Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku

Kejayaan sepak bola terkadang dibatasi waktu. Dominasi Barcelona dan Manchester United di pentas Eropa sekarang ini adalah sebuah rangkaian panjang proses evolusi Liga Champion. Berawal dari impian, ambisi, kemauan. Dijalankan oleh kerja keras dan pemikiran. Butuh pengorbanan, mengatasi risiko, enerji, serta biaya yang besar. Itulah, mengapa, kedua klub tersebut menjadi calon serius untuk memenangkan titel Eropa musim 2011/12.
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Sir Alex Ferguson dan Pep Guardiola. Hidup adalah belajar.
Pada 18 Mei 1960, seorang perjaka berbaur di antara 135.000 pasang mata yang menjejali Hampden Park, stadion nasional yang jadi markas tim lokal Queen's Park. Bujangan 19 tahun ini asli anak Glasgow, dan striker binaan salah satu klub di ibukota Skotlandia itu selain Celtic dan Rangers. Apa yang dia lihat sangat mempesonakan, inspiratif, lalu membenam jauh dalam sel-sel otaknya: final Liga Champion 1959/60.

Real Madrid, mahaklub Eropa di era itu, dengan teganya menguliti klub Jerman Barat, Eintracht Frankfurt, lewat skor 7-3. Madrid juara Eropa untuk kelima kali secara beruntun. Pemuda santun ini jadi saksi sebuah dominasi. Dia, Alexander Chapman Ferguson, menikmati laga final penuh magis, revolusioner sekaligus misterius, lantaran menjadi persembahan trofi terakhir Madrid di dekade itu.

Tiga rekannya lain: Andy Roxburgh, Billy Bremner, dan Jimmy Johnstone juga hadir di Hampden Park. Jelang 1960, Skotlandia lumayan menguasai lalu lintas antarklub di benua biru. Pada akhirnya cuma ada satu klub di mana borjuisme, hedonisme berpadu yang pantas merampas impian indah: Los Blancos. Spanyol adalah kendala nomor satu Skotlandia untuk meraih prestasi puncak.

Ferguson masih ingat sepak bola negerinya runtuh karena arogan. Sebelum berangkat ke Jerman untuk memulai laga semifinal pertama, manajer Glasgow Rangers, Scot Symon, terprovokasi liputan media-massa Britania. Eintracht? Siapa mereka? Buat orang-orang Skotlandia, prestasi klub Jerman selalu dianggap kebetulan. Rangers dan Symon jelas pongah.

Ia menyuruh timnya agar tak usah mencoba lapangan sebab itu akan dilakukan nanti saat berlaga. Buang-buang waktu saja. Lalu dampaknya, mereka dilumat Eintracht 1-6. Pada semifinal di Ibrox, spirit tidak bisa mendongkrak keadaan. Rangers kembali dicukur 3-6. Total agregat golnya 12-4, bayangkan! Sejak itu paradigma di tanah Halloween tersebut berubah.

Ferguson, Roxburgh, Bremner, dan Johnstone sulit untuk tak mengidolakan si jenius Hongaria, Ferenc Puskas, atau Alfredo Di Stefano. Di Inggris, George Best, Jimmy Greaves, dan Bobby Charlton langsung menyatakan diri jadi partisannya. Kemenangan Real Madrid 7-3 - di mana Puskas bikin empat gol, dan Di Stefano tiga gol - membuat Don Revie mengubah sejarah Leeds United selamanya.
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Trio maut Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, dan Francisco Gento.
Meski diprotes, manajer Leeds ini sukses mengubah kostum Leeds jadi putih-putih. Demi membuka belenggu sepak bola Britania yang terkucil, Matt Busby (Manchester United) juga mengajak Jock Stein (Celtic) dan Willie Waddell (Rangers). Caranya adalah dengan mempelajari gaya main Eropa secara serius. Pada 1965, Stein bertanya pada kapten Nerazzurri, Giacinto Facchetti, soal konsep catenaccio racikan Helenio Herrera. Dua tahun kemudian, Stein sukses membawa Celtic sebagai klub Britania pertama yang menjadi kampiun Eropa usai mengalahkan Internazionale Milano.

Dalam final 1967 di Lisbon, Celtic mengatasi Inter yang bergaya kosmopolitan, berteknik canggih, dan glamor di mana para laskarnya beraksi laksana aktor Cesare Romero potongan rambut sleek-backed dan senyum Colgate. Media massa di Britania menjuluki Celtic dengan Lisbon Lions lantaran melakukan 42 kali shoot on target ke gawang Giuliano Sarti!

Murni, inilah sepak bola inventif, sergah Stein yang lagak lagunya dan pola pikirnya langsung mengilhami Ferguson muda pada waktu itu. Apa rahasia kehebatan Stein saat itu? Sebelum berlaga di final, dia mewajibkan pasukannya untuk menonton rekaman final 18 Mei 1960 di Hampden Park. Tujuannya agar kepercayaan diri pemain Celtic berkobar-kobar.

Scotch Whisky
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Real Madrid, superklub di Eropa era 1960-an.
Gaya magis duet maut Puskas-Di Stefano juga menginspirasi dua bocah Belanda berusia 14 tahun, Barrie Hulshoff dan Gerrie Muhren. Satu dekade kemudian, mereka membawa Ajax Amsterdam mendominasi titel tiga tahun berturut-turut. 
Saat bertemu Madrid di Bernabeu, Muhren beratraksi meng-juggling lalu meliak-liuk separo lapangan usai dapat umpan. Di semifinal kedua Ajax menang 1-0 dari gol emas Muhren. 

"Bermain melawan Madrid selalu jadi impian saya," akunya dalam buku Brilliant Orange karya David Winner. Namun representasi gaya Amsterdammers sejati adalah Hendrik Johannes Cruijff. Permainan cepat, seksi, dan menawan seperti potongan rambut dan tubuhnya kelak akan mengubah permainan di Spanyol.

Bersama Johan Neeskens dan majikannya, Rinus Michels, Cruijff mendirikan akademi sepak bola La Masia. Di kemudian hari, Cruijff dan Neeskens memandu El Barca menerapkan gaya tik-tak, passing akurat, interaksi, pergerakan cepat yang berbasis pada teknik individu. Dengan rute yang berputar, gaya kolektivitas ala Puskas-Di Stefano 'dipindahkan' orang-orang Belanda ke Barcelona.

Arrigo Sacchi coba mengadaptasi gaya Madrid 60 saat menukangi Milan di akhir 1980-an tapi dengan metode L'uomo contro uomo, satu lawan satu. Ia pecandu permainan Honved (klub asal Puskas), Madrid, Brasil, dan Belanda. "Olanda 1970-an sangat menggugah emosi. TV terlalu kecil. Saya butuh melihat seluruh lapangan untuk memahami permainan mereka," sergah Sacchi tanpa tedeng aling-aling.

Dua dekade kemudian, Sacchi sungguhan merealisasikan hasratnya. Bergerak, menekan, dan keyakinan jadi kuncinya. Jangan lupa, menang saja tak cukup tapi harus menghibur, kilahnya. Salah satu anak asuhnya di Rossoneri adalah Frank Rijkaard, yang lama ditempa di Ajax. Transformasi permainan kontemporer pada poros Madrid- Ajax-Milan berakhir saat Rijkaard menggarap Barcelona.

Tokoh di belakang layar yang mengatur itu tiada lain, Johan Cruijff, yang ngotot merekomendasikan Rijkaard mengingat curriculum vitae yang hebat di Milan. Pada diri Rijkaard terdapat seni bertahan khas Italia. Di Barca, dia memerankan posisi menteri dalam catur yang dulu dimainkan Cruijff. Dengan begitu Rijkaard bisa mempromosikan bidak-bidak Barca, yang terunggul adalah Josep Guardiola.

Sejak belia Pep kebetulan sudah khatam menyaksikan tayangan final Hampden Park 1960 sehingga memahami betul irama orkestra trio Ferenc Puskas-Alfredo Di Stefano-Francisco Gento. Pep punya kelebihan lain yang sulit ditiru teknokrat muda sepak bola. Ia senang belajar dan cari pengalaman hingga ke ujung dunia. Roma, Brescia, Doha, bahkan ke Culliacan di Meksiko. Jadi berbahagialah Barca!

Kini kita kembali dulu ke cerita semula. Seorang Briton yang memang istimewa, salah satu yang jadi saksi hidup final 1960: Alex Ferguson. Masuk di milenium baru, tiba-tiba gejolak dan hasrat membabi-buta makin menggodanya. Fergie masih mengingat segalanya, Real Madrid dan duet Puskas-Di Stefano, dengan baik. Dan itu harus segera dilaksanakan mumpung masih ada umur.
Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Final Liga Champion 1960 yang ditonton Alex Ferguson muda.
Pemaknaannya tentang Real Madrid 1960 mesti dilakoni di Manchester United. Modalnya adalah skuad berteknik tinggi, kuat, dan cepat yang turunannya bisa digambarkan sebagai berikut: bek tanpa pandang bulu, gelandang yang jeli dan lihai membaca permainan, serta penyerang yang punya insting predator. Fergie selalu terobsesi dengan Puskas, dan itu harus didapatkannya.

Momentum dimulai dengan diciduknya Eric Cantona dari Leeds United. Nyaris saja dia merekrut Guardiola. Bahkan sempat terpikir Paul Gascoigne. Namun yang dibeli justru Juan Veron. Kegagalan adalah pintu menuju kesuksesan. Di tengah melakoni pertempuran demi pertempuran di Premier League, dia selalu menyimpan baik-baik obsesinya.

Saat akhirnya Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, dan Dimitar Berbatov diusung sebagai three muskeeters di Old Trafford, para ahli taktik memahami tujuan dan determinasi Ferguson pada konsep teknik, imajinasi dan penyerangan frontal. Mereka juga semakin manggut-manggut saat muncul isu Carlos Tevez yang bakal menggenapi fantastic four di pentas atraksi era modern.

Inilah realiasi kuartet Puskas-Di Stefano-Gento-Raymond Kopra versi Fergie! Tanpa disadari, dia mendahului Guardiola, Rijkaard, bahkan Cruijff soal konsep penyerang modern. Selain jam terbang dan pengalaman yang menjadi kata kunci suksesnya, pengidolaan Ferguson pada Stein juga amat berarti. Berkat advis sang mentornya itu, Ferguson bisa bikin bukti lebih dulu.

Boxers vs Sluggers

Di 1983, dia merebut titel Eropa pertamanya di Piala Winner bersama Aberdeen. Siapa yang dilibas amat menyentak: Real Madrid asuhan Ferenc Puskas! Apa Anda tak ingin acungkan botol Scotch whisky kepadanya andai The White Arrow yang menang?" ucap Stein pada Fergie sebelum final. Sejarah mencatat, Fergie tetap memberi Puskas sebotol wiski yang menerimanya dengan wajah bingung.

Pada 15 Mei 1991 di Rotterdam, giliran Ferguson dan United mengalahkan Cruijff dan Barca 2-1 pada final Piala Winner 1990/91. Lalu tiga tahun kemudian, Cruijff membalasnya dengan tega, menang 4-0 pada putaran Grup A Liga Champion di Camp Nou. Pada 28 April 2008 di Old Trafford, Rijkaard dan Azulgrana ganti dibekap 0-1, sehingga urung ke final sebab sepekan sebelumnya dibendung 0-0.

Sampai berhenti jadi pelatih, Rijkaard tak pernah mengalahkan Fergie. Namun era berubah, karena itulah rupanya kemenangan terakhir Red Devils atas Barca. Seperti kehilangan akal, di depan Guardiola, Ferguson selalu takluk. Dua final di tiga musim terakhir, Guardiola memenangkan seluruh duelnya. 2-0 pada final 2009 dan 3-1 di final 2011.

Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Manchester United dirobek-robek Barcelona pada 2009.
Di Olimpico 2009, kekalahan disebabkan kesalahan taktik sebab United memilih pola bertahan dan cuma ingin serangan balik. Tak diduga Fergie menyimpan Berbatov dan Ronaldo jadi striker tunggal. Lantas di Wembley 2011 Fergie tidak punya dalih lagi kecuali mengakui kehebatan Lionel Messi dan gaya Barca yang akarnya diilhami dari sebuah laga yang disaksikannya 51 tahun lalu, setengah abad lebih! 

Bagaimana Fergie menyiapkan diri andai kata di final 2012 bertemu Guardiola lagi, tampaknya patut dicermati baik-baik. Berharaplah United dan Barca sama-sama lancar jaya di putaran grup sesuai skenario sehingga tak lahir perjumpaan aneh-aneh di awal. Bukan di semifinal, apalagi final. setuju atau tidak, faktanya kedua klub itulah yang kini tengah mendominasi kejuaraan.

Liga Champion selalu melahirkan dominasi permainan, seperti yang ditunjukkan Real Madrid pada akhir 50-an dan 60-an, Ajax dan Bayern Muenchen di 70-an, atau Liverpool dan Milan pada 1980-an. Di lima musim terakhir Liga Champion, Barca dan United berhasil menembus empat kali semifinal. Barca dua kali juara, sementara United sekali.

"Barcelona (asuhan Pep) adalah tim terberat dan terhebat yang pernah saya temui," begitu kata Sir Alex usai disikat 1-3 pada final terakhirnya, Mei 2011. Tapi jangan salah, bagi Ferguson kalah tentu berbeda dengan menyerah. Dan rasanya dia belum, atau bahkan tak akan pernah menyerah! Jika bertemu lagi di final 2012, maka bisa jadi duel Barca vs United kian lama akan kian klasik dikenang.

Sir Alex Ferguson: Jalan Panjang Berliku
Berani mengakui kalah ilmu dari Pep Guardiola.
Barangkali seperti Muhammad Ali vs Joe Frazier, atau Evander Holyfield vs Mike Tyson di tinju. Barca yang bertipe boxers adalah Ali atau Holyfield, United yang berciri fighters atau sluggers itu seperti Frazier atau Tyson. Guardiola dan Fergie sama-sama diilhami oleh kesemarakan permainan trio Puskas-Di Stefano-Gento yang menjadi kunci kejayaan Madrid di era awal Liga Champion Eropa.

Keduanya tahu betul apa yang harus dilakukan. Dengan penguasaan bola rata-rata 62% melawan tim manapun, poros Xavi-Iniesta-Messi akan berkuasa dan United akan kesulitan menahan dominasi itu. Tapi bukan berarti Barcelona boleh merasa tenang. Sirene tanda bahaya langsung berbunyi bila bola jatuh di kaki Rooney atau Nani, lalu Javier Hernandez lepas dari pengawasan.

Ketiganya amat ditakuti Barca lantaran kelebihan skill dan imajinasi, juga kecepatannya. Final 2009 dan 2011 kita lihat bagaimana Barcelona tanpa basa-basi selalu menyerang, menekan, dan menyerang. Sementara Manchester United menunggu, menunggu, menyerang (balik), dan menunggu. Tiada yang berubah dari itu? Bisa jadi. Namun sekali lagi, Ferguson bukan orang yang pantang menyerah.

Dengan sisa waktu dan rembetan usianya, Ferguson pasti berusaha mati-matian merebut titel ketiganya di Liga Champion, bahkan membidik yang keempat, sehingga Manchester United bisa menyamai rekor rivalnya Liverpool, lima kali juara. Pada akhirnya, halangan terbesar impian Ferguson adalah Guardiola, pemain yang nyaris direkrutnya pada 2001 ke Old Trafford.

Barca rezim Guardiola sedang menemukan kejayaannya, bahkan melebihi apa yang dicapai Rijkaard dan Cruijff. Barangkali skenario untuk final 2012 terlalu cepat dikemukakan mengingat tidak ada kepastian dalam sepak bola. Akan tetapi sepak bola juga menganut bentuk kemungkinan. Mungkinkah Guardiola bertemu lagi dengan Ferguson pada final Muenchen pada 19 Mei 2012?

(foto: kickoff/theguardian/ibtimes/uefa/thesun)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini