Di Inggris, tidak akan pernah ada ceritanya Arsenal dan Tottenham, Liverpool dan Everton, atau Manchester United dan Manchester City menjadi tuan rumah di pekan yang sama. Itu adalah enam klub dari tiga kota besar di Inggris yang punya basis massa terkuat di mana gesekan pendukungnya amat sensitif dan berisiko tinggi.
Semuanya telah diatur dengan rapi oleh operator liga, The Premier League. Padahal tuntutan khalayak media massa, televisi, pemasang iklan, hingga klub-klub, jadwal tersebut harus secepat mungkin supaya mereka bisa mengatur aktivitas bisnisnya ke depan. Bahkan mereka terbiasa menyusun jadwal sah sebelum hasil playoff di divisi tertentu selesai.
Harus diakui, dalam mengkompilasi finalisasi agenda pertandingan, sang operator jadwal terpaksa memakai beberapa persyaratan khusus (golden rules) antara lain: setiap klub tidak boleh main tiga kali beruntun di kandang atau tandang, setiap lima partai harus berisi tiga laga kandang dan dua laga tandang; atau bisa juga sebaliknya. Tujuannya agar pendapatan reguler klub-klub dari tiket masuk bisa dipastikan sehingga menjamin cash-flow dari sisi finansial mereka. Juga menolong lapangan dan rumput mereka supaya tidak cepat rusak, serta membantu para suporter tidak terlalu sering berpergian.
Aturan lebih spesifik lagi diberlakukan untuk laga-laga derbi. Klub macam Arsenal dan Tottenham, atau Everton dan Liverpool - di mana stadion mereka hanya berjarak sekitar 4-5 km - dan juga beberapa klub lainnya, bisa melakukan deal saling pengertian, misalnya siapa dulu yang akan menjadi tuan rumah, menyangkut dengan kepentingan lingkungan sekitar.
Liga Indonesia
Belakangan di Indonesia kesadaran betapa ruwetnya bikin jadwal mulai dipahami. Pekerjaan membuat jadwal kompetisi sepak bola dapat diibaratkan mengelola restoran. Mengetahui animo para tetamu yang tak kunjung henti, telpon yang terus berdering, atau tumpukan daftar pesanan makin meninggi, maka sang koki sudah pasti akan menyuruh aneka juru masaknya untuk menyiapkan berbagai menu baru.
Jangan sampai tamu menunggu lama! Begitu pun tugas fixture-maker itu. Mereka tahu, urusan jadwal melebar ke mana-mana, berdampak dahsyat dan signifikan. Beragam kepentingan bercokol di dalamnya. bukan saja buat klub namun juga televisi, agensi pemasang iklan, pemerintah daerah, kepolisian, seluruh vendor klub, perusahaan aparel, media-media, jurnalis, pemilik klub, manajer, para pemain, penonton, sampai pedagang makanan-minuman. Pendek kata, kita semua!
Yang terjadi di Indonesia jangan ditanya lagi. Sebagai pengelola kompetisi yang tertinggi di Tanah Air, pelayanan PT Liga Indonesia masih sangat mengecewakan banyak pihak. Di musim 2014, kasus paling menonjol yang berkenaan dengan jadwal adalah penundaan laga secara tiba-tiba, bahkan yang sekelas big-match sekalipun. Masih ingat penundan Persija vs Persib gara-gara pemilihan legislatif, April 2014?
Mulai dari pemain, pelatih, wasit, sponsor, pemasang iklan, stasiun TV, sampai penonton atau pendukung klub semua dirugikan. Milyaran uang melayang percuma, dan ini tidak sekali-duakali terjadi, namun berkali-kali. Jika tidak ditunda, pergeseran jam kick-off juga bisa muncul secara tiba-tiba. Bayangkan jika jadwalnya molor, atau parahnya lagi salah hitung sat membuatnya sehingga di tengah jalan kompetisi jadi awut-awutan tidak karuan. Banyak partai tunda. Banyak pemain cedera. Banyak kerusuhan antar suporter. Persiapan timnas amburadul.
Ujung-ujungnya, ini yang parah, pengeluaran maupun pendapatan klub juga bisa kolaps. Padahal kasus ini tidak bakal terjadi apabila PT. Liga Indonesia punya persiapan prima ketika membuat jadwal liga dengan penuh perhitungan, ketelitian, kesabaran. Selain itu dalam menyusun jadwal, seseorang atau tim tidak saja butuh memahami sepak bola nasional, tapi juga kedalaman, pengetahuan serta wawasan luas sepak bola global dan regional.
AFC selalu punya kalender resmi, begitu juga FIFA. Ada waktunya laga itu jadi panggungnya AFC, misalnya Liga Champion Asia atau Piala AFC. FIFA pun telah menginstruksikan pemain tim nasional di seluruh dunia dalam waktu tertentu di tiga-empat bulan (Maret, Juni, September, November), harus kopi darat berlatih dan menggelar laganya.
Di Indonesia, variabel untuk membuat jadwal sangat kompleks. Selain hari libur nasional, yang paling spesial adalah bulan puasa (Ramadhan), serta waktu-waktu khusus di daerah semisal festival, HUT daerah, acara kesenian dan masih banyak lagi. Melihat kasus yang terjadi selama 2014, boleh jadi PTLI mengabaikan keterkaitan satu sama lainnya. Padahal melihat isi kalender di musim 2015 jauh lebih kompleks lagi.
Membuat jadwal liga tidak sembarangan karena sebisa mungkin harus berpikir komprehensif. Mau tidak mau, PTLI harus berbenah agar tidak mengecewakan banyak pihak lagi. Sukses tidaknya Liga Super Indonesia 2015, sebagai era baru kompetisi profesional di Indonesia, bisa dilihat dari kredibilitas dalam menyusun jadwal kompetisinya.
(foto: paddypower/electronicpricex.blogspot/klubpersipura.blogspot)
Semuanya telah diatur dengan rapi oleh operator liga, The Premier League. Padahal tuntutan khalayak media massa, televisi, pemasang iklan, hingga klub-klub, jadwal tersebut harus secepat mungkin supaya mereka bisa mengatur aktivitas bisnisnya ke depan. Bahkan mereka terbiasa menyusun jadwal sah sebelum hasil playoff di divisi tertentu selesai.
Harus diakui, dalam mengkompilasi finalisasi agenda pertandingan, sang operator jadwal terpaksa memakai beberapa persyaratan khusus (golden rules) antara lain: setiap klub tidak boleh main tiga kali beruntun di kandang atau tandang, setiap lima partai harus berisi tiga laga kandang dan dua laga tandang; atau bisa juga sebaliknya. Tujuannya agar pendapatan reguler klub-klub dari tiket masuk bisa dipastikan sehingga menjamin cash-flow dari sisi finansial mereka. Juga menolong lapangan dan rumput mereka supaya tidak cepat rusak, serta membantu para suporter tidak terlalu sering berpergian.
Aturan lebih spesifik lagi diberlakukan untuk laga-laga derbi. Klub macam Arsenal dan Tottenham, atau Everton dan Liverpool - di mana stadion mereka hanya berjarak sekitar 4-5 km - dan juga beberapa klub lainnya, bisa melakukan deal saling pengertian, misalnya siapa dulu yang akan menjadi tuan rumah, menyangkut dengan kepentingan lingkungan sekitar.
Liga Indonesia
Belakangan di Indonesia kesadaran betapa ruwetnya bikin jadwal mulai dipahami. Pekerjaan membuat jadwal kompetisi sepak bola dapat diibaratkan mengelola restoran. Mengetahui animo para tetamu yang tak kunjung henti, telpon yang terus berdering, atau tumpukan daftar pesanan makin meninggi, maka sang koki sudah pasti akan menyuruh aneka juru masaknya untuk menyiapkan berbagai menu baru.
Jangan sampai tamu menunggu lama! Begitu pun tugas fixture-maker itu. Mereka tahu, urusan jadwal melebar ke mana-mana, berdampak dahsyat dan signifikan. Beragam kepentingan bercokol di dalamnya. bukan saja buat klub namun juga televisi, agensi pemasang iklan, pemerintah daerah, kepolisian, seluruh vendor klub, perusahaan aparel, media-media, jurnalis, pemilik klub, manajer, para pemain, penonton, sampai pedagang makanan-minuman. Pendek kata, kita semua!
Yang terjadi di Indonesia jangan ditanya lagi. Sebagai pengelola kompetisi yang tertinggi di Tanah Air, pelayanan PT Liga Indonesia masih sangat mengecewakan banyak pihak. Di musim 2014, kasus paling menonjol yang berkenaan dengan jadwal adalah penundaan laga secara tiba-tiba, bahkan yang sekelas big-match sekalipun. Masih ingat penundan Persija vs Persib gara-gara pemilihan legislatif, April 2014?
Mulai dari pemain, pelatih, wasit, sponsor, pemasang iklan, stasiun TV, sampai penonton atau pendukung klub semua dirugikan. Milyaran uang melayang percuma, dan ini tidak sekali-duakali terjadi, namun berkali-kali. Jika tidak ditunda, pergeseran jam kick-off juga bisa muncul secara tiba-tiba. Bayangkan jika jadwalnya molor, atau parahnya lagi salah hitung sat membuatnya sehingga di tengah jalan kompetisi jadi awut-awutan tidak karuan. Banyak partai tunda. Banyak pemain cedera. Banyak kerusuhan antar suporter. Persiapan timnas amburadul.
Ujung-ujungnya, ini yang parah, pengeluaran maupun pendapatan klub juga bisa kolaps. Padahal kasus ini tidak bakal terjadi apabila PT. Liga Indonesia punya persiapan prima ketika membuat jadwal liga dengan penuh perhitungan, ketelitian, kesabaran. Selain itu dalam menyusun jadwal, seseorang atau tim tidak saja butuh memahami sepak bola nasional, tapi juga kedalaman, pengetahuan serta wawasan luas sepak bola global dan regional.
AFC selalu punya kalender resmi, begitu juga FIFA. Ada waktunya laga itu jadi panggungnya AFC, misalnya Liga Champion Asia atau Piala AFC. FIFA pun telah menginstruksikan pemain tim nasional di seluruh dunia dalam waktu tertentu di tiga-empat bulan (Maret, Juni, September, November), harus kopi darat berlatih dan menggelar laganya.
Di Indonesia, variabel untuk membuat jadwal sangat kompleks. Selain hari libur nasional, yang paling spesial adalah bulan puasa (Ramadhan), serta waktu-waktu khusus di daerah semisal festival, HUT daerah, acara kesenian dan masih banyak lagi. Melihat kasus yang terjadi selama 2014, boleh jadi PTLI mengabaikan keterkaitan satu sama lainnya. Padahal melihat isi kalender di musim 2015 jauh lebih kompleks lagi.
Membuat jadwal liga tidak sembarangan karena sebisa mungkin harus berpikir komprehensif. Mau tidak mau, PTLI harus berbenah agar tidak mengecewakan banyak pihak lagi. Sukses tidaknya Liga Super Indonesia 2015, sebagai era baru kompetisi profesional di Indonesia, bisa dilihat dari kredibilitas dalam menyusun jadwal kompetisinya.
(foto: paddypower/electronicpricex.blogspot/klubpersipura.blogspot)