HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permainan Arsene Wenger, yakni memakai strategi tersirat dan energi tersurat. Dua hal itulah titik terlemah Arsenal. Jika ada yang belum bisa menang dari Arsenal, agaknya itu cuma kalah di bujet transfer saja. Tapi sekarang, Hull City dan Swansea City pun sudah bisa mempraktekkannya.
Berulang kali pertanyaan muncul. Bagaimana sih cara Wenger mengemas taktiknya? Apakah taktiknya sudah kadaluwarsa untuk menghadapi agresivitas sepak bola modern? Contoh paling baik mengeksploitasi strategi untuk membunuh gaya Arsenal dibuat Borussia Dortmund di Signal Iduna. Sejak awal, gairah heavy metal Juergen Klopp menyulitkan irama 'musik klasik' karya Wenger.
Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama membuat klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan kepercayaan diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing.
Gaya ini sekarang mulai hot karena menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.
Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi tugas khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing gila atau juga pitbull.
Arsenal adalah klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup bingung melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga jagoan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.
Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim kuat itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal adalah sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh kuat dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.
Di tangan Jupp Heynckess, pada musim 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur saat Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di musim berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin nyata sudah bahwa pola Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.
Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, karena makin menunjukkan ketidakjelasan taktik dan strategi Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar masalah duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger bisa dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
Kita lihat determinasi dan kebugaran fisik Phillip Lahm, Thomas Mueller dan Mario Goetze, atau Bastian Schweinsteiger yang kalau tidak bertubuh atletis, pasti bernafas kuda dan agresif serta serba bisa. Saat dipermak Dortmund 0-2 di Signal Iduna, September silam, kunci kemenangan diawali dengan duet Sven Bender-Sebastian Kehl yang menang bertarung atas Mikel Arteta-Aaron Ramsey. Sementara itu Kevin Grosskreutz ditugaskan untuk mengunci pergerakan sang kreator serangan, Jack Wilshere.
Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi saat itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang sebab Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman karena tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap adalah kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.
Menebak Nasib
Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal jago berinovasi kelihatannya sudah kehabisan ide dan kehilangan eranya. Sekarang dia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang deretan pelatih yang lebih muda.
Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 menunjukkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan adalah memperlihatkan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan ketika giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding strategi menyerang. Materi skuad Arsenal sekarang sangat jauh kualitasnya dibanding era kejayaan The Invincibles 2003/04.
Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba berbagai metode, rencana A, rencana B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi deretan paket maut seperti Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.
Dengan materi pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan strategi Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada final Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
Tahu-tahu sekarang sudah musim 2014/15. Apa yang didapat Gooner sebagai modal kebanggaan? Titel Piala FA? Turun kelas kalau euforianya berlebihan. Jangankan titel Eropa, selama 9 musim Arsenal tak berdaya merenggut lagi jawara di Inggris. Parahnya lagi beberapa dilalui dengan hinaan sadis, dibejek Manchester United 2-8, dipermak Manchester City 3-6, di-bully Liverpool 1-5, serta ditelanjangi Chelsea 0-6. Barangkali tinggal menunggu, kapan giliran Tottenham Hotspur?
Menyimak berbagai kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger bisa terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf, musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.
Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di kandang lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang tiba-tiba.
Mereka tak pernah mau bermain open play seperti saat menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa diharapkan dari Wenger.
Begitu juga dari persiapan teknis. Hampir tidak pernah Wenger mengajak seluruh pemainnya ke dalam ruangan untuk menganalisis rekaman pertandingan dari tim yang akan dihadapi. Memberi arahan, diskusi, menganalisis titik kekuatan dan kelemahan lawan secara visual sehingga tahu apa yang akan dilakukan nanti di hari H. Padahal kata Sun Tzu dalam The Art of War, "kenali dirimu kenali lawanmu, 1000 pertempuran, 1000 kemenangan."
Motif dan Alasan
Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson mengatakan: "Ketika melawan Arsenal, saya butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."
Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seolah-olah mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah dekat." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.
Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat dia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jika lawan sudah dikalahkan.
Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, bisa dipastikan Mourinho adalah master taktik karena kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat bisa terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, karena frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.
Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya adalah kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen adalah problem serius bicara soal target. Jika dia terus angkuh dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.
Terlalu mementingkan filosofi merupakan problem lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan kebanggaan. Naifkah dia? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di sikap mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir pasti.
Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah bisa terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, setelah melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.
Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap saat memberinya contoh langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya jelas sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak remaja, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya karena kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.
Entah terlambat atau tidak, Arsenal masih punya kesempatan untuk mengubah garis nasibnya. Seorang gelandang bertahan, kalau perlu yang bertipe baja, harus didatangkan berapapun harganya. Banyak yang mengusulkan agar Sami Khedira atau Blaise Matuidi segera dibeli pada transfer Januari mendatang. Juga sesosok bek tengah kelas dunia, yang belakangan santer disebut-sebut dia adalah Mats Hummels. Sekarang uang bukan masalah lagi buat Opa Wenger, kecuali sikapnya itu tadi.
Beda Kualitas
Rasanya terlalu sederhana membahas persoalan teknis di tubuh Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi gosip. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa tua perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!
Secara teknis operasional, itulah intisari isu pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling hebat adalah merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara moral ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.
Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari gejala keanehan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap musim. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama hebat dengan kemampuan hebat."
Pendek kata, kan dia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, bisa-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya jelas, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang jago bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.
Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
Inilah barisan pertahanan terbaik bentukan dan warisan George Graham, steel defending, fabulous four sepanjang sejarah The Gunners yang diantaranya jadi titisan tim Boring Boring Arsenal di era pra-Wenger. Istilahnya, separo skuat nasional Inggris sudah dijejali rombongan Highbury. Melihat kekompakan enam pemain beringas di garis pertahanan itu, memang karena faktor kebodohan pelatih nasional saja, yang saat itu lagi dijabat Graham Taylor (1990-1993), lantaran pada Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS.
Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger saat datang ke Highbury itu adalah seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi bisa juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger saat jadi pemain juga sama, yakni gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.
David Dein
Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi jago mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol setelah melakukan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun kalau begitu.
Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, yaitu seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.
Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang pria kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka adalah dua belas pria yang senang 'berkelahi' demi bola.
Bandingkan dengan skuat terakhir sekarang itu, dengan cara head to head langsung. Misalnya Wojciech Szczesny dengan David Seaman, Tony Adams dengan Per Mertesacker dan seterusnya. Apa yang Anda dapat atau pikirkan tentang kualitas skuat Arsenal dulu dan sekarang? Arsenal 2013/14: lini belakang no comment; lini tengah no comment; lini depan tergantung lini belakang dan tengah.
Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang saat itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole sampai terang. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang sanggup menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.
Apa rahasia itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta sikap profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menjadikan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.
Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan peran David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak bisa dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) adalah Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.
Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh khayalan dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.
(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)
Ngotot memainkan gaya musik klasik di era modern? Silakan saja. |
Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama membuat klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan kepercayaan diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing.
Gaya ini sekarang mulai hot karena menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.
Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi tugas khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing gila atau juga pitbull.
Arsenal adalah klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup bingung melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga jagoan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.
Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim kuat itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal adalah sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh kuat dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.
Di tangan Jupp Heynckess, pada musim 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur saat Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di musim berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin nyata sudah bahwa pola Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.
Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, karena makin menunjukkan ketidakjelasan taktik dan strategi Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar masalah duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger bisa dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
Pembantaian di Etihad. |
Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi saat itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang sebab Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman karena tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap adalah kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.
Menebak Nasib
Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal jago berinovasi kelihatannya sudah kehabisan ide dan kehilangan eranya. Sekarang dia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang deretan pelatih yang lebih muda.
Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 menunjukkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan adalah memperlihatkan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan ketika giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding strategi menyerang. Materi skuad Arsenal sekarang sangat jauh kualitasnya dibanding era kejayaan The Invincibles 2003/04.
Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba berbagai metode, rencana A, rencana B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi deretan paket maut seperti Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.
Dengan materi pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan strategi Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada final Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
Pembantaian di Anfield. |
Menyimak berbagai kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger bisa terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf, musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.
Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di kandang lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang tiba-tiba.
Mereka tak pernah mau bermain open play seperti saat menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa diharapkan dari Wenger.
Pembantaian di Stamford Bridge. |
Motif dan Alasan
Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson mengatakan: "Ketika melawan Arsenal, saya butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."
Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seolah-olah mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah dekat." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.
Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat dia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jika lawan sudah dikalahkan.
Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, bisa dipastikan Mourinho adalah master taktik karena kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat bisa terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, karena frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.
Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya adalah kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen adalah problem serius bicara soal target. Jika dia terus angkuh dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.
Terlalu mementingkan filosofi merupakan problem lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan kebanggaan. Naifkah dia? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di sikap mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir pasti.
Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah bisa terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, setelah melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.
Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap saat memberinya contoh langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya jelas sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak remaja, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya karena kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.
Kelahiran sejarah pembantaian Arsenal di Old Trafford pada 2014. |
Beda Kualitas
Rasanya terlalu sederhana membahas persoalan teknis di tubuh Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi gosip. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa tua perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!
Secara teknis operasional, itulah intisari isu pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling hebat adalah merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara moral ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.
Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari gejala keanehan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap musim. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama hebat dengan kemampuan hebat."
Pendek kata, kan dia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, bisa-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya jelas, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang jago bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.
Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
Bould, Seaman, Adams, Dixon, dan Winterburn. |
Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger saat datang ke Highbury itu adalah seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi bisa juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger saat jadi pemain juga sama, yakni gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.
David Dein
Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi jago mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol setelah melakukan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun kalau begitu.
Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, yaitu seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.
Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang pria kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka adalah dua belas pria yang senang 'berkelahi' demi bola.
Seiring perjalanan waktu, kecerdasan Arsene Wenger mulai luntur. |
Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang saat itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole sampai terang. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang sanggup menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.
Apa rahasia itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta sikap profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menjadikan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.
Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan peran David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak bisa dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) adalah Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.
Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh khayalan dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.
(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)