Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Aleksander Kwaśniewski: Presiden Penggemar Fantasy Football dan Seorang Gooner

Ternyata diperlukan waktu 30 tahun bagi seorang bartender asing sampai bisa bertemu Queen of United Kingdom. Tadinya cuma sebatas mimpi, tiba-tiba jadi realita belaka. Andai saja Aleksandr Kwaśniewski bukan penggemar Arsenal, bisa jadi Ratu Elizabeth II pun ogah berlama-lama dengannya. Kalau dia tak gila sepak bola, barangkali nasibnya berkata lain.

Aleksandr Kwaśniewski adalah seorang presiden yang memimpin Polandia selama dua periode. Dimulai 23 Desember 1995 dan berakhir 23 Desember 2005. Sepuluh tahun. Cukup pendek bagi seorang leader yang punya visi dan ambisi luas dan gairah tak terbatas. Pemimpin adalah apa yang dia atur, apa yang dilakukannya untuk kemaslahatan orang banyak. Mendatangkan kebaikan, bukannya keresahan.

Di tangan Kwaśniewski, Polandia melakukan transisi pasar ekonomi dan privatisasi perusahaan negara melalui bisnis modern. Suami dari Jolanta Konty dan ayah dari Aleksandra Kwaśniewska ini juga menggusur konstitusi lama warisan Stalin. Yang lebih penting, di era kepemimpinannya, negara yang melahirkan Nicolaus Copernicus dan Fryderyk Chopin itu diterima jadi anggota Uni Eropa dan NATO.

Khusus Uni Eropa, Alek—sapaan akrabnya, melakukan kerja keras. Sejak memimpin delegasi ke Madrid pada 1997 hingga peresmian di 2004. Untuk jadi anggota NATO, konflik Kosovo pada 1999 dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Alek, dengan memberi dukungan militer hingga kesehatan. Pendek kata, satu dekade itu nyaris ia habiskan seluruhnya hanya untuk memposisikan Polandia baru di mata dunia.

Kubu Barat memandang Alek lebih khas. Sebagai biang pembaruan, tokoh Westernisasi, komunis yang murtad jadi kapitalis. Makanya Lech Walesa, ikon pembaruan peniup retorika “solidaritas” (solidarność), pun tumbang pada 1995. Walesa cuma satu periode jadi presiden. Ia kalah oleh tagline milik Alek: “Pilihlah Masa Depan” (Wybierzmy przyszłość) dan “Satu Polandia untuk Semua” (Wspólna Polska).

Begitu juga saat pilpres pada tahun 2000. Kampanye yang dia lakukan bertemakan “Sebuah Rumah untuk semuanya, Polandia” (Dom wszystkich—Polska). Alek menang lagi. Dari mana ia piawai bikin retorika yang meyakinkan banyak orang? Jawabnya adalah campuran filosofi sepak bola dan kehidupan bengal di masa muda! Di era 70-an, dia ngotot berkelana ke Inggris agar bisa cas cis cus bahasa Inggris.

Kuliahnya ditinggalkan, dan dia menetap di London sebelah utara, daerah kekuasaan The Gunners. Itulah kenapa saat itu dia langsung jadi fan Arsenal. Pub yang jadi tempat kerjanya itu, hanya selemparan batu dari Highbury, markas Arsenal pra-2006. Pulang dari Inggris, Alek langsung masuk partai persatuan pekerja Polandia (PZPR), yang berhaluan komunis. Dari sinilah karier politik Alek terus meningkat.

Kunjungannya sebagai presiden Polandia ke Inggris pada Mei 2004, menuntaskan rasa kangennya dengan London, dan so pasti, Arsenal. Apalagi saat itu Arsenal barusan meraih titel ke-13 Liga Inggris-nya via rekor hebat: unbeaten season, tak terkalahan semusim. Di partai terakhir, seri 2-2 lawan Spurs, Alek menonton dari TV di istana lalu bersorak-sorak tanpa memedulikan persiapannya ke Inggris beberapa hari lagi.

Warna Arsenal

Suatu hari, barisan protokoler Polandia dan Inggris sempat kalang kabut saat dia ada di London. Pasalnya Alek ngotot pergi ke Highbury. Pada sebuah media Inggris, dia malah bersemangat bikin statement soal Arsenal ketimbang politik! Alek merasa bangga sebab di era kepemimpinannya, Arsenal bisa meraih tiga gelar dari empat musim. Ini adalah episode ulangan saat dia berkunjung pertama kali pada 1996.

Menurut The Daily Telegraph edisi 27 Maret 1996, saat staf kementerian luar negeri Inggris bertanya adakah aktivitas extra-curricular yang akan dilakukan tuan presiden, Alek menjawab ingin menonton laga Arsenal lawan tuan rumah Newcastle United. Sadar lokasinya terlalu jauh, staf itu menawarkan Alek agar menonton laga Chelsea di London. “Sebagai fan, itu sama saja saya tak menghormati Arsenal,” jawab Alek.

Pada kunjungan kedua 5-7 Mei 2004, sebelum bertemu PM Tony Blair di Downing Street 10, London, Alek malah datang mendadak ke Highbury. Tak ada Arsene Wenger atau Thierry Henry. Ia cuma bertemu Edu, gelandang Arsenal asal Brasil, dan melakukan foto bersama dengan latar belakang Highbury. Tak heran saat pidato penyambutan, Blair sampai mencantumkan kata “Arsenal” di teksnya.

“Barangkali banyak yang tahu, dia seorang yang punya banyak pengalaman dengan negara ini, 30 tahun lalu datang sebagai mahasiswa, jadi suporter Arsenal, siapapun bisa memperkirakan pandangannya. Saya akan katakan ini pada anda, Alek, bahwa rakyat Inggris tak akan melupakan kontribusi dan keberanian rakyat Polandia yang anda pimpin menumbangkan komunisme,” begitu cuplikan pidato Blair.

Alek bertemu Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham pada 7 Mei 2004 untuk pertama kalinya. Mereka terlibat pembicaraan akrab, jauh dari keseriusan. Banyak yang membayangkan, barangkali keduanya tengah membahas Arsenal mengingat sang Ratu adalah juga seorang penggemar berat The Gunners. Nama Arsenal juga disebutkan Walikota London, Alderman Robert Finch, saat kunjungan ke Guildhall.

“Yang mulia tuan Presiden, seperti yang ketahui, Maret lalu saya berkunjung ke Warsawa untuk membantu kota ini menjadi basis ekonomi negeri dan Uni Eropa seperti halnya London. Kami siap menularkan pembangunan infrastruktur seperti jalan, rel kereta, atau yang diingini walikota Warsawa, sebuah stadion sepak bola megah, seperti yang akan dimiliki Arsenal!” kata Lord Mayor Robert Finch saat itu.

Aroma piłka nożna atau sepak bola, sangat terasa bagi pria kelahiran 15 November 1954 ini di mana saja ia berada. Di situs resminya, www.kwasniewskialeksander.eu, Alek tak sungkan memajang foto-fotonya beratribut sepak bola. Kredibilitas dan kompetensi sepak bola yang dimilikinya tak melulu merambah di Polandia atau di Inggris, tapi juga Eropa dan Amerika.

Pada forum strategis Eropa di Yalta, 29-30 Juni 2007, yang dihadiri Presiden AS (1993-2001) Bill Clinton, dan Kanselir Jerman (1998-2005) Gerhard Schroeder, pria yang pernah studi ekonomi transportasi dan perdagangan internasional di Universitas Gdańsk itu terlihat amat antusias. Sebab dalam konferensi yang mengupas ekonomi Eropa masa depan itu, bola juga dibahas.

Yang dimaksud adalah soal penyelenggaraan Piala Eropa 2012 yang akan berlangsung di Ukraina dan Polandia. Sejak lama, Kwasniewski mengidamkan negerinya bisa jadi tuan rumah turnamen sepak bola terbesar kedua setelah Piala Dunia itu. Ketika dia harus lengser jadi presiden, ambisinya ini ternyata tidak pupus. Dia ikut mempresentasikan langkah dan rencana Polandia menyambut EURO 2012.

Bermain Fantasi

Muhibahnya ke Inggris pada 2004 tadi, salah satunya bertujuan untuk memuluskan ambisi itu. Maklum, Inggris adalah tuan rumah Kongres UEFA yang menentukan siapa tuan rumah Piala Eropa 2012. Dengan kata lain, dia merayu Inggris agar memberikan suara pada negaranya saat voting. Polandia akhirnya ditunjuk jadi host EURO 2012 bersama Ukraina oleh UEFA pada 18 April 2007 di Cardiff.

Kegilaannya pada bola jangan ditanya lagi, baik yang nyata; dengan menonton atau beraksi jadi fan, maupun secara virtual dan artifisial. Dari laporan The Independent, sewaktu EURO 2004 bergulir di mana Polandia absen di Portugal, Kwasniewski tetap ikutan bermain fantasy manager EURO! Nama timnya muncul di sebuah media lokal yang menyelenggarakan smart game itu.

Dua pemain yang wajib dipilihnya adalah Pavel Nedved di sektor midfielder, dan Jan Koller di posisi attacker. Ia selalu kagum dengan permainan Republik Czek yang merefleksikan perjuangan gaya Eropa Timur. “Siapa yang akan jadi juara? Bagi saya selalu Czek. Mereka tetangga kami, yang memiliki skuad hebat. Jika para pemain seniornya tidak didera cedera, saya yakin mereka bakal juara,” tukas Kwasniewski saat itu.

Barangkali tim fantasinya masuk jajaran atas sebab terbukti Nedved dkk. melaju hingga semifinal sebelum kalah mengejutkan dari Yunani 0-1. Saat Czek mempecundangi Jerman 2-1, dia yang nonton bareng bersama khalayak ramai, ikut girang menikmati kalahnya Jerman. “Czek selalu begitu, setelah tertinggal lalu bangkit, mirip dengan Polandia di Piala Dunia 1974 dan 1982,” analisis bekas menteri olahraga ini.

Begitu juga saat berkunjung ke negeri Paman Sam. Diplomasi sepak bola tak dilupakannya. Pada Februari 2005, Kwasniewksi tiba di AS untuk kunjungan kerja dua hari. Setelah dinner party di Gedung Putih bersama George W Bush dan Zbigniew Brzeziński, politisi veteran Partai Demokrat AS kelahiran Warsawa, dia menyematkan bintang ksatria pada Piotr Nowak, pelatih klub lokal Washington DC United.

“Piotr Nowak dihormati bukan saja sebagai pemain bola yang hebat, tapi juga sebagai orang yang berjasa melayani olah raga Polandia dan AS. Saya memberikan The Cavalier Cross of the Order of Merit sebagai pengakuan, bukti dan rasa bersyukur Republik Polandia atas usaha promosi sepak bola di tanah Amerika yang dilakukannya bertahun-tahun,” begitu secuil pidato Kwasniewski di depan Bush dan Brzeziński.

Ini kebiasaan Kwasniewski sebagai duta sepak bola internasional. Pidato bermenit-menit itu banyak dihabiskan untuk menceritakan perjalanan karier Nowak! Di Gedung Putih tanpa sungkan ia menyebut kata-kata Włókniarz Pabianice, Turki, Swiss, sampai Bundesliga yang jadi tempat perjalanan karier Nowak. Bahkan termasuk juga menyebut nama eks pelatih nasional Polandia Andrzej Strejlau.

Di kemudian hari, penghargaan ini memacu dan memicu hasil yang hebat bagi persepak bolaan AS. Nowak, orang Polandia yang baru setahun melatih DC United, sejak 1998 main di MLS bersama Chicago Fire. Kini harkat eks pemain nasional Polandia di era 90-an itu semakin tinggi. Pria kelahiran 5 Juli 1964 ini adalah orang nomor dua di tim nasional AS, sebab telah menjadi asisten pelatih Bob Bradley.

Perjalanan hidup seorang Aleksandr Kwaśniewski merefleksikan bahwa selain bisa menyegarkan diplomasi dan memangkas birokrasi, sepak bola juga akan menggairahkan hubungan antar negara. Sepak bola itu multi guna. Hal ini sepatutnya banyak dilakukan para pemimpin negara di saat dunia kian sulit dikendalikan, tanpa batas, meminjam istilah Thomas L. Friedman: The World is Flat.

 

(foto: european university institute/george w.bush white house/twitter/jazrstrab post/)

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini