Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea

Hari pertama bergabung di markas latihan, para pemain Chelsea melongo mendengar Ranieri berbicara dengan bahasa Italia. Dia memang belum mengerti bahasa Inggris. Untungnya ada Ray Wilkins, eks bintang Chelsea yang pernah membela AC Milan. Dia lihai bicara Italia sehingga selain jadi asisten, pria berkepala botak di depan itu juga otomatis bertindak sebagai interpreter.
Claudio Ranieri: Pengalaman Di Chelsea
Impian besar Ranieri di Chelsea berasal dari bujet transfer besar.
Lebih beruntung lagi, sebagian besar pemain inti Chelsea lumayan bahasa Italia-nya sebab selain pernah dilatih Ruud Gullit atau Vialli, mereka juga punya Gianfranco Zola, Gabriele Ambrosetti, Roberto Di Matteo, Carlo Cudicini, dan Samuele Dalla Bona. Kehadiran Ranieri juga tidak masalah di mata dua pemain inti Chelsea, Albert Ferrer, dan Gustavo Poyet sebab bahasa Spanyol-nya terbilang lumayan.

Ranieri dikenang pers Inggris sebagai manajer yang mengubah gaya sexy football peninggalan Gullit dan Vialli menjadi permainan dengan seni bertahan yang hebat. Di eranya, nama-nama Frank Lampard, Emmanuel Petit, Boudewijn Zenden, atau Jesper Gronkjaer, dan William Gallas hadir di Stamford Bridge. Kehebatannya lainnya adalah mendidik lalu mencuatkan John Terry sebagai suksesor sang kapten Dennis Wise.

Gara-gara kebanjiran pemain bagus – pertama dalam karier kepelatihannya – dia jadi suka bereksperimen pekan demi pekan. Dalam jangka pendek tampak sukses, namun tidak untuk jangka panjang. Chelsea jadi sulit meraih prestasi klimaks di musim 2000-01. Saat itu julukan ‘The Tinkerman’ mulai diletupkan pers. Debut Ranieri berujung di posisi enam. Bahkan di final Piala FA, mereka dikalahkan Arsenal 0-2.

Di musim kedua, ulah Ranieri lain lagi. Kali ini dia lebih mengutamakan pemain muda yang berujung pada penjualan pemain-pemain senior, salah satunya menimpa kapten Dennis Wise, pujaan publik Stamford Bridge. Namun setelah menjulangkan barisan muda di diri Samuele Dalla Bona, Mario Stanic, John Terry, Robert Huth, atau Carlton Cole, penggemar sejati Chelsea mulai memahami tujuan Ranieri.

Namun seperti biasa, keberuntungannya tidak terlalu lama. Akibat hutang yang makin menumpuk lantaran jor-joran membeli banyak bintang namun tidak pernah juara, pada medio 2003 Ken Bates akhirnya menyerah dan menjual Chelsea dengan harga yang nyaris gratis! Awalnya Roman Abramovich – si pemilik baru – ingin mengganti Don Claudio yang dinilainya ‘membahayakan’ prospek bisnis Chelsea ke depan.

Sejak mengawali musim 2003-04, kehidupan Ranieri di Chelsea sudah tidak tenang mengingat Abramovich keseringan bersua Sven-Goran Eriksson, yang dinominasikan menggantikannya. Namun juru bisiknya mengatakan sabar dulu sebab tidak ada juga jaminan bagi Eriksson bisa sukses dengan skuad yang seluruhnya ‘buatan’ Ranieri. Kelak di kemudian hari, feeling sang owner jauh lebih benar.
Claudio Ranieri: Pengalaman Di Chelsea
Senang bereksperimen formasi dan taktik permainan.
Ranieri sendiri memanfaatkan kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan reputasi. Tak tanggung-tanggung ia mengajukan bujet 120 juta pound untuk menciduk Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Juan Sebastián Veron, Hernan Crespo, Claude Makelele serta Adrian Mutu! Namun masih selain Sir Alex Ferguson, kiprah Arsene Wenger masih sulit dilawan saat itu. Siapa Ranieri dibanding mereka?

Kemarahan Abramovich pada Ranieri mencapai puncaknya di musim 2003-04, walau di liga menempati urutan dua di bawah Arsenal yang meraih immortal, juara tanpa kalah, yang menjadi kemenangan terakhir Wenger di Premier League. Namun Ranieri menyingkirkan impian Wenger ke semifinal Liga Champion. Kegagalan Ranieri kian komplit karena tanpa diduga Chelsea dikalahkan Monaco di semifinal Liga Champion.

Abramovich akhirnya menemukan seorang manajer yang tidak terkenal tapi sanggup membawa FC Porto menjuarai Liga Champion 2004. Orang itu adalah Jose Mourinho. Kebanyakan publik Chelsea tak menangisi kepergian Ranieri di akhir musim itu sebab dinilai memang tidak berkelas. Lagi pula harapan tertinggi publik Stamford Bridge bukan pada Ranieri, tetapi pada Abramovich. Hasil yang serba tanggung, seperti takdirnya selama ini, kembali diderita Ranieri. Dia harus menerima realita tidak sanggup mengelola skuad yang banyak berisikan bintang.

Takdir Ranieri adalah klub kecil, sebuah penyematan sahih yang terbukti hingga kini. Selama empat musim, Ranieri hanya sukses menaikkan nilai dan peringkat Chelsea. Sukses kecil lainnya mematok John Terry, Wayne Bridge, dan Frank Lampard sebagai pondasi bangunan tim. Dia juga mendatangkan Didier Drogba dan Arjen Robben. Namun, tepat 31 Mei 2004 karier Ranieri disudahi Abramovich.

(foto: skysport/the quint)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini