Liga Champion identik dengan kepastian, kemapanan. Hanya klub sukses, bahkan paling sukses; klub kaya, kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya. Analogi ini boleh jadi keterlaluan, namun ada dasarnya.
Apakah Anda masih ingat kejutan terbesar di Liga Champion, ketika sebuah tim yang tak favoritkan mampu menjuarainya? Pada 1986, Steaua Bucuresti mengalahkan Barcelona dengan adu penalti. Pada 1991, Crvena Zvevda alias Red Star juga menang adu penalti dari Olympique Marseille. Pada 1997 Borussia Dortmund mengatasi Juventus. Setelah itu?
Tentu masih banyak lagi, baik sebelum dan sesudahnya. Tapi tetap saja, namanya kejutan lebih kecil probabilitasnya dibanding yang semestinya. Menanti kejutan adalah sisi paling misterius di sepak bola. Sayangnya Liga Champion mudah diprediksi, terutama saat memasuki sesi perdelapanfinal hingga final. Apa yang menjadi penyebab utamanya?
Paling terdepan karena nilai skuad di klub itu sendiri. Real Madrid (2014), Barcelona (2015), serta Bayern Muenchen (2013) adalah triumvirat mahsyur nan legendaris di Eropa yang menjadi juara di tiga musim terakhir. Catat, ketiganya merupakan klub dengan skuad termahal di dunia. Jika mau ditambah, dua di bawahnya lagi adalah Chelsea dan Manchester City.
Menurut situs Transfermarkt, skuad Real Madrid bernilai 718,80 juta euro atau setara dengan Rp 10,80 trilyun. Disusul oleh Barcelona 657,50 juta euro (Rp 9,9 trilyun), Bayern Muenchen 617,68 juta euro (Rp 9,3 trilyun), dan Chelsea 542,50 juta euro (Rp 8,1 trilyun). Terdekat dengan Chelsea adalah Manchester City senilai 514,50 juta euro atau sekitar Rp 7,75 trilyun.
Kecuali Manchester City, keempat klub di atas adalah kampiun Liga Champion di lima musim terakhir: Barcelona (2011 dan 2015), Chelsea (2012), Bayern (2013), dan Real Madrid (2014). Ada alasan lain yang menguatkan kepantasan mereka? Tentu. Bukankah para pemain mahal mereka mengkonfirmasi kelebihan dalam mengkreasi ide di permainan?
Dalam cakupan lebih luas, hingga 2010 Bayern, Barca, dan Real mengokupasi 15 dari 24 posisi semifinal (62,5 persen). Ini sebuah dominasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Liga Champion. Besar saldo klub atau tingginya tagihan gaji dianggap menjadi pemicu kesuksesan paling nyata di Liga Champion ketimbang di liga domestik.
"Walau tak ada garansinya, namun hadiah terbesar di akhir kompetisi selalu ada di Liga Champion, bukan di liga domestik," kata Presiden Bayern, Karl-Heinz Rummenigge pada 2013, saat kejutan di babak signifikan masih banyak terjadi. Namun kini, pandangan itu mulai berubah. Statistik semakin menjelaskan garansi sukses di liga domestik dan Liga Champion.
Kasus PSV
Musim ini posisi Atletico Madrid dalam tabel nilai skuad turun cukup dalam. Penyebabnya mereka tak lagi membeli pemain mahal sehingga tagihan gajinya berkurang. Namun sebagai ganjarannya, kreasi ide permainan atau potensi kemenangan jadi menciut. Prestasi pun mengkerut. Pada enam tahun terakhir, ada 18 klub yang menembus semifinal.
Namun sejak Florentino Perez mendatangkan Cristiano Ronaldo pada 2009 senilai 94 juta euro, sekaligus mentahbiskan klubnya sebagai Los Galacticos, terjadi penyusutan di mana hanya 11 klub yang sukses menembus empat besar Liga Champion. Setelah usianya bertambah enam tahun, nilai Ronaldo kini malah membubung menjadi 120 juta euro.
Gabungan nilai Ronaldo ditambah Lionel Messi, yang juga ditaksir sama 120 juta euro, sebesar 240 juta euro setara dengan 20 klub peserta Liga Champion musim ini (lihat tabel Harga Skuad). Akumulasi atau konsentrasi bakat selalu menaikkan posisi klub pada kuadran yang seharusnya. Jangan harap dengan membeli pemain murah dan bergaji kecil, mereka akan naik kelas.
Prestasi di Liga Champion datang dari dampak seperti itu. Lihatlah kasus PSV Eindhoven. Pada era 1980-an hingga awal 1990-an, mereka klub papan atas Eropa yang akhirnya meraih puncak prestasi dengan titel di 1988. PSV selalu ditaburi bintang mahal dengan gaji tinggi. Mulai dari Ruud Gullit, Ronald Koeman, Romario Faria hingga Luiz Ronaldo.
Memasuki tahun 2000-an, PSV mulai memasuki masa stagnasi, yang hingga di dekade kedua ini belum sanggup juga bersaing di Eropa. Penjualan beruntun Arjen Robben, Ruud van Nistelrooij, Mateja Kezman, Mark van Bommel, Park Ji-sung, Kevin Strootman, Georginio Wijnaldum sampai Memphis Depay langsung meruntuhkan dominasi dan kuadran mereka.
PSV terlalu berat untuk me-restart skuadnya yang menjadi sumber kesulitan untuk bisa bangkit lagi di Eropa. Hal yang sama terjadi pada Ajax setelah era emas di tangan Louis van Gaal di pertengahan 1990-an serta generasi Wesley Sneijder di awal 2000-an. Imbasnya, generasi penggemar bola yang sekarang tidak lagi menoleh kehebatan mereka seperti dulu.
Memelihara sejarah dan tradisinya, menjaga konsistensi dan posisinya menjadi kelebihan Real Madrid, Barcelona serta Bayern Muenchen di level Liga Champion. Sementara yang lain di bawah mereka. Ada yang memulai bangkit lagi seperti Manchester United atau Juventus, ada yang mengecil putaran bisnisnya seperti PSV, Ajax, Porto, dan seterusnya.
(foto: sportcabal/deportes.elpais)
Apakah Anda masih ingat kejutan terbesar di Liga Champion, ketika sebuah tim yang tak favoritkan mampu menjuarainya? Pada 1986, Steaua Bucuresti mengalahkan Barcelona dengan adu penalti. Pada 1991, Crvena Zvevda alias Red Star juga menang adu penalti dari Olympique Marseille. Pada 1997 Borussia Dortmund mengatasi Juventus. Setelah itu?
Tentu masih banyak lagi, baik sebelum dan sesudahnya. Tapi tetap saja, namanya kejutan lebih kecil probabilitasnya dibanding yang semestinya. Menanti kejutan adalah sisi paling misterius di sepak bola. Sayangnya Liga Champion mudah diprediksi, terutama saat memasuki sesi perdelapanfinal hingga final. Apa yang menjadi penyebab utamanya?
Paling terdepan karena nilai skuad di klub itu sendiri. Real Madrid (2014), Barcelona (2015), serta Bayern Muenchen (2013) adalah triumvirat mahsyur nan legendaris di Eropa yang menjadi juara di tiga musim terakhir. Catat, ketiganya merupakan klub dengan skuad termahal di dunia. Jika mau ditambah, dua di bawahnya lagi adalah Chelsea dan Manchester City.
Menurut situs Transfermarkt, skuad Real Madrid bernilai 718,80 juta euro atau setara dengan Rp 10,80 trilyun. Disusul oleh Barcelona 657,50 juta euro (Rp 9,9 trilyun), Bayern Muenchen 617,68 juta euro (Rp 9,3 trilyun), dan Chelsea 542,50 juta euro (Rp 8,1 trilyun). Terdekat dengan Chelsea adalah Manchester City senilai 514,50 juta euro atau sekitar Rp 7,75 trilyun.
Kecuali Manchester City, keempat klub di atas adalah kampiun Liga Champion di lima musim terakhir: Barcelona (2011 dan 2015), Chelsea (2012), Bayern (2013), dan Real Madrid (2014). Ada alasan lain yang menguatkan kepantasan mereka? Tentu. Bukankah para pemain mahal mereka mengkonfirmasi kelebihan dalam mengkreasi ide di permainan?
Dalam cakupan lebih luas, hingga 2010 Bayern, Barca, dan Real mengokupasi 15 dari 24 posisi semifinal (62,5 persen). Ini sebuah dominasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Liga Champion. Besar saldo klub atau tingginya tagihan gaji dianggap menjadi pemicu kesuksesan paling nyata di Liga Champion ketimbang di liga domestik.
"Walau tak ada garansinya, namun hadiah terbesar di akhir kompetisi selalu ada di Liga Champion, bukan di liga domestik," kata Presiden Bayern, Karl-Heinz Rummenigge pada 2013, saat kejutan di babak signifikan masih banyak terjadi. Namun kini, pandangan itu mulai berubah. Statistik semakin menjelaskan garansi sukses di liga domestik dan Liga Champion.
Kasus PSV
Tiga superstar lapangan hijau yang bernilai jual paling tinggi. |
Namun sejak Florentino Perez mendatangkan Cristiano Ronaldo pada 2009 senilai 94 juta euro, sekaligus mentahbiskan klubnya sebagai Los Galacticos, terjadi penyusutan di mana hanya 11 klub yang sukses menembus empat besar Liga Champion. Setelah usianya bertambah enam tahun, nilai Ronaldo kini malah membubung menjadi 120 juta euro.
Gabungan nilai Ronaldo ditambah Lionel Messi, yang juga ditaksir sama 120 juta euro, sebesar 240 juta euro setara dengan 20 klub peserta Liga Champion musim ini (lihat tabel Harga Skuad). Akumulasi atau konsentrasi bakat selalu menaikkan posisi klub pada kuadran yang seharusnya. Jangan harap dengan membeli pemain murah dan bergaji kecil, mereka akan naik kelas.
Prestasi di Liga Champion datang dari dampak seperti itu. Lihatlah kasus PSV Eindhoven. Pada era 1980-an hingga awal 1990-an, mereka klub papan atas Eropa yang akhirnya meraih puncak prestasi dengan titel di 1988. PSV selalu ditaburi bintang mahal dengan gaji tinggi. Mulai dari Ruud Gullit, Ronald Koeman, Romario Faria hingga Luiz Ronaldo.
Memasuki tahun 2000-an, PSV mulai memasuki masa stagnasi, yang hingga di dekade kedua ini belum sanggup juga bersaing di Eropa. Penjualan beruntun Arjen Robben, Ruud van Nistelrooij, Mateja Kezman, Mark van Bommel, Park Ji-sung, Kevin Strootman, Georginio Wijnaldum sampai Memphis Depay langsung meruntuhkan dominasi dan kuadran mereka.
PSV terlalu berat untuk me-restart skuadnya yang menjadi sumber kesulitan untuk bisa bangkit lagi di Eropa. Hal yang sama terjadi pada Ajax setelah era emas di tangan Louis van Gaal di pertengahan 1990-an serta generasi Wesley Sneijder di awal 2000-an. Imbasnya, generasi penggemar bola yang sekarang tidak lagi menoleh kehebatan mereka seperti dulu.
Memelihara sejarah dan tradisinya, menjaga konsistensi dan posisinya menjadi kelebihan Real Madrid, Barcelona serta Bayern Muenchen di level Liga Champion. Sementara yang lain di bawah mereka. Ada yang memulai bangkit lagi seperti Manchester United atau Juventus, ada yang mengecil putaran bisnisnya seperti PSV, Ajax, Porto, dan seterusnya.
BINTANG TERMAHAL/KLUB (dalam juta euro)
Nama
|
Nilai jual
|
Lionel
Messi
(Barcelona)
|
120
|
Cristiano
Ronaldo
(Real Madrid)
|
120
|
Eden
Hazard
(Chelsea)
|
70
|
Sergio
Aguero
(Manchester City)
|
60
|
Paul
Pogba
(Juventus)
|
55
|
Thomas
Mueller
(Bayern Muenchen)
|
55
|
Alexis
Sanchez
(Arsenal)
|
55
|
Angel
Di Maria
(Paris Saint-Germain)
|
55
|
Koke Merodio (Atletico Madrid)
|
50
|
Wayne
Rooney
(Manchester United)
|
40
|
Hulk Givanildo (Zenit Saint-Petersburg)
|
37
|
Alexandre
Lacazette
(Olypimque Lyon)
|
30
|
Ricardo
Rodriguez
(Wolfsburg)
|
28
|
Radja
Nainggolan
(AS Roma)
|
27
|
Nicolas
Gaitan
(Benfica)
|
27
|
Enzo
Perez
(Valencia)
|
25
|
Andriy
Yarmolenko
(CSKA Moskva)
|
24
|
Alex
Teixeira
(Shakhtar Donetsk)
|
23
|
Lars
Bender
(Bayer Leverkusen)
|
22
|
Roman
Eremenko
(CSKA Moskva)
|
20
|
Evgen
Konoplyanka
(Sevilla)
|
20
|
Granit
Xhaka
(Borussia Moenchengladbach)
|
20
|
Yachine
Brahimi
(FC Porto)
|
18,5
|
Fernando
Muslera
(Galatasaray)
|
17
|
Jetro
Willems
(PSV)
|
10
|
Roberto Jimenez (Olympiakos)
|
8
|
El
Arabi Hillel Soudani (Dinamo Zagreb)
|
5
|
Moses
Simon
(KAA Gent)
|
4
|
Eren
Zahavi
(Maccabi Tel Aviv)
|
3
|
Magnus
Wolf Eikrem
(FC Malmoe)
|
2
|
Fexi
Kethevoama
(FC Astana)
|
2
|
Denis
Polyakov
(BATE Borisov)
|
1,6
|
HARGA SKUAD (dalam juta euro)
Klub
|
Nilai Total
|
REAL
MADRID
|
715,5
|
BARCELONA
|
657,5
|
BAYERN
MUENCHEN
|
559,1
|
CHELSEA
|
531,75
|
MANCHESTER
CITY
|
480,85
|
PARIS
SAINT-GERMAIN
|
403,65
|
ARSENAL
|
402
|
JUVENTUS
|
388,1
|
MANCHESTER
UNITED
|
377,25
|
ATLETICO
MADRID
|
340,5
|
VALENCIA
|
262,5
|
ROMA
|
258,6
|
WOLFSBURG
|
205,65
|
ZENIT
ST-PETERSBURG
|
190,4
|
BAYER
LEVERKUSEN
|
189,15
|
SEVILLA
|
172
|
OLYMPIQUE
LYONNAISE
|
170,6
|
PORTO
|
165,6
|
BENFICA
|
153,3
|
CSKA
MOSKVA
|
152,65
|
BORUSSIA
MOENCHENGLADBACH
|
144,4
|
SHAKHKTAR
DONETSK
|
140,1
|
DYNAMO
KYIV
|
123,25
|
GALATASARAY
|
123,25
|
PSV
EINDHOVEN
|
96,3
|
OLYMPIAKOS
|
88,5
|
DYNAMO
ZAGREB
|
48,25
|
KAA
GENT
|
47,9
|
MACCABI
TEL AVIV
|
21,55
|
MALMOE
|
20,8
|
BATE
BORISOV
|
18,2
|
ASTANA
|
14,5
|
(foto: sportcabal/deportes.elpais)