Seperti yang diduga sebelumnya, tiga negara yang bertetangga di belahan Selatan Eropa pada Pegunungan Pyrennia - Prancis, Portugal, dan Spanyol - akhirnya mampu menyelamatkan muka benua biru dari gilasan wakil-wakil benua lain. Bagaimana peluang mereka selanjutnya?
Tapi sebelumnya, rasakan dulu apa yang tengah dialami oleh Italia. Tim yang berisi 100 persen pemain Serie A ini porak poranda akibat lengah dalam memprediksi pesaing lain di Grup C macam Meksiko, Ghana, dan yang ini keterlaluan, Korea Selatan!
Masuk kotak dan jatuhnya kredibilitas menjadi oleh-oleh spesial bagi Cesare Maldini, allenatore tim Azzurri tersebut. Hancurnya Italia ini menyambung kegagalan tragis tim seniornya di Piala Eropa 1996. Kepastian itu ditentukan ketika mereka luruh di tangan Ghana 2-3.
Ini kekalahan kedua setelah 0-1 dari Meksiko. Walaupun striker Internazionale, Marco Branca, bikin dua gol, namun lepasnya perhatian para pemain terhadap Christian Sabah, bintang muda Ghana yang baru dikontrak Bayern Muenchen, berakibat fatal.
Gol Sabah di menit ke-74 akhirnya menamatkan Italia pada partai yang digelar di Stadion RFK Washington DC, Selasa lalu. Demikian juga wakil Eropa di Grup D, Hongaria. Juara tiga kali Olimpiade ini memiliki prestasi hancur-hancuran yang sama dengan Italia. Tewas 0-1 dari Nigeria dan 1-3 dari Brasil, cukup mengantarkan mereka jadi penonton.
Maka harapan Eropa tinggal bergantung pada Prancis, Portugal, dan Spanyol. Mana yang paling diunggulkan? Harusnya Prancis dan Spanyol, yang menjadi runner up Piala Eropa Junior 1996 di bawah Italia setelah menebas Portugal di semifinal. Di penyisihan Grup B pun, mereka bermain imbang 1-1. Tapi teori ini tidak berlaku di atas lapangan.
Keyakinan Spanyol
Prancis yang mendiami Grup B bersama Spanyol, justru harus menengok tim-tim Grup A yang menjadi lawannya. Tinggal pilih mana, Argentina atau Portugal? Kalau prediksi ini benar, maka dari Eropa hanya akan muncul satu semifinalis.
Yang pasti, dari ketiga tim ini ambisinya sama, dua diantaranya sejarah yang bagus. Spanyol misalnya, tetap berambisi mengincar emas meski memiliki sasaran lain mencari pemain baru yang akan dipersiapkan pelatih Javier Clemente untuk menghadapi penyisihan Piala Dunia 1998. Maklum mereka adalah juara bertahan. Hal sama dilakukan oleh Portugal.
Ambisi Prancis juga mirip. Tekad tim Les Bleus ini adalah mengulang prestasi 1984 pada Olimpiade Los Angeles, di mana pada negara yang sama mereka mampu merebut emas. Bukti itu terlihat dari pasukan Raymond Domenech yang tidak satu pun mengangkut pemain seniornya. Jelas, muara pasukan ini cuma di Olimpiade sekaligus memantau calon bintang yang bakal diorbitkan di Piala Dunia 1998 mendatang di negeri sendiri.
Mereka sendiri menyebut negaranya Espana. Sementara ras Anglo-Saxon memanggilnya Spain, lafal yang sama untuk Spagna bagi orang Italia, atau Spanyol untuk kita. Di sepak bola, kalimat ini akan berarti sama: ketangguhan! Mau bicara dari mana? Kompetisinya, tim nasional, atau jugador-nya? Semuanya sama, tangguh. Apalagi penggarapnya Javier Clemente, pelatih yang punya guru: Bobby Robson, yang kini menukangi Barcelona.
Pintarnya lagi, Clemente meracik gaya Inggris dengan individual skill ala Latin. Terciptalah satu permainan memukau yang khas di Eropa, yang hanya bisa disaingi oleh tetangganya, Portugal. Kebetulan napas semua klub bersumber seperti itu. Clemente menerapkan bukan di tim utama saja, tapi juga tim kedua, seiring dengan kepercayaan yang diberikan oleh RFEF (PSSI-nya Spanyol).
Maka lihatlah tim muda ini di Olimpiade Atlanta. Tak berbeda jauh dengan para seniornya yang baru saja berkiprah di Piala Eropa 1996. Ke-22 pemain yang diangkut, 17 diantaranya adalah skuad Divisi Satu Liga Spanyol dengan pentolan bintang Raul Blanco Gonzalez dan Ivan 'Little Buddha' de la Pena Lopez, dua harapan dari dua klub hebat, Real Madrid dan Barcelona. Mereka tak membutuhkan bantuan pemain 'di atas umur' seperti negara lain.
Perjalanan di Kejuaraan Eropa U-21 cukup memberi hasil. Mereka lancar tiba di final, walau dibekap Italia 0-1. Modal inilah yang membawa mereka ke Atlanta. Keyakinan empat tahun lalu di rumah sendiri pada Olimpiade 1992, juga terus bergaung: merebut emas! Spanyol adalah juara bertahan. Artinya hingga saat pesta olah raga di Atlanta ini belum selesai, secara teori mereka masih menjadi jagoan di sepak bola Olimpiade.
Asisten: Inaki Saez
Partisipasi: 1920, 1924, 1928, 1968, 1976, 1980, 1992
(foto: photobucket/gazettelive)
Tapi sebelumnya, rasakan dulu apa yang tengah dialami oleh Italia. Tim yang berisi 100 persen pemain Serie A ini porak poranda akibat lengah dalam memprediksi pesaing lain di Grup C macam Meksiko, Ghana, dan yang ini keterlaluan, Korea Selatan!
Masuk kotak dan jatuhnya kredibilitas menjadi oleh-oleh spesial bagi Cesare Maldini, allenatore tim Azzurri tersebut. Hancurnya Italia ini menyambung kegagalan tragis tim seniornya di Piala Eropa 1996. Kepastian itu ditentukan ketika mereka luruh di tangan Ghana 2-3.
Ini kekalahan kedua setelah 0-1 dari Meksiko. Walaupun striker Internazionale, Marco Branca, bikin dua gol, namun lepasnya perhatian para pemain terhadap Christian Sabah, bintang muda Ghana yang baru dikontrak Bayern Muenchen, berakibat fatal.
Gol Sabah di menit ke-74 akhirnya menamatkan Italia pada partai yang digelar di Stadion RFK Washington DC, Selasa lalu. Demikian juga wakil Eropa di Grup D, Hongaria. Juara tiga kali Olimpiade ini memiliki prestasi hancur-hancuran yang sama dengan Italia. Tewas 0-1 dari Nigeria dan 1-3 dari Brasil, cukup mengantarkan mereka jadi penonton.
Maka harapan Eropa tinggal bergantung pada Prancis, Portugal, dan Spanyol. Mana yang paling diunggulkan? Harusnya Prancis dan Spanyol, yang menjadi runner up Piala Eropa Junior 1996 di bawah Italia setelah menebas Portugal di semifinal. Di penyisihan Grup B pun, mereka bermain imbang 1-1. Tapi teori ini tidak berlaku di atas lapangan.
Keyakinan Spanyol
Prancis yang mendiami Grup B bersama Spanyol, justru harus menengok tim-tim Grup A yang menjadi lawannya. Tinggal pilih mana, Argentina atau Portugal? Kalau prediksi ini benar, maka dari Eropa hanya akan muncul satu semifinalis.
Yang pasti, dari ketiga tim ini ambisinya sama, dua diantaranya sejarah yang bagus. Spanyol misalnya, tetap berambisi mengincar emas meski memiliki sasaran lain mencari pemain baru yang akan dipersiapkan pelatih Javier Clemente untuk menghadapi penyisihan Piala Dunia 1998. Maklum mereka adalah juara bertahan. Hal sama dilakukan oleh Portugal.
Ambisi Prancis juga mirip. Tekad tim Les Bleus ini adalah mengulang prestasi 1984 pada Olimpiade Los Angeles, di mana pada negara yang sama mereka mampu merebut emas. Bukti itu terlihat dari pasukan Raymond Domenech yang tidak satu pun mengangkut pemain seniornya. Jelas, muara pasukan ini cuma di Olimpiade sekaligus memantau calon bintang yang bakal diorbitkan di Piala Dunia 1998 mendatang di negeri sendiri.
Mereka sendiri menyebut negaranya Espana. Sementara ras Anglo-Saxon memanggilnya Spain, lafal yang sama untuk Spagna bagi orang Italia, atau Spanyol untuk kita. Di sepak bola, kalimat ini akan berarti sama: ketangguhan! Mau bicara dari mana? Kompetisinya, tim nasional, atau jugador-nya? Semuanya sama, tangguh. Apalagi penggarapnya Javier Clemente, pelatih yang punya guru: Bobby Robson, yang kini menukangi Barcelona.
Pintarnya lagi, Clemente meracik gaya Inggris dengan individual skill ala Latin. Terciptalah satu permainan memukau yang khas di Eropa, yang hanya bisa disaingi oleh tetangganya, Portugal. Kebetulan napas semua klub bersumber seperti itu. Clemente menerapkan bukan di tim utama saja, tapi juga tim kedua, seiring dengan kepercayaan yang diberikan oleh RFEF (PSSI-nya Spanyol).
Maka lihatlah tim muda ini di Olimpiade Atlanta. Tak berbeda jauh dengan para seniornya yang baru saja berkiprah di Piala Eropa 1996. Ke-22 pemain yang diangkut, 17 diantaranya adalah skuad Divisi Satu Liga Spanyol dengan pentolan bintang Raul Blanco Gonzalez dan Ivan 'Little Buddha' de la Pena Lopez, dua harapan dari dua klub hebat, Real Madrid dan Barcelona. Mereka tak membutuhkan bantuan pemain 'di atas umur' seperti negara lain.
Perjalanan di Kejuaraan Eropa U-21 cukup memberi hasil. Mereka lancar tiba di final, walau dibekap Italia 0-1. Modal inilah yang membawa mereka ke Atlanta. Keyakinan empat tahun lalu di rumah sendiri pada Olimpiade 1992, juga terus bergaung: merebut emas! Spanyol adalah juara bertahan. Artinya hingga saat pesta olah raga di Atlanta ini belum selesai, secara teori mereka masih menjadi jagoan di sepak bola Olimpiade.
SKUAD JUGADOR SPANYOL
Pemain: 1-Juan Luis Mora Palacios (12-07-73/Real Oviedo), 2-Gaizka Mendieta Zabala (27-03-73/Valencia), 3-Agustin Aranzabal Alcorta (15-03-73/Real Sociedad), 4-Javier Navarro Vicente (06-02-74/Valencia), 5-Santiago Denia Sanchez (09-03-74/Atletico Madrid), 6-Oscar Garcia Junyent (26-04-73/Barcelona), 7-Raul Blanco Gonzalez (27-06-77/Real Madrid), 8-Roderto Prieto Fresnedoso (15-01-73/Atletico Madrid), 9-Sergio Corino Ramon (10-10-74/Merida), 10-Josi Ignacio Saenz Marin (28-09-73/Valencia), 11-Inigo Idiakez Barcaiztegui (08-11-73/Real Sociedad), 12-Aitor Karanka de la Hoz (18-09-73/Athletic Bilbao), 13-Jorge Aizkorreta Jurado (06-02-74/Athletic Bilbao), 14-Fernando Morientes Sanchez (05-04-76/Real Zaragoza), 15-Ivan de la Pena Lopez (06-05-76/Barcelona), 16-Jordi Lardin Cruz (04-06-73/Espanyol), 17-Josi Sietes Suarez Rivas (18-02-74/Valencia), 18-Daniel Garcia Lara (22-12-74/Real Zaragoza), 19-Imanol Etxeberria Egaga (27-03-73/Athletic Bilbao), 20-Josi Aprilio Garcia Calvo (01-04-75/Real Madrid), 21-Javier de Pedro Falque (04-08-73/Real Sociedad), 22-Josi Lopez Morales Martin (02-08-73/Sporting Gijon).
Pelatih: Javier ClementeAsisten: Inaki Saez
Partisipasi: 1920, 1924, 1928, 1968, 1976, 1980, 1992
(foto: photobucket/gazettelive)