Dibanding tahun-tahun sebelumnya, perjalanan tugas saya di 1997 jauh lebih berwarna dan yang pasti lebih menantang, meski hanya dua kali keliling mengunjungi empat negara yang semuanya bule. Jerman, Polandia, Prancis, dan Australia.
Di Jerman saya menyaksikan runtuhnya keperkasaan juara bertahan Juventus oleh Borussia Dortmund di final Liga Champion. Tapi kisah paling sensasional terjadi saat saya meliput Polandia vs Inggris dalam lanjutan Pra-Piala Dunia Grup 2 Zona Eropa di Katowice, sebuah kota kecil yang jauh dari ibukota Warszawa.
Belum lagi menginjak jalanan Katowice, saya sempat 'debat kusir' dengan seorang pria cepak berseragam yang ada di konter bagian imigrasi bandara. Karena banyak salah tafsir, tiba-tiba dia berdiri, keluar dari sangkarnya dan mengajak saya masuk ke dalam. Lho ada apa ini? Datanglah pria berseragam seperti tentara. Saya curiga, pasti ada yang tidak beres.
Paspor Republik Indonesia itu diserahkan kepadanya. Saya lihat belum diberi cap imigrasi Polandia. Hmm, tampaknya ini bakal jadi masalah. Benar saja. Sialnya aparat di bandara Katowice itu tidak becus Inggris sama sekali. Baik menjelaskan maupun menjawab pertanyaan saya. Bak melihat batu meteor yang jatuh dari langit, ia membolak-balik dan menyortir halaman demi halaman paspor. Entah takjub atau heran, saya tidak mau tahu. Lalu terjadi kembali debat kusir jilid 2.
Tampaknya dia merasa bakal mempertaruhkan karier atau keselamatan keluarganya jika memberi cap di paspor saya. Ada pasal sesungguhnya? Sungguh tidak jelas. Saya ngotot habis dengan sang petugas sebab undangan berupa faks langsung dari PZPN (PSSI-nya Polandia) yang saya bawa dari Jakarta, dan ditandatangani sekretaris PSPN, yang jelas-jelas namanya berbau Polski, tidak digubris.
Saya juga panjang lebar menjelaskan profesi dan tugas saya datang ke kotanya, termasuk mengingatkan dia bahwa dua hari lagi tim nasional mereka, Biale Orly (Elang Putih), akan bertanding dengan Inggris di Stadion Slaski. Ternyata tidak mempan. Bicara ngalor-ngidul tentang legenda sepak bola mereka seperti Grzegorz Lato, Kazimierz Deyna, Jan Tomaszewski, atau Zbigniew Boniek, juga sama saja. Sial.
Bahkan mencoba joke dengan mengatakan bendera negara kita mirip cuma terbalik. Juga masih kebal. Komplit sudah. Merasakan situasi begitu, siapapun pasti nyolot. Namun saya memahami, setiap negara punya peraturan tersendiri. Akhirnya dia menyuruh saya menunggu selama 15 menit-an. Paspor saya dibawanya. Namun ketika balik lagi, yang muncul seperti semula: terjadi debat kusir lagi.
Simpang Auschwitz
Malah kali ini saya makin senewen sebab dia meminta menggeledah tas yang saya selempangkan di badan saya. Oke. Matanya jelalatan melihat isi tas: notes, pulpen, handphone Nokia 'pisang' 6110 yang membuat dia takjub, lalu beberapa lembar dolar AS, kaca mata, kamera pocket, recorder, dan berbagai kartu identitas serta surat undangan dari PZPN.
Saya perhatikan bandara yang tadinya ada lalu lalang orang-orang telah berubah menjadi seperti penjara. Dingin, senyap, dan sekeliling tembok semua, tanpa pajangan, poster, atau apalah. Saya jadi merasa seperti dibui. Tapi terus terang, saya tidak takut kecuali kecewa saja karena baru ingat saya belum mencari hotel yang alamatnya sudah saya catat. Juga sedikit risau lantaran paspor saya dibawa entah kemana oleh si Mas-Mas cepak itu. Apa jadinya terkatung-katung di negeri aneh, pikir saya.
Di saat menunggu sendirian, sambil menikmati pengalaman baru itu, datanglah harapan. Kali ini seorang wanita muda, parasnya rada molek dan berambut pendek. Tanpa senyum, dia menyerahkan paspor itu kepada saya. Aneh, kok tiba-tiba lancar. Langsung saya tanya kenapa ini semua? "Kami kaget melihat paspor Indonezja," kata si Mbak yang rupanya paling lumayan bicara bahasa Inggris. Dia juga bilang, urusan jadi lama karena mereka harus menelpon orang-orang PZPN di kantornya di Warszawa.
Hah?! Rupanya hal itu yang jadi penyebabnya. Petugas bandara kaget karena untuk pertama kali ada paspor Indonesia 'nyangkut' di bandara yang sepi itu setelah bertahun-tahun. Jangan-jangan puluhan tahun. Nama Indonezja sih tidak asing, namun gambar burung Garuda di paspor Indonesia yang mirip dengan burung elang lambang negara Polandia, jelas bikin bingung si Mas-Mas petugas tadi.
Sambil berlaga sok akrab, agar urusan bagasi jadi lancar, saya menanyakan apa-apa tentang kota Katowice. Namun saya melihat dari kejauhan koper saya tergolek rapi di pojokan. Sempat curiga, digeledahkah oleh mereka? Kalaupun digeledah ya silakan saka karena isinya tidak ada yang aneh, kecuali mungkin beberapa bungkus rokok kretek. Setelah diperiksa, ternyata tidak. Syukurlah.
Kisah di Katowice masih berlanjut. Waktu menuju hotel dengan naik taksi tua bermerek Moskvitch - mobil buatan Rusia - saya ternyata melalui persimpangan yang akan menuju Auschwitz, kamp konsentrasi milik Nazi saat Perang Dunia II yang menjadi tempat pembantaian warga Yahudi. Saya melihat papan penunjuk arahnya.
Saya sungguh terpana, tergugah, dan tak sadar bilang, "Oh Auschwitz!" Celakanya Pak Tua yang menyopiri saya mendengarnya. Tiba-tiba saja dia mengerem, mundur, sambil bilang dengan bahasa Jerman yang saya tak mengerti. Tampaknya dia yakin saya mau pergi ke Auschwitz. Melihat gelagat begitu, langsung saya bilang "No, No, No!" Namun dia masih bicara yang sama sekali tidak saya mengerti. Dengan sedikit paksaan sambil bilang alamat hotel yang mesti dituju, barulah dia menurut.
Episode menegangkan di Polandia masih belum tuntas. Akibat terbayang-bayang kisah sadis Auschwitz, di Katowice saya sering menemui orang-orang berwajah dingin mirip di film Schlindler List, sedingin udaranya yang menusuk tulang. Tidak banyak bicara, namun sering menatap dalam-dalam. Singkat kata, buat saya Polandia merupakan pengalaman meliput yang paling dramatis.
Pada catatan perjalanan pada Mei-Juni 1997, saya menulis agak lengkap kisah lengkap pengalaman saya berada di 'kota mati' Katowice serta kesan-kesan meliput sepak bola di negeri yang pada awal 1980-an memunculkan Lech Walesa, tokoh Gerakan Solidaritas dari galangan kapal di Gdansk itu.
Namun mengenang itu semua saya sangat senang dan bahagia sekaligus menyesal tidak berfoto di persimpangan Auschwitz. Sehabis dari negeri bernama resmi Rzeczypospolitej Polskiej itu saya terbang ke Lyon, Prancis, untuk meliput Tournoi de France.
Di sini saya juga punya pengalaman hebat, diantaranya adalah menjadi saksi langsung kehebatan tendangan melengkung Roberto Carlos ke gawang Les Bleus yang dianggap The Greatest Freekick In The World. Semakin luar biasa arahnya lantaran saya berada di belakang gawang Brasil yang dijaga Claudio Taffarel! Di Prancis saya mewawancarai Paolo Maldini. Di tahun ini tugas pamungkas saya diakhiri ke Melbourne, meliput play-off Australia vs Iran di Melbourne, pada November 1997.
(dokumentasi: arief natakusumah)
Di Jerman saya menyaksikan runtuhnya keperkasaan juara bertahan Juventus oleh Borussia Dortmund di final Liga Champion. Tapi kisah paling sensasional terjadi saat saya meliput Polandia vs Inggris dalam lanjutan Pra-Piala Dunia Grup 2 Zona Eropa di Katowice, sebuah kota kecil yang jauh dari ibukota Warszawa.
Belum lagi menginjak jalanan Katowice, saya sempat 'debat kusir' dengan seorang pria cepak berseragam yang ada di konter bagian imigrasi bandara. Karena banyak salah tafsir, tiba-tiba dia berdiri, keluar dari sangkarnya dan mengajak saya masuk ke dalam. Lho ada apa ini? Datanglah pria berseragam seperti tentara. Saya curiga, pasti ada yang tidak beres.
Paspor Republik Indonesia itu diserahkan kepadanya. Saya lihat belum diberi cap imigrasi Polandia. Hmm, tampaknya ini bakal jadi masalah. Benar saja. Sialnya aparat di bandara Katowice itu tidak becus Inggris sama sekali. Baik menjelaskan maupun menjawab pertanyaan saya. Bak melihat batu meteor yang jatuh dari langit, ia membolak-balik dan menyortir halaman demi halaman paspor. Entah takjub atau heran, saya tidak mau tahu. Lalu terjadi kembali debat kusir jilid 2.
Tampaknya dia merasa bakal mempertaruhkan karier atau keselamatan keluarganya jika memberi cap di paspor saya. Ada pasal sesungguhnya? Sungguh tidak jelas. Saya ngotot habis dengan sang petugas sebab undangan berupa faks langsung dari PZPN (PSSI-nya Polandia) yang saya bawa dari Jakarta, dan ditandatangani sekretaris PSPN, yang jelas-jelas namanya berbau Polski, tidak digubris.
Saya juga panjang lebar menjelaskan profesi dan tugas saya datang ke kotanya, termasuk mengingatkan dia bahwa dua hari lagi tim nasional mereka, Biale Orly (Elang Putih), akan bertanding dengan Inggris di Stadion Slaski. Ternyata tidak mempan. Bicara ngalor-ngidul tentang legenda sepak bola mereka seperti Grzegorz Lato, Kazimierz Deyna, Jan Tomaszewski, atau Zbigniew Boniek, juga sama saja. Sial.
Bahkan mencoba joke dengan mengatakan bendera negara kita mirip cuma terbalik. Juga masih kebal. Komplit sudah. Merasakan situasi begitu, siapapun pasti nyolot. Namun saya memahami, setiap negara punya peraturan tersendiri. Akhirnya dia menyuruh saya menunggu selama 15 menit-an. Paspor saya dibawanya. Namun ketika balik lagi, yang muncul seperti semula: terjadi debat kusir lagi.
Simpang Auschwitz
Malah kali ini saya makin senewen sebab dia meminta menggeledah tas yang saya selempangkan di badan saya. Oke. Matanya jelalatan melihat isi tas: notes, pulpen, handphone Nokia 'pisang' 6110 yang membuat dia takjub, lalu beberapa lembar dolar AS, kaca mata, kamera pocket, recorder, dan berbagai kartu identitas serta surat undangan dari PZPN.
Saya perhatikan bandara yang tadinya ada lalu lalang orang-orang telah berubah menjadi seperti penjara. Dingin, senyap, dan sekeliling tembok semua, tanpa pajangan, poster, atau apalah. Saya jadi merasa seperti dibui. Tapi terus terang, saya tidak takut kecuali kecewa saja karena baru ingat saya belum mencari hotel yang alamatnya sudah saya catat. Juga sedikit risau lantaran paspor saya dibawa entah kemana oleh si Mas-Mas cepak itu. Apa jadinya terkatung-katung di negeri aneh, pikir saya.
Di saat menunggu sendirian, sambil menikmati pengalaman baru itu, datanglah harapan. Kali ini seorang wanita muda, parasnya rada molek dan berambut pendek. Tanpa senyum, dia menyerahkan paspor itu kepada saya. Aneh, kok tiba-tiba lancar. Langsung saya tanya kenapa ini semua? "Kami kaget melihat paspor Indonezja," kata si Mbak yang rupanya paling lumayan bicara bahasa Inggris. Dia juga bilang, urusan jadi lama karena mereka harus menelpon orang-orang PZPN di kantornya di Warszawa.
Hah?! Rupanya hal itu yang jadi penyebabnya. Petugas bandara kaget karena untuk pertama kali ada paspor Indonesia 'nyangkut' di bandara yang sepi itu setelah bertahun-tahun. Jangan-jangan puluhan tahun. Nama Indonezja sih tidak asing, namun gambar burung Garuda di paspor Indonesia yang mirip dengan burung elang lambang negara Polandia, jelas bikin bingung si Mas-Mas petugas tadi.
Sambil berlaga sok akrab, agar urusan bagasi jadi lancar, saya menanyakan apa-apa tentang kota Katowice. Namun saya melihat dari kejauhan koper saya tergolek rapi di pojokan. Sempat curiga, digeledahkah oleh mereka? Kalaupun digeledah ya silakan saka karena isinya tidak ada yang aneh, kecuali mungkin beberapa bungkus rokok kretek. Setelah diperiksa, ternyata tidak. Syukurlah.
Kisah di Katowice masih berlanjut. Waktu menuju hotel dengan naik taksi tua bermerek Moskvitch - mobil buatan Rusia - saya ternyata melalui persimpangan yang akan menuju Auschwitz, kamp konsentrasi milik Nazi saat Perang Dunia II yang menjadi tempat pembantaian warga Yahudi. Saya melihat papan penunjuk arahnya.
Saya sungguh terpana, tergugah, dan tak sadar bilang, "Oh Auschwitz!" Celakanya Pak Tua yang menyopiri saya mendengarnya. Tiba-tiba saja dia mengerem, mundur, sambil bilang dengan bahasa Jerman yang saya tak mengerti. Tampaknya dia yakin saya mau pergi ke Auschwitz. Melihat gelagat begitu, langsung saya bilang "No, No, No!" Namun dia masih bicara yang sama sekali tidak saya mengerti. Dengan sedikit paksaan sambil bilang alamat hotel yang mesti dituju, barulah dia menurut.
Episode menegangkan di Polandia masih belum tuntas. Akibat terbayang-bayang kisah sadis Auschwitz, di Katowice saya sering menemui orang-orang berwajah dingin mirip di film Schlindler List, sedingin udaranya yang menusuk tulang. Tidak banyak bicara, namun sering menatap dalam-dalam. Singkat kata, buat saya Polandia merupakan pengalaman meliput yang paling dramatis.
Pada catatan perjalanan pada Mei-Juni 1997, saya menulis agak lengkap kisah lengkap pengalaman saya berada di 'kota mati' Katowice serta kesan-kesan meliput sepak bola di negeri yang pada awal 1980-an memunculkan Lech Walesa, tokoh Gerakan Solidaritas dari galangan kapal di Gdansk itu.
Namun mengenang itu semua saya sangat senang dan bahagia sekaligus menyesal tidak berfoto di persimpangan Auschwitz. Sehabis dari negeri bernama resmi Rzeczypospolitej Polskiej itu saya terbang ke Lyon, Prancis, untuk meliput Tournoi de France.
Di sini saya juga punya pengalaman hebat, diantaranya adalah menjadi saksi langsung kehebatan tendangan melengkung Roberto Carlos ke gawang Les Bleus yang dianggap The Greatest Freekick In The World. Semakin luar biasa arahnya lantaran saya berada di belakang gawang Brasil yang dijaga Claudio Taffarel! Di Prancis saya mewawancarai Paolo Maldini. Di tahun ini tugas pamungkas saya diakhiri ke Melbourne, meliput play-off Australia vs Iran di Melbourne, pada November 1997.
(dokumentasi: arief natakusumah)