Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96


Serie A musim 1995/96 sedang memasuki liburan akhir tahun, yang di kalangan sepak bola Italia kondang dikenal dengan istilah D'Inverno. Hingga separuh putaran, jelas sudah tersaji siapa yang tengah bersinar terang. Setidaknya muncul tiga pemain yang kebetulan berstatus bintang. Apakah mereka sanggup mempertahankannya hingga akhir musim? Berikut ulasan kiprah ketiga protagonisti tersebut.

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96

Alessandro Del Piero (Juventus): Pemecah Mitos


Pemuda berambut ikal kelahiran Conegliano, 22 tahun lalu ini dianggap pemecah mitos di klub yang membimbingnya sejak remaja, Juventus. Nomor sakti, 10, dikantonginya dengan mudah, semudah ia menggonta-ganti potongan rambutnya. Hal ini pasti ada apa-apanya. Tidak mungkin kalau biasa-biasa saja. Dulu Juve hanya memberikan nomor wasiat itu kepada pemain panutan yang punya 'kesaktian' luar biasa. 

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96Contohnya Michel Platini, dan terakhir Roberto Baggio. Namun pelatih Marcello Lippi, dan juga Roberto Bettega, orang di belakang layar yang menentukan skenario permainan Juve, memang kepalang jatuh hati dan sangat percaya padanya. Di dalam negeri dan juga tim nasional, mungkin kehebatannya tak seberapa. Terlalu banyak pesaing. Namun jika ia tampil bersama Juve di ajang internasional, semua lawan jadi bergetar. 

Terakhir, ia buktikan pada Piala Toyota di hadapan jagoan Argentina dan Amerika Latin, River Plate. Del Piero mengantarkan Juventus menjadi klub terbaik di dunia. Karena ia menjadi MVP di sana, maka Del Piero bisa juga disebut sebagai pemain terbaik di dunia untuk kategori klub. Bukan begitu?


George Weah (Milan): Tuan 100 Meter

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96San Siro, 8 September 1996 menjadi bukti pengakuan dunia pada dirinya. Pers Italia melukiskan peristiwa bersejarah di kakinya dengan titel Mister Centi Metri. Imajinasikan kejadian berikut: Weah menerima bola liar dari sepak pojok lawan di depan gawang rekannya sendiri, Sebastiano Rossi. 

Bola terus, terus, dan terus dibawa, dikuasai, dibawa. Dalam perjalanan epiknya, dia mengecoh, menipu, bergoyang dengan gerakan badan yang aduhai berkecepatan tinggi. Tinggal belasan meter lagi menuju gawang Verona. Tiga lawan terakhir ditaklukkannya juga. Di hadapan kiper Attilio Gregori, dia menyantap bola dengan nikmat untuk menciptakan gol ketiga. Dari kejauhan Silvio Berlusconi sontak bertepuk tangan, berdiri, seraya tertawa deras. Mamma Mia...Belissimo! 

"Sepanjang hidup nonton bola, baru kali ini saya melihat kejadian seperti ini. Bahkan Van Basten pun belum pernah melakukannya," kata superbos AC Milan itu tanpa basa-basi lagi. Mungkin itu puncak kredibilitasnya di Milan, setelah berandil besar mengukuhkan juara pada 12 Mei sebelumnya. Beda dengan Del Piero, pemain berusia 30 tahun ini sangat menakutkan jika tampil di Liga Italia. Pembuktian hari itu telah dilukiskan oleh kakinya. Bukan dengan yang lain.

Enrico Chiesa (Parma): Termahal Se-Italia

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96Del Piero dan Weah hebat dengan keistimewaannya. Namun predikat striker termahal musim ini - bahkan sampai ujung tahun ini - di Italia adalah milik bujang kelahiran Genova berusia 26 tahun. Termahal? Ya, karena transfer Chiesa dari Sampdoria ke Parma bernilai 25 miliar Lira alias 37,5 miliar rupiah, plus gaji Rp 15 miliar selama 5 tahun kontraknya. 

Bagaimana kemampuannya? Tentu istimewa dong. Lihat saja walau Sampdoria tak mendapat tempat ke Piala UEFA sekalipun, namun dia bisa membuat 22 gol selama musim 1995/96 lalu. Hanya beda dua dari punta marcatori Igor Protti dan Giuseppe Signori. Padahal di awalnya Chiesa adalah pemain buangan. Dia sempat dibuang Sampdoria ke Genoa, lalu dibuang lagi oleh Genoa ke Cremonese. 

Bos Parma Stefano Tanzi memanfaatkan ini. Jodohnya adalah Hernan Crespo. Hingga kini ia telah mencetak 5 gol. Padahal lini tengah Parma kini ompong setelah si tokoh utama (il protagonista) Gianfranco Zola pindah ke negeri seberang. Jadi ia masih tetap ada kans untuk membuktikan siapa dirinya.

(foto: idws/dnamilan/solocalcio/skysport.it/giornalettismo/hello-pet)

Share:

King Kazu: Saya Ingin Berlibur Ke Bali

Penulis beruntung bisa bertemu dan mengobrol dengan pemain nomor satu di negeri Matahari Terbit itu sebanyak dua kali, yaitu ketika bertandang ke Yokohama, tempat latihan tim nasional Jepang, serta pada saat acara J-League 1996 Awards di NHK Hall Maihama, 21 November lalu.

King Kazu: Saya Ingin Berlibur Ke BaliWawancara dibantu Shin-Ichiro Kaneko, seorang fotografer yang jadi teman lama penulis, lantaran Kazu tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik. Pemain yang pernah membela Genoa (kini anggota Serie B Italia), ternyata berwawasan luas, ramah dan rela meluangkan waktu dan kesempatan. Berikut petikannya.

Anda kenal Indonesia?

Sangat kenal, karena di sini, Indonesia menjadi tujuan wisatawan Jepang nomor satu di Asia. Kalau ada kesempatan saya juga ingin berlibur ke Bali.

Bagaimana dengan sepak bolanya?

Tidak begitu kuat. Saya bisa tahu dari klub-klub Indonesia yang pernah bermain ke sini. Begitu juga untuk tim nasionalnya, saya dengar masih kalah dari Muangthai di kawasan Asia Tenggara. (Kazu agak kaget, ketika diberitahu tim Indonesia sedang berlatih di Italia).

Oke, sekarang dengan tim nasional Anda. Bagaimana peluang Jepang di UAE nanti menurut Anda?

Agak ketat dan bakal berlangsung seru karena semua tim yang tampil pasti sudah mempersiapkan diri dengan baik. Namun dari yang ada, saya respek terhadap Korsel dan Cina. Kami saling mengalahkan jika bertemu. Saya pikir Jepang akan mampu ke final walau tidak mudah.

Apa perasaan Anda sebagai seorang bintang di Jepang, bahkan di Asia?

Sangat sulit. Maksud saya dalam hal menjaga citra dan reputasi. Kadang ini menjadi beban buat saya karena kurangnya kebebasan. Saya harus membalas kebaikan publik dan terus mempertahankan penampilan di atas lapangan.

Bisa ceritakan sedikit kesan-kesan Anda ketika main di Italia?

Ya itu saat paling penting dalam hidup saya, walau berlangsung singkat. Saya banyak belajar di sana dari bintang-bintang dunia. Suatu saat saya ingin mengulanginya lagi.

Ada lagi yang lainnya?

Sebelum ke sana saya banyak menerima surat dan telepon dari penggemar yang meminta agar saya jangan berangkat ke Italia. (sambil tersenyum). Namun setelah saya katakan ini bukan saja berharga buat saya, tapi juga buat mereka, buat persepakbolaan Jepang, mereka akhirnya mengerti dan mendukung saya. Setiap kali saya bermain, ada puluhan warga dan wartawan Jepang yang datang langsung dari Jepang ke stadion di Genova.

Saya pernah mendengar Anda pernah ingin gantung sepatu. Kenapa?

Ternyata tidak semudah itu. Saya masih menyayangi penggemar saya. Lagipula ada hal yang terpenting dalam hidup yang tengah saya kejar, yakni ingin membawa Jepang tampil di Piala Dunia 1998. Ini untuk pertama kalinya. Saya pikir kami berpeluang meraih tiket ke Prancis kali ini. Saya merasa pada usia saya yang ke-30 atau 31 saya makin matang.

Oke, terima kasih banyak atas waktunya Kazu San. Semoga ke depan Anda makin sukses!

(Tersenyum ramah). Saya juga mengucapkan terima kasih pada Anda (seraya mempersilakan penulis untuk foto bersama).

(Yokohama, Desember 1996. foto: Shin-Ichiro Kaneko)

Share:

Kazuyoshi Miura: Figur Pemimpin dan Sumber Berita

Sebut satu nama jika bergaul dengan masyarakat Jepang: Kazuyoshi Miura, maka siapapun akan menghormati Anda! Mitos ini ternyata berlaku untuk semua warga, baik yang suka atau kurang suka dengan sepak bola.

Kazuyoshi Miura: Figur Pemimpin dan Sumber Berita
King Kazu, begitu sapaan intim sang bintang, ternyata mampu mempertahankan reputasinya di mata publik atau insan pers negeri Sakura, empat tahun belakangan ini. Ia mulai populer saat Jepang menjadi juara Asia 1992 di Hiroshima. "Kazu? Dia pemain kesukaan saya. Kehebatannya di atas lapangan, dan juga sifat eksentriknya itu yang saya senangi," tutur Konno Sayaita, seorang sekretaris yang anehnya justru seorang fan klub Nagoya Grampus Eight.

Bersama Ruy Ramos, Tetsuji Hashiratani, dan Tsuyoshi Kitazawa, yang kesemuanya adalah rekannya di Verdy Kawasaky, Kazu mempersembahkan juara tatkala Jepang untuk pertama kalinya tampil di ajang paling elite persepakbolaan Asia itu. "Sulit mencari figur seperti dia, walau kini banyak pemain muda yang menonjol. Apapun yang dilakukannya pasti menjadi berita," kata Michio Koyama, seorang wartawan sepak bola senior.

Dan ketika ia pergi ke Italia untuk bergabung dengan klub Genoa, awal musim kompetisi 1994/95, saat itulah titik kulminasi tertinggi perjalanan kariernya yang dimulai sejak 1985. "Kompetisi Italia adalah impian saya sejak berumur 15 tahun," kilah kapten Verdy ini, sambil tersenyum.

Tim Nasional

Walau Verdy tak mencapai hasil terbaik musim ini di Liga Jepang, sosok Kazu tetap mengusik kalbu Shu Kamo, pelatih kepala tim nasional Jepang. Alasan makin menguat mengingat dukungan publik dan simpati pers terus menebarkan aroma kredibilitas dirinya. Kamo memang memberi kepercayaan kepada Kazu memegang ban kapten. Ia akan menjadi komandan pasukan Jepang di lapangan untuk Piala Asia yang berlangsung di Uni Emirat Arab, 3-21 Desember.

"Ya, dia tetap menjadi andalan kami bukan saja di lini depan tapi juga pemimpin lapangan sebagai modal untuk mengangkat moral bertanding rekannya," ujar Kamo ketika ditanya soal keberadaan Kazu. Hal itu makin terlihat jelas, bagaimana Kazu sering memberi pengarahan pada rekan-rekannya yang lebih muda seperti Takuya Takagi atau Masayuki Okano ketika berlatih.

"Walau masih muda-muda, tapi saya yakin, berkat Kazu mereka bisa mengatasi segala kendala yang ada. Apalagi kami ingin mempertahankan gelar di UEA," kata Kamo lagi. "Beban kami berat, tapi itu harus kami tanggung dan berjuang untuk merebut kemenangan,"kata Kazu optimistis. Buktikanlah Kazu!

(Arief Natakusumah, dari Tokyo)

Data Diri

Lahir: Shizuoka, 26 Februari 1967
Tinggi/Berat: 175 cm/72 kg
Posisi: Penyerang
Klub:
1985 XV de Jau (Brasil)
1986 Santos (Brasil)
1986 Matsubara
1987 CRB Alagoas (Brasil)
1988 XV de Jau
1988 Curitiba (Brasil)
1989 Curitiba (Brasil)
1990 Santos (Brasil)
1990 Yomiuri
1991 Yomiuri
1992 Yomiuri
1993 Verdy Kawasaky
1994 Verdy Kawasaky
1995 Genoa (Italia)
1996 Verdy Kawasaky

(foto: theasahishimbun)

Share:

Shu Kamo: Ingat Indonesia Ingat Senayan

Berakhirnya Liga Jepang 1996, langsung membuat masyarakat Jepang mengalihkan perhatian mereka ke tim nasionalnya. Itu karena putaran final Piala Asia di UEA (Uni Emirat Arab), 3-21 Desember, begitu santer digembar-gemborkan oleh media-media Jepang.

Shu Kamo: Ingat Indonesia Ingat SenayanSaya menyaksikan langsung latihan terakhir mereka di Yokohama, sekitar sejam dengan kereta peluru Shinkan-sen dari Tokyo, sebelum kesebelasan negeri Matahari Terbit itu berangkat ke Roma, Italia, pekan lalu. Menurut rencana, tim nasional Jepang akan berlatih selama sembilan hari, dan diantaranya akan melakukan uji coba dengan klub Serie A Italia, AS Roma, dan klub Serie C La Borghesiana. Setelah dari Italia mereka langsung ke medan laga di Uni Emirat Arab. Berikut wawancara penulis dengan Shu Kamo, manajer pelatih tim nasional Jepang di sela-sela sesi latihan mereka di Kanagawa Prefecture 222, Yokohama, yang juga markas latihan klub Yokohama Flugels.

Halo Shu Kamo San, saya Arief Natakusumah wartawan sepak bola dari Indonesia, ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda.

Apa kabarnya? Wah, Anda datang jauh dari Indonesia. Bisa sampai ke sini juga? (sambil tertawa kecil). Silakan, apa yang ingin Anda tanyakan.

Mengapa Anda membawa tim ini mengadakan persiapan terakhir di Italia?

Karena saya ingin tim ini mempertahankan gelar. Di Italia, kami mudah mencari lawan tanding yang setara, banyak bintang, yang gunanya untuk menambah pengalaman pemain-pemain kami. Selain itu, praktis, Italia lebih dekat ke UEA ketimbang dari Tokyo.

Anda yakin Jepang akan mempertahankan gelar?

Tentu saja. Keyakinan makin kuat setelah FIFA menempatkan Jepang sebagai negara yang paling tinggi kenaikan peringkatnya bulan ini. (peringkat 20 dunia - Red.).

Padahal di penyisihan saja, Jepang berada di grup keras bersama Suriah, Cina, dan Uzbekistan. Bagaimana?

Saya tetap yakin Jepang menjadi salah satu tim yang lolos ke perempatfinal, serta babak selanjutnya.

Bagaimana penilaian Anda terhadap tim kuat lainnya seperti Korea Selatan atau Arab Saudi?

Pada prinsipnya, saya bukan saja memperhitungkan mereka. Tapi juga seluruh peserta. Memang kami tak semua tahu permainan mereka, namun antisipasi tetap ada. Soal kekuatan, tuan rumah (UAE) kini juga sudah mampu mengimbangi Arab Saudi, bahkan melewati Kuwait. Cina kini juga mulai seimbang dengan kami atau Korsel. Jadi, lihat saja nanti.

Ada banyak pemain baru di tim Anda, apa yang bisa diharapkan dari mereka?

Sebenarnya tak banyak. Tiap mengadakan uji coba, kami memasukkan dua atau tiga pemain baru, yang kami pantau dalam beberapa pertandingan liga. Itu juga tidak cukup karena beberapa diantaranya ada yang cedera. Namun sekarang ke-20 pemain inilah yang paling siap menurut kami.

(Setengah bercanda, saya lalu melepaskan satu pertanyaan ini). Apa pandangan Anda pada Indonesia, yang untungnya beda grup dengan Jepang. Punya peluang?

(Tanpa terkesan meledek, Shu Kamo tersenyum deras, lalu...). Saya sama sekali buta kekuatan tim Anda. Sungguh, saya tidak tidak tahu. Namun ada satu hal yang tidak terlupakan bagi saya sampai sekarang tentang Indonesia: Anda punya stadion nasional yang besar sekali (Stadion Utama Senayan). Itu sangat mengesankan. Saya pernah main di sana, lebih dari 20 tahun lalu.

Oh, saya baru tahu. Oke, sekarang apa target tim nasional Jepang ini ke depan?

Setelah Piala Asia adalah penyisihan Piala Dunia, pada tahun depan. Kali ini kami harus lolos karena Jepang belum pernah sekalipun punya pengalaman tampil di Piala Dunia.

Oke, Shu Kamo San, terima kasih atas waktunya. Sayonara!

Haik, terima kasih!

Skuad Jepang Ke-Piala Asia 1996

Shu Kamo: Ingat Indonesia Ingat SenayanKIPER: Nobuyuki Kojima (Bellmare Hiratsuka), Kenichi Shimokawa (JEF United Ichihara), Seigo Narazaki (Yokohama Flugels)
BELAKANG: Masami Ihara, Norio Omura (Yokohama Marinos), Yutaka Akita, Naoki Soma (Kashima Antlers), Hiroshige Yanagimoto (Sanfrecce Hiroshima), Toshihide Saito (Shimizu S-Pulse), Toshihiro Hattori (Jubilo Iwata)
GELANDANG: Motohiro Yamaguchi, Masakiyo Maezono (Yokohama Flugels). Yasuto Honda (Kashima Antlers), Hiroaki Morishima (Cerezo Osaka), Hiroshi Nanami (Jubilo Iwata), Ryuji Michiki (Sanfrecce Hiroshima)
PENYERANG: Kazuyoshi Miura (Verdy Kawasaky), Takuya Takagi (Sanfrecce Hiroshima), Masayuki Okano (Urawa Reds), Shoji Jo (JEF United Ichihara).

(Yokohama, 27 November 1996. foto: Arief Natakusumah)

Share:

Asian-Pasific Cup: Mendobrak Kevakuman

Bersiap-siaplah klub-klub di Indonesia untuk mengadakan pentas dunia mulai tahun depan. Pasalnya AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) bekerjasama dengan USSF (PSSI-nya AS), NZFA (Selandia Baru), dan ASF (Australia), bakal mengadakan satu kejuaraan yang diberi nama The Asian Pasific Cup yang pengelolaannya akan digarap oleh OFC atau Konfederasi Sepak Bola Oseania.
Ini kejuaraan khusus antarklub se-Asia Pasific, diikuti oleh delapan klub yang terdiri dari empat semifinalis Piala Champion Asia, juara, dan runner-up Liga Australia, juara Liga Selandia Baru dan juara Liga AS (MLS). "Pada prinsipnya AFC sudah menyetujui turnamen itu digelar pada 1997 mendatang," kata Sekjen AFC, Peter Velappan, seperti yang dikutip dari The Sydney Morning Herald, Kamis lalu.

Walau Australia yang jadi pencetus, namun untuk pengelolaan pertandingannya akan diserahkan ke AFC yang lebih punya sumber daya dan infrastruktur pendukung, terutama dari media massa dan animo penonton. Sydney, Hong Kong, dan Kuala Lumpur, kemungkinan besar akan menjadi tuan rumah pada turnamen perdana yang menurut rencana akan digelar sekitar bulan Februari atau Juli 1997.

Australia juga akan memegang sepenuhnya hak siar televisi. "Ini merupakan langkah awal untuk jangka panjang kami akan menggelar kejuaraan serupa antar tim nasional. Hal itu dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan sepak bola kawasan Asia-Pasifik dari kawasan lain," tambah Velappan lagi.

Ia juga memikirkan turnamen dengan sistem home and away itu selain untuk klub juga bisa diadaptasi ke laga tim nasional. Pendek kata, OFC (Oceania Football Confederation) yang beranggotakan Australia, Selandia Baru, Fiji, Papua Nugini, dan sejumlah negara di Pasifik Selatan, tiba-tiba mendobrak suasana.

Perasaan vakum atau 'ademnya' perkembangan sepak bola dan gairah kompetisi di wilayahnya menjadi penyebab. Sekjen OFC, Josephine King, juga yakin turnamen yang berhadiah total 3,9 juta dolar tersebut bakal sukses.

"Kami siap ambil bagian dalam pertemuan 19 Oktober ini. Namun kami pikir tak ada masalah berarti. Asia setuju, kami pun gembira. Hal yang sungguh bagus untuk perkembangan sepak bola di kawasan Oseania," ujar King mengebu-gebu. Dalam waktu dekat ini ASF akan mengirimkan proporsal ke masing-masing top organisasi untuk informasi lebih lanjut. Oke, kita tunggu aksinya.

(foto: footballpink)

Share:

MLS: Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu

Pepatah di atas bisa jadi sekarang sedang dilakoni Liga Amerika Serikat yang lebih kondang disebut MLS (Major League Soccer). Kompetisi tetap berjalan, walau gebyarnya disaingi berat oleh sepak bola Olimpiade. Bukti bahwa masyarakat Amerika getol menonton pertandingan olah raga tidak terbantahkan lagi.

Panggung bisnis olah raga di AS merupakan salah satu industri papan atas. Apapun yang terjadi, mau negaranya lagi perang, krisis ekonomi sampai bencana alam yang namanya olah raga jalan terus. Termasuk sepak bola, dalam hal ini Kompetisi MLS. Hebatnya lagi, klub-klub MLS seolah tidak ada masalah berarti walau sebagian pemainnya bertugas untuk negara di Olimpiade. Hasil terbagus mungkin ditoreh Tampa Bay Mutiny.

Dalam selang waktu tiga hari, mereka mampu merengkuh dua kemenangan walau dua pemain intinya, Frankie Hejduk dan Nelson Vargas, dipinjam tim nasional AS. Mutiny, yang ditunggangi kapten nasional Kolombia Carlos Valderrama dan striker asal Italia Giuseppe Galderisi, telah membuat tim tuan rumah Colorado Rapids meringis akibat disabet 3-1 dalam laga di Stadion Mile High, Senin lalu. Tiga hari sebelumnya mereka juga menuai kejayaan dengan menggulung Kansas City Wiz 3-2 di kandang sendiri.

Dua gol yang membelah gawang Rapids yang dijaga mantan kiper utama tim nasional Inggris Chris Woods, merupakan assist matang Valderrama di menit 24 dan 76, yang dimanfaatkan Roy Lassiter dan Galderisi. Sementara itu, solo run Steve Raltson di menit 72, membuat semangat 6.320 penonton tuan rumah padam kembali yang sempat bangkit setelah Matt Kmosko membuat satu gol balasan, 11 menit sebelumnya.

Roberto Donadoni

Dengan hasil ini Mutiny terus mempertahankan rekornya sebagai satu-satunya klub yang belum pernah melakukan adu penalti, alias seri di 90 menit dari 18 kali pertarungannya. Seperti diketahui, lantaran orang Amerika tidak mengenal hasil imbang dalam olah raganya, sepak bola juga terkena imbasnya. Atas seizin FIFA, MLS melakukan perhitungan poin tersendiri dengan menghapus hasil seri. Begitu laga 90 menit usai dan poinnya imbang, secara otomatis wasit akan menggelar Shoot-Out Wins (SOW), semacam adu penalti.

Hingga saat ini Mutiny yang dilatih Thomas Rongen, terus berada di posisi puncak wilayah Timur. Mereka unggul jauh dari saingan terdekatnya DC United. Yang mulai makin seru terjadi di wilayah Barat di mana saat bersamaan keperkasaan Los Angeles Galaxy - yang turun tanpa kiper asal Meksiko Jorge Campos - muncul lagi sesudah melabrak tim elite New York MetroStars di kandangnya sendiri, Stadion Giants, dengan skor telak 3-0.

MLS: Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu
Padahal saat itu tuan rumah diperkuat Tony Meola dan Tab Ramos serta bintang barunya asal AC Milan, Roberto Donadoni. Kemenangan ini bisa disebut sebagai pelipur lara Cobi Jones dkk. setelah empat hari sebelumnya 'dibakar' Dallas Burn 5-2. Perjalanan Galaxy sendiri di wilayah Barat agaknya mulai seret. Posisi mereka terus diburu oleh San Jose Clash dan Burn, yang sama-sama menuai nilai 28.

Pergelaran MLS yang dimulai 6 April lalu, memang masih panjang karena baru akan berakhir 22 September mendatang. Semua kemungkinan masih bisa terjadi. Namun satu hal yang menggembirakan, tentunya animo masyarakat yang terus terjaga, walau terganggu oleh adanya Olimpiade. Luar biasa.

KLASEMEN SEMENTARA (hingga 22/7)

WILAYAH TIMUR

Klub
Main
Menang
Kalah
SOW
Gol
Nilai
Mutiny
18
11
7
0
(38-29)
33
United
19
8
11
1
(34-34)
22
MetroStars
18
8
10
3
(21-27)
18
Revolution
17
9
8
5
(23-26)
17
Crew
19
5
14
2
(37-48)
11

WILAYAH BARAT

Klub
Main
Menang
Kalah
SOW
Gol
Nilai
Galaxy
17
13
4
2
(36-24)
35
Clash
18
10
8
1
(32-27)
28
Burn
21
12
9
4
(33-32)
28
Wiz
21
10
11
2
(37-40)
26
Rapids
20
8
12
1
(32-36)
22

TOP-SCORER

Pemain/Klub
Main
Gol
Raul Diaz Arce (DC United)
18
14
Roy Lassiter (Mutiny)
17
13
Eduardo Hurtado (Galaxy)
14
12
Giovanni Savarese (MetroStars)
15
12
Cobi Preki Jones (Wiz)
21
12
Steve Rammel (DC United)
16
11
Paul Bravo (Clash)
17
11
Brian McBride (Crew)
16
10
Jason Kreis (Burn)
21
10
Pete Marino (Crew)
17
9
(foto: sportlogos/footyfair/nytimes)

Share:

Juara Bertahan: Sejarah Bagus Spanyol

Seperti yang diduga sebelumnya, tiga negara yang bertetangga di belahan Selatan Eropa pada Pegunungan Pyrennia - Prancis, Portugal, dan Spanyol - akhirnya mampu menyelamatkan muka benua biru dari gilasan wakil-wakil benua lain. Bagaimana peluang mereka selanjutnya?

Juara Bertahan: Sejarah Bagus Spanyol
Tapi sebelumnya, rasakan dulu apa yang tengah dialami oleh Italia. Tim yang berisi 100 persen pemain Serie A ini porak poranda akibat lengah dalam memprediksi pesaing lain di Grup C macam Meksiko, Ghana, dan yang ini keterlaluan, Korea Selatan! 

Masuk kotak dan jatuhnya kredibilitas menjadi oleh-oleh spesial bagi Cesare Maldini, allenatore tim Azzurri tersebut. Hancurnya Italia ini menyambung kegagalan tragis tim seniornya di Piala Eropa 1996. Kepastian itu ditentukan ketika mereka luruh di tangan Ghana 2-3. 

Ini kekalahan kedua setelah 0-1 dari Meksiko. Walaupun striker Internazionale, Marco Branca, bikin dua gol, namun lepasnya perhatian para pemain terhadap Christian Sabah, bintang muda Ghana yang baru dikontrak Bayern Muenchen, berakibat fatal.

Gol Sabah di menit ke-74 akhirnya menamatkan Italia pada partai yang digelar di Stadion RFK Washington DC, Selasa lalu. Demikian juga wakil Eropa di Grup D, Hongaria. Juara tiga kali Olimpiade ini memiliki prestasi hancur-hancuran yang sama dengan Italia. Tewas 0-1 dari Nigeria dan 1-3 dari Brasil, cukup mengantarkan mereka jadi penonton.

Maka harapan Eropa tinggal bergantung pada Prancis, Portugal, dan Spanyol. Mana yang paling diunggulkan? Harusnya Prancis dan Spanyol, yang menjadi runner up Piala Eropa Junior 1996 di bawah Italia setelah menebas Portugal di semifinal. Di penyisihan Grup B pun, mereka bermain imbang 1-1. Tapi teori ini tidak berlaku di atas lapangan.

Keyakinan Spanyol

Prancis yang mendiami Grup B bersama Spanyol, justru harus menengok tim-tim Grup A yang menjadi lawannya. Tinggal pilih mana, Argentina atau Portugal? Kalau prediksi ini benar, maka dari Eropa hanya akan muncul satu semifinalis.

Yang pasti, dari ketiga tim ini ambisinya sama, dua diantaranya sejarah yang bagus. Spanyol misalnya, tetap berambisi mengincar emas meski memiliki sasaran lain mencari pemain baru yang akan dipersiapkan pelatih Javier Clemente untuk menghadapi penyisihan Piala Dunia 1998. Maklum mereka adalah juara bertahan. Hal sama dilakukan oleh Portugal.

Ambisi Prancis juga mirip. Tekad tim Les Bleus ini adalah mengulang prestasi 1984 pada Olimpiade Los Angeles, di mana pada negara yang sama mereka mampu merebut emas. Bukti itu terlihat dari pasukan Raymond Domenech yang tidak satu pun mengangkut pemain seniornya. Jelas, muara pasukan ini cuma di Olimpiade sekaligus memantau calon bintang yang bakal diorbitkan di Piala Dunia 1998 mendatang di negeri sendiri.

Mereka sendiri menyebut negaranya Espana. Sementara ras Anglo-Saxon memanggilnya Spain, lafal yang sama untuk Spagna bagi orang Italia, atau Spanyol untuk kita. Di sepak bola, kalimat ini akan berarti sama: ketangguhan! Mau bicara dari mana? Kompetisinya, tim nasional, atau jugador-nya? Semuanya sama, tangguh. Apalagi penggarapnya Javier Clemente, pelatih yang punya guru: Bobby Robson, yang kini menukangi Barcelona.

Pintarnya lagi, Clemente meracik gaya Inggris dengan individual skill ala Latin. Terciptalah satu permainan memukau yang khas di Eropa, yang hanya bisa disaingi oleh tetangganya, Portugal. Kebetulan napas semua klub bersumber seperti itu. Clemente menerapkan bukan di tim utama saja, tapi juga tim kedua, seiring dengan kepercayaan yang diberikan oleh RFEF (PSSI-nya Spanyol).

Maka lihatlah tim muda ini di Olimpiade Atlanta. Tak berbeda jauh dengan para seniornya yang baru saja berkiprah di Piala Eropa 1996. Ke-22 pemain yang diangkut, 17 diantaranya adalah skuad Divisi Satu Liga Spanyol dengan pentolan bintang Raul Blanco Gonzalez dan Ivan 'Little Buddha' de la Pena Lopez, dua harapan dari dua klub hebat, Real Madrid dan Barcelona. Mereka tak membutuhkan bantuan pemain 'di atas umur' seperti negara lain.

Perjalanan di Kejuaraan Eropa U-21 cukup memberi hasil. Mereka lancar tiba di final, walau dibekap Italia 0-1. Modal inilah yang membawa mereka ke Atlanta. Keyakinan empat tahun lalu di rumah sendiri pada Olimpiade 1992, juga terus bergaung: merebut emas! Spanyol adalah juara bertahan. Artinya hingga saat pesta olah raga di Atlanta ini belum selesai, secara teori mereka masih menjadi jagoan di sepak bola Olimpiade.

SKUAD JUGADOR SPANYOL

Pemain: 1-Juan Luis Mora Palacios (12-07-73/Real Oviedo)2-Gaizka Mendieta Zabala (27-03-73/Valencia)3-Agustin Aranzabal Alcorta (15-03-73/Real Sociedad)4-Javier Navarro Vicente (06-02-74/Valencia)5-Santiago Denia Sanchez (09-03-74/Atletico Madrid)6-Oscar Garcia Junyent (26-04-73/Barcelona)7-Raul Blanco Gonzalez (27-06-77/Real Madrid)8-Roderto Prieto Fresnedoso (15-01-73/Atletico Madrid)9-Sergio Corino Ramon (10-10-74/Merida)10-Josi Ignacio Saenz Marin (28-09-73/Valencia)11-Inigo Idiakez Barcaiztegui (08-11-73/Real Sociedad)12-Aitor Karanka de la Hoz (18-09-73/Athletic Bilbao)13-Jorge Aizkorreta Jurado (06-02-74/Athletic Bilbao)14-Fernando Morientes Sanchez (05-04-76/Real Zaragoza)15-Ivan de la Pena Lopez (06-05-76/Barcelona)16-Jordi Lardin Cruz (04-06-73/Espanyol)17-Josi Sietes Suarez Rivas (18-02-74/Valencia)18-Daniel Garcia Lara (22-12-74/Real Zaragoza)19-Imanol Etxeberria Egaga (27-03-73/Athletic Bilbao)20-Josi Aprilio Garcia Calvo (01-04-75/Real Madrid)21-Javier de Pedro Falque (04-08-73/Real Sociedad)22-Josi Lopez Morales Martin (02-08-73/Sporting Gijon).
Pelatih: Javier Clemente
Asisten: Inaki Saez
Partisipasi: 1920, 1924, 1928, 1968, 1976, 1980, 1992

(foto: photobucket/gazettelive)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini