Italia menyambut Serie A musim 2015/16. Belum lagi dimulai, perang urat syaraf sudah bertebaran di mana-mana. Iyalah kalau yang ikutan perang itu klub-klub kandidat juara. Belakangan, ada juga yang tidak. Klubnya bisa dibilang mustahil menjadi scudetto, tapi ocehan sang pemilik begitu menggugah perasaan.
Yang dibidik aneh, yang membidik bikin kita melongo. Apa hubungan Maurizio Zamparini mengobok-obok reputasi Max Allegri? Maurizio Zamparini merupakan pemilik Palermo yang sikap kontroversialnya sejajar dengan Silvio Berlusconi (Milan) atau Aurelio De Laurentiis (Napoli). Ocehannya sering bikin kuping panas dan mati kutu orang.
Seorang Massimiliano Allegri yang barusan meraih titel pribadi menjadi kampiun Serie A 2014/15 pun tak luput direndahkan bos Palermo itu. Tapi boleh percaya atau tidak, inilah justru tanda-tanda dia akan sukses lagi. Zamparini dikenal punya kharisma luar biasa mengingat dia cuma memiliki Palermo, bukan Milan atau Napoli. Tipikal hujatan pebisnis 74 tahun kesannya sentimental pribadi bahkan rasis.
Saat masih di Inter, Jose Mourinho pun mengaku tobat meladeni lelaki kelotokan ini setelah disindir begini: “Orang (Mourinho) ini cuma datang dari negeri 10 juta pelatih lalu dia sedang berusaha menjadi pelatih yang baik di negeri 60 juta pelatih.”
Portugal berpenduduk 10 juta dan hampir semuanya menggilai sepak bola. Populasi Italia lebih dari 60 juta dan seluruhnya memahami sepak bola. Awalnya tujuan Don Mauri seperti itu tak lain untuk melucuti mental pelatih lawan sebelum atau sesudah mereka bermain di Renzo Barbera. Sulit cari alasan kenapa pria ikal yang mulai memiliki klub berjuluk Rosanera sejak 2002 ini suka sekali menyemprot pelatih lawan juga pelatihnya sendiri.
Terhadap seseorang intuisi Zamparini dikenal amat tajam, setajam dia menemukan dan menempa lalu menjual mahal deretan pemain berikut ini: Andrea Barzagli, Fabio Grosso, Luca Toni, Fabrizio Miccoli, Javier Pastore, Fabio Simplicio, Salvatore Sirigu, Amauri Carvalho, Edinson Cavani, Abel Hernandez, dan yang terakhir adalah... Paulo Dybala, yang kini menjadi anak asuh Allegri di Juve. Sisi buruknya, Zamparini telah belasan kali menghardik allenatore di Palermo sebelum memecatnya.
Uniknya, tanpa banyak yang menyadari, kicauan Zamparini menyimpan misteri. Biasanya deretan pelatih yang disindir atau dimusuhinya bukannya menukik kariernya tapi malah tambah sukses! Mourinho salah satunya. Nah, apakah kilasan peristiwa silam, dengan meminjam daya intuitif bin spiritual dari Zamparini bisa dipakai untuk mengeker sukses Allegri musim ini? Sinyal justru diletupkan Zamparini pada saat Juve dan Allegri lagi berbulan madu dengan mesra.
Pada saat mereka sedang menikmati kedigdayaan 2015 sebagai Il Vincitore Triplo berupa Scudetto, Coppa Italia, dan SuperCoppa Italiana. Apa kata Zamparini? “Siapa juara 2015/16? Saya tempatkan Roma dulu, baru Juventus. Catat, bukan Juve baru Roma! Mau tahu alasannya? Karena Roma punya pelatih lebih bagus. Ada sosok Antonio Conte pada diri Rudy Garcia. Allegri? Aha, justru dialah satu-satunya titik kelemahan Juve terbesar,” tukas Zamparini santai.
Rupanya di mata dia tak ada kelebihan sama sekali dari seorang master bernama Allegri Il Vincitore. Mau dibilang psikopat atau gendeng, ungkapan Zamparini sekali lagi perlu dipandang dengan beda kaca mata. Ingat, apa yang dicuatkannya biasanya sesuatu yang “benar”. Inter juga pernah berasyik-mahsyuk dengan kekuasaan ketika dipimpin Mourinho Il Vincitore. Namun apakah ucapan sentimen atau intuisi Zamparini tentang sikap Mourinho juga salah?
Jadi, apakah Allegri bakal gagal musim ini dan Juventus kehilangan gelar? Dimohon Anda jangan terburu-buru memastikannya sebelum membaca beberapa genggam kisah berikut. Namanya memang tidak sesuai dengan nuansa musik, allegro – kesenangan atau kegembiraan – tapi, begitulah Allegri yang kita tahu apa adanya. Selalu paradoks. Perhatikan wajahnya yang sayu, dan kalau Anda berkenan, perhatikan pula kisah suksesnya yang cenderung mendayu-dayu.
Episode 1, Maret 2013. Di depan jurnalista, seseorang pendatang baru di Serie A bernama Giorgio Squinzi bikin heboh seusai bersua Berlusconi dalam satu kesempatan. “Saya ingat beliau mengeluh soal Allegri yang tidak becus apa-apa karena sering menyia-nyiakan Stephan El Shaarawy. Di mata saya, kans terbaik Allegri itu jika dia menangani skuad buangan, bukan skuad harapan,” kata bos klub Sassuolo yang juga seorang Milanisti ini.
Episode dua, Desember 2013. Berlusconi kembali mempermalukan Allegri di depan umat, sekaligus mengiyakan Zamparini bahwa Italia itu negeri dengan 60 juta pelatih bola. “Seperti biasanya, tim ini lebih butuh perhatian dan perawatan dari saya. Tahun lalu tahun bencana, saya yang membenahi mental tim. Taktik Allegri sulit dipahami. Bagaimana bek lamban Cristian Zapata diduetkan dengan Phillipe Mexes yang demotivasi?” ucap Don Silvio sengit.
“Latihan fisik tim amat payah dan gaya permainannya menyedihkan. Kita juga belum lupa atas kepergian Andrea Pirlo di akhir 2010/11. Dia pergi karena tidak tahan setelah dipaksa main oleh Allegri sebagai gelandang biasa, padahal satu Italia pun tahu: takdir Pirlo adalah dirigen, direktur permainan,” lanjut bos dari segala bos di Rossoneri itu yang tampak masih geram dan dendam walau sang pemain kesayangannya itu telah dua tahun tiada dari Milanello.
Ambisi Pribadi
Selang dua minggu setelah pidato raja, saat itu Allegri pun resign. Awal musim 2014/15 ucapan Berlusconi bertuah mirip Zamparini. Pirlo ketiban sial karena dadakan Allegri dicokok ke Juve. Sejarah terulang, Pirlo mulai dinomor-duakan. Ketika akhirnya ia merasakan bulan madu Allegri dan klubnya makin membara, Pirlo Il Corifeo langsung mundur dari panggung Juve dan arena Serie A untuk memulai hidup baru di Amerika Serikat. Gara-gara Allegri lagi?
Sudah tipikal Italiano suka membahas detil pribadi orang, bukan apa yang dihasilkannya untuk kemashalatan publik. Banyak contoh dalam hidup, orang seperti Allegri ini tetap punya rejeki dan nasib baik walau datangnya lelet dan bikin empot-empotan orang. Sikapnya ke Pirlo, serapahan Berlusconi, atau kesan negatif Squinzi terbukti justru jadi ‘bekal’ utama berprestasi luar biasa di 2015. Bagaimana di 2016, manakala Zamparini dengan ceplas-ceplos menyatakan sikapnya?
Orang yang di tubuhnya mengalir adrenalin cepat menggelegak biasanya memang sebal pada Allegri. Gayanya yang alon-alon tidak ketulungan, apalagi di laga-laga perdana atau sebulan pertama. Panasnya selalu belakangan, padahal dia bukan Jerman. Tapi itu dulu. Berlusconi saja yang sial. Waktu debut di Rossoneri, Allegri hanya menuai lima poin dari 5 laga, artinya semua pertarungannya seri. Tampaknya suratan nasib Allegri harus selalu ditendang pantatnya.
Setelah banyak dikecam, baru Allegri bikin kejutan. Selang tiga bulan berikut, Milan hanya sekali kalah dan sekali seri. Begitu juga di musim keduanya. Lima poin dari empat laga. Tiga bulan berikutnya, cuma dua kali kalah dan sekali seri. Kebiasaan Allegri adalah mulai hangat saat salju mulai turun, alias di sekitar Desember. Nah bisa Anda maklumi jika dia bikin banyak mulut orang menganga lantaran musim lalu di lima laga awalnya Juve sanggup meraup 15 poin. Wow!
Apakah Allegri telah menemukan formula baru? Atau, lantaran duet Andrea Agnelli dan Pavel Nedved sering menepuk-nepuk bahunya? Pastinya Allegri punya motivasi baru, dan amat jelas pula, Agnelli-Nedved yang kalah tua darinya, punya treatment atau cara berbeda dengan Berlusconi. Ini agaknya lebih kepada hal-hal non-teknis. Boleh jadi Allegri langsung merasa nyaman di Juve sehingga dengan mudahnya dia berkreasi dan bekerja.
Karena secara taktik, sejumlah pakar di Italia mematok Allegri sebagai ahli siasat yang bagus. Dibanding substitusinya, Allegri ada di tengah-tengah. Dia jelas bukan kelas Marcello Lippi yang tetap tenang dan selalu yakin mencapai tujuan walau diberi Fiat 500. Tapi lelaki kurus itu juga bukan tipe Ciro Ferrara, allenatore Juve terparah, yang kalau bisa ingin punya Ferrari 488 Spider, dengan cadangannya Lamborghini Aventador LP 750.
Barangkali Allegri minimal kelasnya Alfa Romeo, atau katakanlah Maserati. Di beberapa segi dia malah lebih gampang bermanuver. Di pekan padat merayap misalnya, Allegri menunjukkan kekayaan variasi taktiknya. Lolosnya Juventus ke final Liga Champion musim lalu, setelah ngik-ngikan di penyisihan grup, merupakan bukti nyata permainan Allegri dipenuhi menu dan manuver yang kerap mengecoh pelatih-pelatih top Eropa lainnya.
Dari pentas Serie A musim ini tampaknya Allegri tidak perlu terlalu kuatir ke Liga Champion musim depan. Hampir pasti satu tiket telah digapai. Yang seru dua sisanya yang akan melahirkan rebutan ‘tangkap ayam’ antara Roma, Fiorentina, Inter, Napoli, Lazio dan mungkin eks klubnya, Milan. Namun mengenang perjalanan Capello atau Ancelotti, agaknya begitu juga Allegri. Tanpa harus menyelidikinya pun orang tahu bahwa ambisi dia adalah Eropa, Liga Champion!
Pola kerja dan peluang Allegri di musim 2015/16 tergantung dari target klub. Yang pasti kini saatnya Juve menguasai tatanan global, bukan lagi lokal atau regional. Dan satu-satunya cara paling smart meraihnya adalah dengan menjuarai Liga Champion. Titik. Jadi, hampir pasti target pribadi Allegri musim ini adalah, [1] Liga Champion, [2] Serie A. Jika skenario ini benar adanya, maka Allegri akan jauh lebih letih dibanding musim lalu.
Usai menang dramatis 3-2 atas Olympiacos yang meloloskan Bianconeri dari babak grup, tak dinyana dia berkicau via Twitter untuk menunjukkan perjuangan beratnya dengan menulis “#fiuuu” yang bermakna ‘fuuuh!’ atau phew dalam bahasa Inggris, alias ungkapan lega. Liga Champion musim lalu kelak menjadi modal berharga yang dapat mendekati impian pribadinya ke depan. Final di Berlin, Mei silam sudah dekat, tapi tetap belum cukup karena faktor jam terbang.
Apakah ucapan Zamparini akan jadi kenyataan? Titel Serie A bakal lepas ke tangan orang lain sebab obsesi Allegri dan Juve ada di Liga Champion? Catat, jika jadi kenyataan hal ini bukan karena Allegri tak becus menahan gelarnya akan tetapi lebih kepada prioritas dan konsentrasi. Pengenalan dan pemaknaan Allegri terhadap pesaing di Eropa terbilang minor sebab dia hanya seorang jago kandang, seluruh darma baktinya habis di dalam negeri.
Pragmatis Tulen
Pria kelahiran 11 Agustus 1967 ini bukan petualang sejati seperti Fabio Capello dan Carlo Ancelotti, bahkan mendekati Claudio Ranieri pun tidak. Tapi dia selalu terobsesi seperti mereka. Itu hasrat terdalamnya. Untuk dapat melanglang buana dia tahu syaratnya, CV-nya harus diisi dengan rekor Eropa. Gara-gara jam terbangnya di Eropa yang belum mumpuni itulah yang jadi sebab Milan di eranya tidak berkutik di ajang Eropa, ya termasuk dengan Juve musim kemarin.
Ambisi pribadi Allegri tidak setinggi Capello dan Ancelotti. Sejarah masa muda tidak bisa dibohongi. Saat aktif, Allegri hanya gelandang gurem dan satu-satunya klub top yang dibelanya hanya Napoli, itu pun cuma tujuh kali main. Sebelum dan sesudahnya, klub yang memakai tenaga Allegri bermerek aneh-aneh: Cuoiopelli, Pavia, Pistoiese atau Aglianese. Bandingkan dengan karier Capello (Roma, Juve, Milan) dan Ancelotti (Roma, Milan).
Tempat terbaik untuk Allegri tetap di Serie A, dan dia pun masih merasa haus. Situasi bisa berbahaya andai Agnelli dan juga Allegri terlalu menekan dirinya habis-habisan. Musim depan dapur serangan Juve hanya mengandalkan Paul Pogba, Claudio Marchisio serta debutan Sami Khedira setelah Pirlo dan Arturo Vidal pergi. Sepintas melihat komposisi gelandangnya sekarang, Juve sulit bersaing di Eropa. Satu catatan penting, Khedira sangat rentan cedera.
Organ terpenting buat Allegri bukan perut kelaparan seperti yang jadi prinsip Conte akan tetapi kecerdasan otak. Ini kunci sukses Allegri sesungguhnya. Allegri tahu, dalam sepak bola ada ratusan cara untuk sukses. Usai memberi scudetto pada Juve musim lalu, Allegri tercatat dalam buku besar calcio sebagai salah satu dari enam legenda pelatih yang memberi titel di dua klub berbeda. Dalam satu sisi saja dia sudah mengalahkan Mister Conte, sang pujaan Juventini.
Apakah Allegri akan sukses, sanggup mempertahankan titel Serie A di musim depan? Jawabannya ya mengingat probabilitas dia jauh lebih besar melihat reputasinya, pengalamannya, kedalaman skuadnya, kepercayaan para pemain, manajemen hingga gelombang dukungan dari Juventini. Faktor tifosi yang kini mendukungnya jadi titik balik motivasi Allegri yang terpenting. Masih terngiang dalam ingatan apa yang didapat Allegri setelah resmi menggantikan Conte.
Juli 2014, hari pertama Allegri muncul di markas latihan Vinovo amat nista dan terasa gila. Mobilnya digebrak, ditendang, diludahi serta dilempari telur oleh suporter fanatik Juve. Mereka ini masih sangat dendam dengan Milan dan Allegri, dua pihak yang dianggap sebagai biang keladi yang menyebabkan Juventus didegradasi paksa ke Serie B di musim 2006/07 gara-gara skandal Calciopoli. Namun 10 bulan kemudian, situasi berbalik 180 derajat. Allegri tampaknya dimaafkan.
Pesta juara berlangsung semalam suntuk hingga subuh. Beberapa pemain masih berkutat dengan mabuk tatkala dengan sempoyongan mereka berterima kasih pada Allegri. Dunia seperti runtuh setelah Conte pergi, namun realita yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bahkan Agnelli masih tidak percaya sampai-sampai mengirim ucapan ke Twitter. “Terima kasih Max untuk membawa tim ini sejak 15 Juli 2014 dan memimpin mereka menjadi juara!”
Scudetto 2014/15 disebut-sebut sebagai kemenangan sejati Allegri. Seluruh pengurus dan pemain pasrah dan putus asa setelah ditinggal Conte secara mendadak. Allegri datang di saat tepat. Tiada yang bisa mencegah atau merecoki. Dia leluasa berekspresi dan bereksperimen, termasuk menukar-nukar skema 3-5-2 ala Conte dengan 4-3-1-2 kesukaannya. Ini salah satu kelebihan Allegri yang kemudian dipahami Juventus: pragmatis.
Dari ratusan cara untuk sukses di sepak bola, yang terpenting bukan soal keinginan atau pandangan tetapi tujuannya. Allegri juga memegang teguh prinsip sepak bola Italia: Kalau tidak bisa menang setidaknya jangan kalah, namun dengan aplikasi yang jauh lebih rumit ketimbang cara Conte. Berlusconi selalu dianggap ayah oleh Allegri sehingga dia tabu membantahnya. Beda dengan Agnelli junior dan Nedved yang menganggap dirinya sebagai abang tertua.
Perekrutan Daniele Rugani (bek), Khedira (gelandang) serta trio penyerang Dybala, Simone Zaza dan Mario Mandzukic merupakan murni keinginan Allegri yang makin menunjukkan pola 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 akan berkumandang di musim depan. Skema ini menuntut peranan seorang trequartista. Marchisio, Roberto Pereyra atau Kingsley Coman. Berbekal pengalaman vital saat mengalahkan Olympiacos, Allegri yakin pasukannya kini telah paham bedanya dengan 3-5-2.
“Kita selalu mulai dengan anggapan. Saya pikir sepak bola soal kesenangan belaka, tetapi Anda butuh tujuan, yakni kemenangan sebab hanya inilah yang akan dicatat sejarah dan diingat orang,” kata Allegri seolah-olah mengirim pesan buat orang semacam Zamparini atau Berlusconi. “Mourinho itu manajer yang luar biasa, tapi dalam sepak bola dia bisa saja tidak disukai. Begitu pun saya. Namun pada akhirnya yang terpenting adalah apa yang telah dicapainya.”
“Di sepak bola tidak ada kata sejati untuk terbaik atau terburuk sebab perbedaan budaya dan karakter, yang jauh lebih penting adalah bagaimana intensitas kita dalam bekerja dengan banyak aspek,” papar Allegri lagi. Semoga Zamparini memahami ucapan ini.
(foto: gazzettaworld/goal/provenquality/gazzetta)
Langsung juara di musim pertamanya bersama Juventus. |
Seorang Massimiliano Allegri yang barusan meraih titel pribadi menjadi kampiun Serie A 2014/15 pun tak luput direndahkan bos Palermo itu. Tapi boleh percaya atau tidak, inilah justru tanda-tanda dia akan sukses lagi. Zamparini dikenal punya kharisma luar biasa mengingat dia cuma memiliki Palermo, bukan Milan atau Napoli. Tipikal hujatan pebisnis 74 tahun kesannya sentimental pribadi bahkan rasis.
Saat masih di Inter, Jose Mourinho pun mengaku tobat meladeni lelaki kelotokan ini setelah disindir begini: “Orang (Mourinho) ini cuma datang dari negeri 10 juta pelatih lalu dia sedang berusaha menjadi pelatih yang baik di negeri 60 juta pelatih.”
Portugal berpenduduk 10 juta dan hampir semuanya menggilai sepak bola. Populasi Italia lebih dari 60 juta dan seluruhnya memahami sepak bola. Awalnya tujuan Don Mauri seperti itu tak lain untuk melucuti mental pelatih lawan sebelum atau sesudah mereka bermain di Renzo Barbera. Sulit cari alasan kenapa pria ikal yang mulai memiliki klub berjuluk Rosanera sejak 2002 ini suka sekali menyemprot pelatih lawan juga pelatihnya sendiri.
Terhadap seseorang intuisi Zamparini dikenal amat tajam, setajam dia menemukan dan menempa lalu menjual mahal deretan pemain berikut ini: Andrea Barzagli, Fabio Grosso, Luca Toni, Fabrizio Miccoli, Javier Pastore, Fabio Simplicio, Salvatore Sirigu, Amauri Carvalho, Edinson Cavani, Abel Hernandez, dan yang terakhir adalah... Paulo Dybala, yang kini menjadi anak asuh Allegri di Juve. Sisi buruknya, Zamparini telah belasan kali menghardik allenatore di Palermo sebelum memecatnya.
Uniknya, tanpa banyak yang menyadari, kicauan Zamparini menyimpan misteri. Biasanya deretan pelatih yang disindir atau dimusuhinya bukannya menukik kariernya tapi malah tambah sukses! Mourinho salah satunya. Nah, apakah kilasan peristiwa silam, dengan meminjam daya intuitif bin spiritual dari Zamparini bisa dipakai untuk mengeker sukses Allegri musim ini? Sinyal justru diletupkan Zamparini pada saat Juve dan Allegri lagi berbulan madu dengan mesra.
Pada saat mereka sedang menikmati kedigdayaan 2015 sebagai Il Vincitore Triplo berupa Scudetto, Coppa Italia, dan SuperCoppa Italiana. Apa kata Zamparini? “Siapa juara 2015/16? Saya tempatkan Roma dulu, baru Juventus. Catat, bukan Juve baru Roma! Mau tahu alasannya? Karena Roma punya pelatih lebih bagus. Ada sosok Antonio Conte pada diri Rudy Garcia. Allegri? Aha, justru dialah satu-satunya titik kelemahan Juve terbesar,” tukas Zamparini santai.
Tanpa rendah hati dan mau belajar, mustahil Max Allegri merasakan ini. |
Jadi, apakah Allegri bakal gagal musim ini dan Juventus kehilangan gelar? Dimohon Anda jangan terburu-buru memastikannya sebelum membaca beberapa genggam kisah berikut. Namanya memang tidak sesuai dengan nuansa musik, allegro – kesenangan atau kegembiraan – tapi, begitulah Allegri yang kita tahu apa adanya. Selalu paradoks. Perhatikan wajahnya yang sayu, dan kalau Anda berkenan, perhatikan pula kisah suksesnya yang cenderung mendayu-dayu.
Episode 1, Maret 2013. Di depan jurnalista, seseorang pendatang baru di Serie A bernama Giorgio Squinzi bikin heboh seusai bersua Berlusconi dalam satu kesempatan. “Saya ingat beliau mengeluh soal Allegri yang tidak becus apa-apa karena sering menyia-nyiakan Stephan El Shaarawy. Di mata saya, kans terbaik Allegri itu jika dia menangani skuad buangan, bukan skuad harapan,” kata bos klub Sassuolo yang juga seorang Milanisti ini.
Episode dua, Desember 2013. Berlusconi kembali mempermalukan Allegri di depan umat, sekaligus mengiyakan Zamparini bahwa Italia itu negeri dengan 60 juta pelatih bola. “Seperti biasanya, tim ini lebih butuh perhatian dan perawatan dari saya. Tahun lalu tahun bencana, saya yang membenahi mental tim. Taktik Allegri sulit dipahami. Bagaimana bek lamban Cristian Zapata diduetkan dengan Phillipe Mexes yang demotivasi?” ucap Don Silvio sengit.
“Latihan fisik tim amat payah dan gaya permainannya menyedihkan. Kita juga belum lupa atas kepergian Andrea Pirlo di akhir 2010/11. Dia pergi karena tidak tahan setelah dipaksa main oleh Allegri sebagai gelandang biasa, padahal satu Italia pun tahu: takdir Pirlo adalah dirigen, direktur permainan,” lanjut bos dari segala bos di Rossoneri itu yang tampak masih geram dan dendam walau sang pemain kesayangannya itu telah dua tahun tiada dari Milanello.
Ambisi Pribadi
Mimik resah Antonio Conte di depan Max Allegri sewaktu di Juventus. |
Sudah tipikal Italiano suka membahas detil pribadi orang, bukan apa yang dihasilkannya untuk kemashalatan publik. Banyak contoh dalam hidup, orang seperti Allegri ini tetap punya rejeki dan nasib baik walau datangnya lelet dan bikin empot-empotan orang. Sikapnya ke Pirlo, serapahan Berlusconi, atau kesan negatif Squinzi terbukti justru jadi ‘bekal’ utama berprestasi luar biasa di 2015. Bagaimana di 2016, manakala Zamparini dengan ceplas-ceplos menyatakan sikapnya?
Orang yang di tubuhnya mengalir adrenalin cepat menggelegak biasanya memang sebal pada Allegri. Gayanya yang alon-alon tidak ketulungan, apalagi di laga-laga perdana atau sebulan pertama. Panasnya selalu belakangan, padahal dia bukan Jerman. Tapi itu dulu. Berlusconi saja yang sial. Waktu debut di Rossoneri, Allegri hanya menuai lima poin dari 5 laga, artinya semua pertarungannya seri. Tampaknya suratan nasib Allegri harus selalu ditendang pantatnya.
Setelah banyak dikecam, baru Allegri bikin kejutan. Selang tiga bulan berikut, Milan hanya sekali kalah dan sekali seri. Begitu juga di musim keduanya. Lima poin dari empat laga. Tiga bulan berikutnya, cuma dua kali kalah dan sekali seri. Kebiasaan Allegri adalah mulai hangat saat salju mulai turun, alias di sekitar Desember. Nah bisa Anda maklumi jika dia bikin banyak mulut orang menganga lantaran musim lalu di lima laga awalnya Juve sanggup meraup 15 poin. Wow!
Apakah Allegri telah menemukan formula baru? Atau, lantaran duet Andrea Agnelli dan Pavel Nedved sering menepuk-nepuk bahunya? Pastinya Allegri punya motivasi baru, dan amat jelas pula, Agnelli-Nedved yang kalah tua darinya, punya treatment atau cara berbeda dengan Berlusconi. Ini agaknya lebih kepada hal-hal non-teknis. Boleh jadi Allegri langsung merasa nyaman di Juve sehingga dengan mudahnya dia berkreasi dan bekerja.
Karena secara taktik, sejumlah pakar di Italia mematok Allegri sebagai ahli siasat yang bagus. Dibanding substitusinya, Allegri ada di tengah-tengah. Dia jelas bukan kelas Marcello Lippi yang tetap tenang dan selalu yakin mencapai tujuan walau diberi Fiat 500. Tapi lelaki kurus itu juga bukan tipe Ciro Ferrara, allenatore Juve terparah, yang kalau bisa ingin punya Ferrari 488 Spider, dengan cadangannya Lamborghini Aventador LP 750.
Barangkali Allegri minimal kelasnya Alfa Romeo, atau katakanlah Maserati. Di beberapa segi dia malah lebih gampang bermanuver. Di pekan padat merayap misalnya, Allegri menunjukkan kekayaan variasi taktiknya. Lolosnya Juventus ke final Liga Champion musim lalu, setelah ngik-ngikan di penyisihan grup, merupakan bukti nyata permainan Allegri dipenuhi menu dan manuver yang kerap mengecoh pelatih-pelatih top Eropa lainnya.
Dari pentas Serie A musim ini tampaknya Allegri tidak perlu terlalu kuatir ke Liga Champion musim depan. Hampir pasti satu tiket telah digapai. Yang seru dua sisanya yang akan melahirkan rebutan ‘tangkap ayam’ antara Roma, Fiorentina, Inter, Napoli, Lazio dan mungkin eks klubnya, Milan. Namun mengenang perjalanan Capello atau Ancelotti, agaknya begitu juga Allegri. Tanpa harus menyelidikinya pun orang tahu bahwa ambisi dia adalah Eropa, Liga Champion!
Pola kerja dan peluang Allegri di musim 2015/16 tergantung dari target klub. Yang pasti kini saatnya Juve menguasai tatanan global, bukan lagi lokal atau regional. Dan satu-satunya cara paling smart meraihnya adalah dengan menjuarai Liga Champion. Titik. Jadi, hampir pasti target pribadi Allegri musim ini adalah, [1] Liga Champion, [2] Serie A. Jika skenario ini benar adanya, maka Allegri akan jauh lebih letih dibanding musim lalu.
Usai menang dramatis 3-2 atas Olympiacos yang meloloskan Bianconeri dari babak grup, tak dinyana dia berkicau via Twitter untuk menunjukkan perjuangan beratnya dengan menulis “#fiuuu” yang bermakna ‘fuuuh!’ atau phew dalam bahasa Inggris, alias ungkapan lega. Liga Champion musim lalu kelak menjadi modal berharga yang dapat mendekati impian pribadinya ke depan. Final di Berlin, Mei silam sudah dekat, tapi tetap belum cukup karena faktor jam terbang.
Apakah ucapan Zamparini akan jadi kenyataan? Titel Serie A bakal lepas ke tangan orang lain sebab obsesi Allegri dan Juve ada di Liga Champion? Catat, jika jadi kenyataan hal ini bukan karena Allegri tak becus menahan gelarnya akan tetapi lebih kepada prioritas dan konsentrasi. Pengenalan dan pemaknaan Allegri terhadap pesaing di Eropa terbilang minor sebab dia hanya seorang jago kandang, seluruh darma baktinya habis di dalam negeri.
Pragmatis Tulen
Pria kelahiran 11 Agustus 1967 ini bukan petualang sejati seperti Fabio Capello dan Carlo Ancelotti, bahkan mendekati Claudio Ranieri pun tidak. Tapi dia selalu terobsesi seperti mereka. Itu hasrat terdalamnya. Untuk dapat melanglang buana dia tahu syaratnya, CV-nya harus diisi dengan rekor Eropa. Gara-gara jam terbangnya di Eropa yang belum mumpuni itulah yang jadi sebab Milan di eranya tidak berkutik di ajang Eropa, ya termasuk dengan Juve musim kemarin.
Andrea Agnelli dan Pavel Nedved, pengontrol pekerjaan Max Allegri. |
Tempat terbaik untuk Allegri tetap di Serie A, dan dia pun masih merasa haus. Situasi bisa berbahaya andai Agnelli dan juga Allegri terlalu menekan dirinya habis-habisan. Musim depan dapur serangan Juve hanya mengandalkan Paul Pogba, Claudio Marchisio serta debutan Sami Khedira setelah Pirlo dan Arturo Vidal pergi. Sepintas melihat komposisi gelandangnya sekarang, Juve sulit bersaing di Eropa. Satu catatan penting, Khedira sangat rentan cedera.
Organ terpenting buat Allegri bukan perut kelaparan seperti yang jadi prinsip Conte akan tetapi kecerdasan otak. Ini kunci sukses Allegri sesungguhnya. Allegri tahu, dalam sepak bola ada ratusan cara untuk sukses. Usai memberi scudetto pada Juve musim lalu, Allegri tercatat dalam buku besar calcio sebagai salah satu dari enam legenda pelatih yang memberi titel di dua klub berbeda. Dalam satu sisi saja dia sudah mengalahkan Mister Conte, sang pujaan Juventini.
Apakah Allegri akan sukses, sanggup mempertahankan titel Serie A di musim depan? Jawabannya ya mengingat probabilitas dia jauh lebih besar melihat reputasinya, pengalamannya, kedalaman skuadnya, kepercayaan para pemain, manajemen hingga gelombang dukungan dari Juventini. Faktor tifosi yang kini mendukungnya jadi titik balik motivasi Allegri yang terpenting. Masih terngiang dalam ingatan apa yang didapat Allegri setelah resmi menggantikan Conte.
Juli 2014, hari pertama Allegri muncul di markas latihan Vinovo amat nista dan terasa gila. Mobilnya digebrak, ditendang, diludahi serta dilempari telur oleh suporter fanatik Juve. Mereka ini masih sangat dendam dengan Milan dan Allegri, dua pihak yang dianggap sebagai biang keladi yang menyebabkan Juventus didegradasi paksa ke Serie B di musim 2006/07 gara-gara skandal Calciopoli. Namun 10 bulan kemudian, situasi berbalik 180 derajat. Allegri tampaknya dimaafkan.
Pesta juara berlangsung semalam suntuk hingga subuh. Beberapa pemain masih berkutat dengan mabuk tatkala dengan sempoyongan mereka berterima kasih pada Allegri. Dunia seperti runtuh setelah Conte pergi, namun realita yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bahkan Agnelli masih tidak percaya sampai-sampai mengirim ucapan ke Twitter. “Terima kasih Max untuk membawa tim ini sejak 15 Juli 2014 dan memimpin mereka menjadi juara!”
Format baru Juventus di tangan Max Allegri. |
Dari ratusan cara untuk sukses di sepak bola, yang terpenting bukan soal keinginan atau pandangan tetapi tujuannya. Allegri juga memegang teguh prinsip sepak bola Italia: Kalau tidak bisa menang setidaknya jangan kalah, namun dengan aplikasi yang jauh lebih rumit ketimbang cara Conte. Berlusconi selalu dianggap ayah oleh Allegri sehingga dia tabu membantahnya. Beda dengan Agnelli junior dan Nedved yang menganggap dirinya sebagai abang tertua.
Perekrutan Daniele Rugani (bek), Khedira (gelandang) serta trio penyerang Dybala, Simone Zaza dan Mario Mandzukic merupakan murni keinginan Allegri yang makin menunjukkan pola 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 akan berkumandang di musim depan. Skema ini menuntut peranan seorang trequartista. Marchisio, Roberto Pereyra atau Kingsley Coman. Berbekal pengalaman vital saat mengalahkan Olympiacos, Allegri yakin pasukannya kini telah paham bedanya dengan 3-5-2.
“Kita selalu mulai dengan anggapan. Saya pikir sepak bola soal kesenangan belaka, tetapi Anda butuh tujuan, yakni kemenangan sebab hanya inilah yang akan dicatat sejarah dan diingat orang,” kata Allegri seolah-olah mengirim pesan buat orang semacam Zamparini atau Berlusconi. “Mourinho itu manajer yang luar biasa, tapi dalam sepak bola dia bisa saja tidak disukai. Begitu pun saya. Namun pada akhirnya yang terpenting adalah apa yang telah dicapainya.”
“Di sepak bola tidak ada kata sejati untuk terbaik atau terburuk sebab perbedaan budaya dan karakter, yang jauh lebih penting adalah bagaimana intensitas kita dalam bekerja dengan banyak aspek,” papar Allegri lagi. Semoga Zamparini memahami ucapan ini.
(foto: gazzettaworld/goal/provenquality/gazzetta)