PENDUKUNG Chelsea sedunia seharusnya sering mengenang tanggal 28 April 1984. Meskipun kelahiran klub, yang pada 10 Maret 1905 itu terlihat lebih bersejarah, namun sebuah peristiwa yang muncul 30 tahun lebih dicap sebagai tonggak baru, reborn, buat klub yang kini menjelma menjadi salah satu pilar utama atau simbol kapitalisme olah raga di London, dan juga di Inggris.
John Neal. |
Pendeknya tanpa momen itu tak mungkin, Anda akan mencintai dan meletupkan ekspresi pada Chelsea seperti sekarang. Tanpa kejadian tersebut, mustahil ada orang seperti Roman Abramovich, Jose Mourinho, Didier Drogba bla bla bla yang mau datang ke Stamford Bridge mengenakan kostum biru.
Bahkan kejayaan tiga titel Liga Inggris, enam Piala FA, tiga Piala Liga, tiga Piala Community Shield, dua kali Piala Winner, serta sekali Piala Super Eropa, Liga Europa, dan puncaknya di Liga Champion pada 19 Mei 2012, harus mengarungi peristiwa tadi. Ini adalah perjalanan sebuah takdir. Dan, pada akhirnya tak mungkin sekarang Chelsea punya 400 juta fan sejagat seperti klaim CEO-nya, Ron Gourlay, September 2014 silam.
Penggemar baru True Blue, yang disinyalir 90%-nya berusia 19-32 tahun – berkebalikan dengan julukan lamanya sebagai klub para pensiunan (The Pensioners) – seharusnya menghargai juga jasa seseorang terlupakan yang bernama John Neal, sama pentingnya seperti pada Kamerad Abramovich atau Senhor Mourinho. Tanpa Mr. John barangkali nasib Chelsea sekarang mirip Brentford atau Millwall, dua klub London yang sulit lagi menggapai piramida tertinggi sepak bola Inggris.
John Neal adalah manajer Chelsea pada 1981-85 yang menggagalkan nasib buruk Chelsea kejeblos ke Divisi Tiga pada musim 1982/83. Di akhir musim itu, Chelsea hanya terpaut satu kemenangan dari Rotherham United, Bolton Wanderers, dan Burnley yang kesemuanya itu terlempar dari Divisi Dua.
Di era pra Premier League ini, hebatnya lagi Neal pula yang meloloskan lagi Chelsea ke Divisi Utama setelah merebut juara Division Two old pada 1983/84. Ibarat roda kehidupan, saat itulah putaran nasib masa depan Chelsea rupanya ditentukan. Apa yang dilakukan John Neal pada dua musim yang paling menentukan itu?
Sejak terdegradasi dari Divisi Utama di musim 1974/75, reputasi Chelsea yang cuma sekali menjadi juara Inggris pada 1955, jatuh ke titik nadir. Klub ini mulai dilupakan orang, dan sakitnya lagi, juga dilupakan media massa yang berarti dilupakan dunia.
Secangkir Kopi
Sebuah kesebelasan ibukota yang pernah melahirkan bintang nasional Ron Bentley, Jimmy Greaves, dan Peter Osgood ini tak kuasa meladeni poros persaingan yang kala itu sedang dikuasai Liverpool, Leeds United, atau Arsenal. Tak ada orang yang mau melatih Chelsea, tak ada orang yang peduli, kecuali itu tadi, para pensiunan!
Sejak dulu, berkat lokasinya, Chelsea hanya didukung kaum manula dan golongan purnakarya yang tinggal di kawasan elite London Barat. Chelsea hanyalah hiburan pengisi waktu senggang di hari libur, selain golf, baccarat, atau menonton polo. Yang tidak punya ambisi dan hawa nafsu lagi kecuali menghabiskan umurnya. Populasi mereka tidak banyak, pasif, dan memandang klub di wilayahnya itu sebagai identitas semu yang tidak memberi ruang ekspresi kecuali impresi.
Neal hadir mendadak di Stamford Bridge, April 1981 usai pemecatan pelatih Geoffrey Hurst, si pahlawan Inggris di Piala Dunia 1966. Pemilik klub ini adalah Keluarga Mears, yang moyangnya adalah pendiri Chelsea. Gara-gara harga baja yang meroket, mereka kehabisan duit usai pembangunan tribun East Stand.
Dengan bujet transfer yang amat minim bin mentok, Neal diwanti-wanti agar bijaksana memakai dana pinjaman dari berbagai lintah darat yang siap memanfaatkan kesulitan Keluarga Mears. Pikir punya pikir, peminjaman pemain agaknya jadi sesuatu yang realistis ketimbang membelinya.
Neal diwarisi skuad yang nyaris tanpa motivasi dan ambisi yang jelas. Musim pertama Chelsea di bawah Neal sangat tidak berkesan kecuali kemenangan 2-0 di Piala FA atas juara Eropa, Liverpool. Stigma yang menancap di Chelsea waktu itu tidak lain sebagai klub yang banyak hutang, tanpa ambisi dan sekedar ada. Istilahnya bagai kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup pun tak mau.
Saking miskinnya, harga jual klub ini tidak melebihi secangkir teh. Diberi gratis pun orang masih berpikir seribu kali. Stadionnya masih utang, temboknya bolong-bolong sehingga mudah dilewati kucing garong apalagi tikus. Skuad-nya milik klub orang lain alias pinjaman. Belum lagi tagihan gaji pemain dan staf, serta biaya transportasi yang gali lubang tutup lubang. Semua ini hanya bisa ditutup tiap bulannya dari mengandalkan pemasukan tiket. Benar-benar berjudi.
Turbulensi di Chelsea sungguh gila-gilaan, menyamai pesawat Hercules yang mati baling-balingnya. Dan catat, ini klub divisi dua pula. Yang menggoda cuma satu, lokasinya yang elite. Di bilangan segitiga Kensington - Knightsbridge - Notting Hill. Kalau di Jakarta, barangkali seperti di sekitaran Jalan Pakubuwono - Hang Tuah yang adem itu.
Sampai akhirnya pada 1982 Kenneth William Bates, pengusaha kontraktor pemugar The Bridge yang bolong-bolong tadi, akhirnya membeli klub itu hanya dengan harga 1 pound. Dibeli lantaran frustrasi membenahi bangunan dan memikirkan seluk beluk klub orang purnakarya ini. Bayangkan, Bates membelinya dengan harga secangkir kopi!
Banyak yang bilang Bates sudah sinting dan hilang ingatan mengingat Chelsea dalam kondisi kritis dan krisis serta berisiko tercebur ke Divisi Tiga. Siap-siap saja hutang dan pajaknya makin bertumpuk. Bates seolah-olah menjudikan hidupnya. Namun dalam hidup terkadang orang mesti mundur dulu selangkah agar bisa maju dua langkah.
Ken Bates mulai mengubah pekerjaan, kebiasaan dan waktunya menjadi pengelola klub, dan beruntungnya, dia punya John Neal. Dalam bulan-bulan ke depan yang menentukan, Neal sukses mencegah Chelsea jatuh ke lubang lebih dalam di divisi tiga, hanya di dua laga tersisa musim itu! Chelsea menang 1-0 di kandang Bolton dan bermain 0-0 lawan Middlesbrough di kandang sendiri.
Bates menang “judi”, dan perjuangan pertama Neal pun, sementara selesai. Chelsea masih bokek memasuki musim 1983/84. Neal kembali harus menyewa pemain atau membeli pemain termurah, yang berisiko seperti mendapat kucing dalam karung. Sudah pasti nama-namanya asing dan aneh-aneh. Salah satu nama yang patut dicatat adalah Pat Nevin.
Ditolak Glasgow Celtic, Neal buru-buru menggaet penyerang bertipe “Eden Hazard” dalam bentuk lawas. Nevin – yang disapa Wee Pat – seolah-olah jimatnya Neal. Memulai dengan mencukur Derby County 5-0, Chelsea sukses meraih lima kemenangan di 6 laga perdana. Malahan merangkak jadi 13 di 17 partainya dan belum terkalahkan.
Neal juga melahirkan “legenda” lain yang boleh jadi tidak dikenal oleh Chelsea-mania sekarang. Salah satunya Paul Canoville, pemain kulit hitam pertama sepanjang sejarah di Chelsea. Gelandang sayap ini dicomot dari klub tarkam Hillingdon Borough. Ini risiko besar buat Neal mengingat pendukung Chelsea kebanyakan golongan sayap kanan yang dikenal pemuja rasisme.
Benar saja, di berbagai waktu Canoville mendapat perlakuan tak manusiawi saat tampil bersama Chelsea. Konyolnya lagi pendukung Chelsea juga ikut-ikutan menghina. Lebih parah lagi, di kamar ganti sendiri pun, Canoville sering “di-bully” dan dihina oleh pemain Chelsea sendiri! Alamak. Karena dirinya masih yakin sebagai manusia, tak urung Canoville berancang-ancang untuk hengkang. Di saat yang tepat, dengan bijaksana Neal datang membujuk seraya memberi tips untuk melupakan hal itu dengan berkata: “Abaikan semuanya itu Paul, yang lebih penting adalah kamu digaji tetap!” Di kemudian hari Canoville berandil besar meloloskan Chelsea ke Divisi Utama di laga penentuan.
Pembelokan Sejarah
Sabtu 28 April 1984 ibarat hari koronasi buat Neal. The Bridge yang rata-rata dikunjungi 15 ribu orang, kali ini disesaki 33.447 penonton, sepertiganya adalah fan Leeds United, lawan Chelsea di laga ke-38 Divisi Dua. Gejala bakal ada perayaan gila-gilaan terlihat saat Chelsea unggul 3-0 di babak pertama. Tiba-tiba jumlah penonton membludak hingga 50-an ribu orang! Ken Bates terpaksa turun panggung. Memakai toa, dia minta agar penonton jangan masuk lapangan di akhir laga. Tapi percuma. Usai Canoville bikin gol kelima di saat injury-time, ribuan penonton menyerbu lapangan. Suasana kacau balau.
Karena deg-degan, wasit langsung menyudahi laga. Uniknya tak satu pun invader menemukan John Neal. Sebelum laga usai, rupanya ia menyelusup ke lorong sendirian. Berjalan tertunduk. Walau masih ada empat laga sisa, Chelsea dan juga Sheffield Wednesday resmi promosi ke Divisi Utama (“Premier League” sebelum 1992/93). Jelang musim 1984/85, Neal menjalani operasi jantung dan wajib beristirahat, tapi nyatanya ia tetap memandu timnya berlaga di Highbury menjumpai Arsenal di pekan pertama (1-1). Chelsea mengakhiri kompetisi secara fantastis dengan menduduki posisi 6 di atas Arsenal! Di akhir musim, Neal resmi meninggalkan gelanggang dengan alasan kesehatan.
Hingga akhir hayatnya, dia menjadi penonton kehormatan di Stamford Bridge. Setiap saat ia dapat merasakan kini Chelsea telah stabil. Minggu, 23 November 2014, John Neal telah berpulang selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Klub berduka dan mengumumkan kepergiannya dengan testimoni di situs resmi. “Tak berlebihan bila dikatakan mungkin tidak ada kesuksesan Chelsea FC seperti sekarang tanpa kesuksesan John Neal saat mengatasi segala krisis demi menempatkan klub ini sebagaimana mestinya.”
“Beliau adalah kebijaksanaan sejati yang langka, kata Nevin dengan wajah muram, “bukan saja di sepak bola tetapi juga di kehidupan.” Canoville urun rembug: “Dia pembuat keputusan yang berani, melakukannya dengan benar serta memperlakukan pemain dengan hormat. Saya tidak bisa menemukan satu kata buruk pun darinya, dan tidak yakin ada orang yang lebih baik darinya.”
Tuah sang mendiang masih ada. Dua hari sebelum pemakamannya, Chelsea tampil kesetanan di pentas Liga Champion dengan menghancurkan tuan rumah Schalke 5-0 di Gelsenkirchen, Rabu dinihari (26/11/2014). Menjelang laga, skuat maupun fan Chelsea mengenang upaya hebat, kehalusan karakter serta kesederhanaan John Neal dengan cara masing-masing.
Dari yang mulai mengheningkan cipta sampai membaca-baca Wikipedia tentangnya. Sejarah telah menulis begini: tanpa lakon Ken Bates, juga Pat Nevin, Paul Canoville yang amat signifikan, boleh jadi sejarah Chelsea akan berbelok. Namun tanpa orang ini mustahil Roman Abramovich mau membeli Chelsea dan menyulap menjadi gemerlap. Dan pahlawan yang terlupakan itu bernama John Neal. @riefnatakusumah, November 2014
(foto: chelseafc)