekanan sebab pekerjaan kita jadi semakin bermutu karenanya,” kilahnya enteng. “Saya suka kebebasan bermain dengan spirit yang fantastis. Ini penting.”
Tak heran jika di paruh kedua sebelas starting line-up-nya kian menjadi-jadi. Ranieri mengkreasi satu batalyon pembunuh paling efektif. Jamie Vardy dan Riyad Mahrez eksekutor utama. Shinji Okazaki atau Leonardo Ulloa pengacau konsentrasi. Danny Drinkwater dan N’Golo Kante penjaga stabilitas. Sementara Marc Albrighton, Jeffrey Schlupp, atau Demarai Gray bergantian menjadi pengintai.
Yang menarik ada di sektor pertahanan yang bernuansa agresif. Danny Simpson dan Christian Fuchs setelah menekan, bergantian menyelusup dari sisi sayap. Duet Robert Huth dan Wes Morgan sejatinya pengawal pintu gawang Kasper Schmeichel, namun juga punya tugas ekstra: eksekutor bola-bola set-pieces. Perhatikanlah deretan ‘para pembunuh’ ini: tidak satupun ada yang berkelas world class!
Dengan mental baja dan semangat berapi-api seperti itu tidak heran bila satu ucapan Ranieri gampang merasuki tim penuh cibiran ini. “Kalian harus juara sebab dunia tidak pernah mengenang runner-up,” kata Ranieri. Meski perjalanannya masih berliku sebab masih menghadapi Manchester United, Everton, dan Chelsea, namun sejarah terbesar dalam dunia olah raga tampaknya tetap milik mereka.
Kejutan akbar di sepak bola memang pernah ditorehkan Denmark dan Yunani saat menjuarai Piala Eropa 1992 dan 2004. Begitu pula misalnya sewaktu tim baru promosi Nottingham Forest menjadi King of England di musim 1977/78 yang dipandu manajer sensasional Brian Clough. Namun geliat Leicester kali ini tetap mencengangkan dunia, terutama dari fakta statistik bursa taruhan 1/5.000: hanya satu dari 5.000 orang yang yakin mereka jadi juara!
Tinggal sedikit lagi Ranieri bakal dikenang sepanjang zaman sebagai legenda seperti para pendahulu yang melakukan hal serupa. “Kami hanya baru membuat berita hebat, meraih tiket langsung ke Liga Champion, namun untuk dikenang 40 atau 50 tahun mendatang, kami harus menjadi juara. Untuk mencapai itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali terus berjuang, tetap fokus, dan menjadi kuat,” ucap Ranieri berapi-api.
Dia benar. Hanya melakukan hal-hal demikian, kita akan menghargai kemenangan sebab sejatinya sepak bola sering terlalu aneh untuk dipahami, baik proses maupun pencapaiannya. “Andai posisi kami ini sekarang diisi Manchester City atau United, barangkali Anda dan dunia akan bilang ‘selesai sudah’ mereka menjadi juara. Betul? Kenapa? Sebab kami hanyalah Leicester City,” tukas Ranieri dengan gaya khas.
Jangankan menjadi juara, tampil di putaran final Liga Champion 2016/17 saja cibiran sudah bertebaran. Dan Ranieri sadar, memahaminya, lantas tegas menyatakan bukan itu tujuannya. “Saya tidak memikirkan musik Liga Champion kok. Saya suka musik. Ini akan menjadi pencapaian fantastis. Dari mimpi menjadi kenyataan, tapi tunggu dulu, semua itu menunggu pembuktian,” kata kakek berusia 64 tahun ini.
Sukses Ranieri kali ini tampaknya karena membaktikan diri sebagai kepala keluarga besar Leicester City. Ia melakoni sosok ayah seutuhnya tanpa dibantah lagi. Hal yang amat langka, dan untuk pertama kali dalam 30 tahun karier kepelatihannya. “Semua anak-anak saya. Saya puas bisa membuat mereka sukses. Jika anak Anda sukses tentu sang ayah juga merasa ikut bahagia, bukan?” kata Ranieri balik bertanya.
Sekarang hampir semua warga Leicester, tampaknya akan lebih mencintai dan menghormati apapun tentang Italia. Dan ini semua berkat jasa besar King Claudio. Di sisa-sisa usianya, kerja kerasnya sejak muda akhirnya berhasil, minimal dia akan selalu tercatat sebagai legenda abadi Leicester City, sampai dunia kiamat!
(foto: givemesport/thesun)
Malah sukses besar dengan skuad tanpa pemain world class. |
Kecerdasan Ranieri adalah tak bicara target secara gamblang kecuali dengan angka. Namun di sisi lain, rahasia keluguan terbesarnya jadi terkuak. Ketika Leicester terus mendekati titel pertama liga dalam 132 tahun sejarahnya, dia tetap mengelak bicara soal ambisi jadi juara. Yang justru diungkap: sasaran meraih 79 angka! Kelicikannya adalah hal itu diungkapkan ketika timnya sudah mencapai kepala tujuh!
“Ketika kami meraih 79 poin baru saya puas sebab itu berarti satu poin lebih banyak dari pencapaian di paruh pertama. Ingin sekali rasanya jumlah laga ditambah supaya kami bisa melampaui 79 poin,” katanya yang pasti mengajak orang ingin bertanya lebih lanjut. Dan Ranieri sudah menyiapkan jawabannya. “Ya, ini selalu jadi falsafah saya.” Boleh jadi hal itu disebabkan oleh pengalaman pahit masa lalunya.
“Saya memang tidak suka bilang ‘kami ingin juara’. Sejak lama saya sudah bilang ingin 79 poin, sebab itu hanya satu hentakan kecil. Sampai sekarang pun saya tak mau memikirkannya. Jika meraih Liga Champion, kami harus berusaha dan terus berusaha sekuat mungkin, dan inilah mentalitas saya,” ucapnya sebelum ditahan West Ham 2-2 yang membuat poin Leicester menjadi 72 poin dengan empat laga sisa.
Seperti halnya kebanyakan orang Italia yang memandang laga sepak bola sebagai uji nyali dan kehidupan sesungguhnya, Ranieri juga begitu. Di matanya tidak ada yang mudah di sepak bola. Pengalaman hidup dan jam terbang di atas lapangan hijau telah mengajarkannya. Terlebih-lebih di Premier League. “Tidak ada lawan yang mudah di sana, minggu besok, minggu besok, minggu besoknya lagi,” jelasnya lagi.
Di mata Ranieri, musuh harus dihadapi dengan gaya dan ciri khas permainan. Ia tidak membedakannya. Ini adalah strategi dasar Leicester City musim ini, meski tetap ada bedanya dalam penerjemahan teknis. Semisal melawan tim yang lebih kuat, tim-tim papan atas, biasanya dia menginstruksikan anak buahnya agar lebih sabar. Menunggu ruang dan waktu yang paling tepat untuk melakukan serangan balik.
Taktik ini terbukti berhasil sepanjang Desember-Januari silam ketika mereka melabrak Everton 3-2, Chelsea 2-1, Tottenham Hotspur 1-0, Liverpool 2-0, dan Manchester City 3-1. Pada paruh kedua kompetisi, pelajaran kesabaran level kakap makin dicangkokkan oleh Ranieri. Ketika itu gaya Italiano Leicester kentara sekali, yaitu cukup menang tipis lantaran kelewat terobsesi menjaga konsistensi permainan.
Setelah menderita kekalahan ketiga, 1-2, pas pada hari Valentine, Ranieri kian serius mengencangkan sabuk pertahanan lewat kekuatan stamina dan kekukuhan semangat. Walhasil Leicester tak pernah lagi hingga kini. Dan ingat, dalam strategi sepak bola orang Italia lazim dikenal saklek, zakelijk istilah Belanda. “Di Inggris semua berat. Swansea, Everton, Chelsea atau Manchester United, sama saja,” sebutnya.
Tidak seperti manajer lain yang suka mengadaptasi bentuk permainan lawan, Ranieri justru tidak. Taktik dia yang sangat ajeg, acapkali sering merepotkan pesaingnya. Dia lebih suka menerima saja tekanan dari pemain atau pelatih lawan karena ada gunanya. “Saya suka tekanan sebab pekerjaan kita jadi semakin bermutu karenanya,” kilahnya enteng. “Saya suka kebebasan bermain dengan spirit yang fantastis. Ini penting.”
Tak heran jika di paruh kedua sebelas starting line-up-nya kian menjadi-jadi. Ranieri mengkreasi satu batalyon pembunuh paling efektif. Jamie Vardy dan Riyad Mahrez eksekutor utama. Shinji Okazaki atau Leonardo Ulloa pengacau konsentrasi. Danny Drinkwater dan N’Golo Kante penjaga stabilitas. Sementara Marc Albrighton, Jeffrey Schlupp, atau Demarai Gray bergantian menjadi pengintai.
Yang menarik ada di sektor pertahanan yang bernuansa agresif. Danny Simpson dan Christian Fuchs setelah menekan, bergantian menyelusup dari sisi sayap. Duet Robert Huth dan Wes Morgan sejatinya pengawal pintu gawang Kasper Schmeichel, namun juga punya tugas ekstra: eksekutor bola-bola set-pieces. Perhatikanlah deretan ‘para pembunuh’ ini: tidak satupun ada yang berkelas world class!
Kembali ke dasar. Menerapkan pemainan kesabaran khas Italia. |
Kejutan akbar di sepak bola memang pernah ditorehkan Denmark dan Yunani saat menjuarai Piala Eropa 1992 dan 2004. Begitu pula misalnya sewaktu tim baru promosi Nottingham Forest menjadi King of England di musim 1977/78 yang dipandu manajer sensasional Brian Clough. Namun geliat Leicester kali ini tetap mencengangkan dunia, terutama dari fakta statistik bursa taruhan 1/5.000: hanya satu dari 5.000 orang yang yakin mereka jadi juara!
Tinggal sedikit lagi Ranieri bakal dikenang sepanjang zaman sebagai legenda seperti para pendahulu yang melakukan hal serupa. “Kami hanya baru membuat berita hebat, meraih tiket langsung ke Liga Champion, namun untuk dikenang 40 atau 50 tahun mendatang, kami harus menjadi juara. Untuk mencapai itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali terus berjuang, tetap fokus, dan menjadi kuat,” ucap Ranieri berapi-api.
Dia benar. Hanya melakukan hal-hal demikian, kita akan menghargai kemenangan sebab sejatinya sepak bola sering terlalu aneh untuk dipahami, baik proses maupun pencapaiannya. “Andai posisi kami ini sekarang diisi Manchester City atau United, barangkali Anda dan dunia akan bilang ‘selesai sudah’ mereka menjadi juara. Betul? Kenapa? Sebab kami hanyalah Leicester City,” tukas Ranieri dengan gaya khas.
Jangankan menjadi juara, tampil di putaran final Liga Champion 2016/17 saja cibiran sudah bertebaran. Dan Ranieri sadar, memahaminya, lantas tegas menyatakan bukan itu tujuannya. “Saya tidak memikirkan musik Liga Champion kok. Saya suka musik. Ini akan menjadi pencapaian fantastis. Dari mimpi menjadi kenyataan, tapi tunggu dulu, semua itu menunggu pembuktian,” kata kakek berusia 64 tahun ini.
Sukses Ranieri kali ini tampaknya karena membaktikan diri sebagai kepala keluarga besar Leicester City. Ia melakoni sosok ayah seutuhnya tanpa dibantah lagi. Hal yang amat langka, dan untuk pertama kali dalam 30 tahun karier kepelatihannya. “Semua anak-anak saya. Saya puas bisa membuat mereka sukses. Jika anak Anda sukses tentu sang ayah juga merasa ikut bahagia, bukan?” kata Ranieri balik bertanya.
Sekarang hampir semua warga Leicester, tampaknya akan lebih mencintai dan menghormati apapun tentang Italia. Dan ini semua berkat jasa besar King Claudio. Di sisa-sisa usianya, kerja kerasnya sejak muda akhirnya berhasil, minimal dia akan selalu tercatat sebagai legenda abadi Leicester City, sampai dunia kiamat!
(foto: givemesport/thesun)