DI KALA situasi makin dipenuhi kekalutan, sekonyong-konyong seorang ofisial dari Serbia berlari ke arah Balaj yang sedang membawa bendera. Tanpa ragu dia menghantamkan kursi plastik itu ke tengkuk Balaj, yang langsung tumbang. Melihat itu serta merta kapten Shqiperia, Lorik Cana, murka lalu mengirim ketupat bengkulu ke wajah si penyerang liar.
Dari berbagai penjuru, para penonton mulai menyelusup ke lapangan dengan niat dan tekad bulat: menyerang para pemain Albania. Sementara itu Cana masih bergumul dengan si penyerang liar yang ternyata berbadan jauh lebih besar darinya serta berkepala plontos. Cana sempat dipukul beberapa pemain cadangan Serbia yang mulai terbakar emosi nasionalismenya.
Di menit 42, akhirnya Atkinson tak tahan dengan keadaan. Ia meniup panjang tanda laga dihentikan. Pemandangan lain memperlihatkan segelintir pemain kedua negara baku pukul. Begitu juga para ofisial. Gilanya, ofisial lapangan yang harusnya netral malah ikutan adu otot melawan kontingen Albania. Seseorang tampak mendorong Atkinson agar keluar lapangan.
Aksi penonton yang tetap di tribun tidak mau kalah. Mereka kompak meneriakan "Vritini! vritini! Shqiptaret dhe vritini, vritini! Pritini! Shqiptaret nuk egzistojne!" (Bunuh! Bunuh! Bunuh orang Albania! Bunuh! Potong mereka! Albania tidak ada!). Mereka juga membakari bendera NATO, di kala poster Sesejl dan Radenovic diacung-acungi pendukung tuan rumah.
Tak pelak lagi, Stadion Partizan sudah diguyur aroma politik. Jenderal Vojislav Sesejl adalah panglima Serbia pada Perang Kosovo, yang ditahan NATO dengan status penjahat perang setelah diadili di Den Hague , Belanda. Begitu juga Jenderal Veljko Radenovic, komandan polisi di Prizren. Poster-poster lain yang terlihat adalah “Glory to Putin” serta “Kosovo adalah Serbia.”
Tidak henti-hentinya koor seisi stadion yang berteriak: “Bunuh, bunuh mereka, tusuk mereka, jangan sampai ada orang Albania yang keluar dari lapangan,” juga jadi kekuatiran tersendiri karena dianggap menjadi provokasi, bahan bakar bagi para pengacau di laga yang berbau rasial itu. Orang-orang UEFA yang hadir di situ terlihat tak berdaya dan telah dipermalukan.
Melihat kurang seriusnya petugas keamanan, keselamatan stadion yang minim dan menyeruaknya tensi kemarahan dari penonton tuan rumah, bisa jadi Stadion Partizan berpotensi menjadi killing field, ladang pembantaian. Bisa dipastikan, hanya berkat kasih sayang-Nya atau perlindungan Illahi saja, tim Albania terhindar dari bencana penyerbuan puluhan ribu ke lapangan!
Beruntung bintang internasional Serbia seperti Kolarov, Ivanovic, atau Tadic malah bersikap bersahabat. Mereka malah menolong pemain Albania dengan cara mencegah para penyusup yang ingin memukuli mereka. Ofisial pertandingan akhirnya memikirkan hal terburuk di atas. Maka berlarianlah seluruh tim Albania ke lorong pemain yang terletak di sudut lapangan.
Celaka dua belas, rupanya di sudut itu grup ultras Serbia berada! Maka tak terhindarkan lagi ketika satu-dua penyusup dengan nekat menghantam dan menendangi para pemain Black Eagle yang berlarian ketakutan. Kolarov kembali menunjukkan dedikasi internasional dan akal sehatnya dengan cara mengawal sisa tim Albania yang lain. Setelah 30 menit kondisi mulai tenang.
Uniknya UEFA dan Atkinson berniat melanjutkan laga. Tentu saja tim Shqiponjat ogah karena psikologis mereka sudah terganggu. Albania tak mau meneruskan laga. Hanya tim Serbia yang memasuki lapangan. Maka sesuai aturan, Albania dinyatakan kalah Walk Over (WO) dengan skor 0-3. Setelah diurai ofisial pertandingan, kasus drone dianggap sebagai biang keladi kerusuhan.
Suasana kamar ganti pemain Albania jadi menegangkan. Banyak yang menderita memar dan luka di leher dan wajah. Episode ketiga peperangan antara dua etnis pun muncul lagi. Kepolisian Serbia menggeledah tas anggota skuad Albania untuk menemukan alat pengendali drone. Ruangan digeledah. Laci, kursi, toilet, sampai jendela namun remote-control tetap nihil didapat.
Tak lama muncul klaim tak terduga dari Shvercerat, grup pendukung FK Shkupi, anggota Liga Masedonia yang dimiliki orang Albania, mengaku sebagai operator drone. Tapi pihak berwenang tak menemukan bukti. Aksi penzaliman Shqiponjat melahirkan reaksi beragam. “Serbia menunjukkan sikap rasis dan fasis-nya,” kecam Agim Cana, ayah dari Lorik Cana.
Michel Platini dan Sepp Blatter juga mengutarakan kecaman similar atas masuknya pengaruh politik dalam sepak bola yang dilakukan Albania dan Serbia. Pernyataan resmi Serbia adalah mereka jadi korban provokasi sambil menuduh drone itu dikendalikan Olsi Rama, adik dari PM Albania Edi Rama dari tempat dia menonton: di ruangan VIP Stadion Partizan!
*******
TAK AYAL, perselisihan politik langsung merebak. Pemerintah Serbia langsung menuding Albania sengaja memprovokasi negaranya melalui tim Shqiponjat. PM Serbia Aleksandar Vucic juga bilang Olsi sempat ditangkap meski kemudian dikirim pulang. Olsi Rama membantah dengan mengakui ia keluar lebih dulu dari stadion sebelum kerusuhan di lapangan merebak.
“Dengan alasan keamanan saya pergi lebih dulu. Saya sempat dipersulit aparat yang menjaga di luar stadion. Namun karena saya memegang paspor Amerika mereka tak berdaya menahan,” aku Olsi yang saat itu rupanya ditemani Ighli Tare, bekas kapten timnas Albania. “Saya berani sumpah, dia hanya membawa kamera,” timpal Tare, direktur olah raga klub Serie A Lazio.
Entah mana yang benar. Namun Perdana Menteri Shqiperia, Edi Rami, memprotes keras adiknya dituduh sebagai dalang kerusuhan 14 Oktober 2014. Dampak keributan menjalar amat cepat. Di selatan Albania, pemukiman warga keturunan Yunani diserbu massa. Di Austria, 50-an orang Albania menghancurkan kafe milik orang Serbia, termasuk mobil polisi.
Menteri Luar Negeri Serbia, Ivica Dacic, mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Albania telah melakukan provokasi politik melalui pengibaran bendera terlarang di negerinya. “Kami menunggu reaksi dari Uni Eropa dan UEFA Anda bisa bayangkan apa yang kami terima jika bendera Serbia Raya dikibarkan di Tirana dan Pristina (ibukota Kosovo),” kata Dacic.
Sementara Menteri Dalam Negeri Nebojsa Stefanovic menuding aksi provokasi Albania itu menunjukkan ketidak-matangannya sebagai calon anggota Uni Eropa. Diserang secara politis, Albania berjuang di pentas UEFA. Kegagalan aparat Serbia mengamankan, bahkan ikut menzalimi para pemain Albania di laga internasional diungkap, dan kelak mengubah sejarah.
Tragedi 14 Oktober 2014 itu hanya sepekan sebelum PM Edi Rama tiba di Beograd, kunjungan resmi pertama tokoh Shqiperi dalam 70 tahun terakhir. Menurut media massa tuduhan Serbia amat berkebalikan dengan realita di Kosovo, di mana justru Serbia lebih agresif. Albania tidak mengungkit-ungkit isu panas Kosovo sehingga UEFA jadi curiga dengan motif lebay Serbia.
“Saya kecewa harus melakukan banding melihat keputusan UEFA yang bakal menjadi skandal dan preseden buruk ke depan,” kata Presiden FSHF (Federata Shqiptare E Futbollit) Armand Duka. “Rasisme dalam sepak bola adalah sebuah parodi. Ini bukan soal menang kalah, tapi bagaimana melawan rasisme,” tambah Cimi Shakohoxha, seorang anggota legal FSFH.
Dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi, PM Edi Rama menyatakan sikap kecewanya. “Keputusan UEFA dengan mengalahkan Shqiperia lewat cara seperti itu merupakan tindakan yang tidak adil. Yang saya bisa pastikan, hanyalah persiapan giliran menjamu Serbia. Kami telah menaikkan kapasitas Stadion Lori Borici menjadi 20 ribu penonton,” ucap sang pemimpin.
Setelah dinyatakan menang 3-0 oleh wasit Martin Atkinson, aksi Serbia di pentas politik semakin menggila. Ini jadi bumerang. “Bagaimana kami bisa kalah 0-3? Wasit tidak memberi tahu kami pertandingan akan dilanjutkan,” protes kapten tim Lorik Cana. “UEFA tahu tidak ada 'gadis baik-baik' jika ada di rumah bordil,” kecam Sokol Kushta, eks bintang Albania, penuh makna mendalam tapi jelas sinis.
Kushta memelopori persatuan pemain keturunan Albania di Eropa dan Amerika untuk melakukan aksi protes. UEFA dikutuk sebagai organisasi yang tidak adil dan rasis dalam mengambil keputusan. Bos UEFA, Michel Platini, yang tidak membela perjuangan Albania, ikut dikecam. Sekitar 100 orang Albania di Finlandia menjuluki Platini sebagai politisi mafia. Di mana-mana orang-orang Albania turun berdemo. Mulai dari Tirana, Kosovo, Podgorica, Masedonia, sampai di markas UEFA di Nyon, Swiss.
Albanian Roots dan Albania-American Organization (AAO), dua organisasi resmi keturunan Albania melakukan protes, petisi, boikot, juga menyurati organisasi hak asasi manusia, UEFA, FIFA, termasuk kepada Platini. Selebriti top Albania, Ardit Gjebrea, melakukan aksi lapangan dengan mengajak rakyat Albania memboikot produk-produk Serbia di pasar-pasar. Harapan Menlu Dacic untuk meraih kemenangan politis akhirnya urung lahir alias gatot, gagal total!
Serbia malah ketiban sial seusai sidang sengit Komisi Kontrol, Etik dan Disiplin, UEFA menganulir kemenangan WO 3-0 menjadi kekalahan indisipliner 0-3! Dakwaan utamanya tiada lain karena Serbia dinilai tidak bisa mengatasi invasi penonton yang menjadi sebab musabab kerusuhan. Perolehan nilai tim Oriovi, julukan timnas Serbia, juga dikurangi tiga poin. Duka berlanjut. Dua laga kandang berikut harus dilalui tanpa penonton dan denda 100 ribu euro. Sepak bola terkadang bergantung pada nasib baik, dan Albania meraihnya.
*******
SAKING gembira dan puasnya, Bekim Balaj – striker Shqiperia yang menjadi pemicu kerusuhan dengan merampas bendera Albania Raya dari tangan pemain Serbia – berkomentar dengan sarkas di akun Facebook-nya. “Maaf Platini untuk kursi yang hampir saya hancurkan dengan kepala saya, dan bravo UEFA!” tulis pemain yang merumput di HJK Rijeka (Kroasia).
Keberuntungan Albania meraih hadiah ganda itu membantu mereka melangkahi Denmark di klasemen Grup I. Selain itu, kemenangan diplomasi Albania sanggup menaikkan moral tim Shqiponjat serta meruntuhkan moral Oriovi, julukan timnas Serbia. Di tiga laga ke depan, Serbia kalah beruntun dua kali dari Denmark (1-3 dan 0-2) serta Portugal (1-2).
Sebaliknya dengan penambahan tri poin, Albania lebih bersemangat, terbukti dengan raihan empat poin dari tiga laga. Shqiperia mengalahkan Armenia 2-1, seri 0-0 lawan Denmark, dan kalah 0-1 dari Portugal. Langkah bersejarah mereka sempat tertahan dengan kekalahan 0-2 dari Serbia di kandang sendiri yang kali ini tanpa kerusuhan sama sekali.
Setelah Denmark kalah 0-1 dari Portugal, kepastian Shqiperia meraih sejarah besarnya ditentukan di Yerevan, dengan mengalahkan tuan rumah Armenia 3-0. Apakah Albania pantas mendapatkan itu semua dari perjalanan dongengnya? Upaya yang ditempuh dari semua jurusan terbukti menuai hasil fantastis sehingga Shqiperia pantas menjemput takdirnya. Itulah jawabannya.
Seperti Turki atau Tiongkok, ras Albania juga bertebaran di penjuru dunia. Dukungan masif itu bakal menjadi modal kuat Shqiperia di Prancis 2016 mendatang. Bangsa ini, dari segala paspor, kalangan dan jabatan, teruji bersatu padu dalam kedukaan dan pasti lebih heboh lagi saat merayakan kesenangan. Edi Rama tahu betul memanfaatkan situasi dan peluang.
Pada malam kebahagiaan setelah Shqiperia membungkam Armenia, sang perdana menteri sibuk menelpon ke sana ke sini. Rumahnya masih diguyur suka cita dan teriakan anggota keluarga yang menonton siaran langsung laga bersejarah. Rupanya tuan Rama sibuk membatalkan banyak janji, atau sedang memberi perintah begini-begitu pada bawahannya.
Pekerjaan pertama sang pemimpin pada Senin pagi, 12 Oktober 2015 adalah menjemput para pahlawan bangsa di Bandara Bunda Teresa (Nene Tereza) di Tirana. Pekerjaan kedua mengikuti kirab keliling ibukota dengan kendaraan terbuka bersama Shqiponjat. Siang istirahat sebentar di rumah, sebelum melakukan pekerjaan ketiga di sore hari: berpidato resmi di istana.
Pidato ini disiarkan langsung oleh berbagai jaringan televisi ke seluruh negeri, sehingga getaran nasionalismenya bisa dinikmati tiga juta penduduk. “Kepahlawanan kalian menjadi sumber inspirasi yang telah memberi harapan kepada jutaan orang di negeri ini,” demikian potongan pidato Edi Rama di depan rakyatnya. Pesta rakyat berlangsung hingga malam hari.
Albania sedang menikmati dongeng sepak bolanya. Bayangkan, barisan manusia yang menyemut tidak putus mulai dari bandara hingga ke tengah kota. Semua mengelu-elukan pemain. Rakyat bergembira di jalanan, menari, bernyanyi layaknya. Praktis, di hari Senin itu rakyat Albania dan juga Kosovo dilanda suka-cita luar biasa sampai-sampai melupakan rutinitasnya.
Seluruh rakyat tak mengira negaranya bisa bersaing di grup yang diisi tiga kekuatan besar; Portugal, Denmark, dan Serbia. Sehingga menembus Piala Eropa pertama kali lebih mirip dengan menjuarainya. Apalagi kalau jadi juara Eropa beneran? Benarlah apa yang diucap Bill Shankly. “Sepak bola adalah persoalan hidup dan mati, bahkan jauh lebih penting dari itu.”
Edi Rama masih mengenang kisah insomnia yang menerpa dirinya setelah Albania dikalahkan Serbia 0-2 di kandang sendiri, tiga hari sebelum terbang ke Yerevan untuk melakoni laga terakhir. Ia memanggil seluruh anggota tim ke rumahnya untuk diberikan audiensi spiritual. “Mereka amat terpukul, begitu juga saya. Satu kekalahan yang menyakitkan,” paparnya.
Selama tiga hari, sang perdana menteri tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu memikirkan nasib tim nasionalnya. Namun beliau merasa lega telah memberi pesan penting buat para pemain. “Saya katakan pada mereka, jika ingin mencapai puncak gunung maka kalian harus mengatasi angin yang kuat. Tunjukkanlah karakter kalian nanti di Yerevan!” kata Rama saat itu.
Albania mesti menang untuk menggeser Denmark di peringkat kedua. Falsafah ‘naik-naik ke puncak gunung’ ala Edi Rama diresapi para pemain luar dalam. Armenia memang negeri yang dipenuhi pegunungan tinggi dan berangin, namun semangat dan karakter Shqiperia lebih dicurahkan di atas lapangan hijau. Albania sukses menaklukkan Armenia 3-0. (bersambung)
(foto: balkineu)
Awal kericuhan: memperebutkan bendera. |
Di menit 42, akhirnya Atkinson tak tahan dengan keadaan. Ia meniup panjang tanda laga dihentikan. Pemandangan lain memperlihatkan segelintir pemain kedua negara baku pukul. Begitu juga para ofisial. Gilanya, ofisial lapangan yang harusnya netral malah ikutan adu otot melawan kontingen Albania. Seseorang tampak mendorong Atkinson agar keluar lapangan.
Aksi penonton yang tetap di tribun tidak mau kalah. Mereka kompak meneriakan "Vritini! vritini! Shqiptaret dhe vritini, vritini! Pritini! Shqiptaret nuk egzistojne!" (Bunuh! Bunuh! Bunuh orang Albania! Bunuh! Potong mereka! Albania tidak ada!). Mereka juga membakari bendera NATO, di kala poster Sesejl dan Radenovic diacung-acungi pendukung tuan rumah.
Tak pelak lagi, Stadion Partizan sudah diguyur aroma politik. Jenderal Vojislav Sesejl adalah panglima Serbia pada Perang Kosovo, yang ditahan NATO dengan status penjahat perang setelah diadili di Den Hague , Belanda. Begitu juga Jenderal Veljko Radenovic, komandan polisi di Prizren. Poster-poster lain yang terlihat adalah “Glory to Putin” serta “Kosovo adalah Serbia.”
Tidak henti-hentinya koor seisi stadion yang berteriak: “Bunuh, bunuh mereka, tusuk mereka, jangan sampai ada orang Albania yang keluar dari lapangan,” juga jadi kekuatiran tersendiri karena dianggap menjadi provokasi, bahan bakar bagi para pengacau di laga yang berbau rasial itu. Orang-orang UEFA yang hadir di situ terlihat tak berdaya dan telah dipermalukan.
Melihat kurang seriusnya petugas keamanan, keselamatan stadion yang minim dan menyeruaknya tensi kemarahan dari penonton tuan rumah, bisa jadi Stadion Partizan berpotensi menjadi killing field, ladang pembantaian. Bisa dipastikan, hanya berkat kasih sayang-Nya atau perlindungan Illahi saja, tim Albania terhindar dari bencana penyerbuan puluhan ribu ke lapangan!
Beruntung bintang internasional Serbia seperti Kolarov, Ivanovic, atau Tadic malah bersikap bersahabat. Mereka malah menolong pemain Albania dengan cara mencegah para penyusup yang ingin memukuli mereka. Ofisial pertandingan akhirnya memikirkan hal terburuk di atas. Maka berlarianlah seluruh tim Albania ke lorong pemain yang terletak di sudut lapangan.
Celaka dua belas, rupanya di sudut itu grup ultras Serbia berada! Maka tak terhindarkan lagi ketika satu-dua penyusup dengan nekat menghantam dan menendangi para pemain Black Eagle yang berlarian ketakutan. Kolarov kembali menunjukkan dedikasi internasional dan akal sehatnya dengan cara mengawal sisa tim Albania yang lain. Setelah 30 menit kondisi mulai tenang.
Uniknya UEFA dan Atkinson berniat melanjutkan laga. Tentu saja tim Shqiponjat ogah karena psikologis mereka sudah terganggu. Albania tak mau meneruskan laga. Hanya tim Serbia yang memasuki lapangan. Maka sesuai aturan, Albania dinyatakan kalah Walk Over (WO) dengan skor 0-3. Setelah diurai ofisial pertandingan, kasus drone dianggap sebagai biang keladi kerusuhan.
Suasana kamar ganti pemain Albania jadi menegangkan. Banyak yang menderita memar dan luka di leher dan wajah. Episode ketiga peperangan antara dua etnis pun muncul lagi. Kepolisian Serbia menggeledah tas anggota skuad Albania untuk menemukan alat pengendali drone. Ruangan digeledah. Laci, kursi, toilet, sampai jendela namun remote-control tetap nihil didapat.
Tak lama muncul klaim tak terduga dari Shvercerat, grup pendukung FK Shkupi, anggota Liga Masedonia yang dimiliki orang Albania, mengaku sebagai operator drone. Tapi pihak berwenang tak menemukan bukti. Aksi penzaliman Shqiponjat melahirkan reaksi beragam. “Serbia menunjukkan sikap rasis dan fasis-nya,” kecam Agim Cana, ayah dari Lorik Cana.
Michel Platini dan Sepp Blatter juga mengutarakan kecaman similar atas masuknya pengaruh politik dalam sepak bola yang dilakukan Albania dan Serbia. Pernyataan resmi Serbia adalah mereka jadi korban provokasi sambil menuduh drone itu dikendalikan Olsi Rama, adik dari PM Albania Edi Rama dari tempat dia menonton: di ruangan VIP Stadion Partizan!
*******
Pemain Albania berlari ke arah yang salah. |
“Dengan alasan keamanan saya pergi lebih dulu. Saya sempat dipersulit aparat yang menjaga di luar stadion. Namun karena saya memegang paspor Amerika mereka tak berdaya menahan,” aku Olsi yang saat itu rupanya ditemani Ighli Tare, bekas kapten timnas Albania. “Saya berani sumpah, dia hanya membawa kamera,” timpal Tare, direktur olah raga klub Serie A Lazio.
Entah mana yang benar. Namun Perdana Menteri Shqiperia, Edi Rami, memprotes keras adiknya dituduh sebagai dalang kerusuhan 14 Oktober 2014. Dampak keributan menjalar amat cepat. Di selatan Albania, pemukiman warga keturunan Yunani diserbu massa. Di Austria, 50-an orang Albania menghancurkan kafe milik orang Serbia, termasuk mobil polisi.
Menteri Luar Negeri Serbia, Ivica Dacic, mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Albania telah melakukan provokasi politik melalui pengibaran bendera terlarang di negerinya. “Kami menunggu reaksi dari Uni Eropa dan UEFA Anda bisa bayangkan apa yang kami terima jika bendera Serbia Raya dikibarkan di Tirana dan Pristina (ibukota Kosovo),” kata Dacic.
Sementara Menteri Dalam Negeri Nebojsa Stefanovic menuding aksi provokasi Albania itu menunjukkan ketidak-matangannya sebagai calon anggota Uni Eropa. Diserang secara politis, Albania berjuang di pentas UEFA. Kegagalan aparat Serbia mengamankan, bahkan ikut menzalimi para pemain Albania di laga internasional diungkap, dan kelak mengubah sejarah.
Tragedi 14 Oktober 2014 itu hanya sepekan sebelum PM Edi Rama tiba di Beograd, kunjungan resmi pertama tokoh Shqiperi dalam 70 tahun terakhir. Menurut media massa tuduhan Serbia amat berkebalikan dengan realita di Kosovo, di mana justru Serbia lebih agresif. Albania tidak mengungkit-ungkit isu panas Kosovo sehingga UEFA jadi curiga dengan motif lebay Serbia.
“Saya kecewa harus melakukan banding melihat keputusan UEFA yang bakal menjadi skandal dan preseden buruk ke depan,” kata Presiden FSHF (Federata Shqiptare E Futbollit) Armand Duka. “Rasisme dalam sepak bola adalah sebuah parodi. Ini bukan soal menang kalah, tapi bagaimana melawan rasisme,” tambah Cimi Shakohoxha, seorang anggota legal FSFH.
Dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi, PM Edi Rama menyatakan sikap kecewanya. “Keputusan UEFA dengan mengalahkan Shqiperia lewat cara seperti itu merupakan tindakan yang tidak adil. Yang saya bisa pastikan, hanyalah persiapan giliran menjamu Serbia. Kami telah menaikkan kapasitas Stadion Lori Borici menjadi 20 ribu penonton,” ucap sang pemimpin.
Setelah dinyatakan menang 3-0 oleh wasit Martin Atkinson, aksi Serbia di pentas politik semakin menggila. Ini jadi bumerang. “Bagaimana kami bisa kalah 0-3? Wasit tidak memberi tahu kami pertandingan akan dilanjutkan,” protes kapten tim Lorik Cana. “UEFA tahu tidak ada 'gadis baik-baik' jika ada di rumah bordil,” kecam Sokol Kushta, eks bintang Albania, penuh makna mendalam tapi jelas sinis.
Kushta memelopori persatuan pemain keturunan Albania di Eropa dan Amerika untuk melakukan aksi protes. UEFA dikutuk sebagai organisasi yang tidak adil dan rasis dalam mengambil keputusan. Bos UEFA, Michel Platini, yang tidak membela perjuangan Albania, ikut dikecam. Sekitar 100 orang Albania di Finlandia menjuluki Platini sebagai politisi mafia. Di mana-mana orang-orang Albania turun berdemo. Mulai dari Tirana, Kosovo, Podgorica, Masedonia, sampai di markas UEFA di Nyon, Swiss.
Albanian Roots dan Albania-American Organization (AAO), dua organisasi resmi keturunan Albania melakukan protes, petisi, boikot, juga menyurati organisasi hak asasi manusia, UEFA, FIFA, termasuk kepada Platini. Selebriti top Albania, Ardit Gjebrea, melakukan aksi lapangan dengan mengajak rakyat Albania memboikot produk-produk Serbia di pasar-pasar. Harapan Menlu Dacic untuk meraih kemenangan politis akhirnya urung lahir alias gatot, gagal total!
Serbia malah ketiban sial seusai sidang sengit Komisi Kontrol, Etik dan Disiplin, UEFA menganulir kemenangan WO 3-0 menjadi kekalahan indisipliner 0-3! Dakwaan utamanya tiada lain karena Serbia dinilai tidak bisa mengatasi invasi penonton yang menjadi sebab musabab kerusuhan. Perolehan nilai tim Oriovi, julukan timnas Serbia, juga dikurangi tiga poin. Duka berlanjut. Dua laga kandang berikut harus dilalui tanpa penonton dan denda 100 ribu euro. Sepak bola terkadang bergantung pada nasib baik, dan Albania meraihnya.
*******
PM Albania Edi Rama. |
Keberuntungan Albania meraih hadiah ganda itu membantu mereka melangkahi Denmark di klasemen Grup I. Selain itu, kemenangan diplomasi Albania sanggup menaikkan moral tim Shqiponjat serta meruntuhkan moral Oriovi, julukan timnas Serbia. Di tiga laga ke depan, Serbia kalah beruntun dua kali dari Denmark (1-3 dan 0-2) serta Portugal (1-2).
Sebaliknya dengan penambahan tri poin, Albania lebih bersemangat, terbukti dengan raihan empat poin dari tiga laga. Shqiperia mengalahkan Armenia 2-1, seri 0-0 lawan Denmark, dan kalah 0-1 dari Portugal. Langkah bersejarah mereka sempat tertahan dengan kekalahan 0-2 dari Serbia di kandang sendiri yang kali ini tanpa kerusuhan sama sekali.
Setelah Denmark kalah 0-1 dari Portugal, kepastian Shqiperia meraih sejarah besarnya ditentukan di Yerevan, dengan mengalahkan tuan rumah Armenia 3-0. Apakah Albania pantas mendapatkan itu semua dari perjalanan dongengnya? Upaya yang ditempuh dari semua jurusan terbukti menuai hasil fantastis sehingga Shqiperia pantas menjemput takdirnya. Itulah jawabannya.
Seperti Turki atau Tiongkok, ras Albania juga bertebaran di penjuru dunia. Dukungan masif itu bakal menjadi modal kuat Shqiperia di Prancis 2016 mendatang. Bangsa ini, dari segala paspor, kalangan dan jabatan, teruji bersatu padu dalam kedukaan dan pasti lebih heboh lagi saat merayakan kesenangan. Edi Rama tahu betul memanfaatkan situasi dan peluang.
Pada malam kebahagiaan setelah Shqiperia membungkam Armenia, sang perdana menteri sibuk menelpon ke sana ke sini. Rumahnya masih diguyur suka cita dan teriakan anggota keluarga yang menonton siaran langsung laga bersejarah. Rupanya tuan Rama sibuk membatalkan banyak janji, atau sedang memberi perintah begini-begitu pada bawahannya.
Pekerjaan pertama sang pemimpin pada Senin pagi, 12 Oktober 2015 adalah menjemput para pahlawan bangsa di Bandara Bunda Teresa (Nene Tereza) di Tirana. Pekerjaan kedua mengikuti kirab keliling ibukota dengan kendaraan terbuka bersama Shqiponjat. Siang istirahat sebentar di rumah, sebelum melakukan pekerjaan ketiga di sore hari: berpidato resmi di istana.
Pidato ini disiarkan langsung oleh berbagai jaringan televisi ke seluruh negeri, sehingga getaran nasionalismenya bisa dinikmati tiga juta penduduk. “Kepahlawanan kalian menjadi sumber inspirasi yang telah memberi harapan kepada jutaan orang di negeri ini,” demikian potongan pidato Edi Rama di depan rakyatnya. Pesta rakyat berlangsung hingga malam hari.
Albania sedang menikmati dongeng sepak bolanya. Bayangkan, barisan manusia yang menyemut tidak putus mulai dari bandara hingga ke tengah kota. Semua mengelu-elukan pemain. Rakyat bergembira di jalanan, menari, bernyanyi layaknya. Praktis, di hari Senin itu rakyat Albania dan juga Kosovo dilanda suka-cita luar biasa sampai-sampai melupakan rutinitasnya.
Seluruh rakyat tak mengira negaranya bisa bersaing di grup yang diisi tiga kekuatan besar; Portugal, Denmark, dan Serbia. Sehingga menembus Piala Eropa pertama kali lebih mirip dengan menjuarainya. Apalagi kalau jadi juara Eropa beneran? Benarlah apa yang diucap Bill Shankly. “Sepak bola adalah persoalan hidup dan mati, bahkan jauh lebih penting dari itu.”
Edi Rama masih mengenang kisah insomnia yang menerpa dirinya setelah Albania dikalahkan Serbia 0-2 di kandang sendiri, tiga hari sebelum terbang ke Yerevan untuk melakoni laga terakhir. Ia memanggil seluruh anggota tim ke rumahnya untuk diberikan audiensi spiritual. “Mereka amat terpukul, begitu juga saya. Satu kekalahan yang menyakitkan,” paparnya.
Selama tiga hari, sang perdana menteri tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu memikirkan nasib tim nasionalnya. Namun beliau merasa lega telah memberi pesan penting buat para pemain. “Saya katakan pada mereka, jika ingin mencapai puncak gunung maka kalian harus mengatasi angin yang kuat. Tunjukkanlah karakter kalian nanti di Yerevan!” kata Rama saat itu.
Albania mesti menang untuk menggeser Denmark di peringkat kedua. Falsafah ‘naik-naik ke puncak gunung’ ala Edi Rama diresapi para pemain luar dalam. Armenia memang negeri yang dipenuhi pegunungan tinggi dan berangin, namun semangat dan karakter Shqiperia lebih dicurahkan di atas lapangan hijau. Albania sukses menaklukkan Armenia 3-0. (bersambung)
(foto: balkineu)