Rakyat Bulgaria adalah pencinta fanatik sepak bola. Di sana, sepak bola dianggap sebagai olah raga nasional. Awal 1960-an bisa dibilang sebagai awal kebangkitan pigskin (sepak bola) negeri yang pernah dijajah Turki ini. Pada masa itu mereka telah mempunyai seorang bintang yang bernama Georgi Asparoukhov.
Konon ketika diadakan angket tidak resmi oleh Komisi Sentral Partai Komunis pada suatu daerah di bagian kota Plovdiv, 75 persen anak laki-laki bercita-cita ingin seperti Asparoukhov, sebagai pemain bola yang jadi pahlawan bangsa. Sisanya mau jadi tentara atau politisi. Diantara yang 75% inilah terdapat Stoichkov. Seperti perjalanan hidup pemain besar lainnya, karier Stoichkov pun diawali sejak masa kanak-kanak.
Ia dilahirkan di Plovdiv, wilayah selatan Bulgaria pada 8 Februari 1966. Ketika memasuki umur 10 tahun, Stoichkov yang kala itu dipanggil 'Hitzo' oleh teman-temannya, sudah terdaftar sebagai pemain bola belia pada klub lokal Hebros Harmanli.
Meski mendapat tentangan dari orang tuanya, yang lebih ingin ia berkonsentrasi pada sekolah, bocah berkaki kidal ini tetap saja nekat mengikuti audisi, lolos, dan akhirnya menjalani pelatihan hari demi hari, minggu demi minggu. Bulan berganti bulan, musim berganti musim, tahun berganti tahun.
Dasar berbakat, kemajuan yang diperoleh Hitzo membuat pengurus klub itu berdecak kagum. Mulai saat itu kedua orang tuanya menyadari bahwa bakat sang anak ternyata di sepak bola. Ketika berumur 12 tahun, si bocah berambut ikal pindah ke klub yang lebih besar, Maritza Plovdiv. Ia pun mulai mengikuti kompetisi junior divisi tiga.
Tahun 1984 rombongan pencari bakat dari klub CFKA Sredets melihat permainan Hitzo, yang bermain sebagai striker. Mereka segera melaporkannya pada Dimitar Penev, sang pelatih kepala. Tak lama kemudian diundangnya untuk mengikuti audisi langsung. "Pertama kali melihat dia saya langsung tertarik. Anak itu punya sikap ekstrem namun justru karena faktor itu suatu saat ia akan memberi keuntungan pada kami," kenang Penev.
Hukuman Pertama
CFKA Sredets adalah salah satu klub besar di Bulgaria yang menjadi rival sekota Vitosha. Angin pembaharuan, usai robohnya Tembok Berlin, Gerakan Glasnost dan Perestroika, juga menerpa Bulgaria. Walhasil pada 1989 CFKA Sredets berganti nama menjadi CSKA Sofia. Vitosha pun berganti merek menjadi Levski Spartak.
Rivalitas Sredets vs Vitosha mendominasi atmosfir kompetisi Liga Bulgaria selama puluhan tahun, sejak digelar pertama kali pada 1924. Hingga tahun 1990, atau saat terakhir dibela Hitzo, CFKA Sredets/CSKA Sofia telah 26 kali menjadi penguasa negeri. Sedang Levski 18 kali.
Bagi Hitzo sendiri, masuk klub sebesar CSKA dianggapnya sesuatu yang luar biasa. Saking senangnya dia menggondol semua barang kesayangannya sejak kecil ke asrama CSKA. Baginya CSKA adalah rumah barunya. "Dengan masuk klub ini saya berharap bisa sebesar Michel Platini," ungkapnya waktu itu. Platini, bintang top Prancis, adalah idolanya Hitzo.
Insting Penev mulai mendatangkan hasil. Karakter Hitzo yang gampang meledak-ledak itu memang terkadang menguntungkan tim, namun sering pula merugikan. Positifnya, ia dianggap tokoh protagonis yang sanggup memicu tensi dan memacu semangat rekan-rekannya dalam setiap laga. Mengingat CSKA adalah klub Angkatan Darat, karakter ala Hitzo memang dibutuhkan.
Namun wewenang yang diberikan pelatihnya itu pernah disalah-gunakan. Sesuatu yang negatif, namun tidak akan mengubah takdir Hitzo sebagai pemain hebat Bulgaria. Peristiwanya terjadi di laga derby melawan Levski di final Piala Liga Bulgaria 1985. Lantaran terlalu bersemangat mengobarkan spirit bertanding kepada teman-temannya, Hitzo dianggap sebagai biang kerok kerusuhan di lapangan.
Dalam laga panas tersebut, Hitzo dan dua orang rekannya diganjar kartu merah. Laga itu sungguhan berakhir rusuh, di dalam lapangan antar sesama pemain, maupun di luar stadion yang melahirkan pertikaian antar pendukung.
Derita Hitzo tambah berat sebab BFU (PSSI Bulgaria) menjatuhkan vonis pada Hitzo, yang masa hukumannya tidak jelas sampai kapan. Tapi dasar dikenal sebagai pemain bagus, Hitzo dan dua rekannya yang sedang menjalani masa hukuman ini akhirnya mendapat pengampunan. Banyak pengamat dan media massa sepakat kualifikasi Piala Dunia 1986 jauh lebih penting daripada melarang ketiga pemain, termasuk Hitzo, tidak boleh main bola. BFU pun melunak.
Seperti Masinis
Tim nasional bukan tempat asing bagi Hitzo. Ia memulai debut di tim nasional ketika ia ditarik masuk ke dalam tim nasional U-21 yang sedang dipersiapkan ke Olimpiade 1984 di Los Angeles. Selama di timnas junior, Hitzo membela negaranya 23 kali.
Sementara di tim nasional senior, debutnya terjadi pada September 1987 ketika Bulgaria bertemu Belgia di penyisihan Piala Eropa 1988. Hitzo tampil 66 menit untuk menggantikan Iordan Iordanov yang tiba-tiba cedera. Hitzo sukses sebab Bulgaria menang 2-0 atas Eric Gerets dkk.
Publik dan media massa tak melupakan permainan menawan Hitzo. Ia begitu nyetel dengan dua rekannya yang sebelumnya sama-sama dihukum BFU, Emil Kostadinov dan Luboslav Penev. Semua merasa bersyukur atas keputusan memaafkan Hitzo dkk.
Trio penyerang SKP (Stoichkov-Kostadinov-Penev) ini ditakuti lawan, bukan saja di seantero negerinya tapi juga di sebagian bumi Eropa dan sanggup mengangkat reputasi CSKA di kompetisi Eropa akhir 1980-an. Kelak sepak terjang trio ini pula yang bikin bangsa Prancis menangis gegerungan akibat tersingkirnya Eric Cantona, David Ginola dkk, di detik-detik terakhir laga kualifikasi Piala Dunia 1994.
Prancis kalah 2-3 akibat gol sensasional Kostadinov sehingga gagal lolos ke AS. "Kalau tim ini dianggap sebagai kereta api, maka Kostadinov dan Penev itu lokomotifnya. Akan tetapi yang menjadi masinisnya adalah Stoichkov," ujar pelatih Dimitar Penev yang tak pernah melupakan kesan awalnya pada Hitzo.
Kabar meroketnya trio SKP atau tiga serangkai CSKA sampai juga di telinga para pemburu bakat untuk klub-klub top Eropa. Mereka segera mengirim tim pemantau yang misi utamanya adalah mendapatkan Hristo Stoichkov, tokoh kunci permainan CSKA.
Ayah Keduanya
Tak syak lagi, Dimitar Penev adalah orang yang paling berjasa dalam karier Hristo Stoichkov di sepak bola, semenjak muda hingga menjadi pemain yang disegani. Hubungan pria kelahiran Milovane 12 Juli 1945 ini dengan Hitzo tak melulu lazimnya antar pelatih dengan pemain, namun juga selayak hubungan ayah dengan anak.
Komitmen Penev pada Hitzo seolah-olah tiada batas. Pada 1989, dia pula yang memperjuangkan Hitzo agar bisa main di luar negeri. Penev harus adu kencang urat leher dengan seorang petinggi BFU yang berusaha mencegah pemain terbaik Bulgaria memperkuat klub asing. Tokoh dari BFU ini akhirnya sadar. Seharusnya malah Penev orang pertama yang mencegah transfer Hitzo mengingat dia adalah pelatih CSKA. Bukankah hengkangnya Hitzo akan berdampak bagi kekuatan timnya Penev sendiri?
Walau temperamental dan terkesan sebagai trouble-maker di tim asuhannya, uniknya Penev tak pernah sekalipun mengecam Hitzo. Dalam berhubungan dengan pemain andalannya itu, Penev memakai asas saling respek. Dia tak mau mencampuri urusan pribadi sampai tingkah polah sebatas itu di luar lapangan. Sebaliknya, Hitzo juga sangat respek terhadap gurunya ini dalam banyak hal, terutama yang berhubungan langsung dengan sepak bola.
Bagi Penev semua urusan jadi beres ketika di lapangan Hitzo berhasil menerapkan atau menjalankan strategi yang diinginkannya. Sesepele itu. Bukan hanya itu ia membela Hitzo. Ketika menjalani masa hukuman BFU dampak dari kerusuhan pertandingan melawan Levski, Penev pernah nekat tetap memasukkan nama Hitzo ke dalam skuadnya.
Ada alasan yang tak pernah diungkap gamblang oleh Penev kenapa dia berbuat nekat seperti itu. Namun secara tersirat kebutuhan besarnya pada Hitzo pernah dikatakannya suatu hari. "Dari jejeran pemain elite dunia, Hitzo berdiri di tengah-tengahnya," cetusnya waktu itu.
Tampaknya ketergantungan Penev pada Stoichkov begitu kuat, sama kuatnya pentingnya Penev bagi Stoichkov. Suatu saat nanti waktu jua yang menjawab dengan kongkrit buah dari hubungan simbiosis-mutualisma mereka.
Konon ketika diadakan angket tidak resmi oleh Komisi Sentral Partai Komunis pada suatu daerah di bagian kota Plovdiv, 75 persen anak laki-laki bercita-cita ingin seperti Asparoukhov, sebagai pemain bola yang jadi pahlawan bangsa. Sisanya mau jadi tentara atau politisi. Diantara yang 75% inilah terdapat Stoichkov. Seperti perjalanan hidup pemain besar lainnya, karier Stoichkov pun diawali sejak masa kanak-kanak.
Ia dilahirkan di Plovdiv, wilayah selatan Bulgaria pada 8 Februari 1966. Ketika memasuki umur 10 tahun, Stoichkov yang kala itu dipanggil 'Hitzo' oleh teman-temannya, sudah terdaftar sebagai pemain bola belia pada klub lokal Hebros Harmanli.
Meski mendapat tentangan dari orang tuanya, yang lebih ingin ia berkonsentrasi pada sekolah, bocah berkaki kidal ini tetap saja nekat mengikuti audisi, lolos, dan akhirnya menjalani pelatihan hari demi hari, minggu demi minggu. Bulan berganti bulan, musim berganti musim, tahun berganti tahun.
Dasar berbakat, kemajuan yang diperoleh Hitzo membuat pengurus klub itu berdecak kagum. Mulai saat itu kedua orang tuanya menyadari bahwa bakat sang anak ternyata di sepak bola. Ketika berumur 12 tahun, si bocah berambut ikal pindah ke klub yang lebih besar, Maritza Plovdiv. Ia pun mulai mengikuti kompetisi junior divisi tiga.
Tahun 1984 rombongan pencari bakat dari klub CFKA Sredets melihat permainan Hitzo, yang bermain sebagai striker. Mereka segera melaporkannya pada Dimitar Penev, sang pelatih kepala. Tak lama kemudian diundangnya untuk mengikuti audisi langsung. "Pertama kali melihat dia saya langsung tertarik. Anak itu punya sikap ekstrem namun justru karena faktor itu suatu saat ia akan memberi keuntungan pada kami," kenang Penev.
Hukuman Pertama
CFKA Sredets adalah salah satu klub besar di Bulgaria yang menjadi rival sekota Vitosha. Angin pembaharuan, usai robohnya Tembok Berlin, Gerakan Glasnost dan Perestroika, juga menerpa Bulgaria. Walhasil pada 1989 CFKA Sredets berganti nama menjadi CSKA Sofia. Vitosha pun berganti merek menjadi Levski Spartak.
Rivalitas Sredets vs Vitosha mendominasi atmosfir kompetisi Liga Bulgaria selama puluhan tahun, sejak digelar pertama kali pada 1924. Hingga tahun 1990, atau saat terakhir dibela Hitzo, CFKA Sredets/CSKA Sofia telah 26 kali menjadi penguasa negeri. Sedang Levski 18 kali.
Bagi Hitzo sendiri, masuk klub sebesar CSKA dianggapnya sesuatu yang luar biasa. Saking senangnya dia menggondol semua barang kesayangannya sejak kecil ke asrama CSKA. Baginya CSKA adalah rumah barunya. "Dengan masuk klub ini saya berharap bisa sebesar Michel Platini," ungkapnya waktu itu. Platini, bintang top Prancis, adalah idolanya Hitzo.
Insting Penev mulai mendatangkan hasil. Karakter Hitzo yang gampang meledak-ledak itu memang terkadang menguntungkan tim, namun sering pula merugikan. Positifnya, ia dianggap tokoh protagonis yang sanggup memicu tensi dan memacu semangat rekan-rekannya dalam setiap laga. Mengingat CSKA adalah klub Angkatan Darat, karakter ala Hitzo memang dibutuhkan.
Namun wewenang yang diberikan pelatihnya itu pernah disalah-gunakan. Sesuatu yang negatif, namun tidak akan mengubah takdir Hitzo sebagai pemain hebat Bulgaria. Peristiwanya terjadi di laga derby melawan Levski di final Piala Liga Bulgaria 1985. Lantaran terlalu bersemangat mengobarkan spirit bertanding kepada teman-temannya, Hitzo dianggap sebagai biang kerok kerusuhan di lapangan.
Dalam laga panas tersebut, Hitzo dan dua orang rekannya diganjar kartu merah. Laga itu sungguhan berakhir rusuh, di dalam lapangan antar sesama pemain, maupun di luar stadion yang melahirkan pertikaian antar pendukung.
Derita Hitzo tambah berat sebab BFU (PSSI Bulgaria) menjatuhkan vonis pada Hitzo, yang masa hukumannya tidak jelas sampai kapan. Tapi dasar dikenal sebagai pemain bagus, Hitzo dan dua rekannya yang sedang menjalani masa hukuman ini akhirnya mendapat pengampunan. Banyak pengamat dan media massa sepakat kualifikasi Piala Dunia 1986 jauh lebih penting daripada melarang ketiga pemain, termasuk Hitzo, tidak boleh main bola. BFU pun melunak.
Seperti Masinis
Tim nasional bukan tempat asing bagi Hitzo. Ia memulai debut di tim nasional ketika ia ditarik masuk ke dalam tim nasional U-21 yang sedang dipersiapkan ke Olimpiade 1984 di Los Angeles. Selama di timnas junior, Hitzo membela negaranya 23 kali.
Sementara di tim nasional senior, debutnya terjadi pada September 1987 ketika Bulgaria bertemu Belgia di penyisihan Piala Eropa 1988. Hitzo tampil 66 menit untuk menggantikan Iordan Iordanov yang tiba-tiba cedera. Hitzo sukses sebab Bulgaria menang 2-0 atas Eric Gerets dkk.
Publik dan media massa tak melupakan permainan menawan Hitzo. Ia begitu nyetel dengan dua rekannya yang sebelumnya sama-sama dihukum BFU, Emil Kostadinov dan Luboslav Penev. Semua merasa bersyukur atas keputusan memaafkan Hitzo dkk.
Trio penyerang SKP (Stoichkov-Kostadinov-Penev) ini ditakuti lawan, bukan saja di seantero negerinya tapi juga di sebagian bumi Eropa dan sanggup mengangkat reputasi CSKA di kompetisi Eropa akhir 1980-an. Kelak sepak terjang trio ini pula yang bikin bangsa Prancis menangis gegerungan akibat tersingkirnya Eric Cantona, David Ginola dkk, di detik-detik terakhir laga kualifikasi Piala Dunia 1994.
Prancis kalah 2-3 akibat gol sensasional Kostadinov sehingga gagal lolos ke AS. "Kalau tim ini dianggap sebagai kereta api, maka Kostadinov dan Penev itu lokomotifnya. Akan tetapi yang menjadi masinisnya adalah Stoichkov," ujar pelatih Dimitar Penev yang tak pernah melupakan kesan awalnya pada Hitzo.
Kabar meroketnya trio SKP atau tiga serangkai CSKA sampai juga di telinga para pemburu bakat untuk klub-klub top Eropa. Mereka segera mengirim tim pemantau yang misi utamanya adalah mendapatkan Hristo Stoichkov, tokoh kunci permainan CSKA.
Ayah Keduanya
Tak syak lagi, Dimitar Penev adalah orang yang paling berjasa dalam karier Hristo Stoichkov di sepak bola, semenjak muda hingga menjadi pemain yang disegani. Hubungan pria kelahiran Milovane 12 Juli 1945 ini dengan Hitzo tak melulu lazimnya antar pelatih dengan pemain, namun juga selayak hubungan ayah dengan anak.
Komitmen Penev pada Hitzo seolah-olah tiada batas. Pada 1989, dia pula yang memperjuangkan Hitzo agar bisa main di luar negeri. Penev harus adu kencang urat leher dengan seorang petinggi BFU yang berusaha mencegah pemain terbaik Bulgaria memperkuat klub asing. Tokoh dari BFU ini akhirnya sadar. Seharusnya malah Penev orang pertama yang mencegah transfer Hitzo mengingat dia adalah pelatih CSKA. Bukankah hengkangnya Hitzo akan berdampak bagi kekuatan timnya Penev sendiri?
Walau temperamental dan terkesan sebagai trouble-maker di tim asuhannya, uniknya Penev tak pernah sekalipun mengecam Hitzo. Dalam berhubungan dengan pemain andalannya itu, Penev memakai asas saling respek. Dia tak mau mencampuri urusan pribadi sampai tingkah polah sebatas itu di luar lapangan. Sebaliknya, Hitzo juga sangat respek terhadap gurunya ini dalam banyak hal, terutama yang berhubungan langsung dengan sepak bola.
Bagi Penev semua urusan jadi beres ketika di lapangan Hitzo berhasil menerapkan atau menjalankan strategi yang diinginkannya. Sesepele itu. Bukan hanya itu ia membela Hitzo. Ketika menjalani masa hukuman BFU dampak dari kerusuhan pertandingan melawan Levski, Penev pernah nekat tetap memasukkan nama Hitzo ke dalam skuadnya.
Ada alasan yang tak pernah diungkap gamblang oleh Penev kenapa dia berbuat nekat seperti itu. Namun secara tersirat kebutuhan besarnya pada Hitzo pernah dikatakannya suatu hari. "Dari jejeran pemain elite dunia, Hitzo berdiri di tengah-tengahnya," cetusnya waktu itu.
Tampaknya ketergantungan Penev pada Stoichkov begitu kuat, sama kuatnya pentingnya Penev bagi Stoichkov. Suatu saat nanti waktu jua yang menjawab dengan kongkrit buah dari hubungan simbiosis-mutualisma mereka.
(foto: footballnotballet/bulgaria-italia.com/stoichkov8.com/webcafe/senzacia)