Semula banyak masyarakat Indonesia mengira penyerang Juventus berkaki kidal ini adalah pemain gaek. Wajahnya yang “boros” dan rambutnya yang memutih membuatnya tampak tua. Tak heran jika publik Serie A menjulukinya Penna Bianca, si bulu putih.
Julukan Penna Bianca diberikan oleh Juventini, suporter Bianconeri. Jelas bin jelas lantaran rambut Ravanelli beruban total, memutih, layaknya kakek-kakek. Penna yang berasal dari kata pennacchio, memang dimaksudkan untuk menggambarkan rambut Rava yang seperti helaian bulu ayam. Oleh sebab itu Rava tidak mau berambut panjang. Apa jadinya jika dia nekat gondrong?
Jangan jadikan masalah, tapi lihatlah permainannya. Simaklah gol-gol indah yang dicetak dari nalurinya yang tajam. Dua golnya ke gawang Parma, di pekan ke-15 Serie A 1994/95 pada 8 Januari 1995 di Ennio Tardini, bukan saja memastikan kemenangan Bianconeri namun juga menyudahi perlawanan tuan rumah.
Parma menyerah 1-3 kendati sempat unggul lebih dulu lewat gol Dino Baggio di menit 57. Setelah disamakan Paulo Sousa, hanya berselang empat menit, permainan berubah angin. Juve mendominasi pertandingan, dan di sinilah Ravanelli makin menunjukkan peran vitalnya. Rava mencetak dua gol tambahan, sundulan di menit 70 dan dengan kaki kirinya dari titik penalti di menit 74.
Tampaknya pria kekar 188 cm ini memang sedang memasuki puncak penampilannya sehingga namanya pun meroket, selain menjadi pusat perhatian media massa di Italia dan tentu, seluruh barisan lawan. Banyak orang belum tahu bagaimana perjuangan panjang Rava bisa seperti ini, yang bersama Gianluca Vialli, Roberto Baggio, atau Alessandro Del Piero menjadi andalan baru lini depan Juve.
Perjalanan karier Rava mulai terang sesudah berandil besar ikut mempromosikan Reggiana ke Serie A di musim 1991/92. Sadar butuh penyerang kidal dan sebagai upaya menggantikan Pierluigi Casiraghi yang dijual ke Lazio, Juve langsung memanfaatkan momentum. Pelatih Giovanni Trapattoni butuh finisher yang bisa menuntaskan umpan-umpan matang Andreas Moeller.
“Saya amat bangga bisa bermain di klub besar dan memakai kostum Bianconeri,” katanya saat baru bergabung dengan La Vecchia Signora. Dengan join ke Juve, kariernya semakin jelas meskipun dia harus bersabar tiga musim untuk bisa seperti sekarang. Awal 1992/93, lelaki kelahiran Perugia pada 11 Desember 1964 ini resmi berkostum hitam-putih, dan tak perlu lama-lama memulai debut pada 6 September 1992 melawan tuan rumah Cagliari.
Jagoan Di Eropa
Saat itu Rava masih menjadi bayang-bayang Paolo Di Canio dan Andrea Fortunato, sehingga penampilan Serie-A-nya di musim itu hanya 22 kali. Namun di musim 1993/94 ia mendapat kepercayaan lebih, tampil 30 pertandingan, setelah Di Canio hijrah dan Fortunato lama sakit akibat anemia.
Ketika giliran Baggio cedera, tantangan dan kesempatan bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Rava. “Baggio dan Vialli adalah pemain senior yang selalu membimbing demi kemajuan klub,” kilahnya tentang dua bintang papan atas tersebut. Dukungan rekan-rekannya menjadikan dia makin produktif. Namanya pun mulai dielu-elukan oleh kaum Juventini yang mempunyai 1.200 grup tifosi di seluruh Italia.
Di dua musim pertama bersama Juventus, ia mengemas 19 gol dari 60 laga, rekor yang cukup lumayan mengingat ia menjadi pemain pengganti di klub yang dipenuhi para penyerang hebat. Namun di musim ini, Ravanelli sanggup melesakkan total 17 gol, termasuk yang ke gawang Parma belum lama ini.
Uniknya, Rava lebih subur dan lebih jago di kompetisi Eropa ketimbang Serie A. Jika di Serie A baru lima gol, dan empat gol di Piala Italia, maka delapan lainnya disarangkan ke berbagai gawang tim-tim non Italia di ajang Piala UEFA. Tak heran jika produktivitasnya ini berperan membawa Juventus memasuki babak semifinal.
Piala UEFA bukan arena asing baginya sebab begitu pindah dari Reggiana, dia langsung mencicipi atmosfirnya bahkan ikut mengantarkan Juventus merebut trofi ini pada 1993. Kini trio Del Piero-Vialli-Ravanelli semakin meresahkan pesaing Juve di kancah Serie A. Kekhawatiran atas cedera panjang yang diderita Roby Baggio sekarang tergantikan dengan harapan baru.
Melesatnya Juve di puncak klasemen sementara Serie A menjadi tolok ukurnya. Kompetisi memang masih lama berakhir. Segalanya bisa terjadi, entah pada Juve ataupun Ravanelli sendiri. Di satu sisi pemain berusia 31 tahun ini tentu berusaha menjaga performanya, apapun pencapaian yang diraih Juventus tahun ini.
Buat seorang pemain bola di Italia, start awal karier Rava bisa dibilang terlambat. Ia mengaku telat terjun di sepak bola. Itu pun dimulai oleh bujuk rayu abangnya, Andrea Ravanelli, yang ikut mendaftarkannya di tim junior Perugia. AC Perugia adalah sebuah klub yang sempat disegani di kancah Serie A hingga akhir 1970-an. Pada musim 1978/79, klub yang melahirkan nama Paolo Rossi ini secara luar biasa menjadi runner-up di bawah sang juara AC Milan. Ironisnya dua musim kemudian, klub ini terjungkal ke Serie B akibat kasus suap dan hingga kini sulit muncul lagi.
Seimbang Luar Dalam
Bersama Perugia Ravanelli memulai kompetisi Serie C2 musim 1985/86 di usia 18 tahun. Rekornya saat di musim pertamanya adalah 26 kali main dan 5 gol. Selama tiga musim bersama klub kelahirannya, ia mencatat rekor 41 gol dari 90 kali penampilannya.
Pada 1989 dia ditransfer ke Avellino, sebuah klub Serie B. Hasilnya sangat mengecewakan sebab ia hanya dipercaya tampil sebanyak 7 kali saja dan tanpa sebiji gol pun. Impiannya untuk berkiprah di jenjang yang lebih tinggi pun sirna. Namun semangat yang masih berkobar mampu menguatkan kesabarannya. Terdongkraknya karier pertama kali Rava bisa dibilang gara-gara blessing atau kebetulan.
Setelah bergulat lagi di Serie C 1989/90 bersama Casertana, di akhir kompetisi Rava mengemas 12 gol dari 27 laganya. Rekor ini ternyata cukup memuaskan Reggiana, klub Serie B, untuk mentransfernya di musim 1990/91. Rava kembali merumput di kasta kedua sepak bola Italia.
Bisa dibayangkan bagaimana semangat seorang pria saat ingin memanfaatkan kesempatan keduanya. Inilah yang juga dilakukan Ravanelli. Dia tampil menggila, mencetak banyak gol sehingga namanya masuk dalam jajaran capocannonieri Serie B, dan terakhir ikut membawa Reggiana promosi ke Serie A di akhir musim 1992/93.
Selama satu setengah musim di klub Granata, julukan Reggiana, pemain dengan posisi gelandang menyerang ini mencatat rekor 24 gol dari 66 laga sebelum bergabung dengan Juve di musim 1992/93.
Kariernya yang mulai benderang tak lama dibarengi oleh kehidupan rumah tangganya. Ravanelli menikahi Lara sejak Januari 1994. Selain sepak bola, Lara adalah kecintaannya yang lain. Dia tak pernah absen membawa istrinya ketika Juve mengadakan pesta-pesta atau acara formal lainnya.
Langkah profesional Rava dipermulus oleh hubungan mesra dan hormat terhadap kedua orang tuanya, Carlo dan Floriana. Tampaknya keseimbangan hidup inilah yang membuat jalan hidup pria 27 tahun ini jadi lempang dan mulus, termasuk kariernya di lapangan hijau, kelihaiannya mencetak gol dan selalu optimal bermain untuk timnya.
Bermain di Juventus adalah impiannya meski tidak pernah dicita-citakannya sejak kecil. Rava merasa terhormat bisa membela Bianconeri yang dipenuhi sejarah dan pemain besar. “Gianluca Vialli merupakan pemain besar yang menjadi pujaan saya seperti halnya kepada Giampiero Boniperti,” tutur Ravanelli dengan jujur apa adanya.
Karier yang mulai cemerlang, kehidupan keluarga yang harmonis, materi yang lebih dari cukup serta memiliki prestasi dan reputasi – yang selalu menjadi impian para pria atau seorang suami – telah diraihnya hanya dalam tiga tahun. Tak ada kata lain kecuali bersyukur bagi Fabrizio Ravanelli.
(foto: it.wiki/t-online/ imortaisdofutebol/delcampe.net/playbuzz)
Julukan Penna Bianca diberikan oleh Juventini, suporter Bianconeri. Jelas bin jelas lantaran rambut Ravanelli beruban total, memutih, layaknya kakek-kakek. Penna yang berasal dari kata pennacchio, memang dimaksudkan untuk menggambarkan rambut Rava yang seperti helaian bulu ayam. Oleh sebab itu Rava tidak mau berambut panjang. Apa jadinya jika dia nekat gondrong?
Jangan jadikan masalah, tapi lihatlah permainannya. Simaklah gol-gol indah yang dicetak dari nalurinya yang tajam. Dua golnya ke gawang Parma, di pekan ke-15 Serie A 1994/95 pada 8 Januari 1995 di Ennio Tardini, bukan saja memastikan kemenangan Bianconeri namun juga menyudahi perlawanan tuan rumah.
Parma menyerah 1-3 kendati sempat unggul lebih dulu lewat gol Dino Baggio di menit 57. Setelah disamakan Paulo Sousa, hanya berselang empat menit, permainan berubah angin. Juve mendominasi pertandingan, dan di sinilah Ravanelli makin menunjukkan peran vitalnya. Rava mencetak dua gol tambahan, sundulan di menit 70 dan dengan kaki kirinya dari titik penalti di menit 74.
Tampaknya pria kekar 188 cm ini memang sedang memasuki puncak penampilannya sehingga namanya pun meroket, selain menjadi pusat perhatian media massa di Italia dan tentu, seluruh barisan lawan. Banyak orang belum tahu bagaimana perjuangan panjang Rava bisa seperti ini, yang bersama Gianluca Vialli, Roberto Baggio, atau Alessandro Del Piero menjadi andalan baru lini depan Juve.
Perjalanan karier Rava mulai terang sesudah berandil besar ikut mempromosikan Reggiana ke Serie A di musim 1991/92. Sadar butuh penyerang kidal dan sebagai upaya menggantikan Pierluigi Casiraghi yang dijual ke Lazio, Juve langsung memanfaatkan momentum. Pelatih Giovanni Trapattoni butuh finisher yang bisa menuntaskan umpan-umpan matang Andreas Moeller.
Dengan Gianluca Vialli. |
Jagoan Di Eropa
Saat itu Rava masih menjadi bayang-bayang Paolo Di Canio dan Andrea Fortunato, sehingga penampilan Serie-A-nya di musim itu hanya 22 kali. Namun di musim 1993/94 ia mendapat kepercayaan lebih, tampil 30 pertandingan, setelah Di Canio hijrah dan Fortunato lama sakit akibat anemia.
Ketika giliran Baggio cedera, tantangan dan kesempatan bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Rava. “Baggio dan Vialli adalah pemain senior yang selalu membimbing demi kemajuan klub,” kilahnya tentang dua bintang papan atas tersebut. Dukungan rekan-rekannya menjadikan dia makin produktif. Namanya pun mulai dielu-elukan oleh kaum Juventini yang mempunyai 1.200 grup tifosi di seluruh Italia.
Di dua musim pertama bersama Juventus, ia mengemas 19 gol dari 60 laga, rekor yang cukup lumayan mengingat ia menjadi pemain pengganti di klub yang dipenuhi para penyerang hebat. Namun di musim ini, Ravanelli sanggup melesakkan total 17 gol, termasuk yang ke gawang Parma belum lama ini.
Uniknya, Rava lebih subur dan lebih jago di kompetisi Eropa ketimbang Serie A. Jika di Serie A baru lima gol, dan empat gol di Piala Italia, maka delapan lainnya disarangkan ke berbagai gawang tim-tim non Italia di ajang Piala UEFA. Tak heran jika produktivitasnya ini berperan membawa Juventus memasuki babak semifinal.
Piala UEFA bukan arena asing baginya sebab begitu pindah dari Reggiana, dia langsung mencicipi atmosfirnya bahkan ikut mengantarkan Juventus merebut trofi ini pada 1993. Kini trio Del Piero-Vialli-Ravanelli semakin meresahkan pesaing Juve di kancah Serie A. Kekhawatiran atas cedera panjang yang diderita Roby Baggio sekarang tergantikan dengan harapan baru.
Melesatnya Juve di puncak klasemen sementara Serie A menjadi tolok ukurnya. Kompetisi memang masih lama berakhir. Segalanya bisa terjadi, entah pada Juve ataupun Ravanelli sendiri. Di satu sisi pemain berusia 31 tahun ini tentu berusaha menjaga performanya, apapun pencapaian yang diraih Juventus tahun ini.
Aksi bersama Perugia. |
Buat seorang pemain bola di Italia, start awal karier Rava bisa dibilang terlambat. Ia mengaku telat terjun di sepak bola. Itu pun dimulai oleh bujuk rayu abangnya, Andrea Ravanelli, yang ikut mendaftarkannya di tim junior Perugia. AC Perugia adalah sebuah klub yang sempat disegani di kancah Serie A hingga akhir 1970-an. Pada musim 1978/79, klub yang melahirkan nama Paolo Rossi ini secara luar biasa menjadi runner-up di bawah sang juara AC Milan. Ironisnya dua musim kemudian, klub ini terjungkal ke Serie B akibat kasus suap dan hingga kini sulit muncul lagi.
Seimbang Luar Dalam
Bersama Perugia Ravanelli memulai kompetisi Serie C2 musim 1985/86 di usia 18 tahun. Rekornya saat di musim pertamanya adalah 26 kali main dan 5 gol. Selama tiga musim bersama klub kelahirannya, ia mencatat rekor 41 gol dari 90 kali penampilannya.
Rava di Avellino. |
Setelah bergulat lagi di Serie C 1989/90 bersama Casertana, di akhir kompetisi Rava mengemas 12 gol dari 27 laganya. Rekor ini ternyata cukup memuaskan Reggiana, klub Serie B, untuk mentransfernya di musim 1990/91. Rava kembali merumput di kasta kedua sepak bola Italia.
Bisa dibayangkan bagaimana semangat seorang pria saat ingin memanfaatkan kesempatan keduanya. Inilah yang juga dilakukan Ravanelli. Dia tampil menggila, mencetak banyak gol sehingga namanya masuk dalam jajaran capocannonieri Serie B, dan terakhir ikut membawa Reggiana promosi ke Serie A di akhir musim 1992/93.
Saat berkiprah di Reggiana. |
Kariernya yang mulai benderang tak lama dibarengi oleh kehidupan rumah tangganya. Ravanelli menikahi Lara sejak Januari 1994. Selain sepak bola, Lara adalah kecintaannya yang lain. Dia tak pernah absen membawa istrinya ketika Juve mengadakan pesta-pesta atau acara formal lainnya.
Langkah profesional Rava dipermulus oleh hubungan mesra dan hormat terhadap kedua orang tuanya, Carlo dan Floriana. Tampaknya keseimbangan hidup inilah yang membuat jalan hidup pria 27 tahun ini jadi lempang dan mulus, termasuk kariernya di lapangan hijau, kelihaiannya mencetak gol dan selalu optimal bermain untuk timnya.
Bermain di Juventus adalah impiannya meski tidak pernah dicita-citakannya sejak kecil. Rava merasa terhormat bisa membela Bianconeri yang dipenuhi sejarah dan pemain besar. “Gianluca Vialli merupakan pemain besar yang menjadi pujaan saya seperti halnya kepada Giampiero Boniperti,” tutur Ravanelli dengan jujur apa adanya.
Karier yang mulai cemerlang, kehidupan keluarga yang harmonis, materi yang lebih dari cukup serta memiliki prestasi dan reputasi – yang selalu menjadi impian para pria atau seorang suami – telah diraihnya hanya dalam tiga tahun. Tak ada kata lain kecuali bersyukur bagi Fabrizio Ravanelli.
(foto: it.wiki/t-online/ imortaisdofutebol/delcampe.net/playbuzz)