Liga Champion suka disebut 'Piala Dunia setiap tahun' lantaran mutu, pesona, dan gengsinya. Inilah lahan uji nyali eksekutor, juga medan tempur ideal buat yang biasanya cuma mikirin bagaimana menang, meraih momentum yang tepat, atau mencari efektivitas permainan di tengah pekan, di mana bioritme banyak bertubrukan dengan kondisi ril.
Mitos dan terkadang paradoks selalu melingkupi Liga Champion. Baik favorit maupun underdog selalu tertekan dalam melakoni laga, terutama menjelang babak akhir. Menurut Gerard Houllier, teknokrat sepak bola asal Prancis, kemenangan di Liga Champion ditentukan oleh keefektifan mengkreasi gol tanpa melupakan sisi pertahanan dan bioritme tubuh, juga hal seperti jetlag.
Bukan gol yang banyak, tapi gol yang komprehensif dan signifikan. Dia punya rumus atau tata cara memenangkan Liga Champion. Salah satunya Anda mesti punya rata-rata mencetak 1,5 gol tiap pertandingan, konstan. Ini bisa diterjemahkan satu gol lebih setiap main. Atau 3 gol yang Anda cetak dalam dua laga.
Jika grafik gol Anda 4-0, 2-1, 3-2, lalu 1-0 (@2,5 gol) maka itu tak lebih baik dari skor 1-0, 2-0, 2-1, dan 1-0 misalnya. Kenapa bisa begitu? Sepak bola adalah permainan keseimbangan. Hanya tim yang mengedepankan keseimbangan saja konon bakal sukses. Sepak bola cukup dimenangkan dan dijuarai dengan sebiji gol. Jangan lupakan lagi, bioritme. Ini teori Houllier.
Tidak ada jaminan usai menang 4-0, Anda tidak tersingkir karena kalah 0-1. Siapa yang berniat bikin banyak gol, berisiko pada organisasi permainannya. Itulah kenapa tiap gol Liga Champion dihargai uang oleh UEFA, dalam hal ini request dari para sponsor utamanya. Di Liga Champion, setiap tim bak berjudi, Menang, duit lawan Anda ambil. Kalah, uang Anda yang akan hilang,
Pada masa kini, di mana aspek permainan makin similar, juga pola latihan yang standar dan baku, tim yang bisa bikin selisih dua gol sebenarnya telah meraih target ideal. Pada hakikatnya sepak bola selalu berisi dua strategi. Bagaimana menyerang dan bertahan. Itu saja. Karena bolanya cuma satu, maka pada waktu diserang, Anda mesti dan pasti bertahan.
Prinsip ini bukan memihak pada tim yang sangat atraktif, tapi berlaku juga untuk tim yang paling defensif. Bahwa sepak bola soal gol benar adanya. Menyerang bentuk kerja untuk menang, dan kemenangan cuma lahir lewat gol. Sepak bola adalah sebuah permainan proses, seni bertahan dan menyerang terkadang merotasi fungsi. Penyerang jadi ikut bertahan. Bek maju menyerang.
Perihal ada yang mengedepankan pertahanan atau senang memprioritaskan penyerangan bukan jadi soal. Siapa yang seimbang memainkannya, dia yang akan sukses. Yang juga mesti diingat, tak ada jaminan kesebelasan yang bahkan selama 90 menit terus bisa bermain menyerang, akan bikin 12 gol. Contoh paling dekat adalah saat Spanyol merebut juara dunia pada 2010.
Siapapun kenal permainan menyerang ala La Furia Roja yang berintikan skuad agresif Barcelona. Kenanglah perjalanan mereka. Setelah dikejutkan dengan kekalahan 0-1 dari Swiss, lalu rangkaian skor dan gol-gol tim Matador selanjutnya adalah 2-0 (Honduras), 2-1 Chile, 1-0 (Portugal), 1-0 (Paraguay), 1-0 (Jerman), dan 1-0 (Belanda). Jumlah 8 gol dari 7 laga, atau rata-rata 1,14 gol/laga.
Apakah Spanyol main bertahan? Malah sebaliknya. Kenapa skornya pelit begitu? Ya, itu tadi lawan-lawannya tangguh dan gigih bertahan, dan kadang kali jatah waktu untuk Spanyol juga dihabiskan untuk bertahan karena mereka juga sering diserang. Keduanya proses itu sama-sama menggerogoti sang waktu. Belum lagi kalau ada banyak drama yang menggigit perasaan.
Sekali lagi, jika Anda mau bikin gol maka Anda harus menyerang. Tidak bisa tidak. Andai tak mau menyerang, maka lebih baik Anda berdoa saja agar pemain lawan tak karuan tiba-tiba bikin gol bunuh diri. Buat pakar strategi seperti Houllier, medan peperangan Liga Champion adalah yang paling pelik. Mantap dari sisi teknis, bisa saja bermasalah dari sisi mentalitas bahkan mitos.
Strategi Andalan
Tips Houllier ibaratnya do's yang mesti dipatuhi, dan itu baru separo jalan menuju sukses. Untuk melengkapinya, Anda juga harus ingat dont's yang ditabukan, yang terkait dengan fakta sejarah. Beberapa pantangan ini sering menjadi strategi andalan untuk meraih juara oleh klub-klub Italia. Berkali-kali Bayern Muenchen melanggarnya, dan berkali-kali pula mereka gagal di final.
Lalu apa saja pantangan itu? Yang pertama jangan jadikan laga final medan perang suci. Sebelum final 1994, Johan Cruijff berkata jika timnya sampai kalah, maka sepak bola akan mati! Baginya laga Barcelona vs AC Milan dengan serentetan retorika yang nyelekit. Mulai dari menyerang vs bertahan, romansa vs pragmatis, kepandaian vs efisien, sampai anak baik vs anak nakal.
Cruijff, dua tahun sebelumnya memberi trofi Champion untuk Barca pertama kalinya, secara tidak sadar meremehkan eksistensi Maldini, Boban, Donadoni, Savicevic, dan Desailly, bahkan esensi calcio secara total! Dia malah memotivasi Milan yang jadi tugas Fabio Capello. Akibatnya sadis. Belum sampai sejam, permainan benar-benar 'mati' sebab Milan telah unggul 4-0.
Kedua jangan meremehkan lawan seberapa jeleknya mereka. Ini yang ditanggung Glasgow Celtic. Merasa berpengalaman jadi juara pada 1967, manajer Jock Stein yakin menggapai titel keduanya di final 1970. Strateginya sepele, ia menyuruh anak buahnya main satu gaya: menyerang, tanpa mau tahu pola lawan. Sebaliknya pelatih Feyenoord, Ernst Happel, menemukan inspirasi.
Para pemainnya disuruh bertahan, menunggu dan menunggu. Ketika datang saatnya, mereka bikin serangan balik mematikan dengan motif menggelora, lalu sukses membuat gol penting. Gol itu lahir saat waktu ekstra 2 x 15 menit tinggal menyisakan dua menit jelang adu penalti, atau di menit 118! Celtic dan Stein tersentak, namun tak berdaya sebab kehabisan waktu.
Ulah Stein malahan melahirkan sejarah baru buat Feyenoord, klub Belanda yang pertama kali juara Eropa. Hal ketiga adalah jangan menjadikan Liga Champion sebagai momentum apapun. Tahu lawannya di final 1987 'cuma' FC Porto, presiden Bayern Muenchen Fritz Scherer telah menyiapkan pidato menyambut kemenangan untuk kelahiran kembali klubnya.
Muenchen adalah juara Champion tiga kali, yang terakhir juara 11 tahun silam. "Ini akan jadi fajar baru buat sebuah era besar bagi klub," katanya penuh yakin. 15 menit lagi memang ambisi itu akan tercapai. Muenchen telah unggul 1-0. Namun tiba-tiba, dua gol dalam waktu dua menit (77 dan 79) mengubur impian mereka selama-lamanya.
Satu legenda baru kembali dilahirkan oleh kepongahan lawan! Porto meraih titel pertama kalinya. Gilanya lagi, bak kepala batu, Muenchen kembali mengulangi hal yang sama, tepatnya 12 tahun kemudian. Dunia sulit melupakan laga di Camp Nou pada final 1999. Lawan kali ini jagoan dari Inggris, Manchester United, yang tampaknya hanya bermodalkan semangat beton.
Selama 80-an menit, trio Mario Basler, Jens Jeremies, dan Stefan Effenberg mengocok-ngocok lini tengah United yang hadir tanpa duet Paul Scholes dan kapten Roy Keane. Muenchen unggul cepat via Basler sejak menit 6. Namun setelah itu, mereka gagal menambah gol kedua, ketiga dan seterusnya. Inilah rupanya tanda bencana buat klub Bavaria tersebut.
Ketika kapten Lothar Matthaeus tiba-tiba diganti oleh Thorsten Fink di menit 80, Alex Ferguson seperti mendapat inspirasi. Semenit kemudian dia memasukkan Ole Gunnar Solskjaer. Fergie melakukan respons melihat kesalahan yang dibuat Ottmar Hitzfeld. Roh kekuatan Bayern telah hilang. Roh spiritual! Sejarah mencatat dalam dua menit (91 dan 93) United mengubah nasibnya.
Pas di menit 90, atau sebelum Teddy Sheringham menyamakan skor, Presiden UEFA Lennart Johansson meninggalkan kursinya untuk mengecek dan menyuruh trofi segera meng-grafir nama Bayern Muenchen sebagai juara. Namun saat balik ke kursinya, ia terkejut karena skor telah 1-1. Sel-sel otaknya masih kacau memikirkan situasi, Solskjaer kembali membuat gol!
"Saya tidak percaya menyaksikan semuanya. Sang juara malah menangis, sedangkan yang kalah amat bergembira," komentar Johansson melihat drama paling menggegerkan di Liga Champion. Di lapangan Samuel Kuffour meraung-raung sambil mencium rumput. Dan untuk kedua kalinya Matthaeus gagal mencium trofi. "Ini laga yang dimenangkan oleh tim beruntung, bukan oleh tim terbaik," kata sang kapten yang mesti merasakan kepedihan serupa seperti 12 tahun silam!
Rahasia Dortmund
Apapun prosesnya, sepak bola berlangsung 90 menit atau 120 menit lebih. Pantangan keempat yang tabu dibuat: jangan pernah percaya dengan skor babak pertama. Selain Ferguson, Rafael Benitez juga melakoninya di 2005. Dua gol Hernan Crespo dan Paolo Maldini di babak pertama tak menyurutkan semangatnya untuk menang. Di babak kedua Liverpool bisa mencetak tiga gol. 3-3! Lalu perpanjangan waktu. Lalu drama adu penalti. Lalu Milan kalah!
Cuma ada empat tim yang bangkit setelah tertinggal selisih dua gol, kemudian jadi juara. Pertama di final 1956. Setelah ketinggalan 0-2, Real Madrid memukul balik Stade De Reims 4-3. Benfica melakukannya di final 1962. Tertinggal 2-3 oleh superteam Real Madrid, pelatih Bela Guttman menyiapkan strategi jitu di babak kedua: menyuruh satu pemain untuk mengurung Alfredo Di Stefano, pemain kunci yang jadi kreator tiga gol buatan Ferenc Puskas. Hasilnya berjalan bagus, Benfica ganti menyerang dan bikin tiga gol di babak kedua dan menang 5-3.
Faktor kelima, ini strategi terpenting untuk merebut titel: selalu memiliki strategi tak diduga. Rafa Benitez mengganti bek kanan Steve Finnan dengan breaker Dietmar Hamann bukan karena disfungsi, namun melihat tiga taktik baru dari observasi brilyan. Pertama, Milan jarang menusuk dari wilayah itu. Kedua, si pendulum permainan Milan saat itu, Ricardo Kaka, mesti dihentikan. Ketiga, Benitez mengubah peran Xabi Alonso-Gerrard menjadi lebih menyerang. Inilah intisari strategi hebat Benitez yang dilabeli Rafalution oleh pers.
Di final 1969 Nereo Rocco membuat keputusan yang mengelabui Rinus Michels. Catenaccio, yang dipakai saat menyingkirkan skuad Matt Busby di semifinal, tiba-tiba dibuang Milan tatkala bertemu Ajax di final. Dia malah menyajikan menu menyerang membabi buta. Milan menang 4-1. Taktik ini ditiru Arrigo Sacchi (1989) dan Fabio Capello (1994). Milan menghantam Steaua Bucuresti dan Barcelona masing-masing 4-0.
Strategi tidak terduga mesti diterapkan oleh mereka yang ingin membuat sejarah baru. Tidak bisa tidak, sebab Liga Champion cenderung memihak kepada mereka yang 'berpengalaman' juara. Secara kebetulan penulis pernah menyaksikan proses kelahiran juara baru, tepatnya Rabu, 28 Mei 1997, di Olympiastadion, Muenchen, saat Borussia Dortmund menantang Juventus.
Hebat di Jerman, tangguh di Eropa. Dortmund yang digarap Ottmar Hitzfeld, sukses memukul favorit kuat, si juara bertahan Juventus dengan skor 3-1. Dua gol Karl-Heinz Riedle dan the rising star Lars Ricken menutup ambisi Juve menjadi klub pertama yang bisa menahan trofi lebih dari sekali. Namun, apa sih tanda-tanda lahirnya juara baru di Liga Champion?
Pertama dan wajib hukumnya, punya manajer hebat. Dortmund memilikinya pada diri Hitzfeld. Kedua, materi tim mumpuni, minimal seimbang. Lini pertahanan Dortmund amat tangguh. Bek kanan Stefan Reuter, duet bek tengah Juergen Kohler-Matthias Sammer serta bek kiri Joerg Heinrich. Di tengah, trio Paul Lambert, Paulo Sousa, dan sang kreator Andreas Moeller bisa meredam kuartet Angelo Di Livio, Vladimir Jugovic-Didier Deschamps, dan Zinedine Zidane.
Ketiga, ini soal lumrah tapi suka dilupakan: sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan pukulan terakhir. Pendek kata, banyak yang menanti dengan cara apa Hitzfeld bisa mengalahkan Marcello Lippi di kala kecenderungan sejarah tidak memihak mereka? Satu hal yang agak luput diperhatikan adalah bahwa sepertiga skuad Dortmund merupakan eks legiun Juventus.
Kohler, Reuter, Moeller dan juga Sousa merupakan bekas tokoh kunci Bianconeri. Memahami kekuatan dan kelemahan individu per individu adalah kunci sukses Dortmund. Hebatnya lagi mereka menjadi juara cuma melalui satu kesempatan, mengikuti kiprah Steaua Bucuresti (1986), Crvena Zvevda alias Red Star alias Stella Rossa (1991), serta Olympique Marseille (1993). Apakah di era milenium prestasi yang mereka lakukan bisa terjadi lagi? Inilah misterinya.
(foto: digital-news/memosport/bbc/arhiva.srbija)
Keseimbangan tim adalah kunci sukses di Liga Champion. |
Bukan gol yang banyak, tapi gol yang komprehensif dan signifikan. Dia punya rumus atau tata cara memenangkan Liga Champion. Salah satunya Anda mesti punya rata-rata mencetak 1,5 gol tiap pertandingan, konstan. Ini bisa diterjemahkan satu gol lebih setiap main. Atau 3 gol yang Anda cetak dalam dua laga.
Jika grafik gol Anda 4-0, 2-1, 3-2, lalu 1-0 (@2,5 gol) maka itu tak lebih baik dari skor 1-0, 2-0, 2-1, dan 1-0 misalnya. Kenapa bisa begitu? Sepak bola adalah permainan keseimbangan. Hanya tim yang mengedepankan keseimbangan saja konon bakal sukses. Sepak bola cukup dimenangkan dan dijuarai dengan sebiji gol. Jangan lupakan lagi, bioritme. Ini teori Houllier.
Tidak ada jaminan usai menang 4-0, Anda tidak tersingkir karena kalah 0-1. Siapa yang berniat bikin banyak gol, berisiko pada organisasi permainannya. Itulah kenapa tiap gol Liga Champion dihargai uang oleh UEFA, dalam hal ini request dari para sponsor utamanya. Di Liga Champion, setiap tim bak berjudi, Menang, duit lawan Anda ambil. Kalah, uang Anda yang akan hilang,
Pada masa kini, di mana aspek permainan makin similar, juga pola latihan yang standar dan baku, tim yang bisa bikin selisih dua gol sebenarnya telah meraih target ideal. Pada hakikatnya sepak bola selalu berisi dua strategi. Bagaimana menyerang dan bertahan. Itu saja. Karena bolanya cuma satu, maka pada waktu diserang, Anda mesti dan pasti bertahan.
Prinsip ini bukan memihak pada tim yang sangat atraktif, tapi berlaku juga untuk tim yang paling defensif. Bahwa sepak bola soal gol benar adanya. Menyerang bentuk kerja untuk menang, dan kemenangan cuma lahir lewat gol. Sepak bola adalah sebuah permainan proses, seni bertahan dan menyerang terkadang merotasi fungsi. Penyerang jadi ikut bertahan. Bek maju menyerang.
Perihal ada yang mengedepankan pertahanan atau senang memprioritaskan penyerangan bukan jadi soal. Siapa yang seimbang memainkannya, dia yang akan sukses. Yang juga mesti diingat, tak ada jaminan kesebelasan yang bahkan selama 90 menit terus bisa bermain menyerang, akan bikin 12 gol. Contoh paling dekat adalah saat Spanyol merebut juara dunia pada 2010.
Siapapun kenal permainan menyerang ala La Furia Roja yang berintikan skuad agresif Barcelona. Kenanglah perjalanan mereka. Setelah dikejutkan dengan kekalahan 0-1 dari Swiss, lalu rangkaian skor dan gol-gol tim Matador selanjutnya adalah 2-0 (Honduras), 2-1 Chile, 1-0 (Portugal), 1-0 (Paraguay), 1-0 (Jerman), dan 1-0 (Belanda). Jumlah 8 gol dari 7 laga, atau rata-rata 1,14 gol/laga.
Apakah Spanyol main bertahan? Malah sebaliknya. Kenapa skornya pelit begitu? Ya, itu tadi lawan-lawannya tangguh dan gigih bertahan, dan kadang kali jatah waktu untuk Spanyol juga dihabiskan untuk bertahan karena mereka juga sering diserang. Keduanya proses itu sama-sama menggerogoti sang waktu. Belum lagi kalau ada banyak drama yang menggigit perasaan.
Crvena Zvevda vs Marseille di final 1990/91. |
Strategi Andalan
Tips Houllier ibaratnya do's yang mesti dipatuhi, dan itu baru separo jalan menuju sukses. Untuk melengkapinya, Anda juga harus ingat dont's yang ditabukan, yang terkait dengan fakta sejarah. Beberapa pantangan ini sering menjadi strategi andalan untuk meraih juara oleh klub-klub Italia. Berkali-kali Bayern Muenchen melanggarnya, dan berkali-kali pula mereka gagal di final.
Lalu apa saja pantangan itu? Yang pertama jangan jadikan laga final medan perang suci. Sebelum final 1994, Johan Cruijff berkata jika timnya sampai kalah, maka sepak bola akan mati! Baginya laga Barcelona vs AC Milan dengan serentetan retorika yang nyelekit. Mulai dari menyerang vs bertahan, romansa vs pragmatis, kepandaian vs efisien, sampai anak baik vs anak nakal.
Cruijff, dua tahun sebelumnya memberi trofi Champion untuk Barca pertama kalinya, secara tidak sadar meremehkan eksistensi Maldini, Boban, Donadoni, Savicevic, dan Desailly, bahkan esensi calcio secara total! Dia malah memotivasi Milan yang jadi tugas Fabio Capello. Akibatnya sadis. Belum sampai sejam, permainan benar-benar 'mati' sebab Milan telah unggul 4-0.
Kedua jangan meremehkan lawan seberapa jeleknya mereka. Ini yang ditanggung Glasgow Celtic. Merasa berpengalaman jadi juara pada 1967, manajer Jock Stein yakin menggapai titel keduanya di final 1970. Strateginya sepele, ia menyuruh anak buahnya main satu gaya: menyerang, tanpa mau tahu pola lawan. Sebaliknya pelatih Feyenoord, Ernst Happel, menemukan inspirasi.
Para pemainnya disuruh bertahan, menunggu dan menunggu. Ketika datang saatnya, mereka bikin serangan balik mematikan dengan motif menggelora, lalu sukses membuat gol penting. Gol itu lahir saat waktu ekstra 2 x 15 menit tinggal menyisakan dua menit jelang adu penalti, atau di menit 118! Celtic dan Stein tersentak, namun tak berdaya sebab kehabisan waktu.
Ulah Stein malahan melahirkan sejarah baru buat Feyenoord, klub Belanda yang pertama kali juara Eropa. Hal ketiga adalah jangan menjadikan Liga Champion sebagai momentum apapun. Tahu lawannya di final 1987 'cuma' FC Porto, presiden Bayern Muenchen Fritz Scherer telah menyiapkan pidato menyambut kemenangan untuk kelahiran kembali klubnya.
Marseille baru sukses di 1992/93 setelah mengoreksi final 1990/91. |
Satu legenda baru kembali dilahirkan oleh kepongahan lawan! Porto meraih titel pertama kalinya. Gilanya lagi, bak kepala batu, Muenchen kembali mengulangi hal yang sama, tepatnya 12 tahun kemudian. Dunia sulit melupakan laga di Camp Nou pada final 1999. Lawan kali ini jagoan dari Inggris, Manchester United, yang tampaknya hanya bermodalkan semangat beton.
Selama 80-an menit, trio Mario Basler, Jens Jeremies, dan Stefan Effenberg mengocok-ngocok lini tengah United yang hadir tanpa duet Paul Scholes dan kapten Roy Keane. Muenchen unggul cepat via Basler sejak menit 6. Namun setelah itu, mereka gagal menambah gol kedua, ketiga dan seterusnya. Inilah rupanya tanda bencana buat klub Bavaria tersebut.
Ketika kapten Lothar Matthaeus tiba-tiba diganti oleh Thorsten Fink di menit 80, Alex Ferguson seperti mendapat inspirasi. Semenit kemudian dia memasukkan Ole Gunnar Solskjaer. Fergie melakukan respons melihat kesalahan yang dibuat Ottmar Hitzfeld. Roh kekuatan Bayern telah hilang. Roh spiritual! Sejarah mencatat dalam dua menit (91 dan 93) United mengubah nasibnya.
Pas di menit 90, atau sebelum Teddy Sheringham menyamakan skor, Presiden UEFA Lennart Johansson meninggalkan kursinya untuk mengecek dan menyuruh trofi segera meng-grafir nama Bayern Muenchen sebagai juara. Namun saat balik ke kursinya, ia terkejut karena skor telah 1-1. Sel-sel otaknya masih kacau memikirkan situasi, Solskjaer kembali membuat gol!
"Saya tidak percaya menyaksikan semuanya. Sang juara malah menangis, sedangkan yang kalah amat bergembira," komentar Johansson melihat drama paling menggegerkan di Liga Champion. Di lapangan Samuel Kuffour meraung-raung sambil mencium rumput. Dan untuk kedua kalinya Matthaeus gagal mencium trofi. "Ini laga yang dimenangkan oleh tim beruntung, bukan oleh tim terbaik," kata sang kapten yang mesti merasakan kepedihan serupa seperti 12 tahun silam!
Rahasia Dortmund
Apapun prosesnya, sepak bola berlangsung 90 menit atau 120 menit lebih. Pantangan keempat yang tabu dibuat: jangan pernah percaya dengan skor babak pertama. Selain Ferguson, Rafael Benitez juga melakoninya di 2005. Dua gol Hernan Crespo dan Paolo Maldini di babak pertama tak menyurutkan semangatnya untuk menang. Di babak kedua Liverpool bisa mencetak tiga gol. 3-3! Lalu perpanjangan waktu. Lalu drama adu penalti. Lalu Milan kalah!
Cuma ada empat tim yang bangkit setelah tertinggal selisih dua gol, kemudian jadi juara. Pertama di final 1956. Setelah ketinggalan 0-2, Real Madrid memukul balik Stade De Reims 4-3. Benfica melakukannya di final 1962. Tertinggal 2-3 oleh superteam Real Madrid, pelatih Bela Guttman menyiapkan strategi jitu di babak kedua: menyuruh satu pemain untuk mengurung Alfredo Di Stefano, pemain kunci yang jadi kreator tiga gol buatan Ferenc Puskas. Hasilnya berjalan bagus, Benfica ganti menyerang dan bikin tiga gol di babak kedua dan menang 5-3.
Faktor kelima, ini strategi terpenting untuk merebut titel: selalu memiliki strategi tak diduga. Rafa Benitez mengganti bek kanan Steve Finnan dengan breaker Dietmar Hamann bukan karena disfungsi, namun melihat tiga taktik baru dari observasi brilyan. Pertama, Milan jarang menusuk dari wilayah itu. Kedua, si pendulum permainan Milan saat itu, Ricardo Kaka, mesti dihentikan. Ketiga, Benitez mengubah peran Xabi Alonso-Gerrard menjadi lebih menyerang. Inilah intisari strategi hebat Benitez yang dilabeli Rafalution oleh pers.
Di final 1969 Nereo Rocco membuat keputusan yang mengelabui Rinus Michels. Catenaccio, yang dipakai saat menyingkirkan skuad Matt Busby di semifinal, tiba-tiba dibuang Milan tatkala bertemu Ajax di final. Dia malah menyajikan menu menyerang membabi buta. Milan menang 4-1. Taktik ini ditiru Arrigo Sacchi (1989) dan Fabio Capello (1994). Milan menghantam Steaua Bucuresti dan Barcelona masing-masing 4-0.
Strategi tidak terduga mesti diterapkan oleh mereka yang ingin membuat sejarah baru. Tidak bisa tidak, sebab Liga Champion cenderung memihak kepada mereka yang 'berpengalaman' juara. Secara kebetulan penulis pernah menyaksikan proses kelahiran juara baru, tepatnya Rabu, 28 Mei 1997, di Olympiastadion, Muenchen, saat Borussia Dortmund menantang Juventus.
Andrea Moeller tahu banyak kekurangan Juventus. |
Pertama dan wajib hukumnya, punya manajer hebat. Dortmund memilikinya pada diri Hitzfeld. Kedua, materi tim mumpuni, minimal seimbang. Lini pertahanan Dortmund amat tangguh. Bek kanan Stefan Reuter, duet bek tengah Juergen Kohler-Matthias Sammer serta bek kiri Joerg Heinrich. Di tengah, trio Paul Lambert, Paulo Sousa, dan sang kreator Andreas Moeller bisa meredam kuartet Angelo Di Livio, Vladimir Jugovic-Didier Deschamps, dan Zinedine Zidane.
Ketiga, ini soal lumrah tapi suka dilupakan: sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan pukulan terakhir. Pendek kata, banyak yang menanti dengan cara apa Hitzfeld bisa mengalahkan Marcello Lippi di kala kecenderungan sejarah tidak memihak mereka? Satu hal yang agak luput diperhatikan adalah bahwa sepertiga skuad Dortmund merupakan eks legiun Juventus.
Kohler, Reuter, Moeller dan juga Sousa merupakan bekas tokoh kunci Bianconeri. Memahami kekuatan dan kelemahan individu per individu adalah kunci sukses Dortmund. Hebatnya lagi mereka menjadi juara cuma melalui satu kesempatan, mengikuti kiprah Steaua Bucuresti (1986), Crvena Zvevda alias Red Star alias Stella Rossa (1991), serta Olympique Marseille (1993). Apakah di era milenium prestasi yang mereka lakukan bisa terjadi lagi? Inilah misterinya.
(foto: digital-news/memosport/bbc/arhiva.srbija)