SALAM hormat untuk para pendatang baru di Piala Eropa 2016 yaitu Islandia, Wales, Irlandia Utara, dan Slowakia. Tapi mohon maaf, selama di Prancis nanti barangkali sorotan pada mereka tidak seterang Albania, yang juga jadi debutan. Tiada keingintahuan paling dicari-cari ketika berlangsung di ajang paling bergengsi kecuali kisah dongeng dari sebuah negeri unik.
Yang perlu dicatat, ini bukan kisah unik dari negeri dongeng. Republik Albania alias Shqiperia, wilayah di jazirah Balkan seluas 28.748 km2 atau kira-kira separonya Provinsi Aceh, akhir Oktober lalu menggegerkan jagat sepak bola berkat aksi fenomenal: untuk pertama kalinya sepanjang sejarah lolos ke turnamen akbar berupa Piala Eropa 2016 di Prancis.
Bayangkan ungkapan dan reaksi rakyat. Pasalnya seumur-umur nama Albania selalu tiarap bahkan terkubur di ajang Piala Eropa atau Piala Dunia. Jangankan itu, puluhan kali kualifikasinya saja menghasilkan juru kunci grup nan abadi. Rupanya mereka pantang menyerah mengais-ngais kesempatan. Minggu, 11 Oktober 2015 akhirnya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu.
Di laga terakhir Grup I, Shqiponjat (Si Elang) – julukan timnas Albania – membekap tuan rumah Armenia 3-0 di Yerevan. Kemenangan heroik ini melambungkan posisi mereka sebagai runner-up di bawah Portugal sekaligus menggeser posisi Denmark, yang kena apes usai kans lolos otomatis tewas di tangan Cristiano Ronaldo dkk. 0-1 di Braga, tiga hari sebelumnya.
Belum lagi unjuk gigi di Prancis, banyak orang masih penasaran dengan Albania, negara tirai besi yang tersisa selain Korea Utara. Mengapa tiba-tiba mereka begitu piawai sampai bisa lolos ke Euro 2016? Bukankah di grup itu ada favorit Serbia yang punya pemain beken seperti Aleksandar Kolarov, Aleksandar Mitrovic, Branislav Ivanovic, Nemanja Matic atau Dusan Tadic?
Orang pantas penasaran mencari kunci sukses Shqiponjat yang sejak 2011 dibesut seorang pelatih kapiran dari Italia, Giovanni De Biasi. Benarkah kekuatan misterius di UEFA yang membelokkan sejarah. Pasalnya kejutan Shqiponjat membuat outcome Grup I meleset dari prediksi awam. Lolos: Portugal dan Albania. Playoff: Denmark. Tersingkir: Serbia dan Armenia.
Buat FSHF (federasi sepak bola Albania), lolos ke ajang akbar adalah yang pertama kali sejak dibentuk pada 1930. Sepanjang hidupnya, Albania berkelas taruna di benua biru. Mereka cuma pernah ikut Kejuaraan Eropa U-18 pada 1982 serta Kejuaraan Eropa U-16 pada 1994. Pendek kata, sukses tim Kuq e Zinjtë (merah dan hitam) pantas mengagetkan banyak pihak.
Lolos ke Prancis 2016 merupakan impian nyata mantan negeri jajahan Turki yang memerdekakan diri pada 28 November 1912. Hampir semua rakyat turun ke jalan. Bukan untuk berdemo, namun merayakan kebanggaan dan melepaskan perasaan nasionalisme juga jepitan ekonomi dengan main petasan, joget, bernyanyi, dan memuja-muji seluruh skuad Shqiponjat.
Ingat Albania ingat Enver Halil Hoxha. Ini bukan merek rokok atau kedai kopi. Dia berwujud manusia, ada kepalanya, tepatnya seorang diktator ulung yang memerah-hitamkan Albania selama 41 tahun. Aslinya Hoxha itu sekretaris Partai Buruh. Namun secara de facto dia penguasa tunggal sejak 8 November 1941 sampai 11 April 1985, ketika rohnya benar-benar melayang.
Di era rezim komunis Hoxha yang amat terkunci, setiap orang Albania dilarang keluar negeri, yang ketahuan bandel sontak digiring ke gulag alias kamp kerja paksa. Yang merasa laki laki dilarang berjenggot, sebab katanya Albania bukan negeri relijius. Kalau masih nekat melawan, maka jenggot Anda akan dikerik paksa hingga licin di situ juga oleh Sigurimi, polisi rahasia.
Kehidupan Albania yang jumlahnya tidak di bawah 3 juta jiwa di masa lalu kira-kira mirip Korea Utara sekarang. Dilihat dari peta, negara bernama tulen Republika e Shqiperise ini cuma punya pandangan luas Laut Adriatik yang nun jauh di seberang sana berdiri Italia. Tetangga dekat mereka yang dari Balkan kebanyakan tidak ramah. Masedonia, Montenegro, dan Yunani.
Walau Hoxha telah berada di alam lain, namun Albania baru merasa bebas usai Tembok Berlin roboh pada 1989. Sampai sekarang pun masih ada kejanggalan lain di negara beribukota Tirana ini. Misalnya, mirip dengan Korea Utara, Albania adalah secuil wilayah yang tak pernah nonton Premier League. FA melarang menjual hak siar sebab di sana sarangnya pembajakan.
Namun gara-gara sukses tim Shqiponjat bisa jadi efeknya akan berbeda. Lagi pula kapten nasional Lorik Cana pernah 35 kali membela Sunderland di musim 2009/10. Cana, 32 tahun, kini merumput di Nantes di Prancis. Rudi Vata, bek Celtic selama empat musim di era 1990-an, juga asli Albania. Tapi paling terkenal jelas Adnan Januzaj, pemuda Manchester United.
*******
PEMAIN berusia 20 tahun yang disewa Borussia Dortmund itu juga orang Albania, blasteran Kosovo. Tapi secara waras, dia lebih memilih timnas Belgia. Kok? Begini ceritanya. Abidin Januzaj, bapaknya Adnan, pada 1992 kabur sejauh-jauhnya melintasi banyak negara setelah di-uber-uber intel untuk dijadikan wajib militer atau Sigurimi.
Abidin akhirnya menetap di Belgia, berkeluarga, punya rumah sampai lahirnya Januzaj tiga tahun kemudian. Kala status kewarganegaraannya belum jelas, tapi karena punya akte kelahiran yang dicap rumah sakit di Brussels, Januzaj bisa ditarik tim nasional Belgia atau Les Diables Rouges. Tak lama barulah dia resmi diberi KTP Belgia. Inilah kesaktian futbollit alias sepak bola!
Kembali soal efek sukses Shqiponjat. Bukan Inggris atau Belgia yang jadi sarang pesepak bola Albania. Paling banyak justru di Italia. Soalnya dengan modal berani separo nekat, mereka bisa menyeberangi Laut Adriatik dengan perahu untuk sampai di pelabuhan Bari atau Lecce. Di awal 2000-an, nama Igli Tare jadi satu-satunya attacante Albania paling jempolan bin terkenal di Serie A.
Setelah sempat melanglang di Brescia dan Bologna, Tare hinggap di Lazio sampai gantung sepatu. Kini dia bekerja jadi supervisor di Lazio. Erjon Bogdani pernah tampil di Reggina dan Chievo. Trah Albania di Serie A kini dilanjutkan Erit Berisha (Lazio) dan Elseid Hysaj (Napoli). Albania memang lebih akrab dengan Italia, teman fasis-nya, sejak dari zaman Mussolini.
Keakraban Italia-Albania mempengaruhi kenapa De Biasi mau melatih Shqiponjat, dan Shqiponjat juga yakin dengan orang yang sebelumnya nyaris tiap tahun dipecat itu. Kini hubungan mereka awet selama empat tahun. Ada ratusan pemain berdarah Albania di semua divisi di Italia, dan mungkin lima ratusan di seluruh Eropa. Tapi mayoritasnya memilih seperti Adnan Januzaj.
Jadi pengkhianat bangsa maksudnya? Eit, tunggu dulu. Kini dunia tak dibatasi melulu oleh negara tetapi kemampuan, keterampilan atau keahlian. Budaya ekspatriat dan profesional berkembang kian hebat. Kisah Januzaj yang lebih memilih membela Belgia adalah globalisasi. Sebenarnya tren ini sudah terjadi puluhan, entah ratusan tahun di segala kehidupan.
Istilahnya saja yang belum ada. Sadarkah Anda ketika mahafisikawan Albert Einstein yang ‘kabur’ dari Swiss pada 1945, begitu mendarat di AS sudah jadi KTP barunya? Lalu bedahlah deretan profesional di Google atau skuad sampai board of directors di Arsenal. Owner: AS dan Rusia. Direktur: AS, Inggris. Manajer: Prancis. Skuad: belasan bahkan puluhan negara.
Di luar Januzaj, ada nama-nama cukup dikenal seperti Valon Behrami (Watford), Blerim Dzemaili (Galatasaray/Genoa), Xherdan Shaqiri (Stoke City) yang berdarah Albania tapi ketiganya dicomot timnas Swiss, lalu jadi warganegara resmi di sana. Diduga jumlah seperti mereka akan bertambah banyak di masa depan seiring dengan kebangkitan futbollit dari Albania.
Di tim Black Eagle sekarang, skuad De Biasi amat kosmopolitan sebab datang dari Jerman, Prancis, Swiss, Italia atau Yunani. Mereka masih muda namun sarat pengalaman. Sebut saja Berat Djimsiti (22) atau Ergys Kace (22). Di tangan De Biasi dan berbekal generasi baru ranking FIFA Albania terus melonjak yang enam tahun lalu di kelas 90-an sekarang di 32 besar dunia.
Di sepak bola mereka bisa dibilang sekelas dengan Denmark lantaran tim Dinamit itu sudah dua kali tidak bisa menang. Black Eagle juga pernah mengalahkan Portugal dan Prancis. Saat patung-patung Hoxha disingkirkan, yang berarti makin membuka peradabannya, seketika itu pula panorama alam Albania kian indah dan terurus sebagai sumber devisa di pariwisata.
Kondisi ini pantas bikin iri para tetangganya yang kebanyakan masih hobi perang. Mereka melongo berat setelah tahu di dalam bumi Albania juga berisi bauksit, batu bara, tembaga, gas alam hingga minyak bumi. Lalu lanskap alam yang diapit pegunungan, laut, dan daratan melahirkan puluhan danau yang menjadi sumber tenaga listrik yang dapat dijual ke investor asing.
Pergaulan Albania dengan tetangga seperti Montenegro, Masedonia, atau Yunani terbilang adem ayem. Tapi tidak demikian dengan Serbia. Gara-gara saling cari pengaruh politik di Kosovo, emosi keduanya kerap meledak. Gawatnya, dari hasil undian kualifikasi mereka malah sekandang di Grup I. Ini menjadi misteri mengingat UEFA dianggap melakukan pembiaran.
Padahal salah satu ketentuan undian adalah mencegah negara-negara yang lagi konflik politik berada di satu grup. UEFA memilah Spanyol dengan Gibraltar, Armenia dengan Azerbaijan, Inggris dengan Irlandia Utara namun luput memisahkan Serbia dengan Albania yang tengah terlibat perang di Kosovo. Apakah organisasi sebesar UEFA lupa pada sejarah?
*******
SERBIA adalah intisari Yugoslavia, republik komunis yang dipimpin oleh Josip Broz Tito. Kematian Tito pada 1980 dan rubuhnya Tembok Berlin pada 1989 mempercepat pecahnya Yugoslavia mulai 1992 menjadi Serbia, Kroasia, Slovenia, Masedonia, Bosnia, Montenegro serta dua otonomi yang jadi sengketa hingga kini, Kosovo (vs Albania) dan Vojvodina (vs Kroasia).
Saat Tito masih hidup, di wilayah itu cuma ada tiga negara; Yugoslavia, Albania dan Yunani. Awal permusuhan Serbia vs Albania tiada lain gara-gara perbedaan aliran komunis. Hoxha penganut komunis Cina pimpinan Mao Tse-tung, sedangkan Tito bermazhab komunis Uni Soviet. Saat berkuasa, ia menganggap Albania cuma kurcaci melihat betapa luas negaranya.
Isu Kosovo plus sejarah buruk masa lalu terlalu sulit dicegah untuk tidak meledak saat mereka bersua pertama kali di penyisihan Piala Eropa 2016, di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014. UEFA baru merasa bersalah atas ‘ulahnya’. Inilah awal cerita dongeng Albania, sebuah negara terkucil tanpa tradisi sepak bola yang mulai dikenal karena sepak bola.
Tanda-tanda duel mereka pertama kali itu bakal rusuh sudah terendus sejak awal. Tuan rumah melarang suporter Albania datang ke Serbia sebab tidak mau menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain ada kejanggalan. Pihak Serbia juga meminta tim Albania hanya membawa perlengkapan standar dari pada dapat kesulitan di bandara. UEFA terjebak dalam situasi dilematis.
Ketika menuju stadion, bus tim Albania disambut hujan timpukan batu sekepal tangan bahkan potongan beton! Urung saja kaca bus pun remuk. Tiada yang namanya keramahan. Polisi dan petugas tampak tidak maksimal melindungi. Di mana-mana terdengar hardikan, makian atau ancaman penuh teror dari fan Serbia: "bunuh orang Albania, bunuh orang Albania!"
Di dalam stadion, koin, korek gas, atau batu baterai dilemparkan ke lapangan ketika Shqiponjat melakukan pemanasan. Saat pemain Albania berbaris menyanyikan lagu kebangsaaan, para pemuda Serbia itu kembali meneriaki “bunuh Albania!” sambil bersorak keras “boooe” dan memukuli drum kosong sehingga melengkapi penistaan kedaulatan sebuah negara.
Di menit 15 teror pertama muncul. Roket kecil menghujam lapangan, membakar rumput. Di menit 25 tiba-tiba bendera Yunani dikibarkan grup ultras Serbia. Yunani geram pada Albania karena merasa garis perbatasannya telah diserobot. NATO sukses mengancam Yunani agar tidak bikin onar. Mungkin itulah ada bendera NATO yang dibakar suporter Serbia.
Wasit Inggris Martin Atkinson tampak bergidik menyaksikan kejadian. Di menit 35, giliran gelandang Albania, Ansi Agolli, kena sambit petasan saat bersiap ambil sepak pojok. Ia tergeletak tapi tetap ditimpuki. Asisten wasit ikut kena getahnya. Sambitan mereda setelah pemain Serbia, Danko Lazovic dan Aleksandar Kolarov turun tangan. Namun tensi terus melesat.
Di menit 40, kondisi lapangan berubah seperti tempat sampah sebab penonton semakin kesetanan main lempar barang apa saja untuk melukai pemain Albania. Atkinson makin galau, pikirannya kisruh sesudah melihat sebuah botol melayang menimpa striker Albania, Bekim Balaj, yang langsung terkulai dengan kucuran darah dari belakang telinganya.
Untuk meredakan ketegangan Atkinson malah mencoba melanjutkan pertandingan. Suasana terus menggila sebab di seluruh wilayah stadion, para penonton mencoba menerobos untuk menyerang pemain Albania. Walau laga berjalan namun praktis kedua tim sudah tidak konsentrasi lagi bermain. Sementara obor kecil, petasan dan benda-benda lain tak henti dilemparkan.
Episode berikutnya justru kian menggetarkan jiwa. Tiba-tiba muncul pemandangan tak lazim. Sebuah drone, semacam helikopter mini, melayang-layang di atas stadion. Yang bikin heboh drone itu membawa bendera besar yang digantungkan dengan tulisan dan peta “Greater Albania” yang sontak mengagetkan seisi stadion, terutama rakyat Serbia yang langsung murka.
Apalagi ada gambar Ismail Qemali dan Isa Boletini. Siapa lagi mereka itu? Keduanya adalah tokoh proklamator kemerdekaan Albania, tokoh dan bapak bangsa Albania. Cerita bergeser liar tak terduga. Bek Serbia, Stefan Mitrović, langsung berlari mengejar drone untuk merampas bendera. Sesi kedua kerusuhan pun dimulai, kelak akan membelokkan sejarah laga.
Tiba-tiba dua bek Albania, Andi Lila dan Taulant Xhaka memburu Mitrović karena curiga dia akan merobek-robek bendera. Terjadi aksi kejar mengejar, namun malah Bekim Balaj yang sukses merampas bendera dari Mitrović. Para pemain Serbia dan Albania pun bersitegang. Setelah itu, pemandangan berikutnya sudah bukan laga sepak bola lagi. (bersambung)
(foto: istimewa)
Bukan dongeng lagi Albania tampil di Piala Eropa 2016. |
Bayangkan ungkapan dan reaksi rakyat. Pasalnya seumur-umur nama Albania selalu tiarap bahkan terkubur di ajang Piala Eropa atau Piala Dunia. Jangankan itu, puluhan kali kualifikasinya saja menghasilkan juru kunci grup nan abadi. Rupanya mereka pantang menyerah mengais-ngais kesempatan. Minggu, 11 Oktober 2015 akhirnya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu.
Di laga terakhir Grup I, Shqiponjat (Si Elang) – julukan timnas Albania – membekap tuan rumah Armenia 3-0 di Yerevan. Kemenangan heroik ini melambungkan posisi mereka sebagai runner-up di bawah Portugal sekaligus menggeser posisi Denmark, yang kena apes usai kans lolos otomatis tewas di tangan Cristiano Ronaldo dkk. 0-1 di Braga, tiga hari sebelumnya.
Belum lagi unjuk gigi di Prancis, banyak orang masih penasaran dengan Albania, negara tirai besi yang tersisa selain Korea Utara. Mengapa tiba-tiba mereka begitu piawai sampai bisa lolos ke Euro 2016? Bukankah di grup itu ada favorit Serbia yang punya pemain beken seperti Aleksandar Kolarov, Aleksandar Mitrovic, Branislav Ivanovic, Nemanja Matic atau Dusan Tadic?
Orang pantas penasaran mencari kunci sukses Shqiponjat yang sejak 2011 dibesut seorang pelatih kapiran dari Italia, Giovanni De Biasi. Benarkah kekuatan misterius di UEFA yang membelokkan sejarah. Pasalnya kejutan Shqiponjat membuat outcome Grup I meleset dari prediksi awam. Lolos: Portugal dan Albania. Playoff: Denmark. Tersingkir: Serbia dan Armenia.
Buat FSHF (federasi sepak bola Albania), lolos ke ajang akbar adalah yang pertama kali sejak dibentuk pada 1930. Sepanjang hidupnya, Albania berkelas taruna di benua biru. Mereka cuma pernah ikut Kejuaraan Eropa U-18 pada 1982 serta Kejuaraan Eropa U-16 pada 1994. Pendek kata, sukses tim Kuq e Zinjtë (merah dan hitam) pantas mengagetkan banyak pihak.
Lolos ke Prancis 2016 merupakan impian nyata mantan negeri jajahan Turki yang memerdekakan diri pada 28 November 1912. Hampir semua rakyat turun ke jalan. Bukan untuk berdemo, namun merayakan kebanggaan dan melepaskan perasaan nasionalisme juga jepitan ekonomi dengan main petasan, joget, bernyanyi, dan memuja-muji seluruh skuad Shqiponjat.
Ingat Albania ingat Enver Halil Hoxha. Ini bukan merek rokok atau kedai kopi. Dia berwujud manusia, ada kepalanya, tepatnya seorang diktator ulung yang memerah-hitamkan Albania selama 41 tahun. Aslinya Hoxha itu sekretaris Partai Buruh. Namun secara de facto dia penguasa tunggal sejak 8 November 1941 sampai 11 April 1985, ketika rohnya benar-benar melayang.
Di era rezim komunis Hoxha yang amat terkunci, setiap orang Albania dilarang keluar negeri, yang ketahuan bandel sontak digiring ke gulag alias kamp kerja paksa. Yang merasa laki laki dilarang berjenggot, sebab katanya Albania bukan negeri relijius. Kalau masih nekat melawan, maka jenggot Anda akan dikerik paksa hingga licin di situ juga oleh Sigurimi, polisi rahasia.
Kehidupan Albania yang jumlahnya tidak di bawah 3 juta jiwa di masa lalu kira-kira mirip Korea Utara sekarang. Dilihat dari peta, negara bernama tulen Republika e Shqiperise ini cuma punya pandangan luas Laut Adriatik yang nun jauh di seberang sana berdiri Italia. Tetangga dekat mereka yang dari Balkan kebanyakan tidak ramah. Masedonia, Montenegro, dan Yunani.
Walau Hoxha telah berada di alam lain, namun Albania baru merasa bebas usai Tembok Berlin roboh pada 1989. Sampai sekarang pun masih ada kejanggalan lain di negara beribukota Tirana ini. Misalnya, mirip dengan Korea Utara, Albania adalah secuil wilayah yang tak pernah nonton Premier League. FA melarang menjual hak siar sebab di sana sarangnya pembajakan.
Namun gara-gara sukses tim Shqiponjat bisa jadi efeknya akan berbeda. Lagi pula kapten nasional Lorik Cana pernah 35 kali membela Sunderland di musim 2009/10. Cana, 32 tahun, kini merumput di Nantes di Prancis. Rudi Vata, bek Celtic selama empat musim di era 1990-an, juga asli Albania. Tapi paling terkenal jelas Adnan Januzaj, pemuda Manchester United.
*******
Lorik Cana, kapten nasional dan Shqiponjat, elang yang jadi maskot. |
Abidin akhirnya menetap di Belgia, berkeluarga, punya rumah sampai lahirnya Januzaj tiga tahun kemudian. Kala status kewarganegaraannya belum jelas, tapi karena punya akte kelahiran yang dicap rumah sakit di Brussels, Januzaj bisa ditarik tim nasional Belgia atau Les Diables Rouges. Tak lama barulah dia resmi diberi KTP Belgia. Inilah kesaktian futbollit alias sepak bola!
Kembali soal efek sukses Shqiponjat. Bukan Inggris atau Belgia yang jadi sarang pesepak bola Albania. Paling banyak justru di Italia. Soalnya dengan modal berani separo nekat, mereka bisa menyeberangi Laut Adriatik dengan perahu untuk sampai di pelabuhan Bari atau Lecce. Di awal 2000-an, nama Igli Tare jadi satu-satunya attacante Albania paling jempolan bin terkenal di Serie A.
Setelah sempat melanglang di Brescia dan Bologna, Tare hinggap di Lazio sampai gantung sepatu. Kini dia bekerja jadi supervisor di Lazio. Erjon Bogdani pernah tampil di Reggina dan Chievo. Trah Albania di Serie A kini dilanjutkan Erit Berisha (Lazio) dan Elseid Hysaj (Napoli). Albania memang lebih akrab dengan Italia, teman fasis-nya, sejak dari zaman Mussolini.
Keakraban Italia-Albania mempengaruhi kenapa De Biasi mau melatih Shqiponjat, dan Shqiponjat juga yakin dengan orang yang sebelumnya nyaris tiap tahun dipecat itu. Kini hubungan mereka awet selama empat tahun. Ada ratusan pemain berdarah Albania di semua divisi di Italia, dan mungkin lima ratusan di seluruh Eropa. Tapi mayoritasnya memilih seperti Adnan Januzaj.
Jadi pengkhianat bangsa maksudnya? Eit, tunggu dulu. Kini dunia tak dibatasi melulu oleh negara tetapi kemampuan, keterampilan atau keahlian. Budaya ekspatriat dan profesional berkembang kian hebat. Kisah Januzaj yang lebih memilih membela Belgia adalah globalisasi. Sebenarnya tren ini sudah terjadi puluhan, entah ratusan tahun di segala kehidupan.
Istilahnya saja yang belum ada. Sadarkah Anda ketika mahafisikawan Albert Einstein yang ‘kabur’ dari Swiss pada 1945, begitu mendarat di AS sudah jadi KTP barunya? Lalu bedahlah deretan profesional di Google atau skuad sampai board of directors di Arsenal. Owner: AS dan Rusia. Direktur: AS, Inggris. Manajer: Prancis. Skuad: belasan bahkan puluhan negara.
Di luar Januzaj, ada nama-nama cukup dikenal seperti Valon Behrami (Watford), Blerim Dzemaili (Galatasaray/Genoa), Xherdan Shaqiri (Stoke City) yang berdarah Albania tapi ketiganya dicomot timnas Swiss, lalu jadi warganegara resmi di sana. Diduga jumlah seperti mereka akan bertambah banyak di masa depan seiring dengan kebangkitan futbollit dari Albania.
Di tim Black Eagle sekarang, skuad De Biasi amat kosmopolitan sebab datang dari Jerman, Prancis, Swiss, Italia atau Yunani. Mereka masih muda namun sarat pengalaman. Sebut saja Berat Djimsiti (22) atau Ergys Kace (22). Di tangan De Biasi dan berbekal generasi baru ranking FIFA Albania terus melonjak yang enam tahun lalu di kelas 90-an sekarang di 32 besar dunia.
Di sepak bola mereka bisa dibilang sekelas dengan Denmark lantaran tim Dinamit itu sudah dua kali tidak bisa menang. Black Eagle juga pernah mengalahkan Portugal dan Prancis. Saat patung-patung Hoxha disingkirkan, yang berarti makin membuka peradabannya, seketika itu pula panorama alam Albania kian indah dan terurus sebagai sumber devisa di pariwisata.
Kondisi ini pantas bikin iri para tetangganya yang kebanyakan masih hobi perang. Mereka melongo berat setelah tahu di dalam bumi Albania juga berisi bauksit, batu bara, tembaga, gas alam hingga minyak bumi. Lalu lanskap alam yang diapit pegunungan, laut, dan daratan melahirkan puluhan danau yang menjadi sumber tenaga listrik yang dapat dijual ke investor asing.
Pergaulan Albania dengan tetangga seperti Montenegro, Masedonia, atau Yunani terbilang adem ayem. Tapi tidak demikian dengan Serbia. Gara-gara saling cari pengaruh politik di Kosovo, emosi keduanya kerap meledak. Gawatnya, dari hasil undian kualifikasi mereka malah sekandang di Grup I. Ini menjadi misteri mengingat UEFA dianggap melakukan pembiaran.
Padahal salah satu ketentuan undian adalah mencegah negara-negara yang lagi konflik politik berada di satu grup. UEFA memilah Spanyol dengan Gibraltar, Armenia dengan Azerbaijan, Inggris dengan Irlandia Utara namun luput memisahkan Serbia dengan Albania yang tengah terlibat perang di Kosovo. Apakah organisasi sebesar UEFA lupa pada sejarah?
*******
Tragedi berdarah di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014. |
Saat Tito masih hidup, di wilayah itu cuma ada tiga negara; Yugoslavia, Albania dan Yunani. Awal permusuhan Serbia vs Albania tiada lain gara-gara perbedaan aliran komunis. Hoxha penganut komunis Cina pimpinan Mao Tse-tung, sedangkan Tito bermazhab komunis Uni Soviet. Saat berkuasa, ia menganggap Albania cuma kurcaci melihat betapa luas negaranya.
Isu Kosovo plus sejarah buruk masa lalu terlalu sulit dicegah untuk tidak meledak saat mereka bersua pertama kali di penyisihan Piala Eropa 2016, di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014. UEFA baru merasa bersalah atas ‘ulahnya’. Inilah awal cerita dongeng Albania, sebuah negara terkucil tanpa tradisi sepak bola yang mulai dikenal karena sepak bola.
Tanda-tanda duel mereka pertama kali itu bakal rusuh sudah terendus sejak awal. Tuan rumah melarang suporter Albania datang ke Serbia sebab tidak mau menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain ada kejanggalan. Pihak Serbia juga meminta tim Albania hanya membawa perlengkapan standar dari pada dapat kesulitan di bandara. UEFA terjebak dalam situasi dilematis.
Ketika menuju stadion, bus tim Albania disambut hujan timpukan batu sekepal tangan bahkan potongan beton! Urung saja kaca bus pun remuk. Tiada yang namanya keramahan. Polisi dan petugas tampak tidak maksimal melindungi. Di mana-mana terdengar hardikan, makian atau ancaman penuh teror dari fan Serbia: "bunuh orang Albania, bunuh orang Albania!"
Di dalam stadion, koin, korek gas, atau batu baterai dilemparkan ke lapangan ketika Shqiponjat melakukan pemanasan. Saat pemain Albania berbaris menyanyikan lagu kebangsaaan, para pemuda Serbia itu kembali meneriaki “bunuh Albania!” sambil bersorak keras “boooe” dan memukuli drum kosong sehingga melengkapi penistaan kedaulatan sebuah negara.
Di menit 15 teror pertama muncul. Roket kecil menghujam lapangan, membakar rumput. Di menit 25 tiba-tiba bendera Yunani dikibarkan grup ultras Serbia. Yunani geram pada Albania karena merasa garis perbatasannya telah diserobot. NATO sukses mengancam Yunani agar tidak bikin onar. Mungkin itulah ada bendera NATO yang dibakar suporter Serbia.
Wasit Inggris Martin Atkinson tampak bergidik menyaksikan kejadian. Di menit 35, giliran gelandang Albania, Ansi Agolli, kena sambit petasan saat bersiap ambil sepak pojok. Ia tergeletak tapi tetap ditimpuki. Asisten wasit ikut kena getahnya. Sambitan mereda setelah pemain Serbia, Danko Lazovic dan Aleksandar Kolarov turun tangan. Namun tensi terus melesat.
Di menit 40, kondisi lapangan berubah seperti tempat sampah sebab penonton semakin kesetanan main lempar barang apa saja untuk melukai pemain Albania. Atkinson makin galau, pikirannya kisruh sesudah melihat sebuah botol melayang menimpa striker Albania, Bekim Balaj, yang langsung terkulai dengan kucuran darah dari belakang telinganya.
Untuk meredakan ketegangan Atkinson malah mencoba melanjutkan pertandingan. Suasana terus menggila sebab di seluruh wilayah stadion, para penonton mencoba menerobos untuk menyerang pemain Albania. Walau laga berjalan namun praktis kedua tim sudah tidak konsentrasi lagi bermain. Sementara obor kecil, petasan dan benda-benda lain tak henti dilemparkan.
Episode berikutnya justru kian menggetarkan jiwa. Tiba-tiba muncul pemandangan tak lazim. Sebuah drone, semacam helikopter mini, melayang-layang di atas stadion. Yang bikin heboh drone itu membawa bendera besar yang digantungkan dengan tulisan dan peta “Greater Albania” yang sontak mengagetkan seisi stadion, terutama rakyat Serbia yang langsung murka.
Apalagi ada gambar Ismail Qemali dan Isa Boletini. Siapa lagi mereka itu? Keduanya adalah tokoh proklamator kemerdekaan Albania, tokoh dan bapak bangsa Albania. Cerita bergeser liar tak terduga. Bek Serbia, Stefan Mitrović, langsung berlari mengejar drone untuk merampas bendera. Sesi kedua kerusuhan pun dimulai, kelak akan membelokkan sejarah laga.
Tiba-tiba dua bek Albania, Andi Lila dan Taulant Xhaka memburu Mitrović karena curiga dia akan merobek-robek bendera. Terjadi aksi kejar mengejar, namun malah Bekim Balaj yang sukses merampas bendera dari Mitrović. Para pemain Serbia dan Albania pun bersitegang. Setelah itu, pemandangan berikutnya sudah bukan laga sepak bola lagi. (bersambung)
(foto: istimewa)