Suatu kali Sepp Blatter melontarkan gagasannya agar Piala Dunia bisa digulirkan tiap tiga tahun. Bukan empat tahun sekali. Pesan yang ditangkap banyak pihak adalah ia tengah bicara tentang solidaritas yang menjadi filosofi andalannya. Itu saja? Jelas tidak. Yang kemudian akhirnya menjadi kontroversial adalah makna yang tersirat dari hasrat sang godfather sepak bola itu.
Awalnya, Blatter mengedepankan soal keadilan. Ia menginginkan semua belahan planet ini bisa menggelar hajatan paling gemerlap, paling menguntungkan, dan serba paling lainnya itu. Sepak bola milik semua orang! Inilah senjata utama FIFA jika sudah bicara sosialismenya. Namun, percayalah, ujung-ujung dari keinginan itu tetap saja bisnis semata. Dengan kata lain uang! Sepele saja, semakin sering ajang sepak bola dengan ikon nasionalisme digelar, maka uang pun akan semakin mengalir deras dan kekuasaan semakin kukuh.
Aset dan investasi FIFA terbesar dan sepanjang masa adalah Piala Dunia, yang bergulir tiap empat tahun. Dari kacamata sport-business, World Cup merupakan pesta olah raga terbesar di dunia. Ia adalah pasar terbesar multi-industri yang pernah ada. Mulai dari otomotif sampai sayap ayam goreng. Dari teknologi informasi hingga cukuran jenggot.
Namun, Blatter dan kompatriotnya tetap belum puas karena mereka yakin masih ada kejuaraan sejenis yang bisa dijual, yakni Confederations Cup. Pembenaran bahwa Piala Dunia pantas digelar dua-tiga tahun akhirnya menjadi kenyataan dengan hadirnya ajang tanpa historis yang tiba-tiba sudah memasuki edisi kelima atau ketujuh jika dihitung sejak 1992.
Secara faktual, Piala Konfederasi adalah wahana penentu naiknya Blatter ke singgasana Presiden FIFA pada 1998. Maka dari itu, selain terus dikatrol gengsinya, ajang ini juga menjadi pertaruhan kredibilitas sang supremo. Piala Konfederasi sebenarnya idenya berasal dari Arab Saudi.
Saat itu putra mahkota Arab Saudi, Sultan bin Fahd bin Abdulaziz alias Pangeran Saud, tanpa diduga menggelar sebuah turnamen sepak bola pada 1992 yang didedikasikan untuk ayahnya, Raja Fahd. Karenanya, sederhana saja, hajatan bola ini dinamakan King Fahd Cup.
Namun jika dikaji lebih dalam lagi, Piala Konfederasi atau Piala Raja Fahd juga bukan yang pertama digelar. Sejarah mencatat bahwa pada 1980-1981, tepatnya di Montevideo, mulai 30 Desember hingga 10 Januari, dihampar apa yang disebut Mundialito, yang dalam bahasa Spanyol bermakna Piala Dunia Mini. Bangsa Latin menyebut ajang ini dengan Copa de Oro de Campeones de Mundiales, atau Piala Juara Dunia! Ternyata sudah jadi juara dunia pun masih belum puas.
Namun Inggris menolak ikut, sebab tak mau menghentikan tradisi Boxing-Day di periode itu di liga dan Piala FA. Akhirnya rayu punya rayu, pikir punya pikir, Belanda yang dibujuk. Eh, mereka mau. Maka jadilah Piala Dunia sejati digelar. Ide gila dari orang-orang Latin tersebut sangat fenomenal sebab enam negara juara dunia hingga saat itu: Uruguay, Italia, Jerman, Brasil, Inggris, dan Argentina diundang.
Pendek kata, apakah Mundialito sah disebut sebagai bapak-moyangnya Piala Konfederasi? Tidak juga. Jadi siapa? Ada, dialah Taca das Nacoes yang dikreasi oleh Brasil pada 1964 lalu digelar di dua kota terbesarnya, Rio De Janiero dan Sao Paulo sejak 30 Mei hingga 7 Juni 1964. Brasil, yang terus dibasahi euforia lantaran sanggup meraih juara dunia 1958 dan 1962 secara beruntun, mengundang dua wakil Eropa, Inggris dan Portugal, serta negeri tetangganya, Argentina.
Brasil mengundang ketiga negara berdasarkan faktor "suka-suka" saja, subyektif, tanpa kriteria jelas, dan tampaknya karena sikap megalomania yang bablas. Portugal diundang karena dianggap salah satu orang tua mereka secara kultur dan genetis atau pertalian darah. Inggris adalah afeksi terbesar sepak bola Brasil. Mereka selalu terpukau oleh embah-nya sepak bola. Secara resmi sih undangan untuk Inggris dikaitkan sebagai calon tuan rumah 1966.
Lalu Argentina? Nah, ini dia, entah kenapa bukan Uruguay yang diundang, atau minimal ditambahkan. Di mata Brasil, Argentina lebih menggoda meski di kawasan Amerika Selatan, justru Uruguay-lah jagoannya. Argentina kebanyakan kalah dari Uruguay. Brasil lebih sering menang dari Uruguay, namun dengan Argentina masih bejaban. Barangkali itulah alasan utamanya. Kalau mau jujur harusnya yang diundang Bolivia, yang secara mencengangkan menjadi juara Copa America 1963.
Akhir kata, dalam Taca das Nacoes 1964, Brasil kena batunya. Tim Samba harus puas di posisi kedua klasemen akhir. Pele, Jairzinho dkk. kalah telak 0-3 dari Tim Tango, seri 1-1 melawan Inggris dan mengalahkan Portugal 4-1. Saat kalah dari Argentina, lahir kejadian kontroversial setelah Pele menanduk hidung pemain lawan, José AgustÃn Messiano, hingga patah! Dilihat dari kadarnya, memang, persaingan para jawara selalu panas. Mungkin hal inilah yang terus menjanjikan di masa depan.
Artemio Franchi
Waktu terus berjalan. Los Charruas kembali mengulangi peristiwa Maracanazo 1950 sebab kembali menang 2-1 di final Mundialito 1980 yang dijejali 71.000-an ribu penonton di Estadio Monumental. Stadion ini adalah tempat di mana mereka meraih juara dunia pertama pada 1930. Yang menarik di ajang kedua cikal bakal Piala Konfederasi ini, kriteria peserta jauh lebih obyektif. Semua partisipan adalah para juara dunia! Apakah semua setuju? Tentu tidak.
Uruguay, selain jadi tuan rumah, dianggap sebagai juara dunia pertama 1930 lalu 1950 yang patut dihormati. Lalu Italia berstatus juara dunia 1934 dan 1938. Jerman Barat 1954 dan 1974. Brasil 1958, 1962, dan 1970. Argentina 1978, dan satu lagi seharusnya Inggris, yang menjadi juara dunia 1966. Namun di mata kreator sepak bola, Mundialito - digelar 30 Desember 1980 hingga 10 Januari 1981 - dianggap kejuaraan buang-buang waktu yang tujuannya hanya untuk mengenang masa lalu kejayaaan masing-masing. Inggris menolak ikut, salah satu sebab lainnya adalah tidak mau mengorbankan perhatian pada Boxing Day dan Piala FA yang sedang dipentaskan saat itu.
Inspirasi Taca das Nacoes dan Mundialito tidak pernah terkubur. Eropa, yang saat itu memang sedang bersaing panas dengan Amerika Latin, justru mengambil untung. Dengan memanfaatkan media massa, lobi, sponsor, dan infrastruktur yang lebih beres dibanding Latin, UEFA malah mencuri ide rivalnya, CONMEBOL. Meski dalam taraf lebih kecil. Idenya sepele saja. Mengadu juara Eropa dengan Amerika Latin. Jika di klub bernama Piala Toyota, maka di ajang antar negara, namanya Piala Artemio Franchi.
Tenang dulu karena Anda pasti sedikit bingung dengan titel kejuaraan. Artemio Franchi adalah presiden UEFA (1972-1983) yang menggerakan opini agar Eropa jangan buang waktu untuk mencari siapa yang terkuat di dunia. Artinya adalah, kasta permainan juga kesibukan kompetisi Eropa yang amat teratur, jangan dibuat mundur dengan harus bertanding dengan wilayah lain di dunia yang masih terkebelakang. Maaf untuk Asia, Afrika, dan Amerika Utara apalagi Oseania, sebab kenyataannya memang benar.
Akan tetapi, setelah dicoba dua kali, 1985 dan 1993, hasilnya bisa runyam jika diterusi. Pada saat itu teknologi transportasi dan komunikasi belum semaju sekarang. Jika dilegalkan apalagi reguler, mereka yakin banyak pemain yang kelenger harus terbang memutari separo bumi, Eropa-Amerika Selatan pulang pergi.
Jadi Piala Artemio Franchi hanya mencatat nama Les Bleus (1985) dan Albiceleste (1993) sebagai juaranya. Kenangan ini tentu saja membekas kuat di kepala seseorang yang kini telah jadi capo di cappi tutti-nya sepak bola dunia. Kita kembali ke cerita Piala Raja Fahd di awal 1990-an.
Blatter, yang waktu itu masih menjabat Sekretaris Jenderal FIFA, melihat peluang. Ia sontak mendukungnya dan menamai turnamen itu dengan International Championship. Maklum oleh Pangeran Saud yang diundang datang ke Riyadh adalah Argentina, juara Copa America 1991, Amerika Serikat, juara Amerika Utara dan Tengah, Pantai Gading, juara Afrika 1992, serta tuan rumah yang menyandang titel juara Asia 1988. Mata Blatter mendelik sebab dipandang dari peserta jelas pagelaran baru ini bergengsi.
Argentina tampil sebagai negara pertama yang menjuarai Piala Raja Fahd alias Piala Konfederasi kuno. Di final yang digelar di Stadion Raja Fahd II, Riyadh, dan dipelototi 75.000-an penonton itu tim Tango menuntaskan tuan rumah Arab Saudi, 3-1, lewat gol Leonardo Rodriguez, Diego Simeone, dan Gabriel Batistuta. Sedangkan satu gol balasan pasukan Elang Hijau dibuat oleh bintangnya, Said Al-Owairan. Pemain terbaik diraih oleh gelandang elegan Argentina, Fernando Redondo.
Pergelaran King Fahd Cup kedua kembali marak pada 1995 dengan peserta diperluas. Arab Saudi tetap didaulat menjadi tuan rumah. Lima kontestan lain adalah Argentina, Denmark, Jepang, Meksiko, dan Nigeria, yang kesemuanya membawa panji konfederasi masing-masing. Blatter, dengan kuasanya, merasa jumawa lantaran sukses membawa Denmark ke padang pasir. Posisi tawarnya di hadapan FIFA pun makin menguat.
Diadopsi FIFA
Argentina kembali ke final. Namun di laga pamungkas itu, sang juara bertahan takluk oleh Denmark sang pendatang baru. Dua gol dari Michael Laudrup dan Peter Rasmussen sudah cukup menerbangkan trofi emas ke Kopenhagen. Hasil ini seperti membayar kekalahan pahit mereka dua tahun sebelumnya. Saat itu tim Dinamit kalah dari Diego Maradona cs dalam sebuah final laga setengah resmi pada 1993 di Mar Del Plata, Argentina, dengan skor 5-6 lewat tos-tosan.
Berkat pertemanan yang erat dengan kawan-kawan Arab-nya, antara lain Mohammad bin Hammam, kini Presiden AFC, Blatter langsung membidik masa depan. Masa edar Dr. Joao Havelange sebagai supremo FIFA tinggal sebentar lagi. Lantas, pada 1997 Piala Raja Fahd resmi diadopsi FIFA dan resmi dinamai FIFA Confederations Cup. Havelange, yang sudah jompo dan disibukkan mengurus aset pribadi sebelum dipensiunkan, menyetujui dan tinggal meneken MOU-nya.
Sejarah mencatat, pada 12-21 Desember 1997 Piala Konfederasi telah lahir. Peserta membludak menjadi delapan negara. Juara Asia, Arab Saudi, lagi-lagi diberi jatah sebagai penyelenggara pertama. Lainnya adalah Brasil (juara dunia), Uruguay (juara Amerika Selatan), Ceko (juara Eropa), UEA (runner-up Asia), Meksiko (juara Concacaf), Afrika Selatan (juara Afrika), dan Australia (juara Oseania).
Sejak saat itu pula pergelaran akbar sepak bola berjalan seperti ini: 1998 Piala Dunia, 1999 Piala Konfederasi, 2000 Piala Eropa, 2001 Piala Konfederasi, 2002 Piala Dunia, 2003 Piala Konfederasi, 2004 Piala Eropa, dan 2005 Piala Konfederasi, serta 2006 Piala Dunia, dan seterusnya dan seterusnya. Jadi bayangkanlah bagaimana perkasanya, katakanlah, seorang Thierry Henry yang selama 6 tahun, sejak 1998 hingga 2004, satu bulan pun tidak pernah putus bermain bola!
Makanya jangan dikira bila para pelatih dan pemain profesional senang dengan adanya Piala Konfederasi. Mereka semua sudah kelelahan. Blatter tidak mau tahu. Yang ia pegang adalah para bos konfederasi yang terdiri dari enam orang. Fatwa yang lahir kemudian adalah setiap jawara regional, semisal dari Piala Asia atau Piala Afrika bahkan juara dunia dan calon tuan rumah Piala Dunia, diharuskan mengikuti turnamen ini. Titik.
FIFA merilis Piala Konfederasi adalah pertarungan antarbenua sekaligus peluang bagi para juara regional berkumpul dalam semangat kompetisi secara fair play - saling menantang satu sama lain untuk mengklaim yang terbaik dari enam konfederasi. Kompetisi ini juga memberi kesempatan pada negara dari konfederasi berkembang untuk menguji kemajuan mereka melawan negara dari benua yang lebih mapan dan makmur.
Serangkaian kalimat di atas merupakan nilai-nilai ideal. Singkatnya, Blatter bercita-cita menjadikan sepak bola kian mengglobal. Namun amanah agung yang dicanangkan FIFA dalam Piala Konfederasi bagi beberapa pihak cuma dianggap sebagai make-up belaka. UEFA, petinggi, pelatih, hingga pemain terutama dari klub-klub kelompok G-14 justru menilai ajang itu tak punya nilai apa pun selain bisnis FIFA.
Piala Konfederasi merupakan turnamen paling tak populer serta kontroversial yang pernah diselenggarakan FIFA. Pasalnya, sebagian besar klub-klub Eropa, anggota UEFA, enggan melepas para pemainnya untuk bergabung di timnas setelah semusim penuh berkutat di kompetisi liga.
Seks Lebih Baik
Selain FIFA, mayoritas insan sepak bola telak-telak menganggap Piala Konfederasi adalah isu paling bullshit yang pernah ada. Kenyataannya, kejuaraan ini adalah usaha terselubung perbudakan olah raga tanpa mengenal belas kasihan dan perasaan. Piala Konfederasi 2005 adalah bukti kepala batunya FIFA, yang menganggap kematian Marc-Vivien Foe di Prancis 2003 sebagai insiden belaka dan bukan sebuah feed-back negatif dari rangkaian ambisi berlebihan.
"Para sponsor, pemegang hak siar televisi, pemasang iklan, dan pihak-pihak lain yang bergantung pada turnamen ini tentu tak ingin ada penundaan. FIFA barangkali hanya menyampaikan basa-basi tentang betapa mengerikannya peristiwa kematian Marc-Vivian Foe dan bagaimana mereka akan menghormatinya. Tapi, sebenarnya mereka tidak mempedulikannya. Tak seorang pun mempedulikan para pemain. Kami dianggap cuma seonggok daging," kritik Mikael Silvestre, bek Manchester United sekaligus pemain nasional Prancis.
Apa yang diharapkan dari (mutu) Piala Dunia mini jikalau para pemainnya sudah kelelahan? Sepakat atau tidak, akhir Mei adalah batas akhir pekerjaan seorang pesepak bola sebelum memasuki masa istirahat yang optimalnya cuma beberapa minggu. Lantas di mana ada waktu untuk bercengkerama dengan anggota keluarga, katakanlah, pada diri Hernan Crespo atau Ricardo Kaka yang baru saja menyelesaikan kompetisinya lalu selang sepekan sudah harus latihan, latihan dan bertanding lagi dengan seragam tim nasional.
Semua pemain terbaik telah menghabiskan tenaganya di Liga Eropa dan Liga Champion. Hormatilah mereka barang setahun karena tiap dua tahun sekali pun mereka sudah digenjot napasnya untuk Piala Eropa dan Piala Dunia, sebagian kecil lagi bahkan di Olimpiade.
"Rasanya seperti pelajar yang malas dan bodoh ketika datang ke sekolah," aku Robert Pires jika menganalogikan bermain di Piala Konfederasi. "Kalau boleh memilih, saya lebih suka menghabiskan waktu dengan seks. Lebih menyehatkan dan memperpanjang hidup," sambung gelandang serang Les Bleus ketika ajang tanpa sejarah ini digelar di negaranya pada 2003.
Meski dapat banyak kritikan, FIFA bertekad mempertahankan Piala Konfederasi agar tetap bergulir. Apalagi FIFA telah memiliki kontrak dengan pihak sponsor, pemegang hak siar televisi, dan pihak-pihak lainnya yang akan berakhir tahun 2006 nanti. Dalam pertemuan di Zurich beberapa waktu lalu, Blatter kembali menjelaskan komitmen FIFA menggelar Piala Konfederasi kepada para perwakilan klub-klub besar di Eropa.
"FIFA mendesak klub-klub Eropa untuk mempertimbangkan lagi pandangan mereka terhadap Piala Konfederasi. Sebagai badan sepak bola dunia, FIFA yakin kompetisi ini punya nilai besar, tak hanya bagi publik, tapi juga untuk klub sendiri. Sementara itu keinginan klub agar memperoleh kompensasi finansial dari asosiasi atau federasi sepak bola ketika memanggil pemain mereka untuk membela timnas, FIFA berjanji akan mempelajari masalah ini lebih mendalam," begitu rilis resmi yang dikeluarkan FIFA.
Sering kali pemain tak punya pilihan. Demi karier dan hidupnya, akhirnya mereka rela 'menyabung nyawa' dengan cuma menyandarkan diri pada sokongan motivasi klasik terhebat di dunia: uang. And then the show must go on. Cepat atau lambat, setuju atau antipati, FIFA akan tetap sukses mengerek ajang ini dengan tajuk Festival of Champions mulai 5 - 29 Juni 2005 mendatang di lima kota di Jerman.
DAFTAR JUARA PIALA KONFEDERASI
(foto: bongdaplus/destinationsoccer/dw/mindenuruguay/sportal/pes classic stats)
Denmark juara Piala Konfederasi 2005. |
Aset dan investasi FIFA terbesar dan sepanjang masa adalah Piala Dunia, yang bergulir tiap empat tahun. Dari kacamata sport-business, World Cup merupakan pesta olah raga terbesar di dunia. Ia adalah pasar terbesar multi-industri yang pernah ada. Mulai dari otomotif sampai sayap ayam goreng. Dari teknologi informasi hingga cukuran jenggot.
Namun, Blatter dan kompatriotnya tetap belum puas karena mereka yakin masih ada kejuaraan sejenis yang bisa dijual, yakni Confederations Cup. Pembenaran bahwa Piala Dunia pantas digelar dua-tiga tahun akhirnya menjadi kenyataan dengan hadirnya ajang tanpa historis yang tiba-tiba sudah memasuki edisi kelima atau ketujuh jika dihitung sejak 1992.
Secara faktual, Piala Konfederasi adalah wahana penentu naiknya Blatter ke singgasana Presiden FIFA pada 1998. Maka dari itu, selain terus dikatrol gengsinya, ajang ini juga menjadi pertaruhan kredibilitas sang supremo. Piala Konfederasi sebenarnya idenya berasal dari Arab Saudi.
Raja Arab Saudi Fahd Bin Abdul Aziz Al Saud. |
Namun jika dikaji lebih dalam lagi, Piala Konfederasi atau Piala Raja Fahd juga bukan yang pertama digelar. Sejarah mencatat bahwa pada 1980-1981, tepatnya di Montevideo, mulai 30 Desember hingga 10 Januari, dihampar apa yang disebut Mundialito, yang dalam bahasa Spanyol bermakna Piala Dunia Mini. Bangsa Latin menyebut ajang ini dengan Copa de Oro de Campeones de Mundiales, atau Piala Juara Dunia! Ternyata sudah jadi juara dunia pun masih belum puas.
Namun Inggris menolak ikut, sebab tak mau menghentikan tradisi Boxing-Day di periode itu di liga dan Piala FA. Akhirnya rayu punya rayu, pikir punya pikir, Belanda yang dibujuk. Eh, mereka mau. Maka jadilah Piala Dunia sejati digelar. Ide gila dari orang-orang Latin tersebut sangat fenomenal sebab enam negara juara dunia hingga saat itu: Uruguay, Italia, Jerman, Brasil, Inggris, dan Argentina diundang.
Pendek kata, apakah Mundialito sah disebut sebagai bapak-moyangnya Piala Konfederasi? Tidak juga. Jadi siapa? Ada, dialah Taca das Nacoes yang dikreasi oleh Brasil pada 1964 lalu digelar di dua kota terbesarnya, Rio De Janiero dan Sao Paulo sejak 30 Mei hingga 7 Juni 1964. Brasil, yang terus dibasahi euforia lantaran sanggup meraih juara dunia 1958 dan 1962 secara beruntun, mengundang dua wakil Eropa, Inggris dan Portugal, serta negeri tetangganya, Argentina.
Brasil mengundang ketiga negara berdasarkan faktor "suka-suka" saja, subyektif, tanpa kriteria jelas, dan tampaknya karena sikap megalomania yang bablas. Portugal diundang karena dianggap salah satu orang tua mereka secara kultur dan genetis atau pertalian darah. Inggris adalah afeksi terbesar sepak bola Brasil. Mereka selalu terpukau oleh embah-nya sepak bola. Secara resmi sih undangan untuk Inggris dikaitkan sebagai calon tuan rumah 1966.
Argentina 1964, diremehkan Brasil malah jadi juara. |
Akhir kata, dalam Taca das Nacoes 1964, Brasil kena batunya. Tim Samba harus puas di posisi kedua klasemen akhir. Pele, Jairzinho dkk. kalah telak 0-3 dari Tim Tango, seri 1-1 melawan Inggris dan mengalahkan Portugal 4-1. Saat kalah dari Argentina, lahir kejadian kontroversial setelah Pele menanduk hidung pemain lawan, José AgustÃn Messiano, hingga patah! Dilihat dari kadarnya, memang, persaingan para jawara selalu panas. Mungkin hal inilah yang terus menjanjikan di masa depan.
Artemio Franchi
Kegembiraan Uruguay di Mundialito 1980. |
Inspirasi Taca das Nacoes dan Mundialito tidak pernah terkubur. Eropa, yang saat itu memang sedang bersaing panas dengan Amerika Latin, justru mengambil untung. Dengan memanfaatkan media massa, lobi, sponsor, dan infrastruktur yang lebih beres dibanding Latin, UEFA malah mencuri ide rivalnya, CONMEBOL. Meski dalam taraf lebih kecil. Idenya sepele saja. Mengadu juara Eropa dengan Amerika Latin. Jika di klub bernama Piala Toyota, maka di ajang antar negara, namanya Piala Artemio Franchi.
Tenang dulu karena Anda pasti sedikit bingung dengan titel kejuaraan. Artemio Franchi adalah presiden UEFA (1972-1983) yang menggerakan opini agar Eropa jangan buang waktu untuk mencari siapa yang terkuat di dunia. Artinya adalah, kasta permainan juga kesibukan kompetisi Eropa yang amat teratur, jangan dibuat mundur dengan harus bertanding dengan wilayah lain di dunia yang masih terkebelakang. Maaf untuk Asia, Afrika, dan Amerika Utara apalagi Oseania, sebab kenyataannya memang benar.
Akan tetapi, setelah dicoba dua kali, 1985 dan 1993, hasilnya bisa runyam jika diterusi. Pada saat itu teknologi transportasi dan komunikasi belum semaju sekarang. Jika dilegalkan apalagi reguler, mereka yakin banyak pemain yang kelenger harus terbang memutari separo bumi, Eropa-Amerika Selatan pulang pergi.
Michel Platini cs. menjuarai Trofi Artemio Franchi 1985. |
Blatter, yang waktu itu masih menjabat Sekretaris Jenderal FIFA, melihat peluang. Ia sontak mendukungnya dan menamai turnamen itu dengan International Championship. Maklum oleh Pangeran Saud yang diundang datang ke Riyadh adalah Argentina, juara Copa America 1991, Amerika Serikat, juara Amerika Utara dan Tengah, Pantai Gading, juara Afrika 1992, serta tuan rumah yang menyandang titel juara Asia 1988. Mata Blatter mendelik sebab dipandang dari peserta jelas pagelaran baru ini bergengsi.
Pergelaran King Fahd Cup kedua kembali marak pada 1995 dengan peserta diperluas. Arab Saudi tetap didaulat menjadi tuan rumah. Lima kontestan lain adalah Argentina, Denmark, Jepang, Meksiko, dan Nigeria, yang kesemuanya membawa panji konfederasi masing-masing. Blatter, dengan kuasanya, merasa jumawa lantaran sukses membawa Denmark ke padang pasir. Posisi tawarnya di hadapan FIFA pun makin menguat.
Diadopsi FIFA
Argentina juara Piala Konfederasi 1993. |
Berkat pertemanan yang erat dengan kawan-kawan Arab-nya, antara lain Mohammad bin Hammam, kini Presiden AFC, Blatter langsung membidik masa depan. Masa edar Dr. Joao Havelange sebagai supremo FIFA tinggal sebentar lagi. Lantas, pada 1997 Piala Raja Fahd resmi diadopsi FIFA dan resmi dinamai FIFA Confederations Cup. Havelange, yang sudah jompo dan disibukkan mengurus aset pribadi sebelum dipensiunkan, menyetujui dan tinggal meneken MOU-nya.
Sejarah mencatat, pada 12-21 Desember 1997 Piala Konfederasi telah lahir. Peserta membludak menjadi delapan negara. Juara Asia, Arab Saudi, lagi-lagi diberi jatah sebagai penyelenggara pertama. Lainnya adalah Brasil (juara dunia), Uruguay (juara Amerika Selatan), Ceko (juara Eropa), UEA (runner-up Asia), Meksiko (juara Concacaf), Afrika Selatan (juara Afrika), dan Australia (juara Oseania).
Sejak saat itu pula pergelaran akbar sepak bola berjalan seperti ini: 1998 Piala Dunia, 1999 Piala Konfederasi, 2000 Piala Eropa, 2001 Piala Konfederasi, 2002 Piala Dunia, 2003 Piala Konfederasi, 2004 Piala Eropa, dan 2005 Piala Konfederasi, serta 2006 Piala Dunia, dan seterusnya dan seterusnya. Jadi bayangkanlah bagaimana perkasanya, katakanlah, seorang Thierry Henry yang selama 6 tahun, sejak 1998 hingga 2004, satu bulan pun tidak pernah putus bermain bola!
Makanya jangan dikira bila para pelatih dan pemain profesional senang dengan adanya Piala Konfederasi. Mereka semua sudah kelelahan. Blatter tidak mau tahu. Yang ia pegang adalah para bos konfederasi yang terdiri dari enam orang. Fatwa yang lahir kemudian adalah setiap jawara regional, semisal dari Piala Asia atau Piala Afrika bahkan juara dunia dan calon tuan rumah Piala Dunia, diharuskan mengikuti turnamen ini. Titik.
FIFA merilis Piala Konfederasi adalah pertarungan antarbenua sekaligus peluang bagi para juara regional berkumpul dalam semangat kompetisi secara fair play - saling menantang satu sama lain untuk mengklaim yang terbaik dari enam konfederasi. Kompetisi ini juga memberi kesempatan pada negara dari konfederasi berkembang untuk menguji kemajuan mereka melawan negara dari benua yang lebih mapan dan makmur.
Serangkaian kalimat di atas merupakan nilai-nilai ideal. Singkatnya, Blatter bercita-cita menjadikan sepak bola kian mengglobal. Namun amanah agung yang dicanangkan FIFA dalam Piala Konfederasi bagi beberapa pihak cuma dianggap sebagai make-up belaka. UEFA, petinggi, pelatih, hingga pemain terutama dari klub-klub kelompok G-14 justru menilai ajang itu tak punya nilai apa pun selain bisnis FIFA.
Piala Konfederasi merupakan turnamen paling tak populer serta kontroversial yang pernah diselenggarakan FIFA. Pasalnya, sebagian besar klub-klub Eropa, anggota UEFA, enggan melepas para pemainnya untuk bergabung di timnas setelah semusim penuh berkutat di kompetisi liga.
Seks Lebih Baik
Selain FIFA, mayoritas insan sepak bola telak-telak menganggap Piala Konfederasi adalah isu paling bullshit yang pernah ada. Kenyataannya, kejuaraan ini adalah usaha terselubung perbudakan olah raga tanpa mengenal belas kasihan dan perasaan. Piala Konfederasi 2005 adalah bukti kepala batunya FIFA, yang menganggap kematian Marc-Vivien Foe di Prancis 2003 sebagai insiden belaka dan bukan sebuah feed-back negatif dari rangkaian ambisi berlebihan.
"Para sponsor, pemegang hak siar televisi, pemasang iklan, dan pihak-pihak lain yang bergantung pada turnamen ini tentu tak ingin ada penundaan. FIFA barangkali hanya menyampaikan basa-basi tentang betapa mengerikannya peristiwa kematian Marc-Vivian Foe dan bagaimana mereka akan menghormatinya. Tapi, sebenarnya mereka tidak mempedulikannya. Tak seorang pun mempedulikan para pemain. Kami dianggap cuma seonggok daging," kritik Mikael Silvestre, bek Manchester United sekaligus pemain nasional Prancis.
Kenangan Oscar Ruggeri, kapten Argentina pada 1992. |
Semua pemain terbaik telah menghabiskan tenaganya di Liga Eropa dan Liga Champion. Hormatilah mereka barang setahun karena tiap dua tahun sekali pun mereka sudah digenjot napasnya untuk Piala Eropa dan Piala Dunia, sebagian kecil lagi bahkan di Olimpiade.
"Rasanya seperti pelajar yang malas dan bodoh ketika datang ke sekolah," aku Robert Pires jika menganalogikan bermain di Piala Konfederasi. "Kalau boleh memilih, saya lebih suka menghabiskan waktu dengan seks. Lebih menyehatkan dan memperpanjang hidup," sambung gelandang serang Les Bleus ketika ajang tanpa sejarah ini digelar di negaranya pada 2003.
Meski dapat banyak kritikan, FIFA bertekad mempertahankan Piala Konfederasi agar tetap bergulir. Apalagi FIFA telah memiliki kontrak dengan pihak sponsor, pemegang hak siar televisi, dan pihak-pihak lainnya yang akan berakhir tahun 2006 nanti. Dalam pertemuan di Zurich beberapa waktu lalu, Blatter kembali menjelaskan komitmen FIFA menggelar Piala Konfederasi kepada para perwakilan klub-klub besar di Eropa.
"FIFA mendesak klub-klub Eropa untuk mempertimbangkan lagi pandangan mereka terhadap Piala Konfederasi. Sebagai badan sepak bola dunia, FIFA yakin kompetisi ini punya nilai besar, tak hanya bagi publik, tapi juga untuk klub sendiri. Sementara itu keinginan klub agar memperoleh kompensasi finansial dari asosiasi atau federasi sepak bola ketika memanggil pemain mereka untuk membela timnas, FIFA berjanji akan mempelajari masalah ini lebih mendalam," begitu rilis resmi yang dikeluarkan FIFA.
Sering kali pemain tak punya pilihan. Demi karier dan hidupnya, akhirnya mereka rela 'menyabung nyawa' dengan cuma menyandarkan diri pada sokongan motivasi klasik terhebat di dunia: uang. And then the show must go on. Cepat atau lambat, setuju atau antipati, FIFA akan tetap sukses mengerek ajang ini dengan tajuk Festival of Champions mulai 5 - 29 Juni 2005 mendatang di lima kota di Jerman.
DAFTAR JUARA PIALA KONFEDERASI
Tahun
|
Tuan Rumah
|
Juara
|
Finalis
|
Nama Turnamen
|
1964
|
Brasil
|
Argentina
|
Brasil
|
Taca das Nacoes
|
1980
|
Uruguay
|
Uruguay
|
Brasil
|
Mundialito
|
1985
|
Prancis
|
Prancis
|
Uruguay
|
Trofi Artemio Franchi
|
1992
|
Saudi Arabia
|
Argentina
|
Arab Saudi
|
Piala Konfederasi
|
1993
|
Argentina
|
Argentina
|
Denmark
|
Trofi Artemio Franchi
|
1995
|
Saudi Arabia
|
Denmark
|
Argentina
|
Piala Konfederasi
|
1997
|
Saudi Arabia
|
Brasil
|
Australia
|
Piala Konfederasi
|
1999
|
Meksiko
|
Meksiko
|
Brasil
|
Piala Konfederasi
|
2001
|
Korea Selatan
|
Jepang
|
Prancis
|
Piala Konfederasi
|
2003
|
Prancis
|
Prancis
|
Kamerun
|
Piala Konfederasi
|
2005
|
Jerman
|
Brasil
|
Argentina
|
Piala Konfederasi
|
(foto: bongdaplus/destinationsoccer/dw/mindenuruguay/sportal/pes classic stats)