Tanda seorang pelatih hebat dia berdampak signifikan di mana pun berada dan jelas, Louis Van Gaal adalah salah satunya. Kekuatan sejati orang ini, tak lain, keyakinan berskala 9,9 pada falsafah ball possession, personifikasi yang langsung mengidentifikasi seluk beluk sosoknya serta jadi identitas diri. Saking zakelijk-nya pada obsesi itu julukan otoriter sering singgah dalam hikayat manajerialnya.
Dokumentasi perseteruan dengan pemainnya tercatat dengan baik, plus kisah blak-blakan para korban kediktatorannya. Pihak yang anti-LVG bilang beliau punya karakter pemecah belah. Saking sulitnya mengamini beragam keputusannya, pendukung klub yang lagi dilatihnya suka terjebak pada situasi yang sulit ditebak atau disuguhi fluktuasi ketidakpastian.
Musim pertamanya di Manchester United dihiasi dengan hentakan sekaligus kegagalan. Orang bertanya-tanya, apakah Red Devils pantas menempati urutan 4 di klasemen akhir? Tanda tanya ini menyeruak mengingat di 2014/15 dia menjadi The King of Window Shopping di bursa transfer dengan total bon belanja 136,75 juta pound (143,40 juta euro), kini setara dengan Rp 3 trilyun, untuk belanja enam pemain plus satu freelancer termahal dalam sejarah sepak bola bernama Radamel Falcao.
Terus terang, ekspektasi yang berfluktuasi itu tak saja menghantui para loyalis yang sering meneriakkan yel-yel "GGMU", tapi juga harapan dan sikap pemainnya sendiri terhadap rezim King Louis di kerajaan Old Trafford. Di tangan Van Gaal hampir mustahil melihat United bermain free-flowing dan free-scoring seperti di era Alex Ferguson.
Di tangan Van Gaal pula kesan retro pepatah 'hujan 27 tahun dihapus kemarau setahun' sungguh terjadi. Harapan meraih lagi titel Premier League pun seperti tuntutan yang terlalu berat. Total gol menjadi isu strategis berikutnya pria kelahiran Amsterdam 8 Agustus 1951. Musim lalu United cuma mencetak 62 gol, berselisih 21 gol dari Manchester City, atau kalah 9 gol dari Arsenal.
Bahkan rekor LVG itu masih kalah 2 gol dari David Moyes/Ryan Giggs meski muncul aib bagi United melihat peringkat 7 di klasemen akhir 2013/14, posisi United terburuk sejak 25 tahun. Saat Ferguson mengakhiri legacy-nya di 2012/13, total golnya 86. Sejarah rekor gol Van Gaal memang membingungkan ketimbang membanggakan.
Saat meraih Deutscher Meister alias kampiun Bundesliga, di musim pertamanya dengan Bayern Muenchen pada 2009/10, dia cuma mencetak 72 gol. Di musim 2010/11 meroket menjadi 81 gol, namun Bayern justru terperosok di posisi tiga, situasi yang mengawali PHK dirinya pada 10 April 2011. Pendukung Bayern bingung, penerus Van Gaal linglung.
Saat ganti dipegang Jupp Heynckes, total gol malah turun lagi menjadi 77 walau meraih runner-up. Setelah bersih-bersih dari anasir permainan Van Gaal, barulah Heynckes sukses di musim keduanya ketika mencetak 98 gol dan jadi kampiun. Kemudian permainan mengalir ala Heynckes diteruskan Josep Guardiola untuk mencatat total 94 gol pada debutnya.
Satu catatan yang mengesalkan lagi, rezim Van Gaal bertendensi mengebiri produktivitas striker. Produktivitas Wayne Rooney langsung anjlok menjadi 12 gol begitu pria bernama asli Aloysius Paulus Maria van Gaal itu masuk. Hingga tulisan ini kelar, malahan Rooney belum sanggup mencetak sebiji gol di Premier League musim ini! Padahal di era Moyes dan Giggs saja, si Wazza masih meraup 17 gol.
Robin van Persie lebih mengenaskan. Musim pertama di Old Trafford dia bahkan jadi top skorer Premier League dengan 26 gol. Di rezim Moyes/Giggs, 12 gol. Eh, begitu Van Gaal masuk, yang notabene adalah pelatih yang disanjungnya di tim nasional Belanda, rekor gol RVP terjun bebas jadi 10 gol. Ditelisik lebih teliti, di era LVG produktivitas gol semua pemain United ikutan ambrol.
Statistik gol bukan sebagai ukuran dan perspektif falsafah Van Gaal. Simak saja komentarnya. Tak seperti Fergie yang selalu to the point, sederhana dan terangkum baik, maka Van Gaal lain lagi. Ia metodis, detil, tapi parsial. Misalnya: "Saya pikir kami lebih baik di babak pertama karena lebih banyak mengontrol, dengan 65% penguasaan. Di babak kedua turun 53% karena kami mulai lelah."
Terus terang, buat kaum #GGMU komentar seperti ini bikin sakit kepala. Telinga mereka sangat asing mendengar ucapan intelektual ala LVG karena benak mereka sudah puluhan tahun disetir dengan logika sederhana. Pendukung United biasa dimanjakan oleh jaminan, keyakinan dan bukti di lapangan. Mengendalikan permainan bukan sesuatu yang penting buat mereka kecuali menghabisinya.
Problem Backroom
Barangkali Van Gaal benar, sebab kalau mau menyalahkan tunjuklah Avram dan Joel Glazer. Masa lalu tak pernah mengkhianati masa depan. Van Gaal juga tak pernah mengkhianati komitmennya. Kecuali Ajax Amsterdam (1991-1997) dan AZ Alkmaar (2005-2009), tidak ada klub selain dari Belanda yang tahan dan kuat menerima Van Gaal plus falsafahnya lebih dari 3 tahun.
Namun uniknya warisan metodologis Van Gaal acapkali melahirkan konsep dan terobosan baru. Perjalanan tiki-taka di Barcelona memang buah karya Johan Cruyff dan sang murid, Pep Guardiola. Namun tanpa fondasi dan konsep Van Gaal, rasanya tiki-taka mustahil lahir. Tiki-taka itu aslinya memang menafikan harmonisasi.
Untuk itu Barcelona butuh penyesuaian di tangan Frank Rijkaard, salah satu murid terbaik Van Gaal selain Danny Blind dan Frank De Boer. Rijkaard mengawali dengan runner-up, menutupnya dengan dua kali titel La Liga, sekali Piala Super Spanyol dan Liga Champion. Heynckes juga begitu. Runner-up di awal lalu quadruple di Bundesliga, DFB Pokal, DFL-Super Cup dan Liga Champion.
Ketika pindah ke Bayern, Pep mencangkok konsep keseimbangan dari Van Gaal untuk mengimbangi permainan satu arah ala Barcelona. Pertahanan terbaik adalah menyerang ala Cruyff sudah tidak bisa dipertahankan lagi sebab setiap klub kini paham bagaimana cara menyerang. Tak ayal, falsafah Van Gaal telah menjadi salah satu basis terpenting sepak bola era modern.
Tanpa tiki-taka, Van Gaal sukses besar di Barcelona (1997-2000) terutama di dua musim perdana. Hubungannya dengan Cruyff memburuk sebab dia menutup kedua telinga begitu bapak moyang permainan Barcelona itu memberi masukan. Jangan lagi Anda, Anda atau Anda, seorang Cruyff saja siap dilindasnya. Salah satu korban dari totalitarianisme Van Gaal adalah Rivaldo, pemain terbaik dunia 1999.
Pamor Rivaldo yang sedang jaya-jayanya itu tiba-tiba surut mengering begitu menolak main di kanan. Ia gagal mengadaptasi sifat, sikap, dan kemauan Van Gaal. Jadi elegi RVP atau Angel Di Maria bukan yang pertama. Danny Wellbeck, Shinji Kagawa, Wilfried Zaha, Patrice Evra, Darren Fletcher, Alexander Buttner bahkan lebih dulu jadi korban Van Gaal cuma dari pengamatan saja.
Setelah Van Persie atau Falcao, menyusul pula Tom Cleverley, Luis Nani, Jonny Evans, Angelo Henriquez, Rafael, Bebe, seterusnya. Sekarang pemain bagus seperti Victor Valdes, Adnan Janujaz, Tyrel Blackett, termasuk Rooney dan David De Gea mulai bernasib tiada menentu. Tampaknya hanya waktu saja yang kelak memastikan keberlangsungan mereka di United.
Di dalam lubuk hatinya, ini salah satu sikap positif, Van Gaal berkeyakinan bahwa orang Belanda adalah rektor sekaligus dosen terbaik di universitas bernama sepak bola. Usai Ferguson pensiun, eksistensi Republik Mancunia seolah limbung, hal yang wajar saat terjadi pergantian rezim. Tapi kelimbungan berubah jadi serius begitu Moyes masuk. Apakah di era LVG status itu kini menuju titik kritis?
Rasanya mustahil, dan jangan. Kurang bijaksana rasanya memvonis Van Gaal baru satu musim. Bicara ke depan, stabilitas United dan eksistensi Van Gaal masih dibutuhkan meski dialah pemutus mata rantai yang jadi aib besar karena menodai prinsip selama 75 tahun. Kini tiada lagi pemain asli United (home grown) di setiap laga setelah Patrick McNair (20) dan James Wilson (19) masuk daftar tunggu.
Cangkang United boleh jadi tak berubah banyak. Mereka tetap sangar di atas lapangan. Namun tentu orang tidak tahu situasi di dalam, backroom. Kalau dulu suasana kamar ganti didasari ketakutan kini kebingungan. Padahal selama hampir tiga dekade, dapur pacu terbaik United dimulai dari sana. Di bawah logika kejam seperti ini, alhasil penggemar United diminta berdamai dengan kompromi.
Pendek kata, ambil saja positif dan hikmahnya. Optimis ini harus dipelihara, mengingat efisiensi organisasi bentukan Van Gaal selalu jadi pembuka cakrawala kejayaan klub-klub besar. Ajax, Barca, Bayern dan United, semoga. "Saya sudah janji pada istri. Kami tak punya waktu bersama lagi," kata Van Gaal ketika ditanya Vinny O'Connor dari Sky Sports News.
Ya pria 64 tahun itu akan pensiun total dari dunia permainan terindah ketika kontraknya di United kadaluarsa pada 30 Juni 2017. Penggantinya, Pep atau Giggs, bukan isu yang vital sekarang ini. Dua musim tersisa harus dimanfaatkan optimal. Berkaca dari CV-nya, Van Gaal tak pernah tanpa titel juara. Tapi, semoga United tidak seperti tim nasional Belanda, satu-satunya tempat kegagalan total Van Gaal alias nirprestasi sama sekali.
(foto: skysport/marcamedia/haydensport)
Jalan panjang dan berliku buat Louis van Gaal di Old Trafford. |
Musim pertamanya di Manchester United dihiasi dengan hentakan sekaligus kegagalan. Orang bertanya-tanya, apakah Red Devils pantas menempati urutan 4 di klasemen akhir? Tanda tanya ini menyeruak mengingat di 2014/15 dia menjadi The King of Window Shopping di bursa transfer dengan total bon belanja 136,75 juta pound (143,40 juta euro), kini setara dengan Rp 3 trilyun, untuk belanja enam pemain plus satu freelancer termahal dalam sejarah sepak bola bernama Radamel Falcao.
Terus terang, ekspektasi yang berfluktuasi itu tak saja menghantui para loyalis yang sering meneriakkan yel-yel "GGMU", tapi juga harapan dan sikap pemainnya sendiri terhadap rezim King Louis di kerajaan Old Trafford. Di tangan Van Gaal hampir mustahil melihat United bermain free-flowing dan free-scoring seperti di era Alex Ferguson.
Di tangan Van Gaal pula kesan retro pepatah 'hujan 27 tahun dihapus kemarau setahun' sungguh terjadi. Harapan meraih lagi titel Premier League pun seperti tuntutan yang terlalu berat. Total gol menjadi isu strategis berikutnya pria kelahiran Amsterdam 8 Agustus 1951. Musim lalu United cuma mencetak 62 gol, berselisih 21 gol dari Manchester City, atau kalah 9 gol dari Arsenal.
Bahkan rekor LVG itu masih kalah 2 gol dari David Moyes/Ryan Giggs meski muncul aib bagi United melihat peringkat 7 di klasemen akhir 2013/14, posisi United terburuk sejak 25 tahun. Saat Ferguson mengakhiri legacy-nya di 2012/13, total golnya 86. Sejarah rekor gol Van Gaal memang membingungkan ketimbang membanggakan.
Saat meraih Deutscher Meister alias kampiun Bundesliga, di musim pertamanya dengan Bayern Muenchen pada 2009/10, dia cuma mencetak 72 gol. Di musim 2010/11 meroket menjadi 81 gol, namun Bayern justru terperosok di posisi tiga, situasi yang mengawali PHK dirinya pada 10 April 2011. Pendukung Bayern bingung, penerus Van Gaal linglung.
Saat ganti dipegang Jupp Heynckes, total gol malah turun lagi menjadi 77 walau meraih runner-up. Setelah bersih-bersih dari anasir permainan Van Gaal, barulah Heynckes sukses di musim keduanya ketika mencetak 98 gol dan jadi kampiun. Kemudian permainan mengalir ala Heynckes diteruskan Josep Guardiola untuk mencatat total 94 gol pada debutnya.
Satu catatan yang mengesalkan lagi, rezim Van Gaal bertendensi mengebiri produktivitas striker. Produktivitas Wayne Rooney langsung anjlok menjadi 12 gol begitu pria bernama asli Aloysius Paulus Maria van Gaal itu masuk. Hingga tulisan ini kelar, malahan Rooney belum sanggup mencetak sebiji gol di Premier League musim ini! Padahal di era Moyes dan Giggs saja, si Wazza masih meraup 17 gol.
Louis van Gaal dan asistennya di Barcelona, Jose Mourinho. |
Statistik gol bukan sebagai ukuran dan perspektif falsafah Van Gaal. Simak saja komentarnya. Tak seperti Fergie yang selalu to the point, sederhana dan terangkum baik, maka Van Gaal lain lagi. Ia metodis, detil, tapi parsial. Misalnya: "Saya pikir kami lebih baik di babak pertama karena lebih banyak mengontrol, dengan 65% penguasaan. Di babak kedua turun 53% karena kami mulai lelah."
Terus terang, buat kaum #GGMU komentar seperti ini bikin sakit kepala. Telinga mereka sangat asing mendengar ucapan intelektual ala LVG karena benak mereka sudah puluhan tahun disetir dengan logika sederhana. Pendukung United biasa dimanjakan oleh jaminan, keyakinan dan bukti di lapangan. Mengendalikan permainan bukan sesuatu yang penting buat mereka kecuali menghabisinya.
Problem Backroom
Barangkali Van Gaal benar, sebab kalau mau menyalahkan tunjuklah Avram dan Joel Glazer. Masa lalu tak pernah mengkhianati masa depan. Van Gaal juga tak pernah mengkhianati komitmennya. Kecuali Ajax Amsterdam (1991-1997) dan AZ Alkmaar (2005-2009), tidak ada klub selain dari Belanda yang tahan dan kuat menerima Van Gaal plus falsafahnya lebih dari 3 tahun.
Namun uniknya warisan metodologis Van Gaal acapkali melahirkan konsep dan terobosan baru. Perjalanan tiki-taka di Barcelona memang buah karya Johan Cruyff dan sang murid, Pep Guardiola. Namun tanpa fondasi dan konsep Van Gaal, rasanya tiki-taka mustahil lahir. Tiki-taka itu aslinya memang menafikan harmonisasi.
Untuk itu Barcelona butuh penyesuaian di tangan Frank Rijkaard, salah satu murid terbaik Van Gaal selain Danny Blind dan Frank De Boer. Rijkaard mengawali dengan runner-up, menutupnya dengan dua kali titel La Liga, sekali Piala Super Spanyol dan Liga Champion. Heynckes juga begitu. Runner-up di awal lalu quadruple di Bundesliga, DFB Pokal, DFL-Super Cup dan Liga Champion.
Ketika pindah ke Bayern, Pep mencangkok konsep keseimbangan dari Van Gaal untuk mengimbangi permainan satu arah ala Barcelona. Pertahanan terbaik adalah menyerang ala Cruyff sudah tidak bisa dipertahankan lagi sebab setiap klub kini paham bagaimana cara menyerang. Tak ayal, falsafah Van Gaal telah menjadi salah satu basis terpenting sepak bola era modern.
Tanpa tiki-taka, Van Gaal sukses besar di Barcelona (1997-2000) terutama di dua musim perdana. Hubungannya dengan Cruyff memburuk sebab dia menutup kedua telinga begitu bapak moyang permainan Barcelona itu memberi masukan. Jangan lagi Anda, Anda atau Anda, seorang Cruyff saja siap dilindasnya. Salah satu korban dari totalitarianisme Van Gaal adalah Rivaldo, pemain terbaik dunia 1999.
Louis van Gaal saat di Bayern Muenchen. |
Setelah Van Persie atau Falcao, menyusul pula Tom Cleverley, Luis Nani, Jonny Evans, Angelo Henriquez, Rafael, Bebe, seterusnya. Sekarang pemain bagus seperti Victor Valdes, Adnan Janujaz, Tyrel Blackett, termasuk Rooney dan David De Gea mulai bernasib tiada menentu. Tampaknya hanya waktu saja yang kelak memastikan keberlangsungan mereka di United.
Di dalam lubuk hatinya, ini salah satu sikap positif, Van Gaal berkeyakinan bahwa orang Belanda adalah rektor sekaligus dosen terbaik di universitas bernama sepak bola. Usai Ferguson pensiun, eksistensi Republik Mancunia seolah limbung, hal yang wajar saat terjadi pergantian rezim. Tapi kelimbungan berubah jadi serius begitu Moyes masuk. Apakah di era LVG status itu kini menuju titik kritis?
Rasanya mustahil, dan jangan. Kurang bijaksana rasanya memvonis Van Gaal baru satu musim. Bicara ke depan, stabilitas United dan eksistensi Van Gaal masih dibutuhkan meski dialah pemutus mata rantai yang jadi aib besar karena menodai prinsip selama 75 tahun. Kini tiada lagi pemain asli United (home grown) di setiap laga setelah Patrick McNair (20) dan James Wilson (19) masuk daftar tunggu.
Cangkang United boleh jadi tak berubah banyak. Mereka tetap sangar di atas lapangan. Namun tentu orang tidak tahu situasi di dalam, backroom. Kalau dulu suasana kamar ganti didasari ketakutan kini kebingungan. Padahal selama hampir tiga dekade, dapur pacu terbaik United dimulai dari sana. Di bawah logika kejam seperti ini, alhasil penggemar United diminta berdamai dengan kompromi.
Pendek kata, ambil saja positif dan hikmahnya. Optimis ini harus dipelihara, mengingat efisiensi organisasi bentukan Van Gaal selalu jadi pembuka cakrawala kejayaan klub-klub besar. Ajax, Barca, Bayern dan United, semoga. "Saya sudah janji pada istri. Kami tak punya waktu bersama lagi," kata Van Gaal ketika ditanya Vinny O'Connor dari Sky Sports News.
Ya pria 64 tahun itu akan pensiun total dari dunia permainan terindah ketika kontraknya di United kadaluarsa pada 30 Juni 2017. Penggantinya, Pep atau Giggs, bukan isu yang vital sekarang ini. Dua musim tersisa harus dimanfaatkan optimal. Berkaca dari CV-nya, Van Gaal tak pernah tanpa titel juara. Tapi, semoga United tidak seperti tim nasional Belanda, satu-satunya tempat kegagalan total Van Gaal alias nirprestasi sama sekali.
(foto: skysport/marcamedia/haydensport)