Akhir-akhir ini pembawaaan GM Utut Adianto, pecatur nomor satu Indonesia, tampaknya bertambah serius. Bertambah umurkah dia? Tidak. Bukan karena itu, tapi gara-gara dia kebanyakan berpikir dari biasanya. Enam bulan terakhir ini, Utut benar-benar dipaksa memerah atau memeras otak demi menggapai obsesinya sebagai pecatur super.
Utut, yang baru pulang dari Prancis pada Senin, 21 November 1994 lalu, langsung berkutat lagi memelototi papan 64 kotak dalam dwitarung enam babak melawan grandmaster asal AS berdarah Suriah, Yasser Seirawan. Bertempat di Janur Room, Kelapa Gading Sport Club, Jakarta, duel bersejarah itu dibuka oleh Ketua Umum Percasi yang juga Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir. Akbar Tanjung dan langsung mendapat liputan luas media massa baik cetak maupun elektronik dari dalam dan luar negeri.
Dalam duel itu dipertandingkan enam babak. Dua babak awal menggunakan sistem rapid chess atau catur cepat, di mana Utut dan Seirawan hanya diberi kesempatan berpikir awal selama 20 menit. Di empat babak terakhir, sistem kembali memakai aturan reguler FIDE alias waktu penuh, yaitu 2 jam untuk 40 langkah pertama. Bagaimana peluang pecatur kebanggaan anak bangsa itu?
Jika Utut menang mutlak 4-0, maka elo ratingnya langsung meroket 20 angka. Kalau mencapai angka 3,5 poin, tambahannya 10 angka. Nilai ini juga bisa didapat Utut apabila dua sanggup meraih nilai 2,5 lebih dulu dari Seirawan. Ini berarti Utut harus mampu menang minimal dua kali dan sekali remis di tiga partai awal! Lepas dari beratnya perjalanan, namun seharusnya Utut bisa memanfaatkan momen langka.
Apalagi dwitarung bertajuk '94 Enerpac Chess Match of The Year' ini sudah mendapat restu FIDE, sehingga peluang Utut untuk bersinar lebih terang lagi seharusnya makin dilapangkan. Indonesia juga berkesempatan mencatatkan sejarahnya sebab untuk pertama kalinya bakal punya seorang pecatur berlabel super grandmaster.
Seperti diketahui, seorang pecatur baru bisa mendapat gelar bergengsi bin elite itu jika punya elo rating sedikitnya 2.600. Artinya Utut hanya butuh 10 angka lagi mengingat elo rating dia sekarang ini 2.590. Utut sendiri tentu akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia merasa ini langkah terakhir paling memungkinkan menuju gelar idaman setiap pecatur.
Karena kalau dia 'diam' saja atau pasrah, nasib pasti tidak berubah. Katakanlah, ia berkeliling dunia dengan biaya besar untuk mengikuti berbagai turnamen berstatus internasional standar FIDE, peluangnya pasti lebih kecil dibanding di Kelapa Gading ini. Faktor waktu, tempat, serta biaya yang tidak sedikit ketika berkelana akan menguras seluruh persiapan dan pelaksanaan.
"Karena di dalam negeri sebelumnya tidak ada, mau tidak mau saya harus pergi ke Eropa dan AS untuk mengikuti turnamen berkategori tinggi," ucap Utut. Bisa jadi tekad kuatnya, insya Allah, akan kesampaian. Dwitarung ini merupakan puncak perjalanan karier Utut yang sebelum itu terjun di berbagai kejuaraan di mancanegara.
Khusus untuk menghadapi 'Kelapa Gading Duel-Meet' ini Utut berguru pada GM Josip Dorfman, yang pernah menjadi trainer dan sekondan GM Super Gary Kasparov di Cannes, Prancis. Jika ditelaah lebih dalam, upaya sarjana Fisip Universitas Padjadjaran untuk mengejar impiannya yang juga menjadi harapan bangsa sepertinya tidak main-main dan patut dihargai.
Sejak akhir 1993, dia sudah melanglang buana ke Eropa dan Amerika yang mendatangkan hasil sangat lumayan dan cool, yakni mendapat ekstra poin untuk ratingnya sebanyak 70 angka. Utut berhasil memenangkan tiga turnamen top dan tradisonal di New York Open 1993, Liechtenstein Open 1993, dan Biel Open 1994. Pria yang berpembawaan santai ini juga sukses pada World Open Philadelphia dan Lloyd Bank Master London yang sering diikuti pecatur kelas kakap sedunia.
Lawan Lebih Tangguh
Menurut Ir Eka Putra Wirya, pemilik Sekolah Catur Enerpac (SCE) yang menjadi kreator utama beberapa turnamen di dalam negeri termasuk dwi tarung ini, hasrat Utut itu seiring sejalan dengan tujuan Percasi dan juga tekad Enerpac yang ingin menciptakan pecatur-pecatur nasional yang tangguh berkaliber internasional sebanyak-banyaknya.
"Kita harus mendukung kegiatan seperti ini. Karena pada dasarnya tujuan Enerpac sama dengan tujuan PB Percasi," kata Eka yang juga menjadi penyandang dana dwitarung. Menyinggung soal pemilihan lawan, menurutnya GM Seirawan juga merupakan salah satu pecatur top dunia yang terkenal cukup alot dan berat dihadapi siapa saja. Pada rencana awal, sebenarnya Utut akan dihadapkan oleh juara dunia 1957-58 asal Ukraina, GM Vassily Smyslov.
Lantaran pecatur gaek (73 tahun) itu mendadak sakit, maka dipilihlah Seirawan yang secara usia kebetulan segenerasi dengan Utut atau juara dunia Gary Kasparov. Seirawan adalah sekondan dan sparring-partner pecatur kenamaan Belanda, GM Jan Timman. "Saya ikut menyaksikan dia mengalahkan Timman 4-1 dalam duel tidak resmi. Jadi nilailah kualitas dia seperti apa?" timpal Utut yang selalu menempati papan pertama tim nasional Indonesia pada Olimpiade Catur.
Hal ini sengaja diungkap untuk menangkis anggapan bahwa Seirawan sengaja diundang karena lebih mudah dikalahkan. "Saya dan Seirawan itu berteman baik, tapi tidak jika sedang di atas papan," tegas Utut. Di kesempatan lain Eka juga mengakui sulitnya mencari lawan untuk merealisasikan target Utut dengan lawan yang jauh lebih berbobot dan terkenal.
Namun itu tidak mudah disebabkan oleh faktor jadwal yang berdekatan dengan persiapan Olimpiade Catur di Moskow, Rusia. "Semua pecatur top sedang menyiapkan diri untuk membela negara masing-masing. Untung Seirawan mau, meski waktunya juga mepet karena harus segera menyiapkan diri dengan tim catur AS," jelas Eka penuh semangat seperti biasanya.
Rp 100 Juta
Dengan adanya dwitarung antara GM Utut Adianto lawan GM Yasser Seirawan (AS), reputasi serta langkah maju Sekolah Catur Enerpac (SCE) kali ini bak mencapai puncaknya. Sebagai pemilik SCE, ambisi dan tujuan Eka Putra Wiryawan sangat jelas yaitu sebagai pelaksana atau operator dari langkah-langkah ke depan yang menjadi tujuan Percasi. Utut dipilih karena dia dianggap yang paling potensial. "Fisik dan mentalnya sangat menunjang," sebutnya dengan yakin, "dan saya sangat mendukung dia untuk menjadi pecatur profesional sejati."
Untuk merealisasikan target tersebut, Eka memang harus rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Namun semua itu bukan tanpa target, deadline atau batas waktu. Utut diprogram paling tidak sampai Juli 1995 sudah harus meraih elo rating 2.600. Ketika ditanyakan berapa biaya yang disiapkan untuk mengejar target impian itu, Eka mengaku telah mematok dana sebesar Rp 100 juta.
Jumlah ini belum termasuk tunjangan bulanan Utut yang mencapai Rp 2 juta sebulan. Angka ini tentu di luar transportasi, akomodasi serta konsumsi. Pendek kata, Utut tinggal berangkat, terbang, makan, istirahat, duduk lalu 'mikir'. Sebagai sesama profesional, faktor benefit tentu tidak akan diabaikan. Sebagai imbal balik dari sponsorship seperti itu, semua hadiah yang didapat Utut dari berbagai turnamen akan diberikan pada Enerpac.
"Dari tur Eropa dan AS kemarin, Utut berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 28 juta," kata Eka dengan gamblang. Antusias makin merebak mengingat keberhasilan menjadi pecatur super akan mendatangkan kesempatan bermain dan diundang di turnamen prestisius semakin besar. "Kalau dia berhasil mengalahkan Seirawan dalam dwitarung ini dan meraih titel grandmaster super, maka akan berdatangan undangan turnamen yang menyediakan hadiah lebih besar," ucap Eka menutup obrolan.
Yang juga perlu diketahui publik, khusus melakoni dwitarung di Kelapa Gading ini, Eka membayar Seirawan fee 3.000 dolar AS. Ini di luar ongkos untuk hotel dan fasilitas lainnya. Ini belum termasuk potensi hadiah senilai 3.000 dolar AS jika menang, atau setidaknya 2.000 dolar AS apabila dia dikalahkan Utut. Inilah harga yang harus dibayar untuk mencari kesempatan mencetak pecatur super pertama kalinya bagi Indonesia.
(foto: arief natakusumah)
Utut, yang baru pulang dari Prancis pada Senin, 21 November 1994 lalu, langsung berkutat lagi memelototi papan 64 kotak dalam dwitarung enam babak melawan grandmaster asal AS berdarah Suriah, Yasser Seirawan. Bertempat di Janur Room, Kelapa Gading Sport Club, Jakarta, duel bersejarah itu dibuka oleh Ketua Umum Percasi yang juga Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir. Akbar Tanjung dan langsung mendapat liputan luas media massa baik cetak maupun elektronik dari dalam dan luar negeri.
Dalam duel itu dipertandingkan enam babak. Dua babak awal menggunakan sistem rapid chess atau catur cepat, di mana Utut dan Seirawan hanya diberi kesempatan berpikir awal selama 20 menit. Di empat babak terakhir, sistem kembali memakai aturan reguler FIDE alias waktu penuh, yaitu 2 jam untuk 40 langkah pertama. Bagaimana peluang pecatur kebanggaan anak bangsa itu?
Jika Utut menang mutlak 4-0, maka elo ratingnya langsung meroket 20 angka. Kalau mencapai angka 3,5 poin, tambahannya 10 angka. Nilai ini juga bisa didapat Utut apabila dua sanggup meraih nilai 2,5 lebih dulu dari Seirawan. Ini berarti Utut harus mampu menang minimal dua kali dan sekali remis di tiga partai awal! Lepas dari beratnya perjalanan, namun seharusnya Utut bisa memanfaatkan momen langka.
Apalagi dwitarung bertajuk '94 Enerpac Chess Match of The Year' ini sudah mendapat restu FIDE, sehingga peluang Utut untuk bersinar lebih terang lagi seharusnya makin dilapangkan. Indonesia juga berkesempatan mencatatkan sejarahnya sebab untuk pertama kalinya bakal punya seorang pecatur berlabel super grandmaster.
Seperti diketahui, seorang pecatur baru bisa mendapat gelar bergengsi bin elite itu jika punya elo rating sedikitnya 2.600. Artinya Utut hanya butuh 10 angka lagi mengingat elo rating dia sekarang ini 2.590. Utut sendiri tentu akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia merasa ini langkah terakhir paling memungkinkan menuju gelar idaman setiap pecatur.
Karena kalau dia 'diam' saja atau pasrah, nasib pasti tidak berubah. Katakanlah, ia berkeliling dunia dengan biaya besar untuk mengikuti berbagai turnamen berstatus internasional standar FIDE, peluangnya pasti lebih kecil dibanding di Kelapa Gading ini. Faktor waktu, tempat, serta biaya yang tidak sedikit ketika berkelana akan menguras seluruh persiapan dan pelaksanaan.
"Karena di dalam negeri sebelumnya tidak ada, mau tidak mau saya harus pergi ke Eropa dan AS untuk mengikuti turnamen berkategori tinggi," ucap Utut. Bisa jadi tekad kuatnya, insya Allah, akan kesampaian. Dwitarung ini merupakan puncak perjalanan karier Utut yang sebelum itu terjun di berbagai kejuaraan di mancanegara.
Khusus untuk menghadapi 'Kelapa Gading Duel-Meet' ini Utut berguru pada GM Josip Dorfman, yang pernah menjadi trainer dan sekondan GM Super Gary Kasparov di Cannes, Prancis. Jika ditelaah lebih dalam, upaya sarjana Fisip Universitas Padjadjaran untuk mengejar impiannya yang juga menjadi harapan bangsa sepertinya tidak main-main dan patut dihargai.
Sejak akhir 1993, dia sudah melanglang buana ke Eropa dan Amerika yang mendatangkan hasil sangat lumayan dan cool, yakni mendapat ekstra poin untuk ratingnya sebanyak 70 angka. Utut berhasil memenangkan tiga turnamen top dan tradisonal di New York Open 1993, Liechtenstein Open 1993, dan Biel Open 1994. Pria yang berpembawaan santai ini juga sukses pada World Open Philadelphia dan Lloyd Bank Master London yang sering diikuti pecatur kelas kakap sedunia.
Lawan Lebih Tangguh
Menurut Ir Eka Putra Wirya, pemilik Sekolah Catur Enerpac (SCE) yang menjadi kreator utama beberapa turnamen di dalam negeri termasuk dwi tarung ini, hasrat Utut itu seiring sejalan dengan tujuan Percasi dan juga tekad Enerpac yang ingin menciptakan pecatur-pecatur nasional yang tangguh berkaliber internasional sebanyak-banyaknya.
"Kita harus mendukung kegiatan seperti ini. Karena pada dasarnya tujuan Enerpac sama dengan tujuan PB Percasi," kata Eka yang juga menjadi penyandang dana dwitarung. Menyinggung soal pemilihan lawan, menurutnya GM Seirawan juga merupakan salah satu pecatur top dunia yang terkenal cukup alot dan berat dihadapi siapa saja. Pada rencana awal, sebenarnya Utut akan dihadapkan oleh juara dunia 1957-58 asal Ukraina, GM Vassily Smyslov.
Lantaran pecatur gaek (73 tahun) itu mendadak sakit, maka dipilihlah Seirawan yang secara usia kebetulan segenerasi dengan Utut atau juara dunia Gary Kasparov. Seirawan adalah sekondan dan sparring-partner pecatur kenamaan Belanda, GM Jan Timman. "Saya ikut menyaksikan dia mengalahkan Timman 4-1 dalam duel tidak resmi. Jadi nilailah kualitas dia seperti apa?" timpal Utut yang selalu menempati papan pertama tim nasional Indonesia pada Olimpiade Catur.
Hal ini sengaja diungkap untuk menangkis anggapan bahwa Seirawan sengaja diundang karena lebih mudah dikalahkan. "Saya dan Seirawan itu berteman baik, tapi tidak jika sedang di atas papan," tegas Utut. Di kesempatan lain Eka juga mengakui sulitnya mencari lawan untuk merealisasikan target Utut dengan lawan yang jauh lebih berbobot dan terkenal.
Namun itu tidak mudah disebabkan oleh faktor jadwal yang berdekatan dengan persiapan Olimpiade Catur di Moskow, Rusia. "Semua pecatur top sedang menyiapkan diri untuk membela negara masing-masing. Untung Seirawan mau, meski waktunya juga mepet karena harus segera menyiapkan diri dengan tim catur AS," jelas Eka penuh semangat seperti biasanya.
Rp 100 Juta
Dengan adanya dwitarung antara GM Utut Adianto lawan GM Yasser Seirawan (AS), reputasi serta langkah maju Sekolah Catur Enerpac (SCE) kali ini bak mencapai puncaknya. Sebagai pemilik SCE, ambisi dan tujuan Eka Putra Wiryawan sangat jelas yaitu sebagai pelaksana atau operator dari langkah-langkah ke depan yang menjadi tujuan Percasi. Utut dipilih karena dia dianggap yang paling potensial. "Fisik dan mentalnya sangat menunjang," sebutnya dengan yakin, "dan saya sangat mendukung dia untuk menjadi pecatur profesional sejati."
Untuk merealisasikan target tersebut, Eka memang harus rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Namun semua itu bukan tanpa target, deadline atau batas waktu. Utut diprogram paling tidak sampai Juli 1995 sudah harus meraih elo rating 2.600. Ketika ditanyakan berapa biaya yang disiapkan untuk mengejar target impian itu, Eka mengaku telah mematok dana sebesar Rp 100 juta.
Jumlah ini belum termasuk tunjangan bulanan Utut yang mencapai Rp 2 juta sebulan. Angka ini tentu di luar transportasi, akomodasi serta konsumsi. Pendek kata, Utut tinggal berangkat, terbang, makan, istirahat, duduk lalu 'mikir'. Sebagai sesama profesional, faktor benefit tentu tidak akan diabaikan. Sebagai imbal balik dari sponsorship seperti itu, semua hadiah yang didapat Utut dari berbagai turnamen akan diberikan pada Enerpac.
"Dari tur Eropa dan AS kemarin, Utut berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 28 juta," kata Eka dengan gamblang. Antusias makin merebak mengingat keberhasilan menjadi pecatur super akan mendatangkan kesempatan bermain dan diundang di turnamen prestisius semakin besar. "Kalau dia berhasil mengalahkan Seirawan dalam dwitarung ini dan meraih titel grandmaster super, maka akan berdatangan undangan turnamen yang menyediakan hadiah lebih besar," ucap Eka menutup obrolan.
Yang juga perlu diketahui publik, khusus melakoni dwitarung di Kelapa Gading ini, Eka membayar Seirawan fee 3.000 dolar AS. Ini di luar ongkos untuk hotel dan fasilitas lainnya. Ini belum termasuk potensi hadiah senilai 3.000 dolar AS jika menang, atau setidaknya 2.000 dolar AS apabila dia dikalahkan Utut. Inilah harga yang harus dibayar untuk mencari kesempatan mencetak pecatur super pertama kalinya bagi Indonesia.
(foto: arief natakusumah)