Dari kaca mata historis Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerima sepak bola, langsung menerimanya dari Belanda dan untuk kawasan Surabaya sekitarnya sebagian dari Inggris. Belanda adalah negara pertama di dunia yang mendapatkan sepak bola dari tangan pertamanya yakni Inggris atau Britania Raya. Di luar Belanda ada Argentina, untuk kawasan Amerika. Kenapa Belanda dan Argentina? Lumayan panjang ceritanya, tapi baiklah, mesti diungkapkan.
Sepak bola dilahirkan ketika Inggris memasuki era The Great Empire - puncak rangkaian sukses Revolusi Industri kesekian setelah ditemukannya Mesin Uap oleh James Watt pada 1775 - sedang menguasai seluk beluk dunia mulai dari ekonomi, iptek, penjelajahan, berbagai multi-industri, bisnis, angkatan perang, sanitasi, kereta api, dan masih banyak lagi termasuk olah raga.
Benang merahnya dengan Netherland karena secara politis saat itu Belanda menjadi wilayah taklukan sekaligus sahabat bisnis Inggris yang sulit dikutak-katik. Belanda punya bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah korporasi bisnis raksasa internasional yang sudah berdiri sejak 20 Maret 1602. Belanda juga jadi negeri rebutan antara dua kekuatan super power dunia saat itu, Inggris dan Prancis.
Secara kultural dan kepentingan, Belanda lebih cocok dengan Inggris ketimbang dengan kekaisaran Napoleon Bonaparte. Untuk itulah persahabatan Belanda dan Inggris - yang sama-sama terkenal sangat administratif - pun menjelma ke segala aspek kehidupan termasuk di olah raga, dalam hal ini sepak bola.
Singkat cerita, berkat Belanda pula beberapa pribumi yang pintar-pintar dan menurut pada kemauan Belanda akhirnya bisa tampil di Piala Dunia 1938. Sayangnya nama Indonesia belum ada waktu itu. Namun begitu, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) sudah mengakui bahwa negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia adalah Indonesia. Semoga FIFA cepat atau lambat akan mengakuinya juga.
Di belahan lain, sebenarnya India juga sejajar dengan Indonesia lantaran dijajah langsung oleh Inggris. Namun akibat kultur dan tradisi yang jauh lebih 'keriting' dibanding Indonesia, sepak bola sulit berkembang di sana. Satu hal saja, saat itu 90 persen rakyat India tidak suka memakai alas kaki. Padahal main bola orang harus memakai sepatu. Itulah India.
Tinggal Penderitaan
Jadi sangat disayangkan bila sampai sekarang sepak bola Indonesia tidak berkembang pesat, sebagian meyakini malah mundur, meski menerima dari si tangan kedua, Belanda. Kenapa Indonesia tidak sampai setengahnya Belanda atau Argentina rasanya tidak pantas jadi misteri. Misteri sesungguhnya adalah ketika sekarang ini kita tidak ada setengahnya dari katakanlah, Korea Selatan! Tim nasional Indonesia sudah jadi perbincangan dunia di era 1950-an ketika negara bernama Korea Selatan belum ada.
Di era itu, sementara di semenanjung Korea sedang terjadi Perang Saudara, Indonesia - asal mau dan punya ambisi - sebenarnya berpeluang lagi tampil di Piala Dunia 1954, 1958, 1962, dan 1966. Namun sepak bola saat itu terjamah oleh infiltrasi politik yang tajam serta membelenggu hingga menutupi akal sehat. Nasionalisme harus dikembangkan oleh politik dan diplomasi, bukan oleh sebuah permainan bernama sepak bola.
Hari ini tinggallah 'penderitaan' dirasakan berbagai pihak, terutama masyarakat, melihat sepak bola telah menjadi simbol kebangkitan nasionalisme, kemajuan industri atau peradaban. Maaf, hanya negara-negara yang berperadaban tinggi yang biasanya menjadi juara. Juara apa saja, mulai regional, kontinental, sampai internasional entah itu terkuat di benuanya, olimpiade, atau Piala Dunia.
Mumpung sedang berlangsung Piala Asia 1996 di UEA, di mana Indonesia ikut serta, sebuah diskusi tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan digelar di kantor Redaksi Tabloid BOLA dengan nara sumber utama, seorang pelakon sepak bola yang berasal dari Korea Selatan, negeri yang barusan kita bahas itu.
Menit ke menit berlangsung, hingga tahun demi tahun, akhirnya disadari bahwa sungguh jauh perbedaan sepak bola Korea Selatan dan Indonesia sekarang ini. Tolok ukur resmi pun ada. Dari daftar resmi ranking FIFA edisi November lalu, Korea Selatan menempati urutan 45 dunia. Sedangkan Indonesia di urutan 117! Ke depan kita tidak tahu. Yang pasti ada 230-an negara yang terdaftar di FIFA. Amit-amit kalau suatu saat Indonesia berada di kepala dua ratusan. Astagfirullah.
Liga Korea
Bagaimana ini bisa terjadi? Padahal sebelum dekade 1980-an, sepak bola Korea belumlah sekuat sekarang. Jawaban awalnya cukup sepele yaitu berhasilnya KFA (PSSI-nya Korea) memutar kompetisi - yang menjadi syarat utama kemajuan sepak bola beserta tim nasional - dengan benar dan konsisten. Menurut Min Choi - narasumber kita dari negeri Ginseng tersebut - kompetisi liga semi profesional Korea pun baru digelar pada tahun 1980, atau kalah dua tahun dari Galatama Indonesia.
"Awalnya Liga Korea cuma di ikuti enam klub. Namun itu sudah cukup membuat suasana baru pada persepak-bolaan kami selama tiga tahun," tuturnya penuh empati. Lalu ketika mereka menjadi semifinalis Kejuaraan Dunia Junior 1983, ambisi KFA makin menyeruak. Mereka menyebar para pelatih lokal ke negara-negara Eropa dan Amerika Latin untuk menyerap ilmu yang kelak akan disatukan oleh filosofi permainan mereka.
Beberapa tahun setelah KFA mengirim pelatih ke Brasil hasilnya terlihat. Korea Selatan menjadi salah satu peserta Piala Dunia 1986, yang kebetulan dalam rutenya mengalahkan Indonesia 2-0 di Seoul dan 4-1 di Jakarta. Tradisi Korea Selatan ke Piala Dunia terus dipertahankan pada 1990 dan 1994.
Di Meksiko 1986, kombinasi ilmu dari Brasil dan filosofi ciri khas Korea terlihat jelas sampai-sampai Argentina dan Diego Maradona pun harus susah payah menang 3-1 di Grup A yang juga diisi Italia dan Bulgaria. Di kemudian hari, semua tahu, Argentina dengan Maradona-nya merengkuh titel juara dunia.
Hingga kini, kompetisi liga memang cuma diikuti oleh 9 klub saja - pada musim 1997/98 akan menjadi 10 klub - namun itulah taktik KFA untuk menjaga kualitas permainan agar kompetitif, yang tujuan utamanya adalah membentuk sebuah tim nasional yang tangguh. "Di Liga Korea, setiap pekan ada pemilihan sebelas pemain terbaik, wasit terbaik, pelatih terbaik, dan lainnya yang berguna sebagai masukan untuk tim nasional," tutur Min Choi.
Barangkali kita harus belajar apa yang dipelajari Korea dulu, cara mengorganisasinya. Jangan melihat Argentina, Belanda, atau Inggris. Dunia tak selebar daun kelor, demikian bunyi sebuah pepatah Betawi. Ternyata ini juga cocok untuk mengistilahkan parahnya kondisi tim nasional Indonesia. Bayangkan bukan saja kita, masyarakat Indonesia, sudah mengetahuinya tapi juga negara lain.
Dan itu bukan tingkat regional lagi, lantaran negara sekuat Korea Selatan pun sudah 'menguasai' sekali sebab dan akibat kekisruhan sepak bola negeri ini baik yang ada di tim nasional Indonesia maupun top organisasinya, PSSI. "Satu hal mendasar yang terjadi adalah tidak maksimalnya para pengurus (PSSI) untuk berbuat sesuatu kepada elemen paling dasar sebuah tim nasional, yakni pemain nasional," kata pengamat sepak bola Indonesia, Min Choi, dalam diskusi Rabu lalu yang diadakan di kantor Redaksi Tabloid BOLA.
Jangan salah kaprah dulu. Tapi, kalau mengingat betapa 'biasa-biasa saja' menjadi pemain nasional di Indonesia, memang sah untuk dipertanyakan. Mengapa bisa terjadi demikian? "Menjadi pemain nasional di Korea, harus melalui perjalanan panjang. Selain tidak mudah, unsur masyarakat juga diikutsertakan. Begitu juga untuk pelatih nasionalnya," kata mantan pemain nasional junior Korsel yang juga koresponden Tabloid BOLA ini menambahkan.
Fasilitas Memadai
"Yang diperoleh si pemain juga luar biasa. Belum soal materi, tapi fasilitas. Kami boleh mengambil kaus atau sepatu bola sebanyak-banyaknya yang memang sudah disediakan KFA. PSSI-nya Korsel," ujarnya. Secara tak sengaja dia pernah menanyakan berapa pasang sepatu untuk Peri Sandria kepada seorang pejabat PSSI beberapa waktu lalu. "Saya kaget, katanya paling banyak cuma tiga pasang. Padahal pemain nasional Korea mendapat 20 pasang. Demikian pula kaus, tas, sampai sandal, lebih dari cukup," tuturnya lagi.
Soal teknis Min Choi juga mengkritik pemilihan pemain nasional dengan menggunakan sistem seleknas. Menurutnya hampir di belahan dunia mana pun, sistem itu sudah tidak digunakan lagi. Belum lagi mengenal fasilitas untuk tim nasional. "Saya baru tahu akhir-akhir ini bahwa salah satu alasan mengapa tim Indonesia selalu pergi ke luar negeri untuk berlatih ternyata adalah karena tidak adanya sarana dan fasilitas yang memadai," tutur pria berkaca mata dengan bahasa Inggris bercampur bahasa Indonesia terpatah-patah.
Banyaknya pengamat yang menyarankan agar kiblat sepak bola Indonesia jangan melulu ke Eropa, mungkin sudah pernah dikumandangkan. Begitu juga para pakar sepak bola di Korsel sendiri. "Ada yang menyarankan sebaiknya Indonesia belajar ke Meksiko, karena persamaan fisik atau suasana," ucapnya lagi diiringi derai senyum.
Berpindah ke bagian inti sepak bola, yakni permainan, wajahnya tampak semakin serius. Satu hal yang menarik, Min Choi juga mengecam permainan tim nasional Indonesia di putaran final Piala Asia yang kini masih berlangsung di Uni Emirat Arab. Tidak punya visi dan pola yang jelas," katanya lirih. "Kalau taktik begitu sih, semua pelatih juga bisa. Namun yang lebih penting bagaimana seorang pelatih mengadu taktik di lapangan dengan pelatih lawan," lanjut Min Choi lagi.
Tidak di klub atau di tim nasional, hal pertama yang dikedepankan adalah bagaimana bermain bola dengan kepuasan. Sesuai filosofi, sesuai strategi, dan sesuai target. Inilah yang menjadi tujuan utama. Begitu juga si pelatih. Urusan menang atau kalah, itu belakangan. "Kalau kalah, ya dibina lagi dan dicari penyebabnya. Ini yang tidak terjadi di negara saya," katanya mengakhiri pembicaraan. Halo PSSI dan rakyat Indonesia, hargailah persepsi atau pendapat orang jika itu untuk kemajuan. Besar hatikah kita menerimanya?
Perlukah tim nasional Piala Asia dirombak? Pasti ada beragam jawaban. Tetapi kami punya pendapat, tim ini tetap perlu disempurnakan. Selain pemain yang mampu bertahan, tim nasional juga perlu pemain yang mampu menyerang. Inilah perbandingan tim nasional Piala Asia 1996 dan tim nasional SEA Games 1997/Pra-Piala Dunia 1998.
Belakang: Sudirman (Bandung Raya); Yeyen Tumena (PSM); Aples Tecuari (Pelita Jaya): Siswandi (Petrokimia); Agung Setyabudi (Arseto); Budiman (Bandung Raya); Ritham Madubun (Persipura)
Tengah: Supriyono (Pelita Jaya); Marzuki Bandriawan (Mitra); Francis Wewengkang (Persma); Anzar Rashak (PSM); Bima Sakti (Helsingborg)
Depan: Chris Yarangga (Persipura); Indriyanto Nugroho (Pelita Jaya); Widodo Putro (Petrokimia); Ronny Wabia (Persipura)
Belakang: Sudirman (Bandung Raya); Agung Setyabudi (Arseto); Surya Lesmana (Bandung Raya); Nuralim (Bandung Raya); Sugiantoro (Persebaya); Aples Tecuari (Pelita Jaya); Aji Santoso (Persebaya); Yeyen Tumena (PSM); Herman Pulalo (Semen Padang)
Tengah: Eri Irianto (Persebaya); Fachri Husaini (PKT); Marzuki Bandriawan (Mitra); Francis Wewengkang (Persma); Ansyari Lubis (Pelita Jaya); Bima Sakti (Helsingborg); Khairil Anwar (Persebaya)
Depan: Widodo Putro (Petrokimia); Ronny Wabia (Persipura); Rocky Putiray (Arseto); Kurniawan Dwi Yulianto (Pelita Jaya)
(foto: asiafootballfiles/diegomaradonagroup/pssi/istimewa/sesaa/soccermon)
Sepak bola dilahirkan ketika Inggris memasuki era The Great Empire - puncak rangkaian sukses Revolusi Industri kesekian setelah ditemukannya Mesin Uap oleh James Watt pada 1775 - sedang menguasai seluk beluk dunia mulai dari ekonomi, iptek, penjelajahan, berbagai multi-industri, bisnis, angkatan perang, sanitasi, kereta api, dan masih banyak lagi termasuk olah raga.
Benang merahnya dengan Netherland karena secara politis saat itu Belanda menjadi wilayah taklukan sekaligus sahabat bisnis Inggris yang sulit dikutak-katik. Belanda punya bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah korporasi bisnis raksasa internasional yang sudah berdiri sejak 20 Maret 1602. Belanda juga jadi negeri rebutan antara dua kekuatan super power dunia saat itu, Inggris dan Prancis.
Secara kultural dan kepentingan, Belanda lebih cocok dengan Inggris ketimbang dengan kekaisaran Napoleon Bonaparte. Untuk itulah persahabatan Belanda dan Inggris - yang sama-sama terkenal sangat administratif - pun menjelma ke segala aspek kehidupan termasuk di olah raga, dalam hal ini sepak bola.
Singkat cerita, berkat Belanda pula beberapa pribumi yang pintar-pintar dan menurut pada kemauan Belanda akhirnya bisa tampil di Piala Dunia 1938. Sayangnya nama Indonesia belum ada waktu itu. Namun begitu, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) sudah mengakui bahwa negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia adalah Indonesia. Semoga FIFA cepat atau lambat akan mengakuinya juga.
Di belahan lain, sebenarnya India juga sejajar dengan Indonesia lantaran dijajah langsung oleh Inggris. Namun akibat kultur dan tradisi yang jauh lebih 'keriting' dibanding Indonesia, sepak bola sulit berkembang di sana. Satu hal saja, saat itu 90 persen rakyat India tidak suka memakai alas kaki. Padahal main bola orang harus memakai sepatu. Itulah India.
Tinggal Penderitaan
Tim nasional Indonesia di era 1930-an. |
Di era itu, sementara di semenanjung Korea sedang terjadi Perang Saudara, Indonesia - asal mau dan punya ambisi - sebenarnya berpeluang lagi tampil di Piala Dunia 1954, 1958, 1962, dan 1966. Namun sepak bola saat itu terjamah oleh infiltrasi politik yang tajam serta membelenggu hingga menutupi akal sehat. Nasionalisme harus dikembangkan oleh politik dan diplomasi, bukan oleh sebuah permainan bernama sepak bola.
Hari ini tinggallah 'penderitaan' dirasakan berbagai pihak, terutama masyarakat, melihat sepak bola telah menjadi simbol kebangkitan nasionalisme, kemajuan industri atau peradaban. Maaf, hanya negara-negara yang berperadaban tinggi yang biasanya menjadi juara. Juara apa saja, mulai regional, kontinental, sampai internasional entah itu terkuat di benuanya, olimpiade, atau Piala Dunia.
Mumpung sedang berlangsung Piala Asia 1996 di UEA, di mana Indonesia ikut serta, sebuah diskusi tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan digelar di kantor Redaksi Tabloid BOLA dengan nara sumber utama, seorang pelakon sepak bola yang berasal dari Korea Selatan, negeri yang barusan kita bahas itu.
Menit ke menit berlangsung, hingga tahun demi tahun, akhirnya disadari bahwa sungguh jauh perbedaan sepak bola Korea Selatan dan Indonesia sekarang ini. Tolok ukur resmi pun ada. Dari daftar resmi ranking FIFA edisi November lalu, Korea Selatan menempati urutan 45 dunia. Sedangkan Indonesia di urutan 117! Ke depan kita tidak tahu. Yang pasti ada 230-an negara yang terdaftar di FIFA. Amit-amit kalau suatu saat Indonesia berada di kepala dua ratusan. Astagfirullah.
Liga Korea
Tim nasional Korea Selatan di era 1950-an. |
"Awalnya Liga Korea cuma di ikuti enam klub. Namun itu sudah cukup membuat suasana baru pada persepak-bolaan kami selama tiga tahun," tuturnya penuh empati. Lalu ketika mereka menjadi semifinalis Kejuaraan Dunia Junior 1983, ambisi KFA makin menyeruak. Mereka menyebar para pelatih lokal ke negara-negara Eropa dan Amerika Latin untuk menyerap ilmu yang kelak akan disatukan oleh filosofi permainan mereka.
Tim nasional Indonesia 1985. |
Aksi Korea Selatan di Piala Dunia 1986. |
Hingga kini, kompetisi liga memang cuma diikuti oleh 9 klub saja - pada musim 1997/98 akan menjadi 10 klub - namun itulah taktik KFA untuk menjaga kualitas permainan agar kompetitif, yang tujuan utamanya adalah membentuk sebuah tim nasional yang tangguh. "Di Liga Korea, setiap pekan ada pemilihan sebelas pemain terbaik, wasit terbaik, pelatih terbaik, dan lainnya yang berguna sebagai masukan untuk tim nasional," tutur Min Choi.
Barangkali kita harus belajar apa yang dipelajari Korea dulu, cara mengorganisasinya. Jangan melihat Argentina, Belanda, atau Inggris. Dunia tak selebar daun kelor, demikian bunyi sebuah pepatah Betawi. Ternyata ini juga cocok untuk mengistilahkan parahnya kondisi tim nasional Indonesia. Bayangkan bukan saja kita, masyarakat Indonesia, sudah mengetahuinya tapi juga negara lain.
Tim nasional Korea Selatan 1985. |
Jangan salah kaprah dulu. Tapi, kalau mengingat betapa 'biasa-biasa saja' menjadi pemain nasional di Indonesia, memang sah untuk dipertanyakan. Mengapa bisa terjadi demikian? "Menjadi pemain nasional di Korea, harus melalui perjalanan panjang. Selain tidak mudah, unsur masyarakat juga diikutsertakan. Begitu juga untuk pelatih nasionalnya," kata mantan pemain nasional junior Korsel yang juga koresponden Tabloid BOLA ini menambahkan.
Fasilitas Memadai
Tim nasional Korea Selatan 1996. |
Soal teknis Min Choi juga mengkritik pemilihan pemain nasional dengan menggunakan sistem seleknas. Menurutnya hampir di belahan dunia mana pun, sistem itu sudah tidak digunakan lagi. Belum lagi mengenal fasilitas untuk tim nasional. "Saya baru tahu akhir-akhir ini bahwa salah satu alasan mengapa tim Indonesia selalu pergi ke luar negeri untuk berlatih ternyata adalah karena tidak adanya sarana dan fasilitas yang memadai," tutur pria berkaca mata dengan bahasa Inggris bercampur bahasa Indonesia terpatah-patah.
Banyaknya pengamat yang menyarankan agar kiblat sepak bola Indonesia jangan melulu ke Eropa, mungkin sudah pernah dikumandangkan. Begitu juga para pakar sepak bola di Korsel sendiri. "Ada yang menyarankan sebaiknya Indonesia belajar ke Meksiko, karena persamaan fisik atau suasana," ucapnya lagi diiringi derai senyum.
Berpindah ke bagian inti sepak bola, yakni permainan, wajahnya tampak semakin serius. Satu hal yang menarik, Min Choi juga mengecam permainan tim nasional Indonesia di putaran final Piala Asia yang kini masih berlangsung di Uni Emirat Arab. Tidak punya visi dan pola yang jelas," katanya lirih. "Kalau taktik begitu sih, semua pelatih juga bisa. Namun yang lebih penting bagaimana seorang pelatih mengadu taktik di lapangan dengan pelatih lawan," lanjut Min Choi lagi.
Tidak di klub atau di tim nasional, hal pertama yang dikedepankan adalah bagaimana bermain bola dengan kepuasan. Sesuai filosofi, sesuai strategi, dan sesuai target. Inilah yang menjadi tujuan utama. Begitu juga si pelatih. Urusan menang atau kalah, itu belakangan. "Kalau kalah, ya dibina lagi dan dicari penyebabnya. Ini yang tidak terjadi di negara saya," katanya mengakhiri pembicaraan. Halo PSSI dan rakyat Indonesia, hargailah persepsi atau pendapat orang jika itu untuk kemajuan. Besar hatikah kita menerimanya?
Mana Tim Nasional Yang Ideal?
Tim nasional Indonesia 1996. |
PIALA ASIA 1996
Kiper: Kurnia Sandy (Sampdoria); Hendro Kartiko (Mitra); Abdillah (Assyabaab)Belakang: Sudirman (Bandung Raya); Yeyen Tumena (PSM); Aples Tecuari (Pelita Jaya): Siswandi (Petrokimia); Agung Setyabudi (Arseto); Budiman (Bandung Raya); Ritham Madubun (Persipura)
Tengah: Supriyono (Pelita Jaya); Marzuki Bandriawan (Mitra); Francis Wewengkang (Persma); Anzar Rashak (PSM); Bima Sakti (Helsingborg)
Depan: Chris Yarangga (Persipura); Indriyanto Nugroho (Pelita Jaya); Widodo Putro (Petrokimia); Ronny Wabia (Persipura)
SEA GAMES 1997/PRA PIALA DUNIA 1998
Kiper: Kurnia Sandy (Sampdoria); Listyanto Raharjo (Pelita Jaya); Hendro Kartiko (Mitra)Belakang: Sudirman (Bandung Raya); Agung Setyabudi (Arseto); Surya Lesmana (Bandung Raya); Nuralim (Bandung Raya); Sugiantoro (Persebaya); Aples Tecuari (Pelita Jaya); Aji Santoso (Persebaya); Yeyen Tumena (PSM); Herman Pulalo (Semen Padang)
Tengah: Eri Irianto (Persebaya); Fachri Husaini (PKT); Marzuki Bandriawan (Mitra); Francis Wewengkang (Persma); Ansyari Lubis (Pelita Jaya); Bima Sakti (Helsingborg); Khairil Anwar (Persebaya)
Depan: Widodo Putro (Petrokimia); Ronny Wabia (Persipura); Rocky Putiray (Arseto); Kurniawan Dwi Yulianto (Pelita Jaya)
(foto: asiafootballfiles/diegomaradonagroup/pssi/istimewa/sesaa/soccermon)