Siapa yang tak tahu AC Milan, klub retro-historia dalam pentas Serie A? Di eranya, Milan adalah Italia, dan Italia adalah Milan. Tapi, sekarang...hmm. Anda pasti kenal siapa Franco Baresi, Paolo Maldini, Billy Costacurta, Mauro Tassotti, Roberto Donadoni, Carlo Ancelotti dan seterusnya? Tapi kenapa sekarang hegemoni tim penuh impian itu berhenti mendadak?
Nama-nama di atas adalah ikon generasi pertama, tengah sampai akhir 1980-an, hanya setahun setelah Rossoneri dibeli Silvio Berlusconi sejak 1986. Tim super dilahirkan dari orang-orang berkemampuan super, dan manajemen yang super pula. Kepopuleran skuad Milan dikatrol lagi oleh trisula stranieri; Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard, plus superallenatore Arrigo Sacchi.
Hanya tim super yang bisa mengalahkan tim super, dan terbukti, Milan yang memenangi persaingan antar tim super Serie A di puncak kejayaan kompetisi terbaik di dunia, Napoli dengan Diego Maradona-nya, Juventus dengan Michel Platini, dan Inter dengan Lothar Matthaeus.
Milanisti sejati rada uring-uringan jika tokoh-tokoh berikutnya, di awal sampai tengah 1990-an dilupakan. Lahir nama-nama pribumi seperti Alberigo Evani, Marco Simone, Demetrio Albertini, Stefano Eranio, Gianluigi Lentini hingga Daniele Massaro; yang rupanya mulus-mulus saja bersinergi dengan para senior termasuk trio Belanda, ketika stik estafet Milan dicabut paksa oleh Don Silvio ke Fabio Capello.
Pada era inilah dominasi il Diavolo Rosso melesat seperti roket, mengawang-awang bak satelit yang mapan di jagat raya. Di saat bersamaan akar Milan sangat kokoh, menancap ke dasar paling dalam, menjalar ke sela-sela kehidupan masyarakat negeri calcio. Sementara itu ruang dan waktu juga berpihak kepada mereka. Terlebih lagi Napoli sontak lumpuh begitu Maradona dicekal gara-gara narkoba.
Inter kehabisan tenaga. Juve kerap kena macet. Fiorentina masih merangkak, Roma wara-wiri entah ke mana, sehingga praktis musuh serius Milan cuma deretan lunak bin jinak seperti Sampdoria, Parma, atau Lazio. Berlusconi memupuk bakat Capello dengan telaten. Buahnya amat manis, titel invicibles nan langka "juara liga tanpa kalah" di 1991/92 digapai. Masih belum cukup, kejayaan bersambung menjadi tripel scudetto 1992/93, serta 1993/94 sebelum akhirnya dipuncaki titel kelima Liga Champion di musim yang sama. Memang sungguh nikmat mengenang euforia.
Menanggung realita itu yang berat. Milan, klub yang dulu bakatnya sangat bernutrisi kini sedang berada di persimpangan nasib dan kasta. Zona pembatas antara miskin dan kaya, kuadran kiri dan kanan, atas atau bawah, kelas penggembira atau pelakon. Sejarah kelam suka mengintip di sepak bola. Ingat tragedi Parma? Amit-amit, jangan seperti itu ah! Tapi mesti diingat juga tak ada klub yang spontan ambruk kecuali dengan perlahan-lahan, dengan tanda-tanda. Milan mesti sabar, semoga cuma 2-3 tahun untuk memetik buah reformasi manajemen dan revolusi mental yang sebentar lagi katanya mau di-overhaul.
Kejayaan sepak bola memang ditentukan oleh momen atau era. Namun momen dan era mesti dikreasi dan dibentuk; bukan hanya ditunggu. Anda mesti paham betapa terjalnya merebut kembali lahan kala positioning kita telah direbut orang. Juve perlu 5 tahun untuk seperti sekarang ini. Bahkan mereka pernah berpuasa 8 tahun, akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, untuk menanti kejayaan yang dimulai oleh Marcello Lippi dan Alessandro Del Piero. Napoli malah 9 tahun untuk bangkit, ini pun belum sampai ke puncak juga. Inter, Roma, Lazio, Fiorentina, Sampdoria, Genoa juga mulai bangun dari tidur.
Nah, musim kemarin posisi mereka semuanya membawahi Milan, bahkan dua musim beruntun ini Torino selalu di atas Milan! Bicara improvisasi, prosesnya sangat jelas. Jika mereka berlari, maka Milan berjalan. Jika mereka berjalan, maka Milan diam di tempat. Tren penurunan jadi bukti sahih: 2010/11 juara, 2011/12 runner up, 2012/13 ketiga, 2013/14 kedelapan, dan 2014/15 sepuluh!
Kemana perginya tradisi menang atau mental juara yang menjadi ciri khas Rossoneri? Julukan skuad Merah-Hitam sepertinya terpenggal otomatis menjadi merah untuk rapor atau status siaga mereka, dan hitam atas periode atau nasib mereka. Banyak yang harus dilihat untuk memahami kekacauan tiga tahun terakhir. Saling tuding cari biang kerok, siapa yang paling salah, tidak akan mengatasi persoalan.
Pandanglah ke depan, pahamilah bahwa kegagalan dan kekecewaan adalah bahan bakar utama kesuksesan. Kalau pun ada yang bertanggung jawab atas degradasi prestasi Milan, cuma satu orangnya: Berlusconi. Dia pun cuma punya satu kesalahan sepele: tidak menyiapkan pengganti saat dirinya menapaki karier ke panggung politik yang menyita waktu dan perhatian.
Awal Prahara
Bukan rahasia lagi, semua yang terjadi di Milan, sampai detik ini, harus diputuskan dan direstui Berlusconi, pria bangkotan berumur 78 tahun. Hukum yang berlaku: Milan adalah Berlusconi, Berlusconi adalah Milan. Sayangnya usia tak bisa dibohongi. Sel-sel otaknya semakin menua, kemampuan menjadi terbatas meski wajahnya rajin di-facelift.
Adriano Galliani, sahabat yang dijadikan CEO tak bisa diandalkan karena sampai kapan pun tetap canggung untuk memutuskan sesuatu. Selepas era Ancelotti di 2009, penunjukkan manajer atau pelatih kepala di Milan kian ajaib sebab di luar tradisi nama besar.
Pertama, Leonardo Araujo, eks gelandang Milan 1997-2001, yang menukangi tim junior saja belum mantap namun mampu memikat Berlusconi sehingga sempat diparkir dulu sebagai direktur teknik. Dapat ditebak, Leonardo akhirnya mengecewakan pemilik dan publik lantaran cuma membawa Milan di peringkat ketiga. Isu yang beredar, selain lisensi kepelatihannya digugat UEFA, orang ini juga ternyata normatif.
Giliran Massimiliano Allegri, yang diciduk dari Cagliari pada 25 Juni 2010. Uniknya meski CV-nya belum mumpuni serta timnya mulai jadi 'panti jompo', dia sukses memberi scudetto terakhir Milan berkat perjuangan keras tridente Zlatan Ibrahimovic, Robinho, Alexandre Pato. Saat itu para pengamat sudah yakin, ini laskar Milan terakhir yang sulit bersaing lagi ke depan.
Dan benar, Allegri resign mendadak karena stres melihat menciutnya dana transfer. Masuknya Clarence Seedorf pada 16 Januari 2014, hanya dua pekan setelah Allegri cabut dan sepekan dipegang Tassotti, pastinya bikin para pesaing kesenangan. Meski mengerahkan daya cipta dan value-nya sampai jontor, namun gelandang Milan selama 10 tahun (2002-2012) ini tidak berdaya juga mengakali skuad uzur.
Di akhir musim 2013/14, Rossoneri terjerembab ke posisi delapan. Milanello terguncang, Milanisti meradang. Tiada ampun bagi Seedorf. Jimatnya ternyata tidak sakti lagi. Berlusconi mereplika lagi keputusan akal-akalan tatkala merestui Filippo Inzaghi sebagai suksesor. Seperti aksinya dulu sewaktu jadi striker yang kayak layangan putus dan sering sruntulan, begitu juga performa Milan di bawah kendali Pippo. Kejengkelan suporter fanatik kini naik ke ubun-ubun, sampai-sampai untuk pertama kalinya berani menggugat Berlusconi.
Problem Milan adalah persoalan klasik. Aura pemilik otoriter yang jenius bin hebat serta berstatus the only-man, tapi bakat atau wataknya sulit diwarisi oleh keturunannya, terutama Pier Silvio, putra pertama dari pernikahannya dengan Carla Dall'Oglio. Belakangan, Berlusconi menjadikan Barbara, putri ketiganya, sebagai CEO Milan. Untuk mencari lagi akar terdalam prahara Milan, sulit ditampik itu berasal dari ambisi pribadi Berlusconi sendiri yang awalnya memanfaatkan brand Milan untuk terjun ke dunia politik.
Penggambaran tentang mantan Perdana Menteri Italia selama tiga kali itu barangkali mirip Arsene Wenger di Arsenal, dan partai Forza Milan identik dengan Stadion Emirates. Kedua orang ini sendiri yang sama-sama memporak-porandakan dominasi dan kejayaan yang sudah mapan dengan pendirian Forza Milan atau Emirates, yang pasti akan menyeret semua sumber daya, waktu, perhatian sampai konsentrasi.
Apakah keduanya naif, sebab menganggap persaingan di dunia ini masih belum masuk tingkatan edan? Entahlah. Yang pasti, manakala impian atau visi yang berskala 9,5 sekalipun dikumandangkan tanpa menghitung segala skenario terburuk, maka cikal bakal nestapa cepat lambat bakal terhampar. Andai kedua orang ini konsisten dengan kekuatan bakatnya, mungkin cerita sukses lebih banyak dari gagalnya.
Faktanya, setiap Berlusconi menjadi PM Italia, hasil yang dicapai Milan malah mengecewakan. Forza Milan barangkali memang momentum terbaik. Dia telah mendapatkannya. Namun ketika mulai ketagihan, ini jelas awal keruntuhan. Berlusconi ambruk, Milan bakal tersuruk.
Kohesi antara kekuasaan, keserakahan, intrik sampai skandal selalu mencirikan dunia politik, dan ketika dipadukan oleh mengurus klub sekelas Rossoneri, tujuh kali juara Eropa, barangkali hasilnya cuma ada dua: Anda akan semaput, atau Anda akan ngaco. Dan Berlusconi jadi ngaco saat lebih mengakrabi Forza Milan daripada AC Milan, belahan jiwa yang sesungguhnya.
Hasilnya amburadul. Arus profit dua kerajaan bisnisnya, Finninvest dan Mediaset, ikut terganggu. Keuntungan klubnya juga menciut, sampai-sampai kesulitan membeli bintang top yang berharga mahal, atau untuk mengontrak manajer berkaliber kakap. Rumah tangga juga ikut berantakan. Pada 2010 Berlusconi bercerai dengan istri keduanya, Veronica Lario.
Kemunculan Taechaubol
Layaknya kultur Italia yang mirip-mirip dengan di Indonesia, ketika bakti pada ibu dan hormat pada istri, atau salah satunya, sudah dilanggar seorang pria, maka bencana di ambang mata. Percaya atau tidak, ini juga terjadi pada Berlusconi. Bahkan akal sehatnya makin singit tatkala ia terbukti punya skandal memalukan dengan gadis di bawah umur.
Dasar Berlusconi, meski sudah hancur-hancuran, sekarang ini masih terus saja ngotot untuk menjadi PM keempat kalinya setelah tergusur pada 2011. Kakek kelahiran 29 September 1936 itu nyaris tidak punya energi lagi untuk Milan sebab waktu dan tenaganya sudah tersedot untuk mengatasi kasus demi kasus.
Mulai dari politik sampai bisnis. Keluarga sampai reputasi pribadinya yang membuat dia lebih sering datang ke pengadilan ketimbang ke Milanello, markas besar klubnya. Siapapun tahu, sebenarnya nama Berlusconi lebih indah di sepak bola, dari pada di bisnis atau politik.
Berlusconi lebih hebat dari beberapa manajer dan direktur transfer di Italia. Dia hanya meminjam tubuh Allegri ketika menjadikan Milan scudetto 2010/11. Saat berjaya menangani Milan, kunci sukses Capello paling awal adalah menuruti kemauan capo di cappi tutti (bos dari segala bos) itu.
Ariedo Braida, master transfer kelas kakap setelah Luciano Moggi, juga belajar dari Don Silvio sehingga lancar mendatangkan Van Basten, Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka, dan Thiago Silva - empat pilar sukses Milan di tiga era sebelumnya. Usai melihat Milan melakoni dua musim terakhir yang paling hitam di eranya, Berlusconi seperti tersadarkan.
Dia mengumpulkan keluarganya serta orang-orang terdekatnya di Arcore, vilanya yang terletak antara Monza dan Milano. Agendanya bisa ditebak, rencana pelepasan sebagian saham Milan kepada pebisnis Thailand, Bee Taechaubol. Di ujung rapat keluarga itu sang supremo tiba-tiba berwasiat. "Kalian boleh menjual apapun yang saya atau kamu miliki, kecuali dua hal yaitu rumah ini, dan AC Milan," ujar Berlusconi di depan anak-cucunya soal hasrat terpendamnya.
Munculnya Taechaubol, 39 tahun, seperti tonik penambah vitalitas untuk Milan yang sedang babak belur. Celakanya hal ini dirasakan oleh Milan pada dua folder terpenting sepak bola, yaitu pelatih berkualitas dan beberapa calon superstar. Masih disebut calon, sebab superstar yang asli biasanya butuh panggung Liga Champion atau Liga Europa untuk bersolek diri. Maaf, soalnya sekarang masuk tahun kedua anak-anak Milan tidak akan jalan-jalan ke Eropa.
Usai jumpa Taechaubol, giliran Sinisa Mihajlovic yang dibidik Berlusconi untuk dijadikan manajernya ke-14. Sayang Carlo Ancelotti menolak pinangannya lantaran ingin cuti setahun penuh setelah menjalani periode yang melelahkan di Real Madrid. Harapan buat Milan selalu ada bila Berlusconi memberikan atensinya.
Belakangan ia rajin menyambangi Milanello. Hal ini saja sesungguhnya sudah menggembirakan para Milanisti. Apakah dia sudah tobat? Semoga. Ibarat kursi oblak, empat kaki kursi di Milan adalah Berlusconi, manajer, dana transfer, dan terakhir stadion. Teori empat kaki kursi berlaku untuk semua klub Italia, yang bisa diterjemahkan sebagai presiden klub, manajer, pemain top, dan pabrik uang.
Tapi teori kursi oblak sekarang sedang diderita Milan. Juventus merupakan satu-satunya, dan pertama, yang baut-mur kaki kursinya kokoh dan mantap. Yang lain kebanyakan hanya mentok punya 2-3 kaki kursi yang sehat, bahkan ada yang bersandar atau duduk hanya dengan satu kaki kursi.
Berjalan tertatih-tatih masih lebih bagus daripada diam di tempat. Jika mulai bulan ini Berlusconi sudah mau turun gunung dan deal dengan Taechaubol dan pencarian manajer top berakhir indah, artinya Milan telah mereparasi tiga kaki kursinya, lumayan banget dibanding sebelumnya.
Kaki kursi terakhir adalah mesin uang untuk pengembangan infrastruktur. Kebutuhan pada stadion, untuk menggelontorkan pemasukan rutin jadi prioritas sesudah urusan manajemen dan konten permainan kelar. Tampaknya Milan mulai punya jarum dan benang untuk menjahit lagi sejarahnya yang sempat sobek.
(foto: nouvasocieta/casamilan)
Silvio Berlusconi (kanan) paling bertanggung jawab atas degradasinya prestasi Milan. |
Hanya tim super yang bisa mengalahkan tim super, dan terbukti, Milan yang memenangi persaingan antar tim super Serie A di puncak kejayaan kompetisi terbaik di dunia, Napoli dengan Diego Maradona-nya, Juventus dengan Michel Platini, dan Inter dengan Lothar Matthaeus.
Milanisti sejati rada uring-uringan jika tokoh-tokoh berikutnya, di awal sampai tengah 1990-an dilupakan. Lahir nama-nama pribumi seperti Alberigo Evani, Marco Simone, Demetrio Albertini, Stefano Eranio, Gianluigi Lentini hingga Daniele Massaro; yang rupanya mulus-mulus saja bersinergi dengan para senior termasuk trio Belanda, ketika stik estafet Milan dicabut paksa oleh Don Silvio ke Fabio Capello.
Pada era inilah dominasi il Diavolo Rosso melesat seperti roket, mengawang-awang bak satelit yang mapan di jagat raya. Di saat bersamaan akar Milan sangat kokoh, menancap ke dasar paling dalam, menjalar ke sela-sela kehidupan masyarakat negeri calcio. Sementara itu ruang dan waktu juga berpihak kepada mereka. Terlebih lagi Napoli sontak lumpuh begitu Maradona dicekal gara-gara narkoba.
Inter kehabisan tenaga. Juve kerap kena macet. Fiorentina masih merangkak, Roma wara-wiri entah ke mana, sehingga praktis musuh serius Milan cuma deretan lunak bin jinak seperti Sampdoria, Parma, atau Lazio. Berlusconi memupuk bakat Capello dengan telaten. Buahnya amat manis, titel invicibles nan langka "juara liga tanpa kalah" di 1991/92 digapai. Masih belum cukup, kejayaan bersambung menjadi tripel scudetto 1992/93, serta 1993/94 sebelum akhirnya dipuncaki titel kelima Liga Champion di musim yang sama. Memang sungguh nikmat mengenang euforia.
Menanggung realita itu yang berat. Milan, klub yang dulu bakatnya sangat bernutrisi kini sedang berada di persimpangan nasib dan kasta. Zona pembatas antara miskin dan kaya, kuadran kiri dan kanan, atas atau bawah, kelas penggembira atau pelakon. Sejarah kelam suka mengintip di sepak bola. Ingat tragedi Parma? Amit-amit, jangan seperti itu ah! Tapi mesti diingat juga tak ada klub yang spontan ambruk kecuali dengan perlahan-lahan, dengan tanda-tanda. Milan mesti sabar, semoga cuma 2-3 tahun untuk memetik buah reformasi manajemen dan revolusi mental yang sebentar lagi katanya mau di-overhaul.
Kejayaan sepak bola memang ditentukan oleh momen atau era. Namun momen dan era mesti dikreasi dan dibentuk; bukan hanya ditunggu. Anda mesti paham betapa terjalnya merebut kembali lahan kala positioning kita telah direbut orang. Juve perlu 5 tahun untuk seperti sekarang ini. Bahkan mereka pernah berpuasa 8 tahun, akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, untuk menanti kejayaan yang dimulai oleh Marcello Lippi dan Alessandro Del Piero. Napoli malah 9 tahun untuk bangkit, ini pun belum sampai ke puncak juga. Inter, Roma, Lazio, Fiorentina, Sampdoria, Genoa juga mulai bangun dari tidur.
Riccardo Montolivo dan Mario Balotelli. Mulai masuk siaga merah. |
Kemana perginya tradisi menang atau mental juara yang menjadi ciri khas Rossoneri? Julukan skuad Merah-Hitam sepertinya terpenggal otomatis menjadi merah untuk rapor atau status siaga mereka, dan hitam atas periode atau nasib mereka. Banyak yang harus dilihat untuk memahami kekacauan tiga tahun terakhir. Saling tuding cari biang kerok, siapa yang paling salah, tidak akan mengatasi persoalan.
Pandanglah ke depan, pahamilah bahwa kegagalan dan kekecewaan adalah bahan bakar utama kesuksesan. Kalau pun ada yang bertanggung jawab atas degradasi prestasi Milan, cuma satu orangnya: Berlusconi. Dia pun cuma punya satu kesalahan sepele: tidak menyiapkan pengganti saat dirinya menapaki karier ke panggung politik yang menyita waktu dan perhatian.
Awal Prahara
Bukan rahasia lagi, semua yang terjadi di Milan, sampai detik ini, harus diputuskan dan direstui Berlusconi, pria bangkotan berumur 78 tahun. Hukum yang berlaku: Milan adalah Berlusconi, Berlusconi adalah Milan. Sayangnya usia tak bisa dibohongi. Sel-sel otaknya semakin menua, kemampuan menjadi terbatas meski wajahnya rajin di-facelift.
Adriano Galliani, sahabat yang dijadikan CEO tak bisa diandalkan karena sampai kapan pun tetap canggung untuk memutuskan sesuatu. Selepas era Ancelotti di 2009, penunjukkan manajer atau pelatih kepala di Milan kian ajaib sebab di luar tradisi nama besar.
Pertama, Leonardo Araujo, eks gelandang Milan 1997-2001, yang menukangi tim junior saja belum mantap namun mampu memikat Berlusconi sehingga sempat diparkir dulu sebagai direktur teknik. Dapat ditebak, Leonardo akhirnya mengecewakan pemilik dan publik lantaran cuma membawa Milan di peringkat ketiga. Isu yang beredar, selain lisensi kepelatihannya digugat UEFA, orang ini juga ternyata normatif.
Giliran Massimiliano Allegri, yang diciduk dari Cagliari pada 25 Juni 2010. Uniknya meski CV-nya belum mumpuni serta timnya mulai jadi 'panti jompo', dia sukses memberi scudetto terakhir Milan berkat perjuangan keras tridente Zlatan Ibrahimovic, Robinho, Alexandre Pato. Saat itu para pengamat sudah yakin, ini laskar Milan terakhir yang sulit bersaing lagi ke depan.
Dan benar, Allegri resign mendadak karena stres melihat menciutnya dana transfer. Masuknya Clarence Seedorf pada 16 Januari 2014, hanya dua pekan setelah Allegri cabut dan sepekan dipegang Tassotti, pastinya bikin para pesaing kesenangan. Meski mengerahkan daya cipta dan value-nya sampai jontor, namun gelandang Milan selama 10 tahun (2002-2012) ini tidak berdaya juga mengakali skuad uzur.
Di akhir musim 2013/14, Rossoneri terjerembab ke posisi delapan. Milanello terguncang, Milanisti meradang. Tiada ampun bagi Seedorf. Jimatnya ternyata tidak sakti lagi. Berlusconi mereplika lagi keputusan akal-akalan tatkala merestui Filippo Inzaghi sebagai suksesor. Seperti aksinya dulu sewaktu jadi striker yang kayak layangan putus dan sering sruntulan, begitu juga performa Milan di bawah kendali Pippo. Kejengkelan suporter fanatik kini naik ke ubun-ubun, sampai-sampai untuk pertama kalinya berani menggugat Berlusconi.
Problem Milan adalah persoalan klasik. Aura pemilik otoriter yang jenius bin hebat serta berstatus the only-man, tapi bakat atau wataknya sulit diwarisi oleh keturunannya, terutama Pier Silvio, putra pertama dari pernikahannya dengan Carla Dall'Oglio. Belakangan, Berlusconi menjadikan Barbara, putri ketiganya, sebagai CEO Milan. Untuk mencari lagi akar terdalam prahara Milan, sulit ditampik itu berasal dari ambisi pribadi Berlusconi sendiri yang awalnya memanfaatkan brand Milan untuk terjun ke dunia politik.
Penggambaran tentang mantan Perdana Menteri Italia selama tiga kali itu barangkali mirip Arsene Wenger di Arsenal, dan partai Forza Milan identik dengan Stadion Emirates. Kedua orang ini sendiri yang sama-sama memporak-porandakan dominasi dan kejayaan yang sudah mapan dengan pendirian Forza Milan atau Emirates, yang pasti akan menyeret semua sumber daya, waktu, perhatian sampai konsentrasi.
Apakah keduanya naif, sebab menganggap persaingan di dunia ini masih belum masuk tingkatan edan? Entahlah. Yang pasti, manakala impian atau visi yang berskala 9,5 sekalipun dikumandangkan tanpa menghitung segala skenario terburuk, maka cikal bakal nestapa cepat lambat bakal terhampar. Andai kedua orang ini konsisten dengan kekuatan bakatnya, mungkin cerita sukses lebih banyak dari gagalnya.
Faktanya, setiap Berlusconi menjadi PM Italia, hasil yang dicapai Milan malah mengecewakan. Forza Milan barangkali memang momentum terbaik. Dia telah mendapatkannya. Namun ketika mulai ketagihan, ini jelas awal keruntuhan. Berlusconi ambruk, Milan bakal tersuruk.
Kohesi antara kekuasaan, keserakahan, intrik sampai skandal selalu mencirikan dunia politik, dan ketika dipadukan oleh mengurus klub sekelas Rossoneri, tujuh kali juara Eropa, barangkali hasilnya cuma ada dua: Anda akan semaput, atau Anda akan ngaco. Dan Berlusconi jadi ngaco saat lebih mengakrabi Forza Milan daripada AC Milan, belahan jiwa yang sesungguhnya.
Hasilnya amburadul. Arus profit dua kerajaan bisnisnya, Finninvest dan Mediaset, ikut terganggu. Keuntungan klubnya juga menciut, sampai-sampai kesulitan membeli bintang top yang berharga mahal, atau untuk mengontrak manajer berkaliber kakap. Rumah tangga juga ikut berantakan. Pada 2010 Berlusconi bercerai dengan istri keduanya, Veronica Lario.
Kemunculan Taechaubol
Bee Taechaubol, pebisnis Thailand, diharapkan sebagai tonik penambah vitalitas buat AC Milan. |
Dasar Berlusconi, meski sudah hancur-hancuran, sekarang ini masih terus saja ngotot untuk menjadi PM keempat kalinya setelah tergusur pada 2011. Kakek kelahiran 29 September 1936 itu nyaris tidak punya energi lagi untuk Milan sebab waktu dan tenaganya sudah tersedot untuk mengatasi kasus demi kasus.
Mulai dari politik sampai bisnis. Keluarga sampai reputasi pribadinya yang membuat dia lebih sering datang ke pengadilan ketimbang ke Milanello, markas besar klubnya. Siapapun tahu, sebenarnya nama Berlusconi lebih indah di sepak bola, dari pada di bisnis atau politik.
Berlusconi lebih hebat dari beberapa manajer dan direktur transfer di Italia. Dia hanya meminjam tubuh Allegri ketika menjadikan Milan scudetto 2010/11. Saat berjaya menangani Milan, kunci sukses Capello paling awal adalah menuruti kemauan capo di cappi tutti (bos dari segala bos) itu.
Ariedo Braida, master transfer kelas kakap setelah Luciano Moggi, juga belajar dari Don Silvio sehingga lancar mendatangkan Van Basten, Andriy Shevchenko, Ricardo Kaka, dan Thiago Silva - empat pilar sukses Milan di tiga era sebelumnya. Usai melihat Milan melakoni dua musim terakhir yang paling hitam di eranya, Berlusconi seperti tersadarkan.
Dia mengumpulkan keluarganya serta orang-orang terdekatnya di Arcore, vilanya yang terletak antara Monza dan Milano. Agendanya bisa ditebak, rencana pelepasan sebagian saham Milan kepada pebisnis Thailand, Bee Taechaubol. Di ujung rapat keluarga itu sang supremo tiba-tiba berwasiat. "Kalian boleh menjual apapun yang saya atau kamu miliki, kecuali dua hal yaitu rumah ini, dan AC Milan," ujar Berlusconi di depan anak-cucunya soal hasrat terpendamnya.
Munculnya Taechaubol, 39 tahun, seperti tonik penambah vitalitas untuk Milan yang sedang babak belur. Celakanya hal ini dirasakan oleh Milan pada dua folder terpenting sepak bola, yaitu pelatih berkualitas dan beberapa calon superstar. Masih disebut calon, sebab superstar yang asli biasanya butuh panggung Liga Champion atau Liga Europa untuk bersolek diri. Maaf, soalnya sekarang masuk tahun kedua anak-anak Milan tidak akan jalan-jalan ke Eropa.
Usai jumpa Taechaubol, giliran Sinisa Mihajlovic yang dibidik Berlusconi untuk dijadikan manajernya ke-14. Sayang Carlo Ancelotti menolak pinangannya lantaran ingin cuti setahun penuh setelah menjalani periode yang melelahkan di Real Madrid. Harapan buat Milan selalu ada bila Berlusconi memberikan atensinya.
Belakangan ia rajin menyambangi Milanello. Hal ini saja sesungguhnya sudah menggembirakan para Milanisti. Apakah dia sudah tobat? Semoga. Ibarat kursi oblak, empat kaki kursi di Milan adalah Berlusconi, manajer, dana transfer, dan terakhir stadion. Teori empat kaki kursi berlaku untuk semua klub Italia, yang bisa diterjemahkan sebagai presiden klub, manajer, pemain top, dan pabrik uang.
Tapi teori kursi oblak sekarang sedang diderita Milan. Juventus merupakan satu-satunya, dan pertama, yang baut-mur kaki kursinya kokoh dan mantap. Yang lain kebanyakan hanya mentok punya 2-3 kaki kursi yang sehat, bahkan ada yang bersandar atau duduk hanya dengan satu kaki kursi.
Berjalan tertatih-tatih masih lebih bagus daripada diam di tempat. Jika mulai bulan ini Berlusconi sudah mau turun gunung dan deal dengan Taechaubol dan pencarian manajer top berakhir indah, artinya Milan telah mereparasi tiga kaki kursinya, lumayan banget dibanding sebelumnya.
Kaki kursi terakhir adalah mesin uang untuk pengembangan infrastruktur. Kebutuhan pada stadion, untuk menggelontorkan pemasukan rutin jadi prioritas sesudah urusan manajemen dan konten permainan kelar. Tampaknya Milan mulai punya jarum dan benang untuk menjahit lagi sejarahnya yang sempat sobek.
(foto: nouvasocieta/casamilan)