Namun, agar kejuaraan ini juga jangan sampai tersia-sia begitu saja, paling tidak bisa dijadikan sebagai ajang pematangan diri bagi pemain-pemain muda, maka dikirimlah Marleve Mainaky dkk. Hasilnya, jangankan gelar juara, maju ke final saja tidak ada yang berhasil. Hanya Marleve dan ganda Sandy Gunawan/Sri Untari yang masuk semifinal.
Sebetulnya Indonesia juga mengharapkan bisa unjuk gigi lagi, seperti tahun 1991 ketika Yuliani Sentosa merebut gelar tunggal putri. Setidaknya lewat Marleve yang menjadi unggulan kedua dan Lioe Tiong Ping, yang sudah masuk pelatnas utama tapi belum termasuk dalam tim Piala Thomas. Begitu pula harapan dari tunggal putri lewat Ika Heny yang unggulan 3-4. Sayang mereka ternyata belum mampu menunjukkan hasil yang maksimal.
Ketika menghadapi Foo Kok Keong di semifinal, Marleve, juara AS Terbuka 1993, seperti kehilangan kontrol. "Saya tidak tahan pada dinginnya udara di dalam stadion," kata Marleve ketika ditemui Selasa pagi saat berlatih di Gedung Pelatnas, Cipayunng.
Ia tampak masih letih, maklum malamnya baru tiba di Shanghai. Menurutnya, udara di dalam Shanghai Gymnasium itu justru lebih dingin dibandingkan dengan udara di luar stadion. Di luar 15 derajat Celcius, tapi di dalam antara 12-13 derajat Celcius.
Kegagalan Marleve tampaknya bukan karena faktor teknis semata. Soalnya, sebelumnya skor mereka seimbang 1-1. Marleve menang di Cina Terbuka dan kalah di Hong Kong Terbuka, keduanya tahun 1992. Dari segi fisik, Foo tentulah kalah dibanding Marleve. Tetapi soal pengalaman memang Foo lebih di atas. Inilah yang membuatnya bisa mengatasi Marleve. Foo pandai memainkan ritme permainan.
"Uletnya luar biasa dan stroke-nya juga kuat. Saya benar-benar dikendalikan," aku pemuda kelahiran Ternate, 26 Maret 1972 ini lebih lanjut. Maka wajar saja kalau adik Rexy Mainaky ini kalah. Bahkan hanya dalam waktu 27 menit dengan angka telak, 6-15, 7-15.
Memang pantas kalau kemudian Foo jugalah yang tampil sebagai juara. Di final ia mengalahkan unggulan pertama andalan tuan rumah, Liu Jun 15-13, 9-15, 15-3. Di sektor putri, lain lagi nasib Ika Heny. Pemain masa depan yang juga termasuk tim bayangan tim Piala Uber ini sebelumnya ditargetkan minimal masuk ke semifinal, malah lebih awal lagi kalahnya. Ia sudah tumbang di babak ketiga.
Pemain kelahiran Lumajang, 5 Mei 1974 ini dikalahkan pemain tuan rumah, Sun Jian 5-11, 7-11. "Wah, dia itu seperti nggak mati-mati. Pengembalian dan penempatan bolanya malah lebih berbahaya, diserang terus malah saya sangat kewalahan. Akhirnya saya mati sendiri," tutur Ika dengan logat Jawa yang kental. "Mungkin karena baru pertama kali bertemu, jadi saya agak kaget dengan permainannya."
Dari hasil yang kurang menggembirakan itu, ada juga yang memberi harapan. Ganda campuran Sandy/Untari, yang tidak perhitungkan, ternyata mampu melaju sampai ke semifinal. Padahal ini merupakan debut mereka sebagai pasangan turnamen internasional. Langkah mereka pun baru berhenti setelah diganjal unggulan pertama Sun Ma/Chen Xingdong 9-15, 9-15.
(foto: Ian Situmorang)