Medio 1980-an, ketika penulis masih anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.
Bangunan khas gaya tiki-taka. |
Namun, maaf, sumber kicauan tentang tik-tak alias tiki-taka atau tuqui-taca ketika itu bukan mengomentari sepak bola Matador, namun gaya permainan Latin kebanyakan tim-tim Brasil atau Argentina. Tidak ada nama Spanyol saat itu di sanubari penggila bola di Tanah Air. Reputasi Real Madrid atau Barcelona pun tidak berdengung di sini karena tertelan oleh gaya Italia, Jerman, Belanda dan Latin. Tapi saya ingat, gol Johan Cruijff ke gawang Argentina pada Piala Dunia 1974 adalah gol beraroma tiki-taka.
Jadi di era itu di Indonesia, para pengamat sepak bola, wartawan, pelatih termasuk pemain bahkan masyarakat pasti tidak asing dan sudah akrab dengan istilah tiki-taka yang bersumber dari ucapan ‘tik-tak’. “Kita harus main tik-tak, oper dengan cepat, berlari melintasi lawan dan terima bola itu lagi ya,” begitu bunyi strategi main sebuah tim sepak bola kampus di akhir 1980-an.
Di kompetisi Galatama (pro) atau Perserikatan (amatir) di era itu juga, permainan bola-bola pendek sangat mewarnai pertandingan resmi di Indonesia. Orang yang paling getol memainkannya adalah (almarhum) Ronny Pattinasarani di Warna Agung – tim yang dikapteninya. Kolaborasinya dengan Rully Nere, Robby Binur, dan Stefanus Sirey di lini tengah tik-tak Warna Agung begitu aduhai. Waktu kecil saya melihat sendiri bagaimana dia mengorkestrai untuk menggedor catenaccio alot ala Jayakarta dalam kompetisi Galatama 1979/80 di Senayan.
Kata tiki-taka pertama kali mendarat di gendang telinga orang pada Piala Dunia 2006. Saat itu presenter Andrés Montes yang mengomentari jalannya laga Spanyol vs Tunisia bertanya pada komentator Javier Clemente tentang cara passing tim La Furia Roja. “Estamos tocando tiki-taka tiki-taka,” kata mantan pelatih nasional itu. Maknanya “kita bermain tiki-taka tiki-taka.”
Asal muasal frasa tiki-taka atau clackers dalam Inggris hingga kini diperdebatkan. Dalam bahasa umum, umpan pendek diantara pemain sering disebut “tick”, apakah dari situ ia berasal? Bisa juga dia berasal dari ungkapan Latin, “onomatopoeic”, yang kira-kira seperti “wush atau duarr” di Indonesia. Tapi yang pasti, inilah ungkapan yang mewarnai perjalanan Barcelona.
Puncak kejayaan tiki-taka ada di tahun 2010. |
Ketika Spanyol meraih tripel trofi terhebat sepak bola pada 2008, 2010, dan 2012, tiba-tiba tiki-taka berdengung keras bak baling-baling helikopter. Hampir semua media di seluruh dunia mustahil tak menulis atau membahas konsep permainan fantastis itu di Piala Eropa dan Piala Dunia. Begitu juga di 2009 ketika Blaugrana meraih La Sexta, enam trofi, di Spanyol sampai Eropa.
Di bawah komando Pep Guardiola sepanjang 2008-2012, Barcelona mengubah konsep tiki-taka secara ekstrem. Ia mencuci otak seluruh alumnus La Masia – akademi sepak bola Barca – untuk memainkan sepak bola menekan dan menyerang secara simultan 2 x 45 menit konstan bin intensif! Sebelum menangani tim senior, dia memang pelatih di akademi itu. Pep menyempurnakan visi Cruijff secara modern, dan langsung kena di abad milenium ini - di mana teknologi, transformasi, komunikasi, infrastruktur banyak mengubah sepak bola sebagai permainan digital dan matematis.
Jakun Pep kian naik-turun memikirkan potensi tiki-taka dan peluang besar Barcelona seusai lahirnya perubahan Hukum Offside yang disahkan oleh dua kekuatan sepak bola dunia, FA dan FIFA, pada 2005. Kebetulan antara tahun 2000-2006, Barca sedang hilang dari “peredaran” blantika La Liga. Di sinilah ia menyiapkannya dengan baik. Dengan aturan baru ini tiki-taka lebih mendorong bek lawan dan memperluas efektivitas bermain melebar. Di sisi lain, keterampilan para bintangnya akan lebih tereksplorasi dengan baik.
Mazhab Barcelona
Mentor Guardiola untuk mengimprovisasi tiki-taka gaya baru tiada lain “Pakde-nya sepak bola Spanyol dan Barcelona” plus tiki-taka juga, yaitu Meneer Cruijff. Keduanya membuka berkas-berkas lama. Memelototi aliran totaal voetball termasuk membuat garis pertahanannya, pertukaran posisi, cara mengontrol permainan, dan yang lebih penting cara melepaskan umpan dengan segala kondisi.
Cruijff mengimplementasikan tiki-taka sewaktu berada di Barcelona, mulai dari jadi pemain, manajer sampai direktur teknik. Bukan Guardiola tapi dua manajer asal Belanda, Louis van Gaal dan Frank Rijkaard, yang pertama kali mendapat rumusan tiki-taka.
Salah satu syarat agar tiki-taka berjalan ideal adalah pemainnya harus pendek! |
Sistem permainan ini amat ciamik bin ideal jika dijalankan oleh pemain muda berusia antara 22-27 tahun dan harus bertubuh kecil alias tidak tinggi. Tak heran jika selain Xavi, pemain macam Andrés Iniesta, Cesc Fà bregas, Lionel Messi, Pedro Rodriguez, selain jadi produk La Masia juga berpostur mini untuk ukuran Eropa (di bawah 180 cm).
Hingga kini tradisi itu dipertahankan. Jordi Alba, Luis Suarez, Neymar, Dani Alves sampai Rafinha. Pendek kata, jika Anda jangkung maka peluang jadi pemain Barcelona terbilang kecil sebab, barangkali, punya gaya gravitasi yang lemah. Konsep tiki-taka amat bergantung pada kehebatan sentuhan, keluasan visi, dan kematangan operan sebagai modal dasar permainan possession yang menjadi identitasnya.
“Anda harus memenangkan bola lagi ketika berada di zona 30 meter dari gawang lawan, bukan di zona 80 meter,” kalimat ini sangat populer beradar di La Masia atau markas besar Camp Nou. Tiki-taka menyisakan satu striker palsu yang sering disebut “false-9” yang seluruh potensi permainannya didukung tujuh pemain kecuali kiper dan dua bek tengah. Aliran bola harus lancar, mulus, dan fasih dari segala penjuru. Dua bek sayap juga dipaksa berkecimpung dalam serangan, menuntut gelandang bertahan mengerahkan kemampuan operannya serta kiper harus rela merangkap jadi libero.
Barcelona memainkan tiki-tiki model baru lebih sempurna ketimbang tim nasional Spanyol. Outcome produktivitas gol sering jadi pembeda di mana Barcelona lebih mudah bikin gol karena lebih kompak dan fasih menerapkannya. Tapi prinsip permainan keduanya tetap sama, berasal dari istilah Tiqui-Taca yang menggambarkan karakter permainan umpan pendek dan pergerakan.
Jika Pep Guardiola maestro terakhir yang menerapkannya, maka tiki-taka diperkenalkan pertama kali secara lengkap oleh Hendrik Johannes Cruijff alias Johan Cruijff, manajer Barcelona 1988-1996. Selain Pep dan Cruijff ada pula almarhum Luis Aragonés dan Vicente Del Bosque, dua pelatih La Furia Roja yang memberi Spanyol gelar juara Eropa 2008, juara dunia 2010, juara Eropa 2012.
Tiki-taka selalu menyajikan pemandangan geometris dan diagonal. |
Pada dasarnya tiki-taka adalah konsep permainan zona. Sewaktu masih menjadi pelatih kepala di La Masia, Pep mengecat seluruh lapangan bola dengan puluhan kotak besar dan kecil sampai-sampai terlihat seperti lapangan bulutangkis. Tindakan ini merefleksikan pentingnya zona per zona untuk setiap pemain Barcelona agar bisa memainkan tiki-taka dengan sempurna.
Di atas semua itu, tiki-taka menjadi satu-satunya sistem permainan sepak bola yang amat mementingkan kekompakan dan persatuan tim untuk dapat memahami secara komprehensif tentang sepak bola geometri. Sekali lagi, deskripsi tiki-taka begitu simpel: operan pendek sekali-dua kali, bergerak liar, kuasai bola sampai terlihat tidak ada bedanya antara bertahan dan menyerang.
Di lapangan, tiki-taka butuh seorang yang bertugas sebagai kopling permainan. Jika Arsenal 2007-2008 punya Cesc Fabregas sebagai pemain yang bertugas memindahkan tuas permainan, dari cepat ke lambat atau sebaliknya, maka Barcelona dan Spanyol punya Xavi Hernandez. Oleh sebab itu tiki-taka menuntut kecakapan, kreativitas, talenta serta sentuhan seorang pemain berkelas.
Rinus Michels
Demi mencapai tujuan tertingginya sebagai estetika permainan, kerapkali tiki-taka harus mengorbankan efektivitas. Menurut Raphael Honigstein, tiki-taka lahir karena sejatinya orang Spanyol tak tahan dengan adu fisik dengan tim-tim Inggris, Italia, Jerman. Untuk mengatasi itu atau menyeimbangkannya strategi mereka adalah bagaimana cara memonopoli bolanya. Kebetulan budaya yang paling cocok dengan gaya itu adalah kultur Hispanik dan sedikit Mediterania yang lebih retro ketimbang budaya Eropa tengah apalagi di utara sana.
Sebenarnya Spanyol hanya memanfaatkan ‘kesulitan’ yang dirasakan oleh bapak moyang tiki-taka sedunia, yaitu Marinus Jacobus Hendricus Michels alias Rinus Michels. Pelatih Ajax Amsterdam 1965-1971 ini gedeg melihat gaya Catenaccio, mahakarya Helenio Herrera bisa gegremetan ke-mana-mana termasuk ke Amerika Latin dan Asia selain dijadikan mazhab resmi di beberapa negara Eropa.
Dulu belum ada istilah tiki-taka ala Spanyol, tetapi orang Belanda menyebutnya sebagai totaal voetbal, sepak bola total. Gaya baru ini makin santer dikenal sebagai tiki-taka ketika Rinus sang maestro menukangi Barcelona 1971-1976, hanya beberapa bulan setelah Ajax menjuarai Liga Champion 1970/71.
Seperti sudah ditakdirkan harus terus bersama, Rinus dan Johan berkumpul lagi di Spanyol melalui Barcelona. Butuh dua tahun bagi Rinus untuk reuni dengan anak kesayangannya itu. Bahkan setahun kemudian, Rinus mendatangkan juga ‘fotokopi’ Cruijff, yakni Johan Neeskens. Kerajaan sepak bola juga mengenal istilah dinasti, pewaris, atau putra mahkota.
Rinus Michels dan Johan Cruijff saat di Barcelona. |
Di era 1970-an, Rinus meneruskan visinya kepada Cruiff untuk dikelola di dekade 1980-an. Di era ini Cruiff juga membangun dinasti yang berjaya di era 1990-an melalui Josep 'Pep' Guardiola. Butuh sepuluh tahunan bagi Pep untuk melihat kedigdayaan tiki-taka di awal dekade kedua milenium.
Seorang analis sepak bola dari Universitas Oxford, Jed C. Davies, berkesimpulan tiki-taka merupakan revolusi konseptual permainan yang lahir dari gagasan bahwa sejatinya lapangan bola itu fleksibel. Di dalam bukunya, “Coaching the Tiki-Taka Style of Play” ia membeberkan di mata Barcelona satu lapangan bisa menjadi 8 lapangan karena seluruh pemainnya fasih geometri. Bukan main.
Di benak pemain Barcelona, satu lapangan itu otomatis terbagi oleh beberapa lapangan kecil. Saat beraksi, formasi harus dijaga sempurna demi penciptaan celah atau ruangan untuk berkreasi. Mereka bisa bermain 3 on 3, 2 on 2, sampai 1 on 1 dari zona satu ke zona lain dengan ritme cepat dan berubah-ubah. Anda bisa membayangkan pola rubik ini untuk memahami bagaimana Barcelona bermain.
Evolusi totaal voetbal ke tiki-taka di Barcelona. |
Sementara jurnalis sepak bola Spanyol kenamaan, Sid Lowe, berpendapat lain. Orang Inggris ini lebih mengemukakan aspek psikologis ketimbang teknis, motif dari pada cara, kenapa tiki-taka sangat populer di Negeri Matador. Ia mencap tiki-taka sebagai satu hasil sempurna dari perbuatan pragmatis yang berkecamuk di kepala Aragonés. Memainkan bola sendiri sementara 11 orang pihak lawan kalau bisa, ya menonton saja. Sekilas inilah irisan terbesar dengan tiki-taka-nya Barcelona.
Ketika membelokkan sejarah indah di 2008, titel pertama Spanyol sejak 1964, sebenarnya Aragonés memakai tiki-taka untuk mengamankan pertahanannya dari kenakalan penyerang lawan. Lowe sangat meyakininya mengingat seluruh enam gol yang dibuat La Furia Roja, tidak lahir dari gaya tiki-taka. Lima dari serangan balik dan satu dari bola mati.
Barisan Penentang
Ketika diambil alih oleh Del Bosque, La Furia Roja semakin bertenaga, agresif dan seketika. Maklum banyak rombongan Real Madrid di skuad Piala Dunia 2010 yang terkenal beringas seperti Xabi Alonso, Sergio Ramos, Alvaro Arbeloa atau Fernando Torres. Sebagai mantan pelatih El Real, Del Bosque tahu betul bahwa kolektivitas jadi isu paling strategis di timnya dan dia pun sukses.
Pep Guardiola adalah murid kesayangan Johan Cruijff. |
El Barca dianggap sebagai motor tiki-taka sejati sedangkan El Real Madrid melengkapinya dengan ambisi, gairah, tenaga dan agresif. Honigstein mendeskripsikan kemenangan Spanyol atas Jerman di semifinal sebagai versi kemenangan paling sulit di mana semua cara main La Furia Roja sanggup dibendung Der Panzer kecuali satu hal: kekuatan mengontrol bola.
Di mata Guy Hedgecoe, wartawan sepak bola dari Iberoshpere, tiki-taka itu justru tidak menghibur dan tidak menyenangkan untuk ditonton. Tiki-taka memang tidak menyajikan serta mewajibkan finisher murni dan saat kita menyaksikannya, maka tidak ada satu pun pemain di depan berkeliaran kecuali gerakan sejajar atau diagonal tiga empat pemain sampai kotak penalti atau gawang lawan!
“Tidak ada striker, tidak ada bek, dan tidak ada kiper. Sungguh aneh, semua 11 pemain bermain sebagai gelandang dan menumpuk di lini tengah. Hanya sesekali saja seseorang berhasil keluar dari gulungan pemain lalu mencetak gol,” katanya. Barangkali di mata Hedgecoe tiki-taka sudah mirip segerombolan ikan sarden yang membentuk bola pertahanan dari serbuan hiu. Kalau Anda sering menonton National Geographic di televisi, pasti sangat mafhum dengan ucapan Hedgecoe tadi.
Memang banyak juga yang mencerca tiki-taka sebagai sepak bola egois. Maksudnya egois adalah karena tim seperti Barcelona tidak memberi kesempatan buat penonton melihat mereka diserang atau lawan menyerang mereka. Di mata kompetitor, tiki-taka juga jadi perburuan obsesi. Hampir semua klub besar Eropa berlomba-lomba menemukan formula anti-nya.
Setelah kekalahan 1-2 Barcelona dari Glasgow Celtic di Liga Champion 2012/13, mata dunia mulai terbelalak sebab kubu tuan rumah sukses menutup seluruh jenis serangan dan pintu akses Barcelona saat masuk ke pertahanan Celtic. Ini mirip laga adu bosan. Belasan bahkan puluhan serangan sejenis terjadi, namun tim Skotlandia itu sabar menanti dan tabah mengimbanginya.
Di mata Ben Hayward dari ESPN, kejadian yang menghentak kredibilitas manajer (almarhum) Tito Vilanova itu membuktikan Barcelona bisa juga dilanda kejenuhan dan strategi monoton. Mantan asisten Guardiola itu tidak bisa menerapkan tiki-taka dengan sempurna. Taktik Celtic mengingatkan orang dengan disiplin besi Chelsea tatkala mengandaskan El Barca 1-0 di Stamford Bridge, April 2012.
Gaya disiplin dan terus kejar ala Jose Mourinho menghambat tiki-taka. |
José Mourinho adalah garda terdepan anti tiki-tika. Tidak ada yang meragukan reputasinya sebagai pengganjal tiki-taka. Tambahan, dia suka yakin bisa mengatasinya sebab pernah ikut membesarkan Barca sewaktu bersama almarhum Bobby Robson. Jangan lagi Barcelona, tim nasional Spanyol pun dikritiknya. Di mata orang yang menjuluki dirinya sendiri sebagai The Special One itu gaya tiki-taka seperti mengebiri keindahan sepak bola. “Tanpa striker, semua gelandang? Come on,” sindirnya.
Bahkan Arsene Wenger, manajer Arsenal yang punya konsep permainan menyerang pun ikut mengkritik tiki-taka yang telah mengubah falsafah sepak bola Spanyol. “Awalnya tiki-taka mereka untuk menyerang dan memenangkan pertandingan, namun sekarang prioritasnya telah berubah. Mereka bertiki-taka yang bosan ditonton itu untuk menghindari kekalahan,” ucap Wenger.
Sekilas dua ucapan manajer top ini benar. Penonton juga berhak melihat dua tim bertanding dengan semua kemampuannya, menyerang dan bertahan. Bertahun-tahun orang dicekoki Barcelona dengan tontonan timpang. Satu tim memutar-mutar bola, satu tim lagi “memarkir bus” di wilayahnya. Tidak ada jalan lain. Sepak bola memang tidak harus berisi tiki-taka semua toh? Layaknya pilihan dalam hidup yang ada potensi dan risiko, maka apapun gaya permainan di sepak bola, juga pasti akan ada anti penangkalnya.
(foto: 101greatgoals/diariogoals/theviewspaper/slate/sport.es/passionFM)