Barangkali pola dan tensi persaingan Premier League kali ini melebihi level Liga Champion. Pantas-pantas saja jika salah satu yang berkepentingan akhirnya angkat bicara. Dialah Arsene Wenger yang bilang mulai musim ini Liga Inggris sudah menjelma sebagai ‘Piala Dunia antar manajer.’
Di mata manajer legendaris Arsenal itu sepak bola telah kembali ke tempat semula lagi setelah diperkenalkan ratusan tahun silam oleh Inggris. Waktu pertama kali muncul para pelatih dan ketua klub adalah selebritas sepak bola itu sendiri. Penentu segalanya. Lalu terhampar era pemain hebat, para bintang dan pahlawan lapangan hijau yang masih bertahan hingga saat ini.
Boleh jadi mereka sekarang sedang meraih era yang tidak didapat sewaktu jadi pemain. Beckenbauer, Platini, Cruijff termasuk orang-orang sempurna di sepak bola, baik sebagai pemain, pelatih, atau pengurus. Maradona tidak nendang jadi pelatih. Pele apalagi. Zidane selalu diragukan.
Cerita bergulir dari generasi ke generasi dengan persepsi dan realita berbeda. Namun hebatnya di sepak bola selalu tersedia bakat, lahan, dan kesempatan. Bagi siapa pun, bahkan buat yang lemah dan nir-prestasi dan nir-reputasi di masa sebelumnya.
Klopp, Conte, dan Pochettino paling potensial memakai inspirasi Ranieri. Beban mereka dianggap tak seberat Wenger, Mou, dan Pep yang diganduli utang moral atau utang biaya transfer. Bagaimana meladeni situasi seperti ini? “Semua orang punya ambisi. Tak pernah terjadi sebelumnya di Premier League, begitu dibanjiri ambisi orang-orang atau klub sejak awal musim,” kata Wenger pada Arsenal Magazine belum lama ini.
Masuk dekade kedua milenium baru, perubahan sosok-sosok signifikan di olah raga paling manusiawi ini mulai terasa dengan tampilnya deretan pelatih hebat – baik protagonis maupun antagonis – dan sejumlah inovator baru. Orang-orang ini pun tiba-tiba jadi penentu permainan dan nasib pemain. Padahal ketika masih jadi pemain, mereka nyaris tak terdengar, atau paling hebat ya biasa-biasa saja.
Tengok saja lima atau tujuh pelatih papan atas di Premier League. Antonio Conte, Mauricio Pochettino, dan Josep Guardiola cuma pemain biasa di masanya. Banyak yang sepakat dengan saya yang tidak pernah mendengar atau melihat Arsene Wenger, Juergen Klopp, Jose Mourinho apalagi Claudio Ranieri saat jadi pesepak bola. Reputasi mereka menghebat di masa tua ketika menjadi manajer.
Kejuaraan Dunia Manajer
Inggris beruntung. Di era yang memuncak, mereka berkumpul di Premier League. Wenger gembira karena merasa ‘dimudakan’ lagi oleh tantangan di sisa hidupnya. Setelah Wenger (67), manajer tertua adalah Ranieri (65). Selebihnya, satu generasi di bawahnya. Malahan Pochettino (44), beda dua generasi. “Kini penentuan juara di Premier League tak melulu dilihat orang sebagai hasil kinerja para pemain,” kilahnya sambil melirik penuh makna.
Merek adalah nasib, kata ilmu marketing. Orang lebih melihat kelebihan Conte dan Guardiola di atas kekurangannya sebagai debutan. Di sepak bola kejadian kontroversial paling gampang diredam dengan reputasi. Resapilah kiprah Mourinho yang lagi berperan sebagai konduktor di Old Trafford. Orang lupa dengan kelemahannya sampai mendudukan Chelsea ke urutan 15 klasemen sementara musim lalu, yang membuatnya dipecat.
Fenomena mirip tapi beda realita dilakoni Ranieri. Walaupun nyata-nyata dia adalah jawaranya, tetap saja kelemahannya lebih menonjol dibanding kekuatannya. Akibat dianggap ‘kecelakaan sejarah’, reputasi Ranieri tidak berubah usai membawa Leicester City menjadi juara Inggris musim lalu. Kesan termahal atas perbuatannya, barangkali, hanya sebagai inspirasi buat mereka yang belum atau kurang berpengalaman di Inggris.
“Ada Mourinho, Conte, Guardiola, Klopp, ini sudah seperti kejuaraan dunia manajer,” seloroh pria yang pada Oktober nanti genap 20 tahun menjadi manajer Arsenal. “Setiap orang akan lebih fokus lagi dan ini yang menarik. Satu hal yang Anda ketahui sejak awal adalah tidak semua manajer akan memenanginya. Lihatlah tahun depan, persaingan jauh lebih sengit dari yang pernah terjadi. Kami akan merasakan persaingan lebih berat."
Kondisi ini merupakan transisi klub-klub Premier League pada harapan dan pencapaian instan yang diburu melihat tuntutan pendukung, pemilik, dan juga relasi bisnis. Di benar Wenger, kini seluruh manajer di Premier League telah sama rata dalam gaya, teknik, dan strategi permainan. Ide-ide, kinerja, hingga keberuntungan di lapangan hijau yang terkecil pun akan menentukan hasil akhir.
“Di saat sorotan luas kepada kami, sebaiknya media jangan menutupi kesan siapa-siapa yang jadi pemain sesungguhnya di lapangan,” harap Wenger. “Kalian terlalu berlebihan memberi porsi perhatian kepada manajer. Saya yakin yang terpenting dalam permainan sepak bola adalah kualitas dan performa pemain. Persaingan klub-klub Premier League amat kompetitif, dan mereka semua punya skuad yang hebat.” (Arief Natakusumah)
(foto: provenquality/thetelegraph)
20 Manajer Premier League 2016/17. Semua punya ambisi. |
Boleh jadi mereka sekarang sedang meraih era yang tidak didapat sewaktu jadi pemain. Beckenbauer, Platini, Cruijff termasuk orang-orang sempurna di sepak bola, baik sebagai pemain, pelatih, atau pengurus. Maradona tidak nendang jadi pelatih. Pele apalagi. Zidane selalu diragukan.
Cerita bergulir dari generasi ke generasi dengan persepsi dan realita berbeda. Namun hebatnya di sepak bola selalu tersedia bakat, lahan, dan kesempatan. Bagi siapa pun, bahkan buat yang lemah dan nir-prestasi dan nir-reputasi di masa sebelumnya.
Klopp, Conte, dan Pochettino paling potensial memakai inspirasi Ranieri. Beban mereka dianggap tak seberat Wenger, Mou, dan Pep yang diganduli utang moral atau utang biaya transfer. Bagaimana meladeni situasi seperti ini? “Semua orang punya ambisi. Tak pernah terjadi sebelumnya di Premier League, begitu dibanjiri ambisi orang-orang atau klub sejak awal musim,” kata Wenger pada Arsenal Magazine belum lama ini.
Masuk dekade kedua milenium baru, perubahan sosok-sosok signifikan di olah raga paling manusiawi ini mulai terasa dengan tampilnya deretan pelatih hebat – baik protagonis maupun antagonis – dan sejumlah inovator baru. Orang-orang ini pun tiba-tiba jadi penentu permainan dan nasib pemain. Padahal ketika masih jadi pemain, mereka nyaris tak terdengar, atau paling hebat ya biasa-biasa saja.
Tengok saja lima atau tujuh pelatih papan atas di Premier League. Antonio Conte, Mauricio Pochettino, dan Josep Guardiola cuma pemain biasa di masanya. Banyak yang sepakat dengan saya yang tidak pernah mendengar atau melihat Arsene Wenger, Juergen Klopp, Jose Mourinho apalagi Claudio Ranieri saat jadi pesepak bola. Reputasi mereka menghebat di masa tua ketika menjadi manajer.
Kejuaraan Dunia Manajer
Inggris beruntung. Di era yang memuncak, mereka berkumpul di Premier League. Wenger gembira karena merasa ‘dimudakan’ lagi oleh tantangan di sisa hidupnya. Setelah Wenger (67), manajer tertua adalah Ranieri (65). Selebihnya, satu generasi di bawahnya. Malahan Pochettino (44), beda dua generasi. “Kini penentuan juara di Premier League tak melulu dilihat orang sebagai hasil kinerja para pemain,” kilahnya sambil melirik penuh makna.
"Lex, tahukah kamu ambisi itu seperti ini!" barangkali begitu gurauannya. |
Fenomena mirip tapi beda realita dilakoni Ranieri. Walaupun nyata-nyata dia adalah jawaranya, tetap saja kelemahannya lebih menonjol dibanding kekuatannya. Akibat dianggap ‘kecelakaan sejarah’, reputasi Ranieri tidak berubah usai membawa Leicester City menjadi juara Inggris musim lalu. Kesan termahal atas perbuatannya, barangkali, hanya sebagai inspirasi buat mereka yang belum atau kurang berpengalaman di Inggris.
“Ada Mourinho, Conte, Guardiola, Klopp, ini sudah seperti kejuaraan dunia manajer,” seloroh pria yang pada Oktober nanti genap 20 tahun menjadi manajer Arsenal. “Setiap orang akan lebih fokus lagi dan ini yang menarik. Satu hal yang Anda ketahui sejak awal adalah tidak semua manajer akan memenanginya. Lihatlah tahun depan, persaingan jauh lebih sengit dari yang pernah terjadi. Kami akan merasakan persaingan lebih berat."
Kondisi ini merupakan transisi klub-klub Premier League pada harapan dan pencapaian instan yang diburu melihat tuntutan pendukung, pemilik, dan juga relasi bisnis. Di benar Wenger, kini seluruh manajer di Premier League telah sama rata dalam gaya, teknik, dan strategi permainan. Ide-ide, kinerja, hingga keberuntungan di lapangan hijau yang terkecil pun akan menentukan hasil akhir.
“Di saat sorotan luas kepada kami, sebaiknya media jangan menutupi kesan siapa-siapa yang jadi pemain sesungguhnya di lapangan,” harap Wenger. “Kalian terlalu berlebihan memberi porsi perhatian kepada manajer. Saya yakin yang terpenting dalam permainan sepak bola adalah kualitas dan performa pemain. Persaingan klub-klub Premier League amat kompetitif, dan mereka semua punya skuad yang hebat.” (Arief Natakusumah)
(foto: provenquality/thetelegraph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar