Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Setelah 4 Jam, Sundown Juara Sejati

Kalau sudah punya tekad membara, rintangan seberat apapun seolah tiada arti. Mamelodi Sundowns buktinya. Mereka sukses merebut double champions, juara Liga Primer dan Piala Afrika Selatan.

Setelah 4 Jam, Sundown Juara SejatiKepastian itu didapat pada Minggu lalu setelah menekuk musuh besarnya, Orlando Pirates, dengan skor 6-5 lewat drama adu penalti pada ulangan final kejuaraan nasional yang beken disebut The Bob Save Super Bowl di Johannesburg. Hingga 120 menit plus extra-time, keduanya bermain 1-1.

Di menit ke-104, striker Daniel Mudau membawa Sundowns - klub yang berjuluk The Brazilians - unggul 1-0. Namun ketika waktu tinggal dua menit lagi menjelang usai, tanpa diduga Pirates ketiban untung gara-gara mendapat tendangan penalti kontroversial. Eks pemain nasional Nigeria, Sam Pam, tak menyia-nyiakan kesempatan langka tersebut.

Sepak bola memang suka dibelokkan oleh nasib baik dan nasib buruk. Kisah tragis berikutnya terjadi di drama adu penalti. Bayangkan, Pirates sempat unggul 4-2. Namun di dua tendangan terakhirnya, Sundowns mampu menyamakan kedudukan 4-4 setelah tendangan terakhir Pirates juga gagal.

Saat giliran memasuki sudden-death itu, tendangan penalti seorang pemain Pirates gagal menceploskan bola. Kesempatan langsung tak disia-siakan oleh gelandang Sello Mahlangu. Bola tendangannya masuk. Sundowns pun menang 5-4, sekaligus merebut gelar juara usai bertarung 4 jam lebih termasuk di laga pertama.

Di final pertama, Mei lalu, skor juga berakhir 1-1. Kesuksesan Sundowns, klub asal kota Pretoria yang berdiri pada 1970 itu, menyambung kisah sebelumnya bulan lalu tatkala merebut gelar juara Liga Primer Afsel. Mereka resmi menjadi juara sejati. Walau kalah di final kejuaraan nasional, Pirates tetap akan tampil di Piala Winner Afrika. Ya, jelas Sundowns akan memilih jatah utamanya di Piala Champion Afrika.

(foto: kickoff)

Share:

Tugas De Ritmo Mistico

Piala Dunia 1998 telah berakhir. Kini roda kejuaraan antarklub paling bergengsi di benua Amerika, Piala Libertadores yang kini bernama resmi Copa Toyota Libertadores, berderit lagi. Tak terasa, kini rutenya sudah masuk edisi semifinal kedua.

River Plate (Argentina), Vasco Da Gama (Brasil), Barcelona de Guayaquil (Ekuador), dan Cerro Portenyo (Paraguay) adalah para kandidatnya. Mereka telah teruji sejak penyisihan Februari silam. Kini mereka siap menuntaskan perebutan tiket ke final pada semifinal kedua. Agenda ini digelar serentak di dua kota di dua negara, Rabu atau Kamis WIB ini.

Dari dua peperangan, duel Tango vs Samba (River Plate vs Vasco de Gama) dipastikan yang paling menyita atensi juga memakan urat saraf, penuh gengsi. Maklum, gagalnya Argentina bertemu Brasil di semifinal Piala Dunia 1998 terpaksa harus dialihkan ke sini. "Kami siap menghanguskan Vasco Da Gama. Di sini mereka tak punya tradisi menang," kata bek River Plate, Hernan Diaz.

Di Estadio Monumental de Nunez, Buenos Aires, klub pilihan orang-orang kaya di ibukota Argentina itu hampir dipastikan akan bermain habis-habisan untuk membayar kekalahan 0-1 dari Vasco Da Gama, 17 Juli lalu. Tampilnya beberapa pemain nasional di kedua klub ini membuat fokus perhatian utama sementara beralih ke negeri Tango.

River Plate, yang dilatih eks bintang Albiceleste, Ramon Diaz, berintikan dua pemain nasional Marcelo Gallardo dan kiper German Burgos, serta poros halang nasional Paraguay, Celso Ayala. Kekuatan tuan rumah bertambah karena bisa diperkuat Juan Antonio Pizzi, debutan dari Barcelona yang juga pemain nasional Spanyol di France '98.

Sedang di dalam tubuh Vasco Da Gama, salah satu klub elite Brasil yang belum pernah menjuarai Libertadores, terdapat banyak pemain top. Kiper cadangan Claudio Taffarel, Carlos Germano, juga Mauro Galvao, Luizinho, dan Donizete, yang semuanya pernah membela tim Samba. Ramon Diaz pasti telah memperbaiki sektor kiri pertahanannya. Maklum, gol tunggal Donizete di menit ke-10 saat laga perdana, waktu itu bermula dari sana. Secara umum untuk menuntaskan dendam, tiada cara yang akan dilakukan River Plate selain menyerang habis-habisan.

Peran Gallardo

Tugas De Ritmo MisticoUntuk membuka peluang lolos ke final, mengulangi sukses 1966, 1976, 1986, dan 1996, juara dua kali Libertadores (1986 dan 1996) ini harus unggul, berapa pun skornya. Jika sanggup direalisasikan, maka kesempatan playoff di negara netral sangat terbuka, dan tentunya ini bakal merugikan mereka. Di sinilah tugas Gallardo (21 tahun). 

Dia dijuluki De Ritmo Futbol Mistico (gaya berirama mistik), yang bersama-sama Pablo Escudero, Juan Pablo Sorin, dan Leonardo Astrada, dipercaya menjadi koki serangan. Sayangnya penampilan duet lini depan Pizzi dan Sebastien Rambert, masih belum padu. Alternatif lain adalah dipasangnya Juan Pablo Angel. Striker muda asal Kolombia ini menggantikan posisi Marcelo Salas, yang pindah ke Lazio, atau penyerang lokal Marcelo Gomez.

Menghadapi ancaman tuan rumah, pada duel nanti diduga Vasco Da Gama tetap tampil menyerang. Pasalnya, jika main bertahan, kans mereka ke final pertama kalinya berangsur-angsur akan lenyap. Apalagi lawan berat anak-anak asuhan Antonio Lopez itu sebenarnya adalah para pendukung River Plate yang terkenal kelewat fanatik.

(foto: ole)

Share:

Katowice Paling Mengesankan

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, perjalanan tugas saya di 1997 jauh lebih berwarna dan yang pasti lebih menantang, meski hanya dua kali keliling mengunjungi empat negara yang semuanya bule. Jerman, Polandia, Prancis, dan Australia.

Di Jerman saya menyaksikan runtuhnya keperkasaan juara bertahan Juventus oleh Borussia Dortmund di final Liga Champion. Tapi kisah paling sensasional terjadi saat saya meliput Polandia vs Inggris dalam lanjutan Pra-Piala Dunia Grup 2 Zona Eropa di Katowice, sebuah kota kecil yang jauh dari ibukota Warszawa.

Katowice Paling MengesankanBelum lagi menginjak jalanan Katowice, saya sempat 'debat kusir' dengan seorang pria cepak berseragam yang ada di konter bagian imigrasi bandara. Karena banyak salah tafsir, tiba-tiba dia berdiri, keluar dari sangkarnya dan mengajak saya masuk ke dalam. Lho ada apa ini? Datanglah pria berseragam seperti tentara. Saya curiga, pasti ada yang tidak beres. 

Paspor Republik Indonesia itu diserahkan kepadanya. Saya lihat belum diberi cap imigrasi Polandia. Hmm, tampaknya ini bakal jadi masalah. Benar saja. Sialnya aparat di bandara Katowice itu tidak becus Inggris sama sekali. Baik menjelaskan maupun menjawab pertanyaan saya. Bak melihat batu meteor yang jatuh dari langit, ia membolak-balik dan menyortir halaman demi halaman paspor. Entah takjub atau heran, saya tidak mau tahu. Lalu terjadi kembali debat kusir jilid 2.

Tampaknya dia merasa bakal mempertaruhkan karier atau keselamatan keluarganya jika memberi cap di paspor saya. Ada pasal sesungguhnya? Sungguh tidak jelas. Saya ngotot habis dengan sang petugas sebab undangan berupa faks langsung dari PZPN (PSSI-nya Polandia) yang saya bawa dari Jakarta, dan ditandatangani sekretaris PSPN, yang jelas-jelas namanya berbau Polski, tidak digubris.

Saya juga panjang lebar menjelaskan profesi dan tugas saya datang ke kotanya, termasuk mengingatkan dia bahwa dua hari lagi tim nasional mereka, Biale Orly (Elang Putih), akan bertanding dengan Inggris di Stadion Slaski. Ternyata tidak mempan. Bicara ngalor-ngidul tentang legenda sepak bola mereka seperti Grzegorz Lato, Kazimierz Deyna, Jan Tomaszewski, atau Zbigniew Boniek, juga sama saja. Sial.

Bahkan mencoba joke dengan mengatakan bendera negara kita mirip cuma terbalik. Juga masih kebal. Komplit sudah. Merasakan situasi begitu, siapapun pasti nyolot. Namun saya memahami, setiap negara punya peraturan tersendiri. Akhirnya dia menyuruh saya menunggu selama 15 menit-an. Paspor saya dibawanya. Namun ketika balik lagi, yang muncul seperti semula: terjadi debat kusir lagi.

Simpang Auschwitz

Malah kali ini saya makin senewen sebab dia meminta menggeledah tas yang saya selempangkan di badan saya. Oke. Matanya jelalatan melihat isi tas: notes, pulpen, handphone Nokia 'pisang' 6110 yang membuat dia takjub, lalu beberapa lembar dolar AS, kaca mata, kamera pocket, recorder, dan berbagai kartu identitas serta surat undangan dari PZPN.

Saya perhatikan bandara yang tadinya ada lalu lalang orang-orang telah berubah menjadi seperti penjara. Dingin, senyap, dan sekeliling tembok semua, tanpa pajangan, poster, atau apalah. Saya jadi merasa seperti dibui. Tapi terus terang, saya tidak takut kecuali kecewa saja karena baru ingat saya belum mencari hotel yang alamatnya sudah saya catat. Juga sedikit risau lantaran paspor saya dibawa entah kemana oleh si Mas-Mas cepak itu. Apa jadinya terkatung-katung di negeri aneh, pikir saya.

Di saat menunggu sendirian, sambil menikmati pengalaman baru itu, datanglah harapan. Kali ini seorang wanita muda, parasnya rada molek dan berambut pendek. Tanpa senyum, dia menyerahkan paspor itu kepada saya. Aneh, kok tiba-tiba lancar. Langsung saya tanya kenapa ini semua? "Kami kaget melihat paspor Indonezja," kata si Mbak yang rupanya paling lumayan bicara bahasa Inggris. Dia juga bilang, urusan jadi lama karena mereka harus menelpon orang-orang PZPN di kantornya di Warszawa.

Hah?! Rupanya hal itu yang jadi penyebabnya. Petugas bandara kaget karena untuk pertama kali ada paspor Indonesia 'nyangkut' di bandara yang sepi itu setelah bertahun-tahun. Jangan-jangan puluhan tahun. Nama Indonezja sih tidak asing, namun gambar burung Garuda di paspor Indonesia yang mirip dengan burung elang lambang negara Polandia, jelas bikin bingung si Mas-Mas petugas tadi.

Sambil berlaga sok akrab, agar urusan bagasi jadi lancar, saya menanyakan apa-apa tentang kota Katowice. Namun saya melihat dari kejauhan koper saya tergolek rapi di pojokan. Sempat curiga, digeledahkah oleh mereka? Kalaupun digeledah ya silakan saka karena isinya tidak ada yang aneh, kecuali mungkin beberapa bungkus rokok kretek. Setelah diperiksa, ternyata tidak. Syukurlah.

Katowice Paling MengesankanKisah di Katowice masih berlanjut. Waktu menuju hotel dengan naik taksi tua bermerek Moskvitch - mobil buatan Rusia - saya ternyata melalui persimpangan yang akan menuju Auschwitz, kamp konsentrasi milik Nazi saat Perang Dunia II yang menjadi tempat pembantaian warga Yahudi. Saya melihat papan penunjuk arahnya. 

Saya sungguh terpana, tergugah, dan tak sadar bilang, "Oh Auschwitz!" Celakanya Pak Tua yang menyopiri saya mendengarnya. Tiba-tiba saja dia mengerem, mundur, sambil bilang dengan bahasa Jerman yang saya tak mengerti. Tampaknya dia yakin saya mau pergi ke Auschwitz. Melihat gelagat begitu, langsung saya bilang "No, No, No!" Namun dia masih bicara yang sama sekali tidak saya mengerti. Dengan sedikit paksaan sambil bilang alamat hotel yang mesti dituju, barulah dia menurut.

Episode menegangkan di Polandia masih belum tuntas. Akibat terbayang-bayang kisah sadis Auschwitz, di Katowice saya sering menemui orang-orang berwajah dingin mirip di film Schlindler List, sedingin udaranya yang menusuk tulang. Tidak banyak bicara, namun sering menatap dalam-dalam. Singkat kata, buat saya Polandia merupakan pengalaman meliput yang paling dramatis.

Pada catatan perjalanan pada Mei-Juni 1997, saya menulis agak lengkap kisah lengkap pengalaman saya berada di 'kota mati' Katowice serta kesan-kesan meliput sepak bola di negeri yang pada awal 1980-an memunculkan Lech Walesa, tokoh Gerakan Solidaritas dari galangan kapal di Gdansk itu.

Namun mengenang itu semua saya sangat senang dan bahagia sekaligus menyesal tidak berfoto di persimpangan Auschwitz. Sehabis dari negeri bernama resmi Rzeczypospolitej Polskiej itu saya terbang ke Lyon, Prancis, untuk meliput Tournoi de France.

Di sini saya juga punya pengalaman hebat, diantaranya adalah menjadi saksi langsung kehebatan tendangan melengkung Roberto Carlos ke gawang Les Bleus yang dianggap The Greatest Freekick In The World. Semakin luar biasa arahnya lantaran saya berada di belakang gawang Brasil yang dijaga Claudio Taffarel! Di Prancis saya mewawancarai Paolo Maldini. Di tahun ini tugas pamungkas saya diakhiri ke Melbourne, meliput play-off Australia vs Iran di Melbourne, pada November 1997.

(dokumentasi: arief natakusumah)

Share:

Antara Korea Selatan dan Indonesia

Dari kaca mata historis Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerima sepak bola, langsung menerimanya dari Belanda dan untuk kawasan Surabaya sekitarnya sebagian dari Inggris. Belanda adalah negara pertama di dunia yang mendapatkan sepak bola dari tangan pertamanya yakni Inggris atau Britania Raya. Di luar Belanda ada Argentina, untuk kawasan Amerika. Kenapa Belanda dan Argentina? Lumayan panjang ceritanya, tapi baiklah, mesti diungkapkan.

Sepak bola dilahirkan ketika Inggris memasuki era The Great Empire - puncak rangkaian sukses Revolusi Industri kesekian setelah ditemukannya Mesin Uap oleh James Watt pada 1775 - sedang menguasai seluk beluk dunia mulai dari ekonomi, iptek, penjelajahan, berbagai multi-industri, bisnis, angkatan perang, sanitasi, kereta api, dan masih banyak lagi termasuk olah raga.

Benang merahnya dengan Netherland karena secara politis saat itu Belanda menjadi wilayah taklukan sekaligus sahabat bisnis Inggris yang sulit dikutak-katik. Belanda punya bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah korporasi bisnis raksasa internasional yang sudah berdiri sejak 20 Maret 1602. Belanda juga jadi negeri rebutan antara dua kekuatan super power dunia saat itu, Inggris dan Prancis.

Secara kultural dan kepentingan, Belanda lebih cocok dengan Inggris ketimbang dengan kekaisaran Napoleon Bonaparte. Untuk itulah persahabatan Belanda dan Inggris - yang sama-sama terkenal sangat administratif - pun menjelma ke segala aspek kehidupan termasuk di olah raga, dalam hal ini sepak bola.

Singkat cerita, berkat Belanda pula beberapa pribumi yang pintar-pintar dan menurut pada kemauan Belanda akhirnya bisa tampil di Piala Dunia 1938. Sayangnya nama Indonesia belum ada waktu itu. Namun begitu, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) sudah mengakui bahwa negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia adalah Indonesia. Semoga FIFA cepat atau lambat akan mengakuinya juga.

Di belahan lain, sebenarnya India juga sejajar dengan Indonesia lantaran dijajah langsung oleh Inggris. Namun akibat kultur dan tradisi yang jauh lebih 'keriting' dibanding Indonesia, sepak bola sulit berkembang di sana. Satu hal saja, saat itu 90 persen rakyat India tidak suka memakai alas kaki. Padahal main bola orang harus memakai sepatu. Itulah India.

Tinggal Penderitaan

Antara Korea Selatan dan Indonesia
Tim nasional Indonesia di era 1930-an.
Jadi sangat disayangkan bila sampai sekarang sepak bola Indonesia tidak berkembang pesat, sebagian meyakini malah mundur, meski menerima dari si tangan kedua, Belanda. Kenapa Indonesia tidak sampai setengahnya Belanda atau Argentina rasanya tidak pantas jadi misteri. Misteri sesungguhnya adalah ketika sekarang ini kita tidak ada setengahnya dari katakanlah, Korea Selatan! Tim nasional Indonesia sudah jadi perbincangan dunia di era 1950-an ketika negara bernama Korea Selatan belum ada.

Di era itu, sementara di semenanjung Korea sedang terjadi Perang Saudara, Indonesia - asal mau dan punya ambisi - sebenarnya berpeluang lagi tampil di Piala Dunia 1954, 1958, 1962, dan 1966. Namun sepak bola saat itu terjamah oleh infiltrasi politik yang tajam serta membelenggu hingga menutupi akal sehat. Nasionalisme harus dikembangkan oleh politik dan diplomasi, bukan oleh sebuah permainan bernama sepak bola.

Hari ini tinggallah 'penderitaan' dirasakan berbagai pihak, terutama masyarakat, melihat sepak bola telah menjadi simbol kebangkitan nasionalisme, kemajuan industri atau peradaban. Maaf, hanya negara-negara yang berperadaban tinggi yang biasanya menjadi juara. Juara apa saja, mulai regional, kontinental, sampai internasional entah itu terkuat di benuanya, olimpiade, atau Piala Dunia.

Mumpung sedang berlangsung Piala Asia 1996 di UEA, di mana Indonesia ikut serta, sebuah diskusi tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan digelar di kantor Redaksi Tabloid BOLA dengan nara sumber utama, seorang pelakon sepak bola yang berasal dari Korea Selatan, negeri yang barusan kita bahas itu.

Menit ke menit berlangsung, hingga tahun demi tahun, akhirnya disadari bahwa sungguh jauh perbedaan sepak bola Korea Selatan dan Indonesia sekarang ini. Tolok ukur resmi pun ada. Dari daftar resmi ranking FIFA edisi November lalu, Korea Selatan menempati urutan 45 dunia. Sedangkan Indonesia di urutan 117! Ke depan kita tidak tahu. Yang pasti ada 230-an negara yang terdaftar di FIFA. Amit-amit kalau suatu saat Indonesia berada di kepala dua ratusan. Astagfirullah.

Liga Korea
Rahasia Sukses Korea Selatan
Tim nasional Korea Selatan di era 1950-an.
Bagaimana ini bisa terjadi? Padahal sebelum dekade 1980-an, sepak bola Korea belumlah sekuat sekarang. Jawaban awalnya cukup sepele yaitu berhasilnya KFA (PSSI-nya Korea) memutar kompetisi - yang menjadi syarat utama kemajuan sepak bola beserta tim nasional - dengan benar dan konsisten. Menurut Min Choi - narasumber kita dari negeri Ginseng tersebut - kompetisi liga semi profesional Korea pun baru digelar pada tahun 1980, atau kalah dua tahun dari Galatama Indonesia.

"Awalnya Liga Korea cuma di ikuti enam klub. Namun itu sudah cukup membuat suasana baru pada persepak-bolaan kami selama tiga tahun," tuturnya penuh empati. Lalu ketika mereka menjadi semifinalis Kejuaraan Dunia Junior 1983, ambisi KFA makin menyeruak. Mereka menyebar para pelatih lokal ke negara-negara Eropa dan Amerika Latin untuk menyerap ilmu yang kelak akan disatukan oleh filosofi permainan mereka.

Antara Korea Selatan dan Indonesia
Tim nasional Indonesia 1985.
Beberapa tahun setelah KFA mengirim pelatih ke Brasil hasilnya terlihat. Korea Selatan menjadi salah satu peserta Piala Dunia 1986, yang kebetulan dalam rutenya mengalahkan Indonesia 2-0 di Seoul dan 4-1 di Jakarta. Tradisi Korea Selatan ke Piala Dunia terus dipertahankan pada 1990 dan 1994.

Antara Korea Selatan dan Indonesia
Aksi Korea Selatan di Piala Dunia 1986.
Di Meksiko 1986, kombinasi ilmu dari Brasil dan filosofi ciri khas Korea terlihat jelas sampai-sampai Argentina dan Diego Maradona pun harus susah payah menang 3-1 di Grup A yang juga diisi Italia dan Bulgaria. Di kemudian hari, semua tahu, Argentina dengan Maradona-nya merengkuh titel juara dunia. 

Hingga kini, kompetisi liga memang cuma diikuti oleh 9 klub saja - pada musim 1997/98 akan menjadi 10 klub - namun itulah taktik KFA untuk menjaga kualitas permainan agar kompetitif, yang tujuan utamanya adalah membentuk sebuah tim nasional yang tangguh. "Di Liga Korea, setiap pekan ada pemilihan sebelas pemain terbaik, wasit terbaik, pelatih terbaik, dan lainnya yang berguna sebagai masukan untuk tim nasional," tutur Min Choi.

Barangkali kita harus belajar apa yang dipelajari Korea dulu, cara mengorganisasinya. Jangan melihat Argentina, Belanda, atau Inggris. Dunia tak selebar daun kelor, demikian bunyi sebuah pepatah Betawi. Ternyata ini juga cocok untuk mengistilahkan parahnya kondisi tim nasional Indonesia. Bayangkan bukan saja kita, masyarakat Indonesia, sudah mengetahuinya tapi juga negara lain.
Antara Korea Selatan dan Indonesia
Tim nasional Korea Selatan 1985.
Dan itu bukan tingkat regional lagi, lantaran negara sekuat Korea Selatan pun sudah 'menguasai' sekali sebab dan akibat kekisruhan sepak bola negeri ini baik yang ada di tim nasional Indonesia maupun top organisasinya, PSSI. "Satu hal mendasar yang terjadi adalah tidak maksimalnya para pengurus (PSSI) untuk berbuat sesuatu kepada elemen paling dasar sebuah tim nasional, yakni pemain nasional," kata pengamat sepak bola Indonesia, Min Choi, dalam diskusi Rabu lalu yang diadakan di kantor Redaksi Tabloid BOLA.

Jangan salah kaprah dulu. Tapi, kalau mengingat betapa 'biasa-biasa saja' menjadi pemain nasional di Indonesia, memang sah untuk dipertanyakan. Mengapa bisa terjadi demikian? "Menjadi pemain nasional di Korea, harus melalui perjalanan panjang. Selain tidak mudah, unsur masyarakat juga diikutsertakan. Begitu juga untuk pelatih nasionalnya," kata mantan pemain nasional junior Korsel yang juga koresponden Tabloid BOLA ini menambahkan.

Fasilitas Memadai

Antara Korea Selatan dan Indonesia
Tim nasional Korea Selatan 1996.
"Yang diperoleh si pemain juga luar biasa. Belum soal materi, tapi fasilitas. Kami boleh mengambil kaus atau sepatu bola sebanyak-banyaknya yang memang sudah disediakan KFA. PSSI-nya Korsel," ujarnya. Secara tak sengaja dia pernah menanyakan berapa pasang sepatu untuk Peri Sandria kepada seorang pejabat PSSI  beberapa waktu lalu. "Saya kaget, katanya paling banyak cuma tiga pasang. Padahal pemain nasional Korea mendapat 20 pasang. Demikian pula kaus, tas, sampai sandal, lebih dari cukup," tuturnya lagi.

Soal teknis Min Choi juga mengkritik pemilihan pemain nasional dengan menggunakan sistem seleknas. Menurutnya hampir di belahan dunia mana pun, sistem itu sudah tidak digunakan lagi. Belum lagi mengenal fasilitas untuk tim nasional. "Saya baru tahu akhir-akhir ini bahwa salah satu alasan mengapa tim Indonesia selalu pergi ke luar negeri untuk berlatih ternyata adalah karena tidak adanya sarana dan fasilitas yang memadai," tutur pria berkaca mata dengan bahasa Inggris bercampur bahasa Indonesia terpatah-patah.

Banyaknya pengamat yang menyarankan agar kiblat sepak bola Indonesia jangan melulu ke Eropa, mungkin sudah pernah dikumandangkan. Begitu juga para pakar sepak bola di Korsel sendiri. "Ada yang menyarankan sebaiknya Indonesia belajar ke Meksiko, karena persamaan fisik atau suasana," ucapnya lagi diiringi derai senyum.

Berpindah ke bagian inti sepak bola, yakni permainan, wajahnya tampak semakin serius. Satu hal yang menarik, Min Choi juga mengecam permainan tim nasional Indonesia di putaran final Piala Asia yang kini masih berlangsung di Uni Emirat Arab. Tidak punya visi dan pola yang jelas," katanya lirih. "Kalau taktik begitu sih, semua pelatih juga bisa. Namun yang lebih penting bagaimana seorang pelatih mengadu taktik di lapangan dengan pelatih lawan," lanjut Min Choi lagi.

Tidak di klub atau di tim nasional, hal pertama yang dikedepankan adalah bagaimana bermain bola dengan kepuasan. Sesuai filosofi, sesuai strategi, dan sesuai target. Inilah yang menjadi tujuan utama. Begitu juga si pelatih. Urusan menang atau kalah, itu belakangan. "Kalau kalah, ya dibina lagi dan dicari penyebabnya. Ini yang tidak terjadi di negara saya," katanya mengakhiri pembicaraan. Halo PSSI dan rakyat Indonesia, hargailah persepsi atau pendapat orang jika itu untuk kemajuan. Besar hatikah kita menerimanya?

Mana Tim Nasional Yang Ideal?

Rahasia Sukses Korea Selatan
Tim nasional Indonesia 1996.
Perlukah tim nasional Piala Asia dirombak? Pasti ada beragam jawaban. Tetapi kami punya pendapat, tim ini tetap perlu disempurnakan. Selain pemain yang mampu bertahan, tim nasional juga perlu pemain yang mampu menyerang. Inilah perbandingan tim nasional Piala Asia 1996 dan tim nasional SEA Games 1997/Pra-Piala Dunia 1998.

PIALA ASIA 1996

Kiper: Kurnia Sandy (Sampdoria); Hendro Kartiko (Mitra); Abdillah (Assyabaab)
Belakang: Sudirman (Bandung Raya); Yeyen Tumena (PSM); Aples Tecuari (Pelita Jaya): Siswandi (Petrokimia); Agung Setyabudi (Arseto); Budiman (Bandung Raya); Ritham Madubun (Persipura)
Tengah: Supriyono (Pelita Jaya); Marzuki Bandriawan (Mitra); Francis Wewengkang (Persma); Anzar Rashak (PSM); Bima Sakti (Helsingborg)
Depan: Chris Yarangga (Persipura); Indriyanto Nugroho (Pelita Jaya); Widodo Putro (Petrokimia); Ronny Wabia (Persipura)

SEA GAMES 1997/PRA PIALA DUNIA 1998

Kiper: Kurnia Sandy (Sampdoria); Listyanto Raharjo (Pelita Jaya); Hendro Kartiko (Mitra)
Belakang: Sudirman (Bandung Raya); Agung Setyabudi (Arseto); Surya Lesmana (Bandung Raya); Nuralim (Bandung Raya); Sugiantoro (Persebaya); Aples Tecuari (Pelita Jaya); Aji Santoso (Persebaya); Yeyen Tumena (PSM); Herman Pulalo (Semen Padang)
Tengah: Eri Irianto (Persebaya); Fachri Husaini (PKT); Marzuki Bandriawan (Mitra); Francis Wewengkang (Persma); Ansyari Lubis (Pelita Jaya); Bima Sakti (Helsingborg); Khairil Anwar (Persebaya)
Depan: Widodo Putro (Petrokimia); Ronny Wabia (Persipura); Rocky Putiray (Arseto); Kurniawan Dwi Yulianto (Pelita Jaya)

(foto: asiafootballfiles/diegomaradonagroup/pssi/istimewa/sesaa/soccermon)

Share:

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96


Serie A musim 1995/96 sedang memasuki liburan akhir tahun, yang di kalangan sepak bola Italia kondang dikenal dengan istilah D'Inverno. Hingga separuh putaran, jelas sudah tersaji siapa yang tengah bersinar terang. Setidaknya muncul tiga pemain yang kebetulan berstatus bintang. Apakah mereka sanggup mempertahankannya hingga akhir musim? Berikut ulasan kiprah ketiga protagonisti tersebut.

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96

Alessandro Del Piero (Juventus): Pemecah Mitos


Pemuda berambut ikal kelahiran Conegliano, 22 tahun lalu ini dianggap pemecah mitos di klub yang membimbingnya sejak remaja, Juventus. Nomor sakti, 10, dikantonginya dengan mudah, semudah ia menggonta-ganti potongan rambutnya. Hal ini pasti ada apa-apanya. Tidak mungkin kalau biasa-biasa saja. Dulu Juve hanya memberikan nomor wasiat itu kepada pemain panutan yang punya 'kesaktian' luar biasa. 

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96Contohnya Michel Platini, dan terakhir Roberto Baggio. Namun pelatih Marcello Lippi, dan juga Roberto Bettega, orang di belakang layar yang menentukan skenario permainan Juve, memang kepalang jatuh hati dan sangat percaya padanya. Di dalam negeri dan juga tim nasional, mungkin kehebatannya tak seberapa. Terlalu banyak pesaing. Namun jika ia tampil bersama Juve di ajang internasional, semua lawan jadi bergetar. 

Terakhir, ia buktikan pada Piala Toyota di hadapan jagoan Argentina dan Amerika Latin, River Plate. Del Piero mengantarkan Juventus menjadi klub terbaik di dunia. Karena ia menjadi MVP di sana, maka Del Piero bisa juga disebut sebagai pemain terbaik di dunia untuk kategori klub. Bukan begitu?


George Weah (Milan): Tuan 100 Meter

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96San Siro, 8 September 1996 menjadi bukti pengakuan dunia pada dirinya. Pers Italia melukiskan peristiwa bersejarah di kakinya dengan titel Mister Centi Metri. Imajinasikan kejadian berikut: Weah menerima bola liar dari sepak pojok lawan di depan gawang rekannya sendiri, Sebastiano Rossi. 

Bola terus, terus, dan terus dibawa, dikuasai, dibawa. Dalam perjalanan epiknya, dia mengecoh, menipu, bergoyang dengan gerakan badan yang aduhai berkecepatan tinggi. Tinggal belasan meter lagi menuju gawang Verona. Tiga lawan terakhir ditaklukkannya juga. Di hadapan kiper Attilio Gregori, dia menyantap bola dengan nikmat untuk menciptakan gol ketiga. Dari kejauhan Silvio Berlusconi sontak bertepuk tangan, berdiri, seraya tertawa deras. Mamma Mia...Belissimo! 

"Sepanjang hidup nonton bola, baru kali ini saya melihat kejadian seperti ini. Bahkan Van Basten pun belum pernah melakukannya," kata superbos AC Milan itu tanpa basa-basi lagi. Mungkin itu puncak kredibilitasnya di Milan, setelah berandil besar mengukuhkan juara pada 12 Mei sebelumnya. Beda dengan Del Piero, pemain berusia 30 tahun ini sangat menakutkan jika tampil di Liga Italia. Pembuktian hari itu telah dilukiskan oleh kakinya. Bukan dengan yang lain.

Enrico Chiesa (Parma): Termahal Se-Italia

Tiga Peraih Top Protagonisti 1995/96Del Piero dan Weah hebat dengan keistimewaannya. Namun predikat striker termahal musim ini - bahkan sampai ujung tahun ini - di Italia adalah milik bujang kelahiran Genova berusia 26 tahun. Termahal? Ya, karena transfer Chiesa dari Sampdoria ke Parma bernilai 25 miliar Lira alias 37,5 miliar rupiah, plus gaji Rp 15 miliar selama 5 tahun kontraknya. 

Bagaimana kemampuannya? Tentu istimewa dong. Lihat saja walau Sampdoria tak mendapat tempat ke Piala UEFA sekalipun, namun dia bisa membuat 22 gol selama musim 1995/96 lalu. Hanya beda dua dari punta marcatori Igor Protti dan Giuseppe Signori. Padahal di awalnya Chiesa adalah pemain buangan. Dia sempat dibuang Sampdoria ke Genoa, lalu dibuang lagi oleh Genoa ke Cremonese. 

Bos Parma Stefano Tanzi memanfaatkan ini. Jodohnya adalah Hernan Crespo. Hingga kini ia telah mencetak 5 gol. Padahal lini tengah Parma kini ompong setelah si tokoh utama (il protagonista) Gianfranco Zola pindah ke negeri seberang. Jadi ia masih tetap ada kans untuk membuktikan siapa dirinya.

(foto: idws/dnamilan/solocalcio/skysport.it/giornalettismo/hello-pet)

Share:

King Kazu: Saya Ingin Berlibur Ke Bali

Penulis beruntung bisa bertemu dan mengobrol dengan pemain nomor satu di negeri Matahari Terbit itu sebanyak dua kali, yaitu ketika bertandang ke Yokohama, tempat latihan tim nasional Jepang, serta pada saat acara J-League 1996 Awards di NHK Hall Maihama, 21 November lalu.

King Kazu: Saya Ingin Berlibur Ke BaliWawancara dibantu Shin-Ichiro Kaneko, seorang fotografer yang jadi teman lama penulis, lantaran Kazu tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik. Pemain yang pernah membela Genoa (kini anggota Serie B Italia), ternyata berwawasan luas, ramah dan rela meluangkan waktu dan kesempatan. Berikut petikannya.

Anda kenal Indonesia?

Sangat kenal, karena di sini, Indonesia menjadi tujuan wisatawan Jepang nomor satu di Asia. Kalau ada kesempatan saya juga ingin berlibur ke Bali.

Bagaimana dengan sepak bolanya?

Tidak begitu kuat. Saya bisa tahu dari klub-klub Indonesia yang pernah bermain ke sini. Begitu juga untuk tim nasionalnya, saya dengar masih kalah dari Muangthai di kawasan Asia Tenggara. (Kazu agak kaget, ketika diberitahu tim Indonesia sedang berlatih di Italia).

Oke, sekarang dengan tim nasional Anda. Bagaimana peluang Jepang di UAE nanti menurut Anda?

Agak ketat dan bakal berlangsung seru karena semua tim yang tampil pasti sudah mempersiapkan diri dengan baik. Namun dari yang ada, saya respek terhadap Korsel dan Cina. Kami saling mengalahkan jika bertemu. Saya pikir Jepang akan mampu ke final walau tidak mudah.

Apa perasaan Anda sebagai seorang bintang di Jepang, bahkan di Asia?

Sangat sulit. Maksud saya dalam hal menjaga citra dan reputasi. Kadang ini menjadi beban buat saya karena kurangnya kebebasan. Saya harus membalas kebaikan publik dan terus mempertahankan penampilan di atas lapangan.

Bisa ceritakan sedikit kesan-kesan Anda ketika main di Italia?

Ya itu saat paling penting dalam hidup saya, walau berlangsung singkat. Saya banyak belajar di sana dari bintang-bintang dunia. Suatu saat saya ingin mengulanginya lagi.

Ada lagi yang lainnya?

Sebelum ke sana saya banyak menerima surat dan telepon dari penggemar yang meminta agar saya jangan berangkat ke Italia. (sambil tersenyum). Namun setelah saya katakan ini bukan saja berharga buat saya, tapi juga buat mereka, buat persepakbolaan Jepang, mereka akhirnya mengerti dan mendukung saya. Setiap kali saya bermain, ada puluhan warga dan wartawan Jepang yang datang langsung dari Jepang ke stadion di Genova.

Saya pernah mendengar Anda pernah ingin gantung sepatu. Kenapa?

Ternyata tidak semudah itu. Saya masih menyayangi penggemar saya. Lagipula ada hal yang terpenting dalam hidup yang tengah saya kejar, yakni ingin membawa Jepang tampil di Piala Dunia 1998. Ini untuk pertama kalinya. Saya pikir kami berpeluang meraih tiket ke Prancis kali ini. Saya merasa pada usia saya yang ke-30 atau 31 saya makin matang.

Oke, terima kasih banyak atas waktunya Kazu San. Semoga ke depan Anda makin sukses!

(Tersenyum ramah). Saya juga mengucapkan terima kasih pada Anda (seraya mempersilakan penulis untuk foto bersama).

(Yokohama, Desember 1996. foto: Shin-Ichiro Kaneko)

Share:

Kazuyoshi Miura: Figur Pemimpin dan Sumber Berita

Sebut satu nama jika bergaul dengan masyarakat Jepang: Kazuyoshi Miura, maka siapapun akan menghormati Anda! Mitos ini ternyata berlaku untuk semua warga, baik yang suka atau kurang suka dengan sepak bola.

Kazuyoshi Miura: Figur Pemimpin dan Sumber Berita
King Kazu, begitu sapaan intim sang bintang, ternyata mampu mempertahankan reputasinya di mata publik atau insan pers negeri Sakura, empat tahun belakangan ini. Ia mulai populer saat Jepang menjadi juara Asia 1992 di Hiroshima. "Kazu? Dia pemain kesukaan saya. Kehebatannya di atas lapangan, dan juga sifat eksentriknya itu yang saya senangi," tutur Konno Sayaita, seorang sekretaris yang anehnya justru seorang fan klub Nagoya Grampus Eight.

Bersama Ruy Ramos, Tetsuji Hashiratani, dan Tsuyoshi Kitazawa, yang kesemuanya adalah rekannya di Verdy Kawasaky, Kazu mempersembahkan juara tatkala Jepang untuk pertama kalinya tampil di ajang paling elite persepakbolaan Asia itu. "Sulit mencari figur seperti dia, walau kini banyak pemain muda yang menonjol. Apapun yang dilakukannya pasti menjadi berita," kata Michio Koyama, seorang wartawan sepak bola senior.

Dan ketika ia pergi ke Italia untuk bergabung dengan klub Genoa, awal musim kompetisi 1994/95, saat itulah titik kulminasi tertinggi perjalanan kariernya yang dimulai sejak 1985. "Kompetisi Italia adalah impian saya sejak berumur 15 tahun," kilah kapten Verdy ini, sambil tersenyum.

Tim Nasional

Walau Verdy tak mencapai hasil terbaik musim ini di Liga Jepang, sosok Kazu tetap mengusik kalbu Shu Kamo, pelatih kepala tim nasional Jepang. Alasan makin menguat mengingat dukungan publik dan simpati pers terus menebarkan aroma kredibilitas dirinya. Kamo memang memberi kepercayaan kepada Kazu memegang ban kapten. Ia akan menjadi komandan pasukan Jepang di lapangan untuk Piala Asia yang berlangsung di Uni Emirat Arab, 3-21 Desember.

"Ya, dia tetap menjadi andalan kami bukan saja di lini depan tapi juga pemimpin lapangan sebagai modal untuk mengangkat moral bertanding rekannya," ujar Kamo ketika ditanya soal keberadaan Kazu. Hal itu makin terlihat jelas, bagaimana Kazu sering memberi pengarahan pada rekan-rekannya yang lebih muda seperti Takuya Takagi atau Masayuki Okano ketika berlatih.

"Walau masih muda-muda, tapi saya yakin, berkat Kazu mereka bisa mengatasi segala kendala yang ada. Apalagi kami ingin mempertahankan gelar di UEA," kata Kamo lagi. "Beban kami berat, tapi itu harus kami tanggung dan berjuang untuk merebut kemenangan,"kata Kazu optimistis. Buktikanlah Kazu!

(Arief Natakusumah, dari Tokyo)

Data Diri

Lahir: Shizuoka, 26 Februari 1967
Tinggi/Berat: 175 cm/72 kg
Posisi: Penyerang
Klub:
1985 XV de Jau (Brasil)
1986 Santos (Brasil)
1986 Matsubara
1987 CRB Alagoas (Brasil)
1988 XV de Jau
1988 Curitiba (Brasil)
1989 Curitiba (Brasil)
1990 Santos (Brasil)
1990 Yomiuri
1991 Yomiuri
1992 Yomiuri
1993 Verdy Kawasaky
1994 Verdy Kawasaky
1995 Genoa (Italia)
1996 Verdy Kawasaky

(foto: theasahishimbun)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini