Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.
Jika Anda seorang delegasi dari klub atau wakil dari perusahaan apparel ternama, yang datang dengan jas rapih dan licin, maka sulit menduga bahwa mitra yang akan Anda temui sedang menjilati es krim atau tengah sibuk dengan smart-phone-nya. Pria setengah baya ini berambut tipis, rada tambun, dan mengenakan jeans dan t-shirts. Arena pertemuannya juga di ruang terbuka, di lapak-lapak cafe pinggiran jalan.
Dibanding Pini Zahavi, Frank Arnesen, atau Jorge Mendes, apalagi dengan Luciano Moggi, terus terang nama yang satu ini ibaratnya masih bau kencur. Namanya juga sering tertutupi oleh kiprah Darren Dein, Pere Guardiola, Volker Struth, atau Thomas Kroth yang terbilang kompeten dan meyakinkan. Tapi itu dulu.
Sekarang ceritanya beda banget. Tiba-tiba saja seorang Carmine ‘Mino’ Raiola (50), pria gendut ber-KTP ganda Italia dan Belanda, mampu menyaingi sepak terjang tiga super-agent Jonathan Barnett, Jerome Anderson, atau Barry Silkman. Jadi apa? Sebagai makelar alias calo, atau mak comblang, kurir, juru sambung, biro jodoh di sepak bola atau yang dikenal keren sebagai agen pemain.
Apakah kemampuan Raiola bertujuh bahasa secara fasih; Italia, Inggris, Jerman, Spanyol, Prancis, Portugal, dan tentu Belanda, yang menjadi modal terkuat bakatnya? Boleh jadi. Namun jawaban terkuatnya dan yang sebenarnya adalah kelihaian pergaulannya. Terus terobsesi dengan sepak bola adalah katalisator utama. Dan menjadi pecundang sebagai pemain di waktu mudanya, ditambah dengan latar belakang pekerjaan yang mengharuskan mengenal dan ngoceh dengan banyak orang, lambat laun mengubahnya dari nothing menjadi something bahkan anything.
Makanya sah atau tidak, sekarang ini Mino Raiola dianggap sebagai the most powerful agent in world football. Sebagian lagi melabelinya dengan negosiator ulung yang terlalu cerewet dan bergaya represif. Malahan beberapa media massa dunia yang memelototi hal ihwal sekecil-kecilnya di sepak bola menjulukinya si jenius. Bahkan seorang bekas pesaingnya, yang pernah bertahun-tahun adu ilmu, akhirnya mengakui kehebatan Raiola, lantas mencapnya dengan bombastis sebagai 'Donald Trump'-nya sepak bola dunia. Anda tahu 'kan karakter orang ini?
Dengan deretan klien kelas kakap yang tak asing mendengarnya, sebut saja Paul Pogba, Romelu Lukaku, Henrikh Mkhitaryan, Marco Veratti, Gianluigi Donnarumma, atau Mario Balotelli, jelas bin jelas Raiola punya amunisi hebat nan kuat untuk bertempur atau mengarungi liarnya belantara jual beli sepak bola dunia. Apalagi di masa lalunya, ketika baru menapakkan kaki di dunia agen pesepak bola, dia juga punya referensi yang cukup meyakinkan banyak pihak.
Di sepanjang 1992-1996, dengan beruntun Raiola sanggup menggaet deretan bintang Ajax Amsterdam seperti Bryan Roy (ke Foggia, 1992), Marciano Vink (Genoa, 1993), duet Wim Jonk dan Dennis Bergkamp (Internazionale, 1993) dan Michel Kreek (Padova, 1994). Pemain non-Belanda pertama yang diciduknya masuk ke bumi Serie A adalah Pavel Nedved, dari Sparta Praha ke Lazio dengan rekor transfer. Malahan di sekali waktu, kiprah pertamanya bergumul di dunia transfer, dipenuhi risiko besar tatkala berani memakelari bintang bengal Frank Rijkaard yang sedang ribut kontrak dengan Ajax Amsterdam.
Waktu itu Raiola bertugas membawa sang gelandang ke AC Milan pada Januari 1988. Namun karena tak punya jaringan kuat di Serie A yang dipenuhi bandit-bandit ternama jual-beli pemain, Rijkaard justru diparkirnya dulu di klub Liga Primera Portugal, Sporting Lisbon, sebelum ‘dipindahkan’ ke klub La Liga, Real Zaragoza. Apapun yang dilakukan Raiola, Rijkaard setuju saja yang penting asal hengkang dari Ajax. Uniknya, tugas Raiola hanya itu. Ketika Rijkaard akhirnya resmi bergabung ke Milan di 1988/89, dia sudah tidak berkepentingan lagi. Entah kenapa sejak awal Raiola punya jaringan di Portugal. Barangkali level dan tensi kompetisinya tidak seheboh Serie A atau La Liga.
Sejak berani melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh agen yang sudah punya reputasi pada umumnya, masa depan Raiola bisa dibilang bakalan cerah. Dari bumi Portugal pula pundi-pundinya mulai terisi tatkala dia jadi mak comblang deretan bintang jawara Liga Champion 2003/04, FC Porto. Malahan selain Ricardo Carvalho, Paulo Ferreira, Tiago Mendes, atau Maniche, Raiola juga sukses melicinkan jalan pelatihnya, Jose Mourinho, masuk ke Inggris untuk bergabung ke Chelsea, klub Premier League yang mendadak tajir setelah dibeli Roman Abramovich.
Sekarang 17 klien yang pernah dan sedang digarapnya barangkali hampir Anda dengar. Ada 15 pemain, satu pelatih, dan satu eksekutif klub. Mereka adalah Zdenek Grygera, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, Paul Pogba, Romelu Lukaku, Felipe Mattioni, Robinho, Mario Balotelli, Maxwell, Kerlon, Etienne Capoue, Blaise Matuidi, Gregory van der Wiel, Bartosz Salamon, Gianluigi Donnarumma, Moise Kean, Marco Verratti, Martin Jol (pelatih), Pavel Nedved (eksekutif klub).
Masa lalu yang penuh risiko, kerja keras, dan pantang menyerah, kini telah mengubahnya menjadi salah orang yang bisa mempengaruhi kejayaan sebuah klub. Pada 2008 misalnya, dia pernah dua kali diinvestigasi oleh FIGC (PSSI-nya Italia) untuk pelanggaran norma-norma kepatutan dalam mercato.
Walau tinggal di kota termahal biaya hidupnya di Eropa, Monako, namun penampilan Raiola jauh dari perkiraan rata-rata orang. Dia begitu humble, selalu santai bin non-formal, meski dengan jins dan berkaus oblong sering memperlihatkan betapa buncit perutnya. Semakin aneh ketika dia sering menghampiri kliennya dengan memakai training-suite. Memang pria kelahiran Salerno, 4 November 1967 ini tidak butuh penampilan yang fashionable seperti halnya Mendes atau Barnett yang selalu berjas. Yang dibutuhkan, sekaligus yang selalu dibidik adalah deal, closing, alias memastikan kliennya dapat klub baru.
Darah Napoli
Pikiran tajamnya bagaimana menggangsir uang dari kaki-kaki pesepak bola barangkali terasah sejak jadi anak muda kreatif di akhir 1980-an. Ketika bapaknya, yang orang Italia, bikin restoran pizza dan pasta di kampung istrinya yang Belanda tulen, Raiola langsung kebagian jatah pekerjaan: sebagai pelayan. Di saat yang sama sembari bekerja, dia sempat masuk Fakultas Hukum usai lulus SMA. Tapi akibat keranjingan mencari duit, Raiola pun rela drop-out.
Demi ingin menemukan uang besar dan cepat pula, perjalanan kariernya sebagai pesepak bola amblas. Pada tahun 1987, di usia belia 18 tahun, dia mengajukan diri resign sebagai pemain bola FC Haarlem namun anehnya segera melamar menjadi pelatih tim junior! Tentu saja hal itu jadi tertawaan banyak pihak.
Di restoran yang pangsa pasarnya rada tinggi itu, lama-kelamaan dia keseringan jumpa dan berbasa-basi sekalian nguping obrolan deretan mahluk-mahluk aktif di sepak bola yang kerap menyatroni restoran bapaknya. Bertemulah dia dengan macam-macam orang, mulai dari pemain kapiran sampai bintang hebat, pelatih, eksekutif klub, sampai para makelar. Dia mulai bekerja di Sports Promotions, sebuah perusahaan agen olah raga, dan membantu transfer beberapa pemain Belanda berprofil tinggi ke klub-klub Italia.
Sadar bisa melakukan sendiri lantaran dibayangi oleh keuntungan jauh lebih besar dan bekerja lebih bebas, tak lama berselang dia memutuskan untuk meninggalkan perusahaan dan memulai bisnisnya sendiri. Transfer besar independen pertamanya adalah penandatanganan Nedved dari Sparta Praha ke Lazio, menyusul penampilannya yang mengesankan di EURO‘96, di mana Republik Ceko mampu menembus babak final.
Dan pada Juli 2017, dia melakoni transfer besar terakhirnya yang kelak akan menguatkan posisi Manchester United ke tangga juar Premier League 2017/18. Sukses ‘memindahkan’ Lukaku dari Everton ke Manchester United dengan harga selangit, 75 juta pound, tak pelak kian menancapkan reputasi Raiola.
Kejadian di bulan Juli 2017 ini sontak mengubah satu rekor baru transfer sesama klub Premier League. Musim sebelumnya, dia juga sukses memaksa Manchester United merogoh kocek kelewat dalam, 105 juta euro, hanya untuk membeli seorang gelandang enerjik yang dulu dengan gratis dilepehkannya, yang kemudian dicomot Juventus: Paul Pogba.
Pertautan Raiola, Pogba, dan Lukaku dalam kerjasama bisnis dan juga pertemanan yang terbina jauh sebelum kedua transfer top itu terjadi, menyadarkan banyak pihak bahwa relasi yang spesial merupakan kunci rahasia sukses di dunia transfer, terutama buat orang yang bersosialita tinggi macam Raiola.
Coba tengok ke tetangga sebelah, di mana seorang Arsene Wenger justru keseringan gagal mendapat pemain lantaran pembawaan, gaya, dan cara-cara yang formal justru bikin kaku dalam negosiasi. Makanya, dia tidak bakalan cocok duduk satu meja dengan Wenger. Beda pendekatan dan sudut pandang. Bisa dipastikan, tidak ada dan tidak pernah bakal ada pemain Raiola yang main di Arsenal, selama Wenger masih bercokol di sana.
Selain Mkhitaryan (Armenia) dan Balotelli (Italia), Raiola juga menjadi dalang buat deretan wayangnya yang nilainya berbobot; Zlatan Ibrahimovic (Swedia) dan Blaise Matuidi (Prancis). Dua terakhir ini sukses diparkir lama di Paris Saint-German. Beberapa pers Eropa menyebut, di musim 2016/17 Raiola sukses merogoh 40 juta pound uang Manchester United ke kas pribadinya untuk transfer Pogba. Belum lagi fee dari pembelian Ibrahimovic dan Mkhitaryan di saat yang sama. Sementara tiga klub top Eropa yang jadi kliennya adalah AC Milan, Manchester United, Juventus, dan Internazionale.
Potongan fragmen transfer window paling indah yang penuh drama selalu dikenangnya. Nedved, Ibra, Pogba, dan Lukaku. Di usia 50 tahun, Raiola meraih puncak reputasi sekaligus kekayaan dalam karier panjangnya. Siapa sebenarnya Raiola? Asal tahu saja, dia itu dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana di Haarlem, Belanda, yang hanya mengandalkan pemasukan rutin dari restoran pizza nan asri bernama Ristorante Napoli.
“Beberapa pengurus FC Haarlem sering makan pizza, setidaknya sepekan sekali di restoran bapaknya,” sebut Edwin Struis, seorang jurnalis lepas untuk koran lokal di Haarlem awal 1990-an, mulai membuka tabir Raiola.
“Dasar orangnya bawel, dia terus saja ngoceh di hadapan orang-orang yang puluhan tahun mengurusi bola, meski para pendengarnya mungkin pada membatin ‘ah sok tahu’. Akhirnya di suatu kali, karena keseringan berdiskusi dengan orang-orang kapabel, mereka berkata ‘Karena Anda tahu banyak keadaan, kenapa Anda tidak masuk bergabung ke dewan direksi klub saja?” papar Struis menceritakan sebuah kisah yang didengarnya langsung.
Pintu yang terkunci rapat itu pun lama-lama mulai terbuka. Di suatu waktu Raiola beneran bekerja di FC Haarlem sebagai direktur teknik! Dia punya banyak ide liar tapi bagus, terutama untuk kerjasama bakat dan transfer pemain. Klub Italia yang langsung dijalinnya tidak main-main, Napoli! Kenapa Napoli? Selain mereka klub top yang dikenal amat tradisional, juga karena bapaknya berasal dari daerah dekat-dekat sana, tepatnya di kota kecil Nocera Inferiore.
Jadi darah dan jiwa Napolitano masih melekat kuat di tubuh bapaknya dan juga Mino Raiola. Pada tahun 1968, Untuk mengubah nasib lebih cerah, saat baru usia setahun Raiola sudah hijrah alias diboyong kedua orang tuanya ke Belanda untuk menetap di kampung ibunya.
Pemuja Al Capone
Kelak dalam puluhan tahun ke depan, sang bayi itu berubah wujud menjadi tokoh yang mempengaruhi tren dan kebijakan transfer sepak bola dunia. Dalam otobiografinya yang berjudul “I am Zlatan”, saat bertemu pertama kali Ibrahimovic bahkan menggambarkan karakter Raiola sebagai bentuk nyata dari sosok utama sang gangster mafia Tony Soprano (diperankan oleh James Gandolfini) dalam drama kriminal serial TV yang ditayangkan HBO sepanjang 1999-2007 yaitu The Sopranos.
Memang tidak salah kalau dia menyukai dan terobsesi pada dunia mobster, yang penuh tipu-tipu, keberingasan, dan kelicikan. Setelah merenggut fee 25 persen senilai 25 juta euro, dari hasil penjualan Pogba dari Juventus ke Manchester United (105 juta euro), Raiola langsung terbang ke Miami, AS, untuk membeli vila milik bandit kriminal legendaris Al Capone senilai 9 juta euro! Pikiran orang semakin jelas memahami kerangka berpikir, bahkan visi-misi seorang Raiola bilamana dia jelas-jelas mengidolai Al Capone.
Pada kenyataannya memang hingga detik ini hidup Raiola tetap dipenuhi risiko dakwaan kriminal dan penjara. Konsorsium media The Football Leaks pernah menelanjangi pelanggaran hak cipta Raiola atas foto-foto ekslusif Pogba yang dijual untuk kepentingan pribadi. Untuk sementara para pengacara Raiola sukses membekukan kasus ini.
Cara-cara Raiola yang amat tendensius untuk menaikan ‘harga’ kliennya, sekaligus memojokkan siapa saja yang coba menggagalkan tujuannya juga patut dicela. Kerapkali lantaran paham bola secara teknis, Raiola sering mengkritik strategi transfer bahkan teknik permainan sebuah klub! Tak urung hal ini suka melahirkan berbagai kemarahan dan rasa tidak simpati kepadanya.
Lima tahun silam, Barcelona pernah nyolot dan mengancam memutuskan hubungan bisnis dengannya akibat tersinggung berat. Pasalnya di depan media massa, Raiola mengkritik pelatih Pep Guardiola yang dibilangnya tidak bisa memahami gaya main dan karakter Ibrahimovic. Orang pantas terkesima, rupanya kegagalan Ibra di Barca bukan dari kegagalan memahami tiqui-taka, melainkan lebih banyak disebabkan provokator agennya. Di Barca, waktu itu Ibrahimovic memang sama sekali tidak berkembang.
Barangkali di mata Raiola klub sebesar dan sehebat Barcelona pun dianggap kecil bila mau berperang. Luar biasa. Ada alasan? Tentu saja. Pertama dia punya pengalaman ‘berkelahi’ dengan dedengkot El Barca, yaitu almarhum Johan Cruijff, sewaktu masih berkecimpung menangani sepak bola Belanda di klub Haarlem. Apa yang diucapkan Raiola kepada Cruijff bikin mata orang melotot dan menggemparkan Belanda. Oleh Raiola, sang legenda nomor satu negeri itu dibilang ‘gila’ karena coba memperjuangkan setiap mantan pemain mendapat pekerjaan di industri sepak bola.
Meski kemudian dia meminta maaf langsung kepada Cruijff, namun sejak itu secara seketika Raiola kehilangan teman, kehormatan, relasi, dan pekerjaannya. Sepak terjang masa lalu Raiola memang sekedar kenangan belaka. Namun apapun yang salah dari tindak-tanduk, keputusannya, mulai sekarang atau besok, mampu mengguncangkan keindahan kariernya, bahkan jalan hidupnya. Namun mantan agen Pogba, yakni Gael Mahe, menyebut Raiola itu seorang jenius dalam urusan kesepakatan.
“Dia adalah Donald Trump-nya sepak bola, seorang bermulut besar (banyak omong) akan tetapi tahu bagaimana cara menjual dan sukses membangun gedung pencakar langitnya sendiri (Trump Plaza). Sekarang para pemainnya memiliki nilai yang hampir sama dengan gedung-gedung di Manhattan,” lanjut Mahe tanpa tedeng aling-aling.
Masih belum puas memahami aneka tingkah polah dan bagaimana gumpalan ambisi seorang Raiola? Seorang klien yang sangat disayanginya, Ibrahimovic, memuji setinggi langit orang yang menjadi keran uangnya. “Apakah saya harus mengeja namanya di sini? Mino adalah seorang yang jenius,” tukas pesepak bola dengan penghasilan terbanyak keempat di dunia setelah Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan Neymar Junior ini. (Arief Natakusumah)
Jika Anda seorang delegasi dari klub atau wakil dari perusahaan apparel ternama, yang datang dengan jas rapih dan licin, maka sulit menduga bahwa mitra yang akan Anda temui sedang menjilati es krim atau tengah sibuk dengan smart-phone-nya. Pria setengah baya ini berambut tipis, rada tambun, dan mengenakan jeans dan t-shirts. Arena pertemuannya juga di ruang terbuka, di lapak-lapak cafe pinggiran jalan.
Dibanding Pini Zahavi, Frank Arnesen, atau Jorge Mendes, apalagi dengan Luciano Moggi, terus terang nama yang satu ini ibaratnya masih bau kencur. Namanya juga sering tertutupi oleh kiprah Darren Dein, Pere Guardiola, Volker Struth, atau Thomas Kroth yang terbilang kompeten dan meyakinkan. Tapi itu dulu.
Sekarang ceritanya beda banget. Tiba-tiba saja seorang Carmine ‘Mino’ Raiola (50), pria gendut ber-KTP ganda Italia dan Belanda, mampu menyaingi sepak terjang tiga super-agent Jonathan Barnett, Jerome Anderson, atau Barry Silkman. Jadi apa? Sebagai makelar alias calo, atau mak comblang, kurir, juru sambung, biro jodoh di sepak bola atau yang dikenal keren sebagai agen pemain.
Apakah kemampuan Raiola bertujuh bahasa secara fasih; Italia, Inggris, Jerman, Spanyol, Prancis, Portugal, dan tentu Belanda, yang menjadi modal terkuat bakatnya? Boleh jadi. Namun jawaban terkuatnya dan yang sebenarnya adalah kelihaian pergaulannya. Terus terobsesi dengan sepak bola adalah katalisator utama. Dan menjadi pecundang sebagai pemain di waktu mudanya, ditambah dengan latar belakang pekerjaan yang mengharuskan mengenal dan ngoceh dengan banyak orang, lambat laun mengubahnya dari nothing menjadi something bahkan anything.
Makanya sah atau tidak, sekarang ini Mino Raiola dianggap sebagai the most powerful agent in world football. Sebagian lagi melabelinya dengan negosiator ulung yang terlalu cerewet dan bergaya represif. Malahan beberapa media massa dunia yang memelototi hal ihwal sekecil-kecilnya di sepak bola menjulukinya si jenius. Bahkan seorang bekas pesaingnya, yang pernah bertahun-tahun adu ilmu, akhirnya mengakui kehebatan Raiola, lantas mencapnya dengan bombastis sebagai 'Donald Trump'-nya sepak bola dunia. Anda tahu 'kan karakter orang ini?
Dengan deretan klien kelas kakap yang tak asing mendengarnya, sebut saja Paul Pogba, Romelu Lukaku, Henrikh Mkhitaryan, Marco Veratti, Gianluigi Donnarumma, atau Mario Balotelli, jelas bin jelas Raiola punya amunisi hebat nan kuat untuk bertempur atau mengarungi liarnya belantara jual beli sepak bola dunia. Apalagi di masa lalunya, ketika baru menapakkan kaki di dunia agen pesepak bola, dia juga punya referensi yang cukup meyakinkan banyak pihak.
Di sepanjang 1992-1996, dengan beruntun Raiola sanggup menggaet deretan bintang Ajax Amsterdam seperti Bryan Roy (ke Foggia, 1992), Marciano Vink (Genoa, 1993), duet Wim Jonk dan Dennis Bergkamp (Internazionale, 1993) dan Michel Kreek (Padova, 1994). Pemain non-Belanda pertama yang diciduknya masuk ke bumi Serie A adalah Pavel Nedved, dari Sparta Praha ke Lazio dengan rekor transfer. Malahan di sekali waktu, kiprah pertamanya bergumul di dunia transfer, dipenuhi risiko besar tatkala berani memakelari bintang bengal Frank Rijkaard yang sedang ribut kontrak dengan Ajax Amsterdam.
Waktu itu Raiola bertugas membawa sang gelandang ke AC Milan pada Januari 1988. Namun karena tak punya jaringan kuat di Serie A yang dipenuhi bandit-bandit ternama jual-beli pemain, Rijkaard justru diparkirnya dulu di klub Liga Primera Portugal, Sporting Lisbon, sebelum ‘dipindahkan’ ke klub La Liga, Real Zaragoza. Apapun yang dilakukan Raiola, Rijkaard setuju saja yang penting asal hengkang dari Ajax. Uniknya, tugas Raiola hanya itu. Ketika Rijkaard akhirnya resmi bergabung ke Milan di 1988/89, dia sudah tidak berkepentingan lagi. Entah kenapa sejak awal Raiola punya jaringan di Portugal. Barangkali level dan tensi kompetisinya tidak seheboh Serie A atau La Liga.
Sejak berani melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh agen yang sudah punya reputasi pada umumnya, masa depan Raiola bisa dibilang bakalan cerah. Dari bumi Portugal pula pundi-pundinya mulai terisi tatkala dia jadi mak comblang deretan bintang jawara Liga Champion 2003/04, FC Porto. Malahan selain Ricardo Carvalho, Paulo Ferreira, Tiago Mendes, atau Maniche, Raiola juga sukses melicinkan jalan pelatihnya, Jose Mourinho, masuk ke Inggris untuk bergabung ke Chelsea, klub Premier League yang mendadak tajir setelah dibeli Roman Abramovich.
Sekarang 17 klien yang pernah dan sedang digarapnya barangkali hampir Anda dengar. Ada 15 pemain, satu pelatih, dan satu eksekutif klub. Mereka adalah Zdenek Grygera, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, Paul Pogba, Romelu Lukaku, Felipe Mattioni, Robinho, Mario Balotelli, Maxwell, Kerlon, Etienne Capoue, Blaise Matuidi, Gregory van der Wiel, Bartosz Salamon, Gianluigi Donnarumma, Moise Kean, Marco Verratti, Martin Jol (pelatih), Pavel Nedved (eksekutif klub).
Masa lalu yang penuh risiko, kerja keras, dan pantang menyerah, kini telah mengubahnya menjadi salah orang yang bisa mempengaruhi kejayaan sebuah klub. Pada 2008 misalnya, dia pernah dua kali diinvestigasi oleh FIGC (PSSI-nya Italia) untuk pelanggaran norma-norma kepatutan dalam mercato.
Walau tinggal di kota termahal biaya hidupnya di Eropa, Monako, namun penampilan Raiola jauh dari perkiraan rata-rata orang. Dia begitu humble, selalu santai bin non-formal, meski dengan jins dan berkaus oblong sering memperlihatkan betapa buncit perutnya. Semakin aneh ketika dia sering menghampiri kliennya dengan memakai training-suite. Memang pria kelahiran Salerno, 4 November 1967 ini tidak butuh penampilan yang fashionable seperti halnya Mendes atau Barnett yang selalu berjas. Yang dibutuhkan, sekaligus yang selalu dibidik adalah deal, closing, alias memastikan kliennya dapat klub baru.
Darah Napoli
Pikiran tajamnya bagaimana menggangsir uang dari kaki-kaki pesepak bola barangkali terasah sejak jadi anak muda kreatif di akhir 1980-an. Ketika bapaknya, yang orang Italia, bikin restoran pizza dan pasta di kampung istrinya yang Belanda tulen, Raiola langsung kebagian jatah pekerjaan: sebagai pelayan. Di saat yang sama sembari bekerja, dia sempat masuk Fakultas Hukum usai lulus SMA. Tapi akibat keranjingan mencari duit, Raiola pun rela drop-out.
Demi ingin menemukan uang besar dan cepat pula, perjalanan kariernya sebagai pesepak bola amblas. Pada tahun 1987, di usia belia 18 tahun, dia mengajukan diri resign sebagai pemain bola FC Haarlem namun anehnya segera melamar menjadi pelatih tim junior! Tentu saja hal itu jadi tertawaan banyak pihak.
Di restoran yang pangsa pasarnya rada tinggi itu, lama-kelamaan dia keseringan jumpa dan berbasa-basi sekalian nguping obrolan deretan mahluk-mahluk aktif di sepak bola yang kerap menyatroni restoran bapaknya. Bertemulah dia dengan macam-macam orang, mulai dari pemain kapiran sampai bintang hebat, pelatih, eksekutif klub, sampai para makelar. Dia mulai bekerja di Sports Promotions, sebuah perusahaan agen olah raga, dan membantu transfer beberapa pemain Belanda berprofil tinggi ke klub-klub Italia.
Sadar bisa melakukan sendiri lantaran dibayangi oleh keuntungan jauh lebih besar dan bekerja lebih bebas, tak lama berselang dia memutuskan untuk meninggalkan perusahaan dan memulai bisnisnya sendiri. Transfer besar independen pertamanya adalah penandatanganan Nedved dari Sparta Praha ke Lazio, menyusul penampilannya yang mengesankan di EURO‘96, di mana Republik Ceko mampu menembus babak final.
Dan pada Juli 2017, dia melakoni transfer besar terakhirnya yang kelak akan menguatkan posisi Manchester United ke tangga juar Premier League 2017/18. Sukses ‘memindahkan’ Lukaku dari Everton ke Manchester United dengan harga selangit, 75 juta pound, tak pelak kian menancapkan reputasi Raiola.
Kejadian di bulan Juli 2017 ini sontak mengubah satu rekor baru transfer sesama klub Premier League. Musim sebelumnya, dia juga sukses memaksa Manchester United merogoh kocek kelewat dalam, 105 juta euro, hanya untuk membeli seorang gelandang enerjik yang dulu dengan gratis dilepehkannya, yang kemudian dicomot Juventus: Paul Pogba.
Pertautan Raiola, Pogba, dan Lukaku dalam kerjasama bisnis dan juga pertemanan yang terbina jauh sebelum kedua transfer top itu terjadi, menyadarkan banyak pihak bahwa relasi yang spesial merupakan kunci rahasia sukses di dunia transfer, terutama buat orang yang bersosialita tinggi macam Raiola.
Coba tengok ke tetangga sebelah, di mana seorang Arsene Wenger justru keseringan gagal mendapat pemain lantaran pembawaan, gaya, dan cara-cara yang formal justru bikin kaku dalam negosiasi. Makanya, dia tidak bakalan cocok duduk satu meja dengan Wenger. Beda pendekatan dan sudut pandang. Bisa dipastikan, tidak ada dan tidak pernah bakal ada pemain Raiola yang main di Arsenal, selama Wenger masih bercokol di sana.
Selain Mkhitaryan (Armenia) dan Balotelli (Italia), Raiola juga menjadi dalang buat deretan wayangnya yang nilainya berbobot; Zlatan Ibrahimovic (Swedia) dan Blaise Matuidi (Prancis). Dua terakhir ini sukses diparkir lama di Paris Saint-German. Beberapa pers Eropa menyebut, di musim 2016/17 Raiola sukses merogoh 40 juta pound uang Manchester United ke kas pribadinya untuk transfer Pogba. Belum lagi fee dari pembelian Ibrahimovic dan Mkhitaryan di saat yang sama. Sementara tiga klub top Eropa yang jadi kliennya adalah AC Milan, Manchester United, Juventus, dan Internazionale.
Potongan fragmen transfer window paling indah yang penuh drama selalu dikenangnya. Nedved, Ibra, Pogba, dan Lukaku. Di usia 50 tahun, Raiola meraih puncak reputasi sekaligus kekayaan dalam karier panjangnya. Siapa sebenarnya Raiola? Asal tahu saja, dia itu dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana di Haarlem, Belanda, yang hanya mengandalkan pemasukan rutin dari restoran pizza nan asri bernama Ristorante Napoli.
“Beberapa pengurus FC Haarlem sering makan pizza, setidaknya sepekan sekali di restoran bapaknya,” sebut Edwin Struis, seorang jurnalis lepas untuk koran lokal di Haarlem awal 1990-an, mulai membuka tabir Raiola.
“Dasar orangnya bawel, dia terus saja ngoceh di hadapan orang-orang yang puluhan tahun mengurusi bola, meski para pendengarnya mungkin pada membatin ‘ah sok tahu’. Akhirnya di suatu kali, karena keseringan berdiskusi dengan orang-orang kapabel, mereka berkata ‘Karena Anda tahu banyak keadaan, kenapa Anda tidak masuk bergabung ke dewan direksi klub saja?” papar Struis menceritakan sebuah kisah yang didengarnya langsung.
Pintu yang terkunci rapat itu pun lama-lama mulai terbuka. Di suatu waktu Raiola beneran bekerja di FC Haarlem sebagai direktur teknik! Dia punya banyak ide liar tapi bagus, terutama untuk kerjasama bakat dan transfer pemain. Klub Italia yang langsung dijalinnya tidak main-main, Napoli! Kenapa Napoli? Selain mereka klub top yang dikenal amat tradisional, juga karena bapaknya berasal dari daerah dekat-dekat sana, tepatnya di kota kecil Nocera Inferiore.
Jadi darah dan jiwa Napolitano masih melekat kuat di tubuh bapaknya dan juga Mino Raiola. Pada tahun 1968, Untuk mengubah nasib lebih cerah, saat baru usia setahun Raiola sudah hijrah alias diboyong kedua orang tuanya ke Belanda untuk menetap di kampung ibunya.
Pemuja Al Capone
Kelak dalam puluhan tahun ke depan, sang bayi itu berubah wujud menjadi tokoh yang mempengaruhi tren dan kebijakan transfer sepak bola dunia. Dalam otobiografinya yang berjudul “I am Zlatan”, saat bertemu pertama kali Ibrahimovic bahkan menggambarkan karakter Raiola sebagai bentuk nyata dari sosok utama sang gangster mafia Tony Soprano (diperankan oleh James Gandolfini) dalam drama kriminal serial TV yang ditayangkan HBO sepanjang 1999-2007 yaitu The Sopranos.
Memang tidak salah kalau dia menyukai dan terobsesi pada dunia mobster, yang penuh tipu-tipu, keberingasan, dan kelicikan. Setelah merenggut fee 25 persen senilai 25 juta euro, dari hasil penjualan Pogba dari Juventus ke Manchester United (105 juta euro), Raiola langsung terbang ke Miami, AS, untuk membeli vila milik bandit kriminal legendaris Al Capone senilai 9 juta euro! Pikiran orang semakin jelas memahami kerangka berpikir, bahkan visi-misi seorang Raiola bilamana dia jelas-jelas mengidolai Al Capone.
Pada kenyataannya memang hingga detik ini hidup Raiola tetap dipenuhi risiko dakwaan kriminal dan penjara. Konsorsium media The Football Leaks pernah menelanjangi pelanggaran hak cipta Raiola atas foto-foto ekslusif Pogba yang dijual untuk kepentingan pribadi. Untuk sementara para pengacara Raiola sukses membekukan kasus ini.
Cara-cara Raiola yang amat tendensius untuk menaikan ‘harga’ kliennya, sekaligus memojokkan siapa saja yang coba menggagalkan tujuannya juga patut dicela. Kerapkali lantaran paham bola secara teknis, Raiola sering mengkritik strategi transfer bahkan teknik permainan sebuah klub! Tak urung hal ini suka melahirkan berbagai kemarahan dan rasa tidak simpati kepadanya.
Lima tahun silam, Barcelona pernah nyolot dan mengancam memutuskan hubungan bisnis dengannya akibat tersinggung berat. Pasalnya di depan media massa, Raiola mengkritik pelatih Pep Guardiola yang dibilangnya tidak bisa memahami gaya main dan karakter Ibrahimovic. Orang pantas terkesima, rupanya kegagalan Ibra di Barca bukan dari kegagalan memahami tiqui-taka, melainkan lebih banyak disebabkan provokator agennya. Di Barca, waktu itu Ibrahimovic memang sama sekali tidak berkembang.
Barangkali di mata Raiola klub sebesar dan sehebat Barcelona pun dianggap kecil bila mau berperang. Luar biasa. Ada alasan? Tentu saja. Pertama dia punya pengalaman ‘berkelahi’ dengan dedengkot El Barca, yaitu almarhum Johan Cruijff, sewaktu masih berkecimpung menangani sepak bola Belanda di klub Haarlem. Apa yang diucapkan Raiola kepada Cruijff bikin mata orang melotot dan menggemparkan Belanda. Oleh Raiola, sang legenda nomor satu negeri itu dibilang ‘gila’ karena coba memperjuangkan setiap mantan pemain mendapat pekerjaan di industri sepak bola.
Meski kemudian dia meminta maaf langsung kepada Cruijff, namun sejak itu secara seketika Raiola kehilangan teman, kehormatan, relasi, dan pekerjaannya. Sepak terjang masa lalu Raiola memang sekedar kenangan belaka. Namun apapun yang salah dari tindak-tanduk, keputusannya, mulai sekarang atau besok, mampu mengguncangkan keindahan kariernya, bahkan jalan hidupnya. Namun mantan agen Pogba, yakni Gael Mahe, menyebut Raiola itu seorang jenius dalam urusan kesepakatan.
“Dia adalah Donald Trump-nya sepak bola, seorang bermulut besar (banyak omong) akan tetapi tahu bagaimana cara menjual dan sukses membangun gedung pencakar langitnya sendiri (Trump Plaza). Sekarang para pemainnya memiliki nilai yang hampir sama dengan gedung-gedung di Manhattan,” lanjut Mahe tanpa tedeng aling-aling.
Masih belum puas memahami aneka tingkah polah dan bagaimana gumpalan ambisi seorang Raiola? Seorang klien yang sangat disayanginya, Ibrahimovic, memuji setinggi langit orang yang menjadi keran uangnya. “Apakah saya harus mengeja namanya di sini? Mino adalah seorang yang jenius,” tukas pesepak bola dengan penghasilan terbanyak keempat di dunia setelah Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, dan Neymar Junior ini. (Arief Natakusumah)
TRANSFER BESAR MINO RAIOLA
Waktu
|
Pemain
|
Klub Baru
|
Klub Lama
|
Nilai Transfer
|
Januari 1988
|
Frank
Rijkaard
|
AC Milan
|
Sporting CP
|
Tak terlacak
|
Juli-Agt 1993
|
Dennis
Bergkamp
|
Internazionale
|
Ajax
|
£12 juta
|
Juli-Agt 2001
|
Pavel Nedved
|
Juventus
|
Lazio
|
£35 juta
|
Juli-Agt 2004
|
Zlatan
Ibrahimovic
|
Juventus
|
Ajax
|
£14 juta
|
Juli-Agt 2006
|
Zlatan
Ibrahimovic
|
Internazionale
|
Juventus
|
£21 juta
|
Juli-Agt 2009
|
Zlatan
Ibrahimovic
|
Barcelona
|
Internazionale
|
£59 juta
|
Juli-Agt 2010
|
Robinho
|
AC Milan
|
Manchester
City
|
£15 juta
|
Juli-Agt 2010
|
Mario
Balotelli
|
Manchester
City
|
Internazionale
|
£24 juta
|
Juli-Agt 2010
|
Zlatan
Ibrahimovic
|
AC Milan
|
Barcelona
|
Sewa (£20
juta)
|
Juli-Agt 2012
|
Zlatan
Ibrahimovic
|
Paris
Saint-Germain
|
AC Milan
|
£18 juta
|
Januari 2013
|
Mario
Balotelli
|
AC Milan
|
Manchester
City
|
£17 juta
|
Juli-Agt 2014
|
Mario
Balotelli
|
Liverpool
|
AC Milan
|
£16 juta
|
Juli-Agt 2016
|
Zlatan
Ibrahimovic
|
Manchester
United
|
Paris
Saint-Germain
|
Gratis
|
Juli-Agt 2016
|
Henrikh
Mkhitaryan
|
Manchester
United
|
Borussia
Dortmund
|
£31 juta
|
Juli-Agt 2016
|
Paul Pogba
|
Manchester
United
|
Juventus
|
£110 juta
|
Juli-Agt 2016
|
Mario
Balotelli
|
Nice
|
Liverpool
|
Gratis
|
Juli-Agt 2017
|
Romelu Lukaku
|
Manchester
United
|
Everton
|
£78 juta
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar